Surat Al Baqarah Ayat 222-223
[سورة البقرة (2) : الآيات 222 الى 223]
[Surat Al-Baqarah (2): ayat 222 sampai 223]وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذىً فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (222)
Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah sesuatu yang kotor (mengganggu). Maka jauhilah wanita (dalam masalah jima’) pada waktu haid. Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” Sesungguhnya Allah menyukai orang‑orang yang banyak bertaubat dan menyukai orang‑orang yang menyucikan diri. (222)نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (223)
Isteri‑isterimu adalah (seperti) ladang bagimu. Maka datangilah ladangmu itu dari mana saja kamu kehendaki. Dan kirimkanlah (perbekalan amal) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian akan menemui‑Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang‑orang yang beriman. (223) ---قَوْلُهُ: الْمَحِيضِ هُوَ الْحَيْضُ، وَهُوَ مَصْدَرٌ، يُقَالُ: حَاضَتِ الْمَرْأَةُ حَيْضًا وَمَحِيضًا فَهِيَ حَائِضٌ وَحَائِضَةٌ، كذا قال الفراء وأنشد:
Firman‑Nya: “المحيض” adalah haid. Ia adalah masdar (kata dasar). Dikatakan: “حاضت المرأة حيضًا ومحيضًا” (seorang wanita telah haid, dengan haid dan mahidh), maka ia disebut “حائض” dan “حائضة”. Demikianlah yang dikatakan Al‑Farra’, dan ia mengutip syair:كحائضة يزنى بها غير طاهر
“Seperti perempuan haid yang dizinai oleh orang yang tidak suci.”وَنِساءٌ حِيّضٌ وَحَوائِضُ، وَالْحَيْضَةُ بِالْكَسْرِ: الْمَرَّةُ الْواحِدَةُ، وَقِيلَ: الِاسْمُ وَقِيلَ: الْمَحِيضُ: عِبَارَةٌ عَنِ الزَّمَانِ وَالْمَكانِ، وَهُوَ مَجازٌ فِيهِما.
Dan bentuk jamaknya: “نساء حيض” dan “حوائض”. Kata “الحيضة” (dengan kasrah pada huruf ha’) adalah satu kali haid. Dan ada yang berkata: ia adalah nama (bukan hanya sekali kejadian). Ada pula yang berkata: “المحيض” adalah ungkapan untuk zaman (waktu) dan tempat, dan itu berupa makna majazi (kiasan) pada keduanya.وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: الْمَحِيضُ: اسْمُ الْحَيْضِ، وَمِثْلُهُ قول رؤبة:
Ibnu Jarir ath‑Thabari berkata: “المحيض” adalah nama bagi haid. Dan semisal dengannya adalah ucapan Ru’bah:إليك أشكو شدّة المعيش
“Kepadamu aku mengadu tentang kerasnya (sulitnya) hidup.”(1) . المائدة: 5.
(1) Al‑Ma’idah: 5.(2) . وعجزه: ومرّ أعوام نتفن ريشي.
(2) Dan akhir baitnya: “Telah berlalu tahun‑tahun, bulu‑buluku tercabuti.”فتح القدير للشوكاني - جـ ١(ص: ٢٥٩)
Fath al‑Qadir karya Asy‑Syaukani – Jilid 1 (hlm. 259). ---وَأَصْلُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ مِنَ السَّيَلَانِ وَالِانْفِجَارِ يُقَالُ: حَاضَ السَّيْلُ وَفَاضَ، وَحَاضَتِ الشَّجَرَةُ: أَيْ: سَالَتْ رُطُوبَتُهَا، وَمِنْهُ الْحَيْضُ: أَيِ: الْحَوْضُ، لِأَنَّ الْمَاءَ يَحُوضُ إِلَيْهِ: أَيْ: يَسِيلُ.
Asal kata ini (حاض – حيض) berasal dari makna mengalir dan memancar. Dikatakan: “حاض السيل وفاض” (banjir itu meluap dan mengalir). Dan “حاضت الشجرة” artinya: kelembapan (getah) pohon itu mengalir. Dan dari akar kata yang sama pula “الحيض” (haid) dan “الحوض” (kolam), karena air mengalir menuju kolam.وَقَوْلُهُ: قُلْ هُوَ أَذىً أَيْ: قُلْ هُوَ شَيْءٌ يُتَأَذَّى بِهِ، أَيْ: بِرَائِحَتِهِ، وَالْأَذَى: كِنَايَةٌ عَنِ الْقَذَرِ، وَيُطْلَقُ عَلَى الْقَوْلِ الْمَكْرُوهِ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: لَا تُبْطِلُوا صَدَقاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذى «1» .
Firman‑Nya: “Katakanlah: Haid itu adalah أذى” maksudnya: Katakanlah: ia adalah sesuatu yang menimbulkan gangguan, yakni karena baunya. Kata “الأذى” adalah kiasan dari kotoran (najis). Dan juga digunakan untuk ucapan yang menyakitkan (tidak disukai). Di antaranya firman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut‑nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (1)ومنْهُ قولُه تعالى: وَدَعْ أذاهُمْ «2»
Dan di antaranya firman‑Nya Ta’ala: “Dan tinggalkanlah gangguan mereka.” (2)وَقَوْلُهُ: فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ فِي الْمَحِيضِ أَيْ: فَاجْتَنِبُوهُنَّ فِي زَمَانِ الْحَيْضِ إِنْ حُمِلَ الْمَحِيضُ عَلَى الْمَصْدَرِ، أَوْ فِي مَحَلِّ الْحَيْضِ إِنْ حُمِلَ عَلَى الِاسْمِ.
Firman‑Nya: “Maka jauhilah wanita dalam masa haid,” maksudnya: Maka jauhilah mereka pada waktu haid jika “المحيض” dipahami sebagai masdar (perbuatan haid). Atau jauhilah mereka pada tempat keluarnya haid jika “المحيض” dipahami sebagai isim (tempat).وَالْمُرَادُ مِنْ هَذَا الِاعْتِزَالِ: تَرْكُ الْمُجَامَعَةِ، لَا تَرْكُ الْمُجَالَسَةِ أَوِ الْمُلَامَسَةِ فَإِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ، بَلْ يَجُوزُ الِاسْتِمْتَاعُ مِنْهَا بِمَا عَدَا الْفَرْجَ، أَوْ بِمَا دُونَ الْإِزَارِ، عَلَى خِلَافٍ فِي ذَلِكَ.
Yang dimaksud dari perintah menjauhi ini adalah meninggalkan hubungan badan (jima’), bukan meninggalkan duduk bersama atau menyentuh, karena hal tersebut boleh. Bahkan boleh bersenang‑senang darinya selain pada farji (kemaluan), atau dengan sesuatu yang di bawah kain penutup (izar), meskipun ada perbedaan pendapat dalam hal ini.وَأَمَّا مَا يُرْوَى عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَعَبِيدَةَ السَّلْمَانِيِّ: أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الرَّجُلِ أَنْ يَعْتَزِلَ فِرَاشَ زَوْجَتِهِ إِذَا حَاضَتْ فَلَيْسَ ذَلِكَ بِشَيْءٍ،
Adapun riwayat dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubaidah as‑Salmani bahwa seorang suami wajib meninggalkan ranjang isterinya apabila ia haid, maka itu tidak benar (tidak kuat).وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي تَحْرِيمِ وَطْءِ الْحَائِضِ، وَهُوَ مَعْلُومٌ مِنْ ضَرُورَةِ الدِّينِ.
Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam pengharaman menggauli (jima’) wanita haid, dan hal itu sudah diketahui secara pasti dalam agama.قَوْلُهُ: وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ قَرَأَ نَافِعٌ، وَأَبُو عَمْرٍو، وَابْنُ كَثِيرٍ، وابن عامر، وعاصم في رواية حفص عنه: بسكون الطاء وضم الهاء.
Firman‑Nya: “Dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci (يَطْهُرْنَ).” Nafi’, Abu ‘Amr, Ibnu Katsir, Ibnu ‘Amir, dan ‘Ashim dalam riwayat Hafsh membacanya dengan sukun pada huruf tha’ dan dhammah pada huruf ha’ (يَطْهُرْنَ).وقرأ حمزة، والكسائي، وَعَاصِمٌ فِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ: يَطْهُرْنَ بِتَشْدِيدِ الطَّاءِ وَفَتْحِهَا وَفَتْحِ الْهَاءِ وَتَشْدِيدِهَا.
Sedangkan Hamzah, Al‑Kisā’i, dan ‘Ashim dalam riwayat Abu Bakr membacanya “يَطَّهَّرْنَ” dengan tasydid pada huruf tha’, fathah pada huruf tha’ dan ha’, serta tasydid pada ha’.وَفِي مُصْحَفِ أُبَيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ: وَيَتَطَهَّرْنَ.
Dan dalam mushaf Ubay dan Ibnu Mas’ud tertulis: “وَيَتَطَهَّرْنَ”.وَالطُّهْرُ: انْقِطَاعُ الْحَيْضِ، وَالتَّطَهُّرُ: الِاغْتِسَالُ.
“الطُّهْرُ” (tuhur) adalah berhentinya darah haid. Sedangkan “التَّطَهُّرُ” (tathahhur) adalah mandi (bersuci dengan air).وَبِسَبَبِ اخْتِلَافِ الْقُرَّاءِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ، فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ: إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ لَا يَحِلُّ وَطْؤُهَا لِزَوْجِهَا حَتَّى تَتَطَهَّرَ بِالْمَاءِ.
Karena perbedaan qira’ah ini, para ulama pun berbeda pendapat. Mayoritas berpendapat bahwa wanita haid tidak halal digauli suaminya sampai ia bersuci dengan air (mandi).وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ كَعْبٍ الْقُرَظِيُّ وَيَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ: إِذَا طَهُرَتِ الْحَائِضُ وَتَيَمَّمَتْ حَيْثُ لَا مَاءَ حَلَّتْ لِزَوْجِهَا وَإِنْ لَمْ تَغْتَسِلْ.
Muhammad bin Ka‘b Al‑Qurazhi dan Yahya bin Bukair berkata: Apabila wanita haid sudah suci (darahnya berhenti), lalu ia bertayammum ketika tidak ada air, maka ia halal bagi suaminya meskipun belum mandi.وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَعِكْرِمَةُ: إِنَّ انْقِطَاعَ الدَّمِ يُحِلُّهَا لِزَوْجِهَا، وَلَكِنْ تَتَوَضَّأُ.
Mujahid dan ‘Ikrimah berkata: Berhentinya darah menjadikannya halal bagi suaminya, namun ia berwudhu terlebih dahulu.وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ: إِنِ انْقَطَعَ دَمُهَا بَعْدَ مُضِيِّ عَشَرَةِ أَيَّامٍ جَازَ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا قَبْلَ الْغُسْلِ، وَإِنْ كَانَ انْقِطَاعُهُ قَبْلَ الْعَشْرِ لَمْ يَجُزْ حَتَّى تَغْتَسِلَ أَوْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا وَقْتُ الصَّلَاةِ.
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad (bin Al‑Hasan) berkata: Jika darahnya berhenti setelah berlalu sepuluh hari, boleh bagi suami menggaulinya sebelum mandi. Namun jika berhentinya sebelum sepuluh hari, maka tidak boleh sampai ia mandi atau sampai masuk waktu shalat atasnya.وَقَدْ رَجَّحَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ قِرَاءَةَ التَّشْدِيدِ.
Ibnu Jarir ath‑Thabari menguatkan qira’ah yang bertasydid (يَطَّهَّرْنَ / يَتَطَهَّرْنَ).وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَالَ: إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ جَعَلَ لِلْحَلِّ غَايَتَيْنِ كَمَا تَقْتَضِيهِ الْقِرَاءَتَانِ: إِحْدَاهُمَا انْقِطَاعُ الدَّمِ، وَالْأُخْرَى التَّطَهُّرُ مِنْهُ، وَالْغَايَةُ الْأُخْرَى مُشْتَمِلَةٌ عَلَى زِيَادَةٍ عَلَى الْغَايَةِ الْأُولَى، فَيَجِبُ الْمَصِيرُ إِلَيْهَا.
Yang lebih tepat dikatakan adalah: Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dua batasan untuk halalnya (jima’), sebagaimana ditunjukkan oleh dua qira’ah itu: Pertama: berhentinya darah. Kedua: bersuci darinya (mandi). Dan batasan yang kedua memuat tambahan atas batasan pertama, maka wajib berpihak kepada batasan yang lebih kuat (yakni mandi).وَقَدْ دَلَّ أَنَّ الْغَايَةَ الْأُخْرَى هِيَ الْمُعْتَبَرَةُ قَوْلُهُ تَعَالَى بَعْدَ ذَلِكَ: فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَإِنَّ ذَلِكَ يُفِيدُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ التَّطَهُّرُ، لَا مُجَرَّدَ انْقِطَاعِ الدَّمِ.
Dan yang menunjukkan bahwa batasan kedua itulah yang dianggap (utama) adalah firman‑Nya setelah itu: “Apabila mereka telah bersuci (تَطَهَّرْنَ).” Ini memberi faedah bahwa yang dijadikan patokan adalah bersuci (mandi), bukan sekadar berhentinya darah.وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْقِرَاءَتَيْنِ بِمَنْزِلَةِ الْآيَتَيْنِ، فَكَمَا أَنَّهُ يَجِبُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْآيَتَيْنِ الْمُشْتَمِلَةِ إِحْدَاهُمَا عَلَى زِيَادَةٍ بِالْعَمَلِ بِتِلْكَ الزِّيَادَةِ، كَذَلِكَ يَجِبُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْقِرَاءَتَيْنِ.
Dan telah tetap kaidah bahwa dua qira’ah itu kedudukannya seperti dua ayat. Sebagaimana wajib menggabungkan dua ayat yang salah satunya mengandung tambahan dengan mengamalkan tambahan itu, demikian pula wajib menggabungkan dua qira’ah tersebut.قَوْلُهُ: فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ أَيْ: فَجَامِعُوهُنَّ، وَكَنَّى عَنْهُ بِالْإِتْيَانِ.
Firman‑Nya: “Maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” maksudnya: Maka jimailah mereka. Allah mengungkapkannya dengan kata “datangilah” (الإتيان) sebagai kiasan dari jima’.وَالْمُرَادُ: أَنَّهُمْ يُجَامِعُونَهُنَّ فِي الْمَأْتَى الَّذِي أَبَاحَهُ اللَّهُ، وَهُوَ الْقُبُلُ،
Yang dimaksud adalah bahwa mereka menjima’i isteri di tempat yang dihalalkan Allah, yaitu qubul (kemaluan bagian depan).قِيلَ: وَمِنْ حَيْثُ بِمَعْنَى: فِي حَيْثُ، كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: إِذا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ «3» أَيْ: فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ، وَقَوْلِهِ: مَاذَا خَلَقُوا مِنَ الْأَرْضِ «4» أَيْ: فِي الْأَرْضِ.
Dikatakan: “مِنْ حَيْثُ” di sini bermakna “فِي حَيْثُ”, seperti firman‑Nya Ta’ala: “Apabila diseru untuk shalat dari hari Jumat” (3), maksudnya: pada hari Jumat. Dan firman‑Nya: “Apa yang telah mereka ciptakan dari bumi?” (4), maksudnya: di bumi.وَقِيلَ: إِنَّ الْمَعْنَى: مِنَ الْوَجْهِ الَّذِي أَذِنَ اللَّهُ لَكُمْ فِيهِ: أَيْ: مِنْ غَيْرِ صَوْمٍ وَإِحْرَامٍ وَاعْتِكَافٍ.
Ada juga yang mengatakan: Maknanya adalah: dari sisi yang Allah izinkan bagi kalian, yaitu bukan dalam keadaan puasa, ihram, atau i‘tikaf.وَقِيلَ: إِنَّ الْمَعْنَى: مِنْ قِبَلِ الطُّهْرِ، لَا مِنْ قِبَلِ الْحَيْضِ.
Dikatakan pula: Maknanya adalah dari sisi kesucian, bukan dari sisi haid.وَقِيلَ: مِنْ قِبَلِ الْحَلَالِ، لَا مِنْ قِبَلِ الزِّنَا.
Dan ada yang mengatakan: Dari sisi yang halal, bukan dari sisi zina.قَوْلُهُ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ قِيلَ: الْمُرَادُ: التَّوَّابُونَ مِنَ الذُّنُوبِ، وَالْمُتَطَهِّرُونَ مِنَ الْجَنَابَةِ وَالْأَحْدَاثِ،
Firman‑Nya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang‑orang yang banyak bertaubat dan menyukai orang‑orang yang menyucikan diri.” Dikatakan: Yang dimaksud adalah orang‑orang yang bertaubat dari dosa, dan orang‑orang yang menyucikan diri dari janabah dan hadats (kecil).وَقِيلَ: التَّوَّابُونَ مِنْ إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ، وَقِيلَ: مِنْ إِتْيَانِهِنَّ فِي الْحَيْضِ، وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ.
Ada yang berkata: Yang dimaksud dengan orang‑orang yang bertaubat adalah mereka yang bertaubat dari menggauli wanita di dubur mereka. Ada pula yang berkata: dari menggauli mereka ketika haid. Namun pendapat pertama (taubat dari seluruh dosa) lebih tampak (lebih kuat).قَوْلُهُ: نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Firman‑Nya: “Isteri‑isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu dari mana saja kamu kehendaki.” ---(1) . البقرة: 264.
(1) Al‑Baqarah: 264.(2) . الأحزاب: 48.
(2) Al‑Ahzab: 48.(3) . الجمعة: 9.
(3) Al‑Jumu‘ah: 9.(4) . فاطر: 40.
(4) Faathir: 40.فتح القدير للشوكاني - جـ ١(ص: ٢٦٠)
Fath al‑Qadir karya Asy‑Syaukani – Jilid 1 (hlm. 260). ---لَفْظُ الْحَرْثِ يُفِيدُ أَنَّ الْإِبَاحَةَ لَمْ تَقَعْ إِلَّا فِي الْفَرْجِ الَّذِي هُوَ الْقُبُلُ خَاصَّةً، إِذْ هُوَ مُزْدَرَعُ الذُّرِّيَّةِ، كَمَا أَنَّ الْحَرْثَ مُزْدَرَعُ النَّبَاتِ.
Lafaz “الْحَرْثُ” (ladang) menunjukkan bahwa kebolehan (jima’) itu tidak terjadi kecuali pada farji yang merupakan qubul (kemaluan depan) saja. Karena di sanalah tempat menanam keturunan, sebagaimana ladang adalah tempat menanam tanaman.فَقَدْ شَبَّهَ مَا يُلْقَى فِي أَرْحَامِهِنَّ مِنَ النُّطَفِ الَّتِي مِنْهَا النَّسْلُ بِمَا يُلْقَى فِي الْأَرْضِ مِنَ الْبُذُورِ الَّتِي مِنْهَا النَّبَاتُ بِجَامِعِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَادَّةٌ لِمَا يَحْصُلُ مِنْهُ،
Maka Allah menyerupakan apa yang diletakkan di rahim mereka berupa nuthfah (air mani) yang darinya berasal keturunan, dengan apa yang diletakkan di bumi berupa biji‑bijian yang darinya tumbuh tanaman. Keduanya sama‑sama merupakan bahan dasar dari apa yang dihasilkan darinya.وَهَذِهِ الْجُمْلَةُ بَيَانٌ لِلْجُمْلَةِ الْأُولَى، أَعْنِي: قَوْلَهُ: فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ.
Kalimat ini (نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ...) adalah penjelasan bagi kalimat pertama, yaitu firman‑Nya: “Maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.”وَقَوْلُهُ: أَنَّى شِئْتُمْ أَيْ: مِنْ أَيِّ جِهَةٍ شِئْتُمْ: مِنْ خَلْفٍ، وَقُدَّامٍ، وَبَارِكَةً، وَمُسْتَلْقِيَةً وَمُضْطَجِعَةً، إِذَا كَانَ فِي مَوْضِعِ الْحَرْثِ،
Firman‑Nya: “dari mana saja kamu kehendaki” maksudnya: dari arah mana saja kalian kehendaki, dari belakang, dari depan, dalam keadaan duduk berjongkok, berbaring telentang, atau miring, selama berada pada tempat ladang (yaitu qubul).وَأَنْشَدَ ثَعْلَبٌ:
Tsālab mengutip syair:إنّما الأرحام أرضو … ن لَنَا مُحْتَرَثَاتٌ فَعَلَيْنَا الزَّرْعُ فِيهَا … وَعَلَى اللَّهِ النَّبَاتُ
“Sesungguhnya rahim‑rahim itu adalah bumi … yang menjadi ladang bagi kami. Kewajiban kami menanam di dalamnya … dan Allah yang menumbuhkan (hasilnya).”وَإِنَّمَا عَبَّرَ سُبْحَانَهُ بِقَوْلِهِ: أَنَّى لِكَوْنِهَا أَعَمَّ فِي اللُّغَةِ مِنْ كَيْفَ، وَأَيْنَ، وَمَتَى.
Dan Allah Subhanahu hanya menggunakan ungkapan “أَنَّى” karena kata ini dalam bahasa Arab lebih umum daripada “كَيْفَ” (bagaimana), “أَيْنَ” (di mana), dan “مَتَى” (kapan).وَأَمَّا سِيبَوَيْهِ فَفَسَّرَهَا هُنَا بِكَيْفَ.
Adapun Sibawaih, ia menafsirkannya di sini bermakna “كَيفَ” (bagaimana).وَقَدْ ذَهَبَ السَّلَفُ، وَالْخَلَفُ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَالتَّابِعِينَ، وَالْأَئِمَّةِ إِلَى مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ تَفْسِيرِ الْآيَةِ، وَأَنَّ إِتْيَانَ الزَّوْجَةِ فِي دُبُرِهَا حَرَامٌ.
Telah pergi (berpendapat) para salaf dan khalaf: para sahabat, tabi’in, dan para imam kepada penafsiran ayat seperti yang kami sebutkan, dan bahwa menggauli isteri di duburnya adalah haram.وَرُوِيَ عَنْ سَعِيدِ بن المسيب ونافع وابن عمرو وَمُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ وَعَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ الْمَاجِشُونِ أَنَّهُ يَجُوزُ ذَلِكَ، حَكَاهُ عَنْهُمُ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ
Diriwayatkan dari Sa‘id bin Al‑Musayyab, Nafi‘, Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka‘b Al‑Qurazhi, dan ‘Abdul Malik bin Al‑Majisyun bahwa hal itu boleh. Al‑Qurthubi menukil dari mereka dalam tafsirnya.قَالَ: وَحُكِيَ ذَلِكَ عَنْ مَالِكٍ فِي كِتَابٍ لَهُ يُسَمَّى «كِتَابَ السِّرِّ» وَحُذَّاقُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَمَشَايِخُهُمْ يُنْكِرُونَ ذَلِكَ الْكِتَابَ، وَمَالِكٌ أَجَلُّ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَهُ كِتَابُ سِرٍّ، وَوَقَعَ هَذَا الْقَوْلُ فِي الْعُتْبِيَّةِ.
Ia (Al‑Qurthubi) berkata: Dan hal itu juga dinukil dari Malik dalam sebuah kitab yang dinisbatkan kepadanya dengan nama “Kitab as‑Sirri”. Namun para ulama besar dari sahabat‑sahabat Malik dan para masyayikh mereka mengingkari kitab itu. Dan Malik lebih mulia daripada memiliki kitab rahasia semacam itu. Pendapat (bolehnya) ini juga tercantum dalam al‑‘Utbiyyah.وَذَكَرَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ: أَنَّ ابْنَ شَعْبَانَ أَسْنَدَ جَوَازَ ذَلِكَ إِلَى زُمْرَةٍ كَبِيرَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَإِلَى مَالِكٍ مِنْ رِوَايَاتٍ كَثِيرَةٍ فِي كِتَابِ: «جِمَاعِ النِّسْوَانِ وَأَحْكَامِ الْقُرْآنِ».
Ibnu Al‑‘Arabi menyebutkan bahwa Ibnu Sya‘ban menisbatkan kebolehan itu kepada sekelompok besar sahabat dan tabi‘in, dan kepada Malik melalui banyak riwayat dalam kitabnya “Jimā‘ an‑Niswān wa Ahkām al‑Qur’ān”.وَقَالَ الطَّحَاوِيُّ: رَوَى أَصْبَغُ بْنُ الْفَرَجِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ قَالَ: مَا أَدْرَكْتُ أَحَدًا أَقْتَدِي بِهِ فِي دِينِي شَكَّ فِي أَنَّهُ حَلَالٌ، يَعْنِي: وَطْءَ الْمَرْأَةِ فِي دُبُرِهَا، ثُمَّ قَرَأَ: نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ ثُمَّ قَالَ: فَأَيُّ شَيْءٍ أَبْيَنُ مِنْ هَذَا.
Ath‑Thahawi berkata: Ashbagh bin Al‑Faraj meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Al‑Qasim, ia berkata: “Aku tidak mendapati seorang pun yang aku jadikan panutan dalam agamaku yang ragu bahwa hal itu halal,” yakni menggauli wanita pada duburnya. Kemudian ia membaca ayat: “Nisā’ukum harthun lakum...” lalu berkata: “Apa lagi yang lebih jelas dari ini?”وَقَدْ رَوَى الْحَاكِمُ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْخَطِيبُ الْبَغْدَادِيُّ عَنْ مَالِكٍ مِنْ طُرُقٍ: مَا يَقْتَضِي إِبَاحَةَ ذَلِكَ. وَفِي أَسَانِيدِهَا ضَعْفٌ.
Al‑Hakim, Ad‑Daraquthni, dan Al‑Khatib Al‑Baghdadi meriwayatkan dari Malik, melalui beberapa jalur, sesuatu yang tampaknya menunjukkan kebolehan hal itu. Namun pada sanad‑sanadnya terdapat kelemahan.وَقَدْ رَوَى الطَّحَاوِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ أَنَّهُ سَمِعَ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: مَا صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي تَحْلِيلِهِ وَلَا تَحْرِيمِهِ شَيْءٌ، وَالْقِيَاسُ أَنَّهُ حَلَالٌ. وَقَدْ رَوَى ذَلِكَ أَبُو بَكْرٍ الْخَطِيبُ.
Ath‑Thahawi meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Hakim bahwa ia mendengar Asy‑Syafi‘i berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penghalalan maupun pengharaman (perkara ini), dan menurut qiyas hukumnya halal.” Hal ini juga diriwayatkan oleh Abu Bakr Al‑Khatib.قَالَ ابْنُ الصَّبَّاغِ: كَانَ الرَّبِيعُ يَحْلِفُ بِاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَقَدْ كَذَبَ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ عَلَى الشَّافِعِيِّ فِي ذَلِكَ، فَإِنَّ الشَّافِعِيَّ نَصَّ عَلَى تَحْرِيمِهِ فِي سِتَّةِ كُتُبٍ مِنْ كُتُبِهِ.
Ibnu Ash‑Shabbagh berkata: Ar‑Rabi‘ sampai bersumpah demi Allah yang tiada ilah selain Dia, bahwa Ibnu ‘Abdil Hakim telah berdusta atas (nama) Asy‑Syafi‘i dalam hal itu. Karena Asy‑Syafi‘i telah menegaskan keharamannya dalam enam kitab dari kitab‑kitab beliau.قَوْلُهُ: وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ أَيْ: خَيْرًا، كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: وَما تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ «1».
Firman‑Nya: “Dan kirimkanlah (perbekalan amal) untuk dirimu” maksudnya: kebaikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Apa saja kebaikan yang kalian lakukan untuk diri kalian, niscaya kalian mendapatkannya di sisi Allah.” (1)وَقِيلَ: ابْتِغَاءَ الْوَلَدِ.
Ada pula yang berkata: Maksudnya, mengharap (mencari) anak.وَقِيلَ: التَّزْوِيجَ بِالْعَفَائِفِ، وَقِيلَ غَيْرَ ذَلِكَ.
Ada yang berkata: menikah dengan wanita‑wanita yang terjaga kehormatannya. Dan ada lagi pendapat lain selain itu.وَقَوْلُهُ: وَاتَّقُوا اللَّهَ فِيهِ تَحْذِيرٌ عَنِ الْوُقُوعِ فِي شَيْءٍ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ.
Firman‑Nya: “Dan bertakwalah kepada Allah” di dalamnya terdapat peringatan agar tidak terjatuh dalam sesuatu yang diharamkan.وَفِي قَوْلِهِ: وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ مُبَالَغَةٌ فِي التَّحْذِيرِ.
Dan firman‑Nya: “Dan ketahuilah bahwa kalian akan menemui‑Nya” mengandung bentuk peringatan yang sangat keras.وَفِي قَوْلِهِ: وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ تَأْنِيسٌ لِمَنْ يَفْعَلُ الْخَيْرَ وَيَجْتَنِبُ الشَّرَّ.
Dan firman‑Nya: “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang‑orang yang beriman” mengandung penghiburan bagi orang yang berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan. ---وَقَدْ أَخْرَجَ مُسْلِمٌ، وَأَهْلُ السُّنَنِ، وَغَيْرُهُمْ عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ مِنْهُمْ أَخْرَجُوهَا مِنَ الْبَيْتِ، وَلَمْ يُؤَاكِلُوهَا، وَلَمْ يُشَارِبُوهَا، وَلَمْ يُجَامِعُوهَا فِي الْبُيُوتِ، فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذلك، فأنزل الله: وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ الْآيَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «جَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ وَاصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ».
Muslim, para penulis Sunan, dan selain mereka meriwayatkan dari Anas: Sesungguhnya orang‑orang Yahudi apabila salah seorang wanita di antara mereka haid, mereka mengeluarkannya dari rumah, tidak makan bersamanya, tidak minum bersamanya, dan tidak bergaul (bercampur) dengannya di rumah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, maka Allah menurunkan ayat: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid...” hingga akhir ayat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bergaullah dengan mereka di rumah, dan lakukanlah segala sesuatu kecuali jima’.”وَأَخْرَجَ النَّسَائِيُّ، وَالْبَزَّارُ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: إِنَّ الْيَهُودَ قَالُوا: مَنْ أَتَى الْمَرْأَةَ في دبرها كان ولده أحول، فجاؤوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلُوهُ عَنْ ذَلِكَ، وَعَنْ إِتْيَانِ الْحَائِضِ، فَنَزَلَتْ.
An‑Nasa’i dan Al‑Bazzar meriwayatkan dari Jabir, ia berkata: Orang‑orang Yahudi berkata: “Siapa yang menggauli wanita dari duburnya, anaknya akan lahir juling.” Mereka pun datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau tentang hal itu dan tentang menggauli wanita haid, maka turunlah ayat ini.وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ الْأَذَى: الدَّمُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “الأذى” (gangguan) itu adalah darah.وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَاعْتَزِلُوا النِّساءَ يَقُولُ: اعْتَزِلُوا نِكَاحَ فُرُوجِهِنَّ.
Ibnu Jarir, Ibnu Al‑Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al‑Baihaqi dalam Sunan‑nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman‑Nya: “Maka jauhilah wanita,” ia berkata: Jauhilah untuk menikahi farji mereka (yakni jima’ di kemaluan).وَفِي قَوْلِهِ: وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ قَالَ: مِنَ الدَّمِ.
Dan tentang firman‑Nya: “Dan janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci,” ia berkata: dari darah (yakni sampai darahnya berhenti).وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ.
‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Al‑Mundzir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “(Maksudnya) sampai darah itu berhenti.”وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَإِذا تَطَهَّرْنَ قَالَ: بِالْمَاءِ.
Ibnu Jarir, Ibnu Al‑Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al‑Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman‑Nya: “Apabila mereka telah bersuci (تَطَهَّرْنَ),” ia berkata: dengan air (mandi).وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ نَحْوَهُ. وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ عِكْرِمَةَ نَحْوَهُ أَيْضًا.
‘Abdurrazzaq dan ‘Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Mujahid semakna dengannya. Dan Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari ‘Ikrimah yang juga semakna.وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ مُجَاهِدٍ وَعَطَاءٍ أَنَّهُمَا قَالَا: إِذَا رَأَتِ الطُّهْرَ فَلَا بَأْسَ أَنْ تَسْتَطِيبَ بِالْمَاءِ وَيَأْتِيَهَا قَبْلَ أَنْ تَغْتَسِلَ.
Ibnu Al‑Mundzir meriwayatkan dari Mujahid dan ‘Atha’ bahwa keduanya berkata: Apabila wanita itu melihat tanda suci, maka tidak mengapa ia membersihkan diri dengan air, dan suaminya menggaulinya sebelum ia mandi.وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ قَالَ: يَعْنِي: أَنْ يَأْتِيَهَا طَاهِرًا غَيْرَ حَائِضٍ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman‑Nya: “Maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” ia berkata: maksudnya, hendaklah ia (suami) menggaulinya dalam keadaan suci, bukan haid.وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ نَحْوَهُ.
‘Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Qatadah dengan makna yang sama.وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ قَالَ: مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمْ أَنْ تَعْتَزِلُوهُنَّ.
Ibnu Jarir dan Ibnu Al‑Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman‑Nya: “Maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” ia berkata: dari tempat yang sebelumnya kalian diperintahkan untuk menjauhinya (ketika haid), yaitu qubul.وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ مِثْلَهُ.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari ‘Ikrimah yang semakna.وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مِنْ حَيْثُ نَهَاكُمْ أَنْ تَأْتُوهُنَّ وَهُنَّ حُيَّضٌ، يَعْنِي: مِنْ قِبَلِ الْفَرْجِ.
Ibnu Jarir, Ibnu Al‑Mundzir, dan Al‑Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “(Maksudnya) dari tempat yang sebelumnya Allah melarang kalian menggauli mereka ketika mereka haid,” yakni dari arah farji.وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ: فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ مِنْ قِبَلِ التَّزْوِيجِ.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Al‑Hanafiyyah, ia berkata: “Maka campurilah mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” maksudnya: dari sisi pernikahan (bukan zina).وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ عَطَاءٍ فِي قَوْلِهِ: يُحِبُّ التَّوَّابِينَ قَالَ: مِنَ الذُّنُوبِ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ قَالَ: بِالْمَاءِ.
‘Abdu bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Atha’ tentang firman‑Nya: “Dia menyukai orang‑orang yang bertaubat,” ia berkata: dari dosa‑dosa. “Dan menyukai orang‑orang yang menyucikan diri,” ia berkata: dengan air (bersuci).وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ الْأَعْمَشِ قَالَ: التَّوْبَةُ: مِنَ الذُّنُوبِ، وَالتَّطْهِيرُ: مِنَ الشِّرْكِ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al‑A‘mash, ia berkata: Taubat adalah dari dosa, dan penyucian adalah dari syirik.وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ، وَأَهْلُ السُّنَنِ وَغَيْرُهُمْ عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ: إِذَا أَتَى الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ خَلْفِهَا فِي قُبُلِهَا جَاءَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ: نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ إِنْ شَاءَ مجبّية، وإن شاء غير مجبّية، غَيْرَ أَنَّ ذَلِكَ فِي صِمَامٍ وَاحِدٍ.
Al‑Bukhari, para penulis Sunan, dan lainnya meriwayatkan dari Jabir, ia berkata: Orang‑orang Yahudi biasa berkata: “Apabila seorang lelaki mendatangi isterinya dari belakang (posisi) di qubulnya, maka anaknya akan lahir juling.” Maka turunlah ayat: “Isteri‑isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu dari mana saja kamu kehendaki,” yakni jika ia mau dalam keadaan “mujabbiyah” (isteri menempelkan perut ke tanah), dan jika mau tidak dalam keadaan demikian, asal semuanya berada dalam satu saluran (صِمَامٍ وَاحِدٍ), yakni qubul.وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ نَحْوَهُ.
Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdu bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Murrah Al‑Hamdani dengan makna yang sama.وَقَدْ رُوِيَ هَذَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ وَصَرَّحُوا أَنَّهُ السبب، ومن الراوين لذلك عبد الله ابن عُمَرَ عِنْدَ ابْنِ عَسَاكِرَ، وَأُمُّ سَلَمَةَ عِنْدَ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ.
Hal ini diriwayatkan dari sekelompok salaf, dan mereka menegaskan bahwa itulah sebab turunnya (ayat). Di antara perawi yang meriwayatkannya: ‘Abdullah bin ‘Umar (dalam riwayat Ibnu ‘Asakir), dan Ummu Salamah (dalam riwayat ‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, dan Al‑Baihaqi dalam Syu‘ab al‑Iman).وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا عَنْهَا ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَحْمَدُ، وَالدَّارِمِيُّ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ: «أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بعض نساء الأنصار عن التّجبية، فَتَلَا عَلَيْهَا الْآيَةَ وَقَالَ: صِمَامًا وَاحِدًا» وَالصِّمَامُ: السبيل.
Juga diriwayatkan dari Ummu Salamah oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Ad‑Darimi, ‘Abdu bin Humaid, dan At‑Tirmidzi yang mensahihkannya: Bahwa sebagian wanita Anshar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Salamah tentang “t‑tajbiyyah” (posisi jima’ dari belakang). Maka beliau membacakan ayat ini kepadanya dan bersabda: “Dalam satu saluran saja (صِمَامًا وَاحِدًا).” Dan الصِّمَامُ adalah jalan (saluran), yaitu qubul.وأخرج أحمد وعبد ابن حُمَيْدٍ وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَالنَّسَائِيُّ وَالضِّيَاءُ فِي الْمُخْتَارَةِ وَغَيْرُهُمْ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: حَوَّلْتُ رَحْلَيِ اللَّيْلَةَ. فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ شَيْئًا، فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَى رَسُولِهِ هَذِهِ الْآيَةَ نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ يَقُولُ: أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحَيْضَةَ.
Ahmad, ‘Abdu bin Humaid, At‑Tirmidzi (yang mensahihkannya), An‑Nasa’i, Adh‑Dhiya’ dalam Al‑Mukhtarah dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: ‘Umar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku binasa.” Beliau bersabda: “Apa yang membinasakanmu?” Ia berkata: “Aku memindahkan tempat menggauliku tadi malam (yakni dari depan ke belakang posisi, tetapi tetap di qubul).” Maka beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Lalu Allah mewahyukan kepada Rasul‑Nya ayat ini: “Isteri‑isterimu adalah ladang bagimu...” Beliau pun bersabda: “Datangilah dari depan dan dari belakang (posisi), dan jauhilah dubur serta masa haid.”وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي أُنَاسٍ مِنَ الْأَنْصَارِ أَتَوُا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلُوهُ فَقَالَ: ائْتِهَا عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذَا كَانَ فِي الْفَرْجِ.
Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas secara marfu‘ bahwa ayat ini turun berkenaan dengan beberapa orang dari kalangan Anshar yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepada beliau. Beliau bersabda: “Datangilah istrimu dalam keadaan apa pun (posisi apa pun) selama (jima’) itu berada di farji (qubul).”وَأَخْرَجَ الدَّارِمِيُّ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنْهُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ: وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ أَوَهِمَ، إِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُمْ أَهْلُ وَثَنٍ مَعَ هَذَا الْحَيِّ مِنَ الْيَهُودِ وَهُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ، كَانُوا يَرَوْنَ لَهُمْ فَضْلًا عَلَيْهِمْ فِي الْعِلْمِ، فَكَانُوا يَقْتَدُونَ بِكَثِيرٍ مِنْ فِعْلِهِمْ، فَكَانَ مِنْ أَمْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ لَا يَأْتُونَ النِّسَاءَ إِلَّا عَلَى حَرْفٍ، وَذَلِكَ أَسْتُرُ مَا تَكُونُ المرأة،
Ad‑Darimi, Abu Dawud, Ibnu Jarir, Ibnu Al‑Mundzir, Ath‑Thabrani, Al‑Hakim (yang mensahihkannya), dan Al‑Baihaqi dalam Sunan‑nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar. Ia berkata –semoga Allah mengampuninya, ia telah keliru (tentang sebab turunnya ayat)– Sesungguhnya kabilah dari kalangan Anshar –mereka dahulu penyembah berhala– hidup berdampingan dengan satu kabilah Yahudi –mereka Ahlul Kitab. Orang‑orang Anshar melihat bahwa orang Yahudi lebih unggul dari mereka dalam ilmu, sehingga mereka mengikuti banyak dari perbuatan mereka. Di antara perbuatan Ahlul Kitab adalah, mereka tidak mendatangi wanita kecuali “ala harf” (dari satu sisi atau posisi tertentu saja), dan itulah cara yang paling menutup aurat bagi wanita.وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنَ الْأَنْصَارِ قَدْ أَخَذُوا بِفِعْلِهِمْ، وَكَانَ هَذَا الْحَيُّ مِنْ قُرَيْشٍ يَشْرَحُونَ النِّسَاءَ شَرْحًا، وَيَتَلَذَّذُونَ مِنْهُنَّ مُقْبِلَاتٍ، وَمُدْبِرَاتٍ، وَمُسْتَلْقِيَاتٍ،
Kabilah Anshar ini telah mengikuti perbuatan mereka (Yahudi) itu. Sedangkan kabilah dari Quraisy biasa “mensyarah” para wanita dengan berbagai cara, dan mereka bersenang‑senang dengan isteri mereka dari depan, dari belakang (posisi), dan ketika telentang.فَلَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْمَدِينَةَ تَزَوَّجَ رَجُلٌ مِنْهُمُ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ. فَذَهَبَ يَفْعَلُ بِهَا ذَلِكَ فَأَنْكَرَتْهُ عَلَيْهِ، وَقَالَتْ: إِنَّمَا كُنَّا نُؤْتَى عَلَى حَرْفٍ فَاصْنَعْ ذَلِكَ وَإِلَّا فَاجْتَنِبْنِي،
Ketika kaum Muhajirin datang ke Madinah, seorang lelaki dari mereka menikahi seorang wanita dari Anshar. Lalu ia hendak melakukan (posisi) seperti yang biasa dilakukan Quraisy. Sang isteri mengingkarinya dan berkata: “Kami dahulu hanya didatangi (suami) ‘ala harf’ (dari satu sisi saja). Lakukan itu (saja kepadaku), jika tidak, jauhilah aku.”فَسَرَى أَمْرُهُمَا، فبلغ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَأَنْزَلَ اللَّهُ الْآيَةَ: نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ يَقُولُ: مُقْبِلَاتٌ وَمُدْبِرَاتٍ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ فِي الْفَرْجِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ قِبَلِ دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا،
Maka tersebarlah berita tentang keduanya, hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Allah menurunkan ayat: “Isteri‑isterimu adalah ladang bagimu...” Maksudnya: boleh mendatangi mereka dari depan dan dari belakang (posisi), selama (jima’) berada pada farji, sekalipun dari arah belakang tubuhnya tetapi masuk ke qubulnya.زادَ الطَّبَرَانِيُّ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فِي دُبُرِهَا فَأَوْهَمَ، وَاللَّهُ يَغْفِرُ لَهُ، وَإِنَّمَا كَانَ هَذَا الْحَدِيثُ عَلَى هَذَا.
Ath‑Thabrani menambahkan: Ibnu ‘Abbas berkata: Ibnu ‘Umar mengatakan “(jima’) pada duburnya,” maka ia telah keliru –semoga Allah mengampuninya– Padahal hadits ini (sebab turun ayat) adalah seperti yang kami sebutkan tadi (yaitu dari dubur menuju qubul, bukan ke lubang dubur).وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَالدَّارِمِيُّ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: مَحَاشُّ النِّسَاءِ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ.
Sa‘id bin Manshur, ‘Abdu bin Humaid, Ad‑Darimi, dan Al‑Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata: “Mahasyyun‑nisā’ (dubur‑dubur wanita) atas kalian adalah haram.”وَأَخْرَجَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَحْمَدُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ مِنْ طَرِيقِ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ: «أَنَّ سَائِلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ، فَقَالَ: حَلَالٌ أَوْ لَا بَأْسَ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ: كَيْفَ قُلْتَ؟ أَمِنْ دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا فنعم، أما مِنْ دُبُرِهَا فِي دُبُرِهَا فَلَا، إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ».
Asy‑Syafi‘i dalam Al‑Umm, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An‑Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Al‑Mundzir, dan Al‑Baihaqi dalam Sunan‑nya meriwayatkan dari Khuzaimah bin Tsabit: Ada seorang penanya yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menggauli wanita pada dubur mereka. Beliau menjawab: “Halal, atau tidak mengapa.” Ketika orang itu berpaling, beliau memanggilnya dan bersabda: “Bagaimana yang engkau katakan? Apakah dari duburnya ke qubulnya? Jika demikian, maka ya (boleh). Adapun dari duburnya ke duburnya, maka tidak (boleh). Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Janganlah kalian mendatangi wanita di dubur mereka.”وَأَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ نَحْوَهُ.
Ibnu ‘Adiy dan Ad‑Daraquthni meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah dengan makna yang serupa.وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَحَسَّنَهُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَابْنُ حِبَّانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ».
Ibnu Abi Syaibah, At‑Tirmidzi (yang mensahihkannya), An‑Nasa’i, dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada seorang lelaki yang mendatangi wanita di duburnya.”وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «الَّذِي يَأْتِي امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا هِيَ اللُّوطِيَّةُ الصُّغْرَى».
Ahmad dan Al‑Baihaqi dalam Sunan‑nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Amr bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang mendatangi isterinya di duburnya, itulah liwath kecil (homoseksualitas kecil).”وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا».
Ahmad, Abu Dawud, dan An‑Nasa’i meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terlaknat orang yang mendatangi isterinya di duburnya.”وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ ابن حُمَيْدٍ، وَالنَّسَائِيُّ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْهُ قَالَ: إِتْيَانُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ كُفْرٌ.
‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdu bin Humaid, An‑Nasa’i, dan Al‑Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Mendatangi laki‑laki (liwath) dan wanita‑wanita di dubur mereka adalah kekufuran.”وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ عَدِيٍّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ: وَالْمَوْقُوفُ أَصَحُّ.
Ibnu ‘Adiy meriwayatkan hadits ini dari Abu Hurairah secara marfu‘ (disandarkan kepada Nabi). Ibnu Katsir berkata: Riwayat mauquf (berhenti pada Abu Hurairah) lebih sahih.وَقَدْ وَرَدَ النَّهْيُ عَنْ ذَلِكَ مِنْ طَرْقٍ مِنْهَا عِنْدَ الْبَزَّارِ عَنْ عمر مرفوعا، وعند النسائي مَوْقُوفًا، وَهُوَ أَصَحُّ.
Larangan tentang hal itu (menggauli di dubur) telah datang melalui berbagai jalur, di antaranya riwayat Al‑Bazzar dari Umar secara marfu‘, dan riwayat An‑Nasa’i darinya secara mauquf –dan yang mauquf lebih sahih.وَعِنْدَ ابْنِ عَدِيٍّ فِي الْكَامِلِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوعًا، وَعِنْدَ ابْنِ عَدِيٍّ أَيْضًا عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ مَرْفُوعًا، وَعِنْدَ أَحْمَدَ عَنْ طَلْقِ بْنِ يَزِيدَ أَوْ يَزِيدَ بْنِ طَلْقٍ مَرْفُوعًا، وَعِنْدَ ابْنِ أَبِي شَيْبَةَ وَأَحْمَدَ وَالتِّرْمِذِيِّ وَحَسَّنَهُ عِنْدَ عَلِيِّ بْنِ طَلْقٍ مَرْفُوعًا،
Juga terdapat riwayat dalam Al‑Kamil karya Ibnu ‘Adiy dari Ibnu Mas‘ud secara marfu‘; dan dari ‘Uqbah bin ‘Amir secara marfu‘; dan di sisi Ahmad dari Thalq bin Yazid atau Yazid bin Thalq secara marfu‘; dan di sisi Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan At‑Tirmidzi –yang mensahihkannya– dari ‘Ali bin Thalq secara marfu‘.وَقَدْ ثَبَتَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ مَرْفُوعًا، وَمَوْقُوفًا،
Telah tetap (sah) riwayat semacam itu dari sekelompok sahabat dan tabi‘in, baik secara marfu‘ maupun mauquf.وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَنْ نَافِعٍ قَالَ: قَرَأْتُ ذَاتَ يَوْمٍ نِساؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَقَالَ ابنُ عُمَرَ: أَتَدْرِي فِيمَ أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ؟ قُلْتُ لَا، قَالَ: نَزَلَتْ فِي إِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ.
Al‑Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Nafi‘, ia berkata: Suatu hari aku membaca (ayat): “Isteri‑isterimu adalah ladang bagimu...” Maka Ibnu ‘Umar berkata: “Apakah engkau tahu tentang apa ayat ini diturunkan?” Aku menjawab: “Tidak.” Ia berkata: “Ayat ini turun mengenai menggauli wanita di dubur mereka.”وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ قَالَ: فِي الدُّبُرِ.
Al‑Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia berkata tentang firman‑Nya: “Maka datangilah ladangmu dari mana saja kamu kehendaki,” ia berkata: “(Yaitu) di dubur.”وَقَدْ رُوِيَ هَذَا عَنِ ابْنِ عُمَرَ مِنْ طُرُقٍ كَثِيرَةٍ. وَفِي رِوَايَةٍ عِنْدَ الدَّارَقُطْنِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَهُ نَافِعٌ: مِنْ دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا؟ فَقَالَ: لَا إِلَّا فِي دُبُرِهَا.
Riwayat ini dinukil dari Ibnu ‘Umar melalui banyak jalur. Dalam salah satu riwayat di sisi Ad‑Daraquthni disebutkan bahwa Nafi‘ berkata kepadanya: “(Maksudnya) dari duburnya ke qubulnya?” Ia berkata: “Tidak, kecuali (langsung) di duburnya.”وَأَخْرَجَ ابْنُ رَاهَوَيْهِ، وَأَبُو يَعْلَى، وَابْنُ جَرِيرٍ وَالطَّحَاوِيُّ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ: أَنَّ رَجُلًا أَصَابَ امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا، فَأَنْكَرَ النَّاسُ عَلَيْهِ ذَلِكَ، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ.
Ibnu Rahawaih, Abu Ya‘la, Ibnu Jarir, Ath‑Thahawi, dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Sa‘id Al‑Khudri: Bahwa ada seorang lelaki yang menggauli isterinya di duburnya. Orang‑orang pun mengingkari perbuatannya, lalu turunlah ayat ini.وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا تَقُولُ فِي إِتْيَانِ الْمَرْأَةِ فِي دُبُرِهَا؟ فَقَالَ: هَذَا شَيْخٌ مِنْ قُرَيْشٍ فَسَلْهُ، يَعْنِي عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَلِيِّ بْنِ السَّائِبِ: فَقَالَ: قَذَرٌ وَلَوْ كَانَ حَلَالًا.
Al‑Baihaqi dalam Sunan‑nya meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ali, ia berkata: Aku berada di sisi Muhammad bin Ka‘b Al‑Qurazhi, lalu datang seorang lelaki kepadanya dan bertanya: “Apa pendapatmu tentang mendatangi wanita di duburnya?” Ia menjawab: “Di sini ada seorang syaikh dari Quraisy, maka tanyailah dia,” yakni ‘Abdullah bin ‘Ali bin As‑Sa’ib. Syaikh itu berkata: “Itu perbuatan kotor, meskipun seandainya ia halal.”وَقَدْ رُوِيَ الْقَوْلُ بِحَلِّ ذَلِكَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عِنْدَ ابْنِ جَرِيرٍ، وَعَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عِنْدَ ابْنِ جَرِيرٍ أَيْضًا، وعن مالك بن أنس،
Telah diriwayatkan pendapat yang membolehkan hal itu dari Muhammad bin Al‑Munkadir di sisi Ibnu Jarir, dan dari Ibnu Abi Mulaykah di sisi Ibnu Jarir juga, serta dari Malik bin Anas,وعند ابْنِ جَرِيرٍ وَالْخَطِيبِ وَغَيْرِهِمَا، وَعَنِ الشَّافِعِيِّ عِنْدَ الطَّحَاوِيِّ وَالْحَاكِمِ وَالْخَطِيبِ.
yakni dalam riwayat Ibnu Jarir, Al‑Khatib, dan selain keduanya; dan (juga dinisbatkan) dari Asy‑Syafi‘i dalam riwayat Ath‑Thahawi, Al‑Hakim, dan Al‑Khatib.وَقَدْ قَدَّمْنَا مِثْلَ هَذَا، وَلَيْسَ فِي أَقْوَالِ هَؤُلَاءِ حُجَّةٌ أَلْبَتَّةَ، وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْمَلَ عَلَى أَقْوَالِهِمْ، فَإِنَّهُمْ لَمْ يَأْتُوا بِدَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى الْجَوَازِ،
Telah kami sebutkan sebelumnya yang semisal ini. Tidak ada sedikit pun hujjah dalam ucapan‑ucapan mereka itu. Dan tidak boleh bagi siapa pun beramal berdasarkan pendapat mereka, karena mereka tidak mendatangkan dalil yang menunjukkan kebolehan.فَمَنْ زَعَمَ مِنْهُمْ أَنَّهُ فَهِمَ ذَلِكَ مِنَ الْآيَةِ فَقَدْ أَخْطَأَ فِي فَهْمِهِ.
Maka siapa saja di antara mereka yang mengira bahwa ia memahami (kebolehan itu) dari ayat, sungguh ia telah keliru dalam pemahamannya.وَقَدْ فَسَّرَهَا لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَكَابِرُ أَصْحَابِهِ بِخِلَافِ مَا قَالَهُ هَذَا الْمُخْطِئُ فِي فَهْمِهِ كَائِنًا مَنْ كَانَ،
Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat utama beliau telah menafsirkan ayat itu bagi kita, dengan penafsiran yang menyelisihi apa yang dikatakan oleh orang yang salah paham itu, siapa pun dia.وَمَنْ زَعَمَ مِنْهُمْ أَنَّ سَبَبَ نُزُولِ الْآيَةِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا، فَلَيْسَ فِي هَذَا مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْآيَةَ أَحَلَّتْ ذَلِكَ، وَمَنْ زَعَمَ ذَلِكَ فَقَدْ أَخْطَأَ،
Dan siapa di antara mereka yang mengira bahwa sebab turunnya ayat adalah seorang laki‑laki menggauli isterinya di duburnya, maka dalam sebab itu sendiri tidak ada yang menunjukkan bahwa ayat ini menghalalkan perbuatan tersebut. Siapa yang mengira demikian, sungguh ia telah keliru.بَلِ الَّذِي تَدُلُّ عَلَيْهِ الْآيَةُ أَنَّ ذَلِكَ حَرَامٌ، فَكَوْنُ ذَلِكَ هُوَ السَّبَبُ لَا يَسْتَلْزِمُ أَنْ تَكُونَ الْآيَةُ نَازِلَةً فِي تَحْلِيلِهِ،
Bahkan yang ditunjukkan oleh ayat adalah bahwa hal itu haram. Bahwa (perbuatan itu) menjadi sebab turunnya ayat tidaklah mengharuskan bahwa ayat tersebut turun untuk menghalalkannya.فَإِنَّ الْآيَاتِ النَّازِلَةَ عَلَى أَسْبَابٍ تَأْتِي تَارَةً بِتَحْلِيلِ هَذَا، وَتَارَةً بِتَحْرِيمِهِ.
Karena ayat‑ayat yang turun dengan sebab tertentu, terkadang datang untuk menghalalkan sesuatu, dan terkadang untuk mengharamkannya.وَقَدْ رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهُ فَسَّرَ هَذِهِ الْآيَةَ بِغَيْرِ مَا تَقَدَّمَ، فَقَالَ: مَعْنَاهَا: إِنْ شِئْتُمْ فَاعْزِلُوا وَإِنْ شِئْتُمْ فَلَا تَعْزِلُوا.
Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia menafsirkan ayat ini dengan selain tafsir‑tafsir yang telah lewat, ia berkata: “Maksudnya: jika kalian mau, lakukan azl (mengeluarkan mani di luar rahim), dan jika kalian mau, jangan lakukan azl.”رَوَى ذَلِكَ عَنْهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَالضِّيَاءُ فِي الْمُخْتَارَةِ،
Hal itu diriwayatkan darinya oleh Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Al‑Mundzir, dan Adh‑Dhiya’ dalam Al‑Mukhtarah.وَرُوِيَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ. وعن سعيد ابن الْمُسَيَّبِ، أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ جَرِيرٍ.
Dan yang serupa dengan itu juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Serta dari Sa‘id bin Al‑Musayyab, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Jarir.