Al fatihah Ayat 2-7
[سُورَةُ ٱلْفَاتِحَةِ (١) : ٱلْآيَاتُ ٢ إِلَىٰ ٧]
[Surah Al-Fatihah (1): Ayat 2 sampai 7]
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ (٢) ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥) ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّالِّينَ (٧)
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. (2)
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (3)
Penguasa hari pembalasan. (4)
Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. (5)
Tunjukilah kami jalan yang lurus. (6)
(yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat. (7)
---
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ
Segala puji bagi Allah.
ٱلْحَمْدُ: هُوَ ٱلثَّنَاءُ بِٱللِّسَانِ عَلَى ٱلْجَمِيلِ ٱلِٱخْتِيَارِيِّ،
Al-ḥamd (pujian) adalah sanjungan dengan lisan atas kebaikan yang bersifat pilihan (sengaja dilakukan).
وَبِقَيْدِ ٱلِٱخْتِيَارِيِّ فَارَقَ ٱلْمَدْحَ،
Dengan batasan “pilihan” ini, (al-ḥamd) berbeda dari *al-madḥ* (pujian umum),
فَإِنَّهُ يَكُونُ عَلَى ٱلْجَمِيلِ وَإِنْ لَمْ يَكُنِ ٱلْمَمْدُوحُ مُخْتَارًا،
karena *madḥ* bisa diberikan atas suatu keindahan meskipun yang dipuji tidak melakukannya secara pilihan,
كَمَدْحِ ٱلرَّجُلِ عَلَىٰ جَمَالِهِ وَقُوَّتِهِ وَشَجَاعَتِهِ.
seperti memuji seseorang karena keelokan rupa, kekuatan, dan keberaniannya.
وَقَالَ صَاحِبُ ٱلْكَشَّافِ: إِنَّهُمَا أَخَوَانِ.
Penulis *Al-Kasysyāf* berkata: Keduanya (al-ḥamd dan al-madḥ) adalah dua hal yang berdekatan (serumpun).
وَٱلْحَمْدُ أَخَصُّ مِنَ ٱلشُّكْرِ مَوْرِدًا، وَأَعَمُّ مِنْهُ مُتَعَلَّقًا.
Al-ḥamd lebih khusus daripada syukur dari sisi tempat keluarnya, dan lebih umum daripada syukur dari sisi objek yang dikenai.
فَمَوْرِدُ ٱلْحَمْدِ ٱللِّسَانُ فَقَطْ،
Tempat keluarnya al-ḥamd hanyalah lisan saja,
وَمُتَعَلِّقُهُ ٱلنِّعْمَةُ وَغَيْرُهَا.
sedangkan objeknya adalah nikmat dan selain nikmat.
وَمَوْرِدُ ٱلشُّكْرِ ٱللِّسَانُ وَٱلْجَنَانُ وَٱلْأَرْكَانُ،
Adapun tempat keluarnya syukur adalah lisan, hati, dan anggota badan,
وَمُتَعَلِّقُهُ ٱلنِّعْمَةُ.
sedangkan objeknya hanyalah nikmat.
وَقِيلَ: إِنَّ مَوْرِدَ ٱلْحَمْدِ كَمَوْرِدِ ٱلشُّكْرِ،
Ada juga yang berpendapat: tempat keluarnya al-ḥamd sama dengan tempat keluarnya syukur,
لِأَنَّ كُلَّ ثَنَاءٍ بِٱللِّسَانِ لَا يَكُونُ مِنْ صَمِيمِ ٱلْقَلْبِ مَعَ مُوَافَقَةِ ٱلْجَوَارِحِ لَيْسَ بِحَمْدٍ بَلْ سُخْرِيَّةٌ وَٱسْتِهْزَاءٌ.
karena setiap pujian dengan lisan yang tidak keluar dari lubuk hati dan tidak disertai persesuaian anggota badan, bukanlah *ḥamd* melainkan ejekan dan olok-olok.
وَأُجِيبَ بِأَنَّ ٱعْتِبَارَ مُوَافَقَةِ ٱلْقَلْبِ وَٱلْجَوَارِحِ فِي ٱلْحَمْدِ لَا يَسْتَلْزِمُ أَنْ يَكُونَ مَوْرِدًا لَهُ بَلْ شَرْطًا،
Jawabannya: Mempertimbangkan persetujuan hati dan anggota badan dalam al-ḥamd tidak mengharuskan bahwa itu semua menjadi “tempat keluarnya” ḥamd, tetapi hanya merupakan syaratnya,
وَفَرْقٌ بَيْنَ ٱلشَّرْطِ وَٱلشَّطْرِ.
dan ada perbedaan antara *syarat* dan *syathr* (bagian yang membentuk hakikat sesuatu).
وَٱلتَّعْرِيفُ فِي «ٱلْحَمْدُ» لِٱسْتِغْرَاقِ أَفْرَادِ ٱلْحَمْدِ،
Alif-lam ta‘rīf pada kata *al-ḥamdu* berfungsi untuk mencakup seluruh jenis pujian,
وَأَنَّهَا مُخْتَصَّةٌ بِٱلرَّبِّ سُبْحَانَهُ،
dan bahwa semua itu dikhususkan bagi Rabb (Tuhan) Mahasuci Dia,
عَلَىٰ مَعْنَىٰ أَنَّ حَمْدَ غَيْرِهِ لَا ٱعْتِدَادَ بِهِ، لِأَنَّ ٱلْمُنْعِمَ هُوَ ٱللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ،
dalam arti bahwa pujian kepada selain-Nya tidak dianggap (tidak bernilai hakiki), karena Zat yang benar-benar memberi nikmat adalah Allah ‘Azza wa Jalla,
أَوْ عَلَىٰ أَنَّ حَمْدَهُ هُوَ ٱلْفَرْدُ ٱلْكَامِلُ،
atau dengan makna bahwa pujian kepada-Nya adalah bentuk pujian yang paling sempurna,
فَيَكُونُ ٱلْحَصْرُ ٱدِّعَائِيًّا.
sehingga pembatasan (pujian hanya bagi-Nya) bersifat klaim retoris (ḥaṣr iddi‘ā’ī).
---
وَرَجَّحَ صَاحِبُ ٱلْكَشَّافِ أَنَّ ٱلتَّعْرِيفَ هُنَا هُوَ تَعْرِيفُ ٱلْجِنْسِ لَا ٱلِٱسْتِغْرَاقُ،
Penulis *Al-Kasysyāf* menguatkan bahwa ta‘rīf (alif-lam) di sini adalah ta‘rīf jenis, bukan ta‘rīf istighrāq (mencakup seluruh individu).
وَٱلصَّوَابُ مَا ذَكَرْنَاهُ.
Pendapat yang benar adalah apa yang telah kami sebutkan (yaitu istighrāq).
وَقَدْ جَاءَ فِي ٱلْحَدِيثِ: «ٱللَّهُمَّ لَكَ ٱلْحَمْدُ كُلُّهُ».
Dalam hadis disebutkan: “Ya Allah, bagi-Mu segala puji seluruhnya.”
وَهُوَ مُرْتَفِعٌ بِٱلِٱبْتِدَاءِ، وَخَبَرُهُ ٱلظَّرْفُ وَهُوَ: لِلَّهِ.
Kata *al-ḥamdu* berstatus marfū‘ karena menjadi mubtada’ (subjek), dan khabarnya adalah kata keterangan (ẓarf) *lillāh*.
وَأَصْلُهُ ٱلنَّصْبُ عَلَى ٱلْمَصْدَرِيَّةِ بِإِضْمَارِ فِعْلِهِ كَسَائِرِ ٱلْمَصَادِرِ ٱلَّتِي تَنْصِبُهَا ٱلْعَرَبُ،
Asalnya adalah manshub sebagai maf‘ūl muṭlaq (mashdar), dengan menghapus fi‘l-nya, sebagaimana mashdar-mashdar lain yang biasa dinashabkan oleh orang Arab,
فَعُدِلَ عَنْهُ إِلَى ٱلرَّفْعِ لِقَصْدِ ٱلدَّلَالَةِ عَلَى ٱلدَّوَامِ وَٱلثُّبُوتِ ٱلْمُسْتَفَادِ مِنَ ٱلْجُمَلِ ٱلِٱسْمِيَّةِ،
lalu dibelokkan dari bentuk itu kepada bentuk marfū‘ (jumlah ismiyyah) untuk menunjukkan makna terus-menerus dan tetap yang dipahami dari jumlah ismiyyah,
دُونَ ٱلْحُدُوثِ وَٱلتَّجَدُّدِ ٱللَّذَيْنِ تُفِيدُهُمَا ٱلْجُمَلُ ٱلْفِعْلِيَّةُ.
dan bukan makna baru terjadi dan berulang yang dipahami dari jumlah fi‘liyyah.
وَٱللَّامُ ٱلدَّاخِلَةُ عَلَى ٱلِٱسْمِ ٱلشَّرِيفِ هِيَ لَامُ ٱلِٱخْتِصَاصِ.
Huruf lām yang masuk pada nama yang mulia (lillāh) adalah lām ikhtiṣāṣ (menunjukkan kekhususan).
---
قَالَ ٱبْنُ جَرِيرٍ:
Ibnu Jarir berkata:
ٱلْحَمْدُ ثَنَاءٌ أَثْنَىٰ بِهِ عَلَىٰ نَفْسِهِ، وَفِي ضِمْنِهِ أَمَرَ عِبَادَهُ أَنْ يُثْنُوا عَلَيْهِ،
“Al-ḥamdu adalah sanjungan yang Allah sanjungkan atas diri-Nya sendiri, dan di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka memuji-Nya.”
فَكَأَنَّهُ قَالَ: قُولُوا: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ.
Seakan-akan Dia berfirman: ‘Ucapkanlah: *al-ḥamdu lillāh*.’
ثُمَّ رَجَّحَ ٱتِّحَادَ ٱلْحَمْدِ وَٱلشُّكْرِ،
Kemudian ia menguatkan pendapat bahwa al-ḥamd dan asy-syukr itu satu (bermakna sama),
مُسْتَدِلًّا عَلَىٰ ذٰلِكَ بِمَا حَاصِلُهُ:
dengan berdalil pada sesuatu yang intinya adalah:
أَنَّ جَمِيعَ أَهْلِ ٱلْمَعْرِفَةِ بِلِسَانِ ٱلْعَرَبِ يُوقِعُونَ كُلًّا مِنَ ٱلْحَمْدِ وَٱلشُّكْرِ مَكَانَ ٱلآخَرِ.
bahwa seluruh orang yang memahami bahasa Arab menggunakan masing-masing dari al-ḥamd dan asy-syukr pada tempat yang lain (saling menggantikan).
قَالَ ٱبْنُ كَثِيرٍ: وَفِيهِ نَظَرٌ،
Ibnu Katsir berkata: “Dalam hal ini ada yang perlu ditinjau lagi,
لِأَنَّهُ ٱشْتُهِرَ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ ٱلْعُلَمَاءِ ٱلْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّ ٱلْحَمْدَ هُوَ ٱلثَّنَاءُ بِٱلْقَوْلِ عَلَى ٱلْمَحْمُودِ بِصِفَاتِهِ ٱللَّازِمَةِ وَٱلْمُتَعَدِّيَةِ،
karena telah masyhur di kalangan banyak ulama muta’akhkhirīn bahwa al-ḥamd adalah sanjungan dengan ucapan terhadap yang terpuji, atas sifat-sifatnya yang melekat maupun yang sampai (berpengaruh) kepada pihak lain,
وَٱلشُّكْرُ لَا يَكُونُ إِلَّا عَلَى ٱلْمُتَعَدِّيَةِ،
sedangkan syukur tidak terjadi kecuali atas sifat-sifat yang sampai (berupa nikmat) kepada selainnya,
وَيَكُونُ بِٱلْجَنَانِ وَٱللِّسَانِ وَٱلْأَرْكَانِ».
dan syukur dapat terwujud dengan hati, lisan, dan anggota badan.”
ٱنْتَهَى.
Selesai (kutipan).
وَلَا يَخْفَىٰ أَنَّ ٱلْمَرْجِعَ فِي مِثْلِ هٰذَا إِلَىٰ مَعْنَى ٱلْحَمْدِ فِي لُغَةِ ٱلْعَرَبِ لَا إِلَىٰ مَا قَالَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ ٱلْعُلَمَاءِ ٱلْمُتَأَخِّرِينَ،
Tidak samar bahwa rujukan dalam masalah seperti ini adalah kepada makna al-ḥamd dalam bahasa Arab, bukan kepada apa yang dikatakan oleh sekelompok ulama muta’akhkhirīn,
فَإِنَّ ذٰلِكَ لَا يُرَدُّ عَلَىٰ ٱبْنِ جَرِيرٍ، وَلَا تَقُومُ بِهِ ٱلْحُجَّةُ،
karena pendapat mereka itu tidak bisa dijadikan bantahan atas Ibnu Jarir dan tidak menjadi hujah yang kuat.
هٰذَا إِذَا لَمْ يَثْبُتْ لِلْحَمْدِ حَقِيقَةٌ شَرْعِيَّةٌ، فَإِنْ ثَبَتَتْ وَجَبَ تَقْدِيمُهَا.
Hal ini berlaku jika belum tetap adanya hakikat syar‘i khusus bagi al-ḥamd; namun jika hakikat syar‘i itu terbukti, maka hakikat syar‘i harus didahulukan.
---
وَقَدْ أَخْرَجَ ٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
قَالَ عُمَرُ: قَدْ عَلِمْنَا «سُبْحَانَ ٱللَّهِ» وَ«لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ»، فَمَا «ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ»؟
“Umar berkata: ‘Kita telah mengetahui makna *Subḥānallāh* dan *Lā ilāha illallāh*, lalu apa (makna) *al-ḥamdu lillāh*?’”
فَقَالَ عَلِيٌّ: كَلِمَةٌ رَضِيَهَا لِنَفْسِهِ.
Maka Ali berkata, “Itu adalah kalimat yang Allah ridai untuk diri-Nya sendiri.”
---
وَرَوَىٰ ٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ أَيْضًا عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ:
Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata:
«ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ كَلِمَةُ ٱلشُّكْرِ،
“*Al-ḥamdu lillāh* adalah kalimat syukur,
وَإِذَا قَالَ ٱلْعَبْدُ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ، قَالَ: شَكَرَنِي عَبْدِي».
dan apabila seorang hamba mengucapkan *al-ḥamdu lillāh*, Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah bersyukur kepada-Ku.’”
---
وَرَوَىٰ هُوَ وَٱبْنُ جَرِيرٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ أَيْضًا أَنَّهُ قَالَ:
Ia dan Ibnu Jarir meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata:
«ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ هُوَ ٱلشُّكْرُ لِلَّهِ، وَٱلِٱسْتِخْذَاءُ لَهُ، وَٱلْإِقْرَارُ لَهُ بِنِعَمِهِ وَهُدَاهُ وَٱبْتِدَائِهِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ».
“*Al-ḥamdu lillāh* adalah syukur kepada Allah, ketundukan di hadapan-Nya, pengakuan terhadap nikmat-nikmat-Nya, petunjuk-Nya, anugerah awal-Nya, dan selain itu.”
---
وَرَوَىٰ ٱبْنُ جَرِيرٍ عَنِ ٱلْحَكَمِ بْنِ عُمَيْرٍ، وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ قَالَ:
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Al-Hakam bin ‘Umayr—ia seorang sahabat—ia berkata:
قَالَ ٱلنَّبِيُّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Nabi saw. bersabda:
«إِذَا قُلْتَ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ، فَقَدْ شَكَرْتَ ٱللَّهَ فَزَادَكَ».
“Apabila engkau mengucapkan: *al-ḥamdu lillāhi Rabbil-‘ālamīn*, sungguh engkau telah bersyukur kepada Allah, maka Dia menambah (nikmat) kepadamu.”
---
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ فِي ٱلْمُصَنَّفِ، وَٱلْحَكِيمُ ٱلتِّرْمِذِيُّ فِي نَوَادِرِ ٱلْأُصُولِ، وَٱلْخَطَّابِيُّ فِي ٱلْغَرِيبِ، وَٱلْبَيْهَقِيُّ فِي ٱلْأَدَبِ، وَٱلدَّيْلَمِيُّ فِي «مُسْنَدِ ٱلْفِرْدَوْسِ»، عَنْ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ ٱلْعَاصِ، عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ:
‘Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf*, Al-Hakim At-Tirmidzi dalam *Nawādir al-Uṣūl*, Al-Khaththabi dalam *Al-Gharīb*, Al-Baihaqi dalam *Al-Adab*, dan Ad-Daylami dalam *Musnad Al-Firdaus*, meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda:
«ٱلْحَمْدُ رَأْسُ ٱلشُّكْرِ، مَا شَكَرَ ٱللَّهَ عَبْدٌ لَا يَحْمَدُهُ».
“Al-ḥamd adalah kepala (pokok) syukur. Tidak dianggap bersyukur kepada Allah seorang hamba yang tidak memuji-Nya.”
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلْحُلَبِيِّ قَالَ:
Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu ‘Abdurraḥmān Al-Ḥulabi, ia berkata:
ٱلصَّلَاةُ شُكْرٌ، وَٱلصِّيَامُ شُكْرٌ، وَكُلُّ خَيْرٍ تَفْعَلُهُ شُكْرٌ، وَأَفْضَلُ ٱلشُّكْرِ ٱلْحَمْدُ.
“Salat adalah syukur, puasa adalah syukur, dan setiap kebaikan yang engkau lakukan adalah syukur; sedangkan sebaik-baik syukur adalah pujian (al-ḥamd).”
---
وَأَخْرَجَ ٱلطَّبَرَانِيُّ فِي ٱلْأَوْسَطِ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ عَنِ ٱلنَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ قَالَ:
Ath-Ṭabarani meriwayatkan dalam *Al-Awsaṭ* dengan sanad yang lemah, dari An-Nawwās bin Sam‘ān, ia berkata:
سُرِقَتْ نَاقَةُ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ:
“Unta betina Rasulullah saw. pernah dicuri, maka beliau bersabda:
«لَئِنْ رَدَّهَا ٱللَّهُ عَلَيَّ لَأَشْكُرَنَّ رَبِّي».
‘Jika Allah mengembalikannya kepadaku, sungguh aku akan bersyukur kepada Rabb-ku.’
فَرَجَعَتْ، فَلَمَّا رَآهَا قَالَ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ.
Kemudian unta itu kembali. Ketika beliau melihatnya, beliau mengucapkan: *al-ḥamdu lillāh*.
فَٱنْتَظَرُوا هَلْ يُحْدِثُ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمًا أَوْ صَلَاةً،
Mereka pun menunggu, apakah Rasulullah saw. melakukan puasa atau salat (sebagai bentuk syukur).
فَظَنُّوا أَنَّهُ نَسِيَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ ٱللَّهِ! قَدْ كُنْتَ قُلْتَ: لَئِنْ رَدَّهَا ٱللَّهُ عَلَيَّ لَأَشْكُرَنَّ رَبِّي.
Mereka menyangka beliau lupa, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah bersabda: Jika Allah mengembalikannya kepadaku sungguh aku akan bersyukur kepada Rabb-ku.”
قَالَ: «أَلَمْ أَقُلِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ؟».
Beliau bersabda, “Bukankah aku telah mengucapkan *al-ḥamdu lillāh*?”
---
وَقَدْ وَرَدَ فِي فَضْلِ ٱلْحَمْدِ أَحَادِيثُ.
Tentang keutamaan al-ḥamd telah datang beberapa hadis.
مِنْهَا مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَٱلنَّسَائِيُّ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَٱلْبُخَارِيُّ فِي «ٱلْأَدَبِ ٱلْمُفْرَدِ» عَنِ ٱلْأَسْوَدِ بْنِ سَرِيعٍ قَالَ:
Di antaranya: hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasā’i, Al-Ḥakim (yang mensahihkannya), dan Al-Bukhārī dalam *Al-Adab Al-Mufrad*, dari Al-Aswad bin Sari‘, ia berkata:
«قُلْتُ: يَا رَسُولَ ٱللَّهِ! أَلَا أَنْشُدُكَ مَحَامِدَ حَمِدْتُ بِهَا رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟»
“Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, maukah aku lantunkan untukmu puji-pujian yang dengannya aku telah memuji Rabb-ku Tabāraka wa Ta‘ālā?’”
فَقَالَ: «أَمَا إِنَّ رَبَّكَ يُحِبُّ ٱلْحَمْدَ».
Beliau bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya Rabb-mu mencintai pujian.”
---
وَأَخْرَجَ ٱلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَٱلنَّسَائِيُّ وَٱبْنُ مَاجَهْ وَٱبْنُ حِبَّانَ وَٱلْبَيْهَقِيُّ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ:
At-Tirmidzi (dan ia menghasankannya), An-Nasā’i, Ibnu Mājah, Ibnu Ḥibbān dan Al-Baihaqi, meriwayatkan dari Jabir, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«أَفْضَلُ ٱلذِّكْرِ لَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ، وَأَفْضَلُ ٱلدُّعَاءِ ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ».
“Zikir yang paling utama adalah *Lā ilāha illallāh*, dan doa yang paling utama adalah *al-ḥamdu lillāh*.”
---
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ مَاجَهْ وَٱلْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ حَسَنٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Ibnu Mājah dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad hasan, dari Anas, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«مَا أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ، إِلَّا كَانَ ٱلَّذِي أَعْطَىٰ أَفْضَلَ مِمَّا أَخَذَ».
“Tidaklah Allah menganugerahkan satu nikmat pun kepada seorang hamba, lalu hamba itu mengucapkan *al-ḥamdu lillāh*, melainkan apa yang Dia berikan (pahala pujian itu) lebih utama daripada apa yang ia terima (dari nikmat dunia).”
---
وَأَخْرَجَ ٱلْحَكِيمُ ٱلتِّرْمِذِيُّ فِي «نَوَادِرِ ٱلْأُصُولِ»، وَٱلْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
Al-Ḥakim At-Tirmidzi dalam *Nawādir al-Uṣūl* dan Al-Qurṭubi dalam tafsirnya meriwayatkan dari Anas, dari Nabi saw., beliau bersabda:
«لَوْ أَنَّ ٱلدُّنْيَا كُلَّهَا بِحَذَافِيرِهَا فِي يَدِ رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي، ثُمَّ قَالَ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ، لَكَانَ ٱلْحَمْدُ أَفْضَلَ مِنْ ذٰلِكَ».
“Andaikan seluruh dunia dengan segenap isinya berada di tangan salah seorang dari umatku, kemudian ia mengucapkan *al-ḥamdu lillāh*, niscaya *al-ḥamdu lillāh* lebih utama daripada (seluruh dunia) itu.”
قَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ: مَعْنَاهُ لَكَانَ إِلْهَامُهُ ٱلْحَمْدَ أَكْبَرَ نِعْمَةً عَلَيْهِ مِنْ نِعَمِ ٱلدُّنْيَا،
Al-Qurṭubi berkata: “Maknanya adalah: diberinya ilham untuk mengucapkan al-ḥamd itu merupakan nikmat yang lebih besar baginya daripada nikmat-nikmat dunia,
لِأَنَّ ثَوَابَ ٱلْحَمْدِ لَا يَفْنَىٰ، وَنَعِيمَ ٱلدُّنْيَا لَا يَبْقَىٰ».
karena pahala al-ḥamd tidak akan lenyap, sedangkan kenikmatan dunia tidak akan kekal.”
---
وَأَخْرَجَ ٱلْبَيْهَقِيُّ فِي «شُعَبِ ٱلْإِيمَانِ» عَنْ جَابِرٍ قَالَ:
Al-Baihaqi dalam *Syu‘ab al-Īmān* meriwayatkan dari Jabir, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يُنْعَمُ عَلَيْهِ بِنِعْمَةٍ إِلَّا كَانَ ٱلْحَمْدُ أَفْضَلَ مِنْهَا».
“Tidaklah seorang hamba dianugerahi suatu nikmat, kecuali (ucapan) *al-ḥamdu lillāh* lebih utama daripada nikmat itu.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ فِي ٱلْمُصَنَّفِ نَحْوَهُ عَنِ ٱلْحَسَنِ مَرْفُوعًا.
‘Abdurrazzaq dalam *Al-Mushannaf* meriwayatkan riwayat yang semakna dari Al-Ḥasan secara marfū‘ (sampai kepada Nabi).
---
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ وَٱلنَّسَائِيُّ وَأَحْمَدُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ ٱلْأَشْعَرِيِّ قَالَ:
Muslim, An-Nasā’i dan Ahmad meriwayatkan dari Abu Mālik Al-Asy‘arī, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«ٱلطُّهُورُ شَطْرُ ٱلْإِيمَانِ، وَٱلْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ ٱلْمِيزَانَ».
“Kesucian (thaharah) adalah separuh iman, dan *al-ḥamdu lillāh* memenuhi timbangan.” (Hadis panjang).
---
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَحْمَدُ وَٱلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَٱبْنُ مَرْدَوَيْهِ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ:
Sa‘id bin Manṣur, Ahmad, At-Tirmidzi (yang menghasankannya), dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari seorang laki-laki dari Bani Sulaym:
أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«سُبْحَانَ ٱللَّهِ نِصْفُ ٱلْمِيزَانِ، وَٱلْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ ٱلْمِيزَانَ،
“*Subḥānallāh* adalah separuh timbangan, dan *al-ḥamdu lillāh* memenuhi timbangan;
وَٱللَّهُ أَكْبَرُ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ ٱلسَّمَاءِ وَٱلْأَرْضِ،
dan *Allāhu akbar* memenuhi (ruang) antara langit dan bumi;
وَٱلطُّهُورُ نِصْفُ ٱلْإِيمَانِ، وَٱلصَّوْمُ نِصْفُ ٱلصَّبْرِ».
dan bersuci adalah separuh iman, dan puasa adalah separuh kesabaran.”
---
وَأَخْرَجَ ٱلْحَكِيمُ ٱلتِّرْمِذِيُّ عَنْ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ:
Al-Ḥakim At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«ٱلتَّسْبِيحُ نِصْفُ ٱلْمِيزَانِ، وَٱلْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُهُ،
“*Tasbih* (Subḥānallāh) adalah separuh timbangan, dan *al-ḥamdu lillāh* memenuhi (seluruh) timbangan.
وَلَا إِلٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ لَيْسَ لَهَا دُونَ ٱللَّهِ حِجَابٌ حَتَّىٰ تَخْلُصَ إِلَيْهِ».
Dan *Lā ilāha illallāh* tidak ada penghalang antara kalimat itu dengan Allah, sampai ia langsung sampai kepada-Nya.”
---
وَأَخْرَجَ ٱلْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«ٱلتَّأَنِّي مِنَ ٱللَّهِ، وَٱلْعَجَلَةُ مِنَ ٱلشَّيْطَانِ،
“Sikap tenang (tidak tergesa-gesa) berasal dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan.
وَمَا شَيْءٌ أَكْثَرُ مَعَاذِيرَ مِنَ ٱللَّهِ،
Dan tidak ada sesuatu yang lebih banyak alasan maafnya daripada Allah,
وَمَا شَيْءٌ أَحَبُّ إِلَى ٱللَّهِ مِنَ ٱلْحَمْدِ».
dan tidak ada sesuatu yang lebih Allah cintai daripada al-ḥamd (pujian).”
---
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ شَاهِين فِي «ٱلسُّنَّةِ»، وَٱلدَّيْلَمِيُّ عَنْ أَبَانَ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Ibnu Syāhīn dalam *As-Sunnah* dan Ad-Daylami meriwayatkan dari Abān, dari Anas, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«ٱلتَّوْحِيدُ ثَمَنُ ٱلْجَنَّةِ، وَٱلْحَمْدُ ثَمَنُ كُلِّ نِعْمَةٍ، وَيَتَقَاسَمُونَ ٱلْجَنَّةَ بِأَعْمَالِهِمْ».
“Tauhid adalah harga surga; dan al-ḥamd adalah harga setiap nikmat; dan mereka membagi-bagi surga sesuai dengan amal perbuatan mereka.”
---
وَأَخْرَجَ أَهْلُ ٱلسُّنَنِ وَٱبْنُ حِبَّانَ وَٱلْبَيْهَقِيُّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
Ahli Sunan, Ibnu Ḥibbān, dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abū Hurairah, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِحَمْدِ ٱللَّهِ فَهُوَ أَقْطَعُ».
“Setiap urusan penting yang tidak dimulai dengan pujian kepada Allah, maka urusan itu terputus (kurang berkah).”
---
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ مَاجَهْ فِي «سُنَنِهِ» عَنِ ٱبْنِ عُمَرَ:
Ibnu Mājah dalam *Sunan*-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar:
«أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ ٱللَّهِ قَالَ:
bahwa Rasulullah saw. menceritakan kepada mereka: “Ada seorang hamba dari hamba-hamba Allah yang berkata:
يَا رَبِّ! لَكَ ٱلْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ.
‘Wahai Rabbku, bagi-Mu segala puji sebagaimana layak bagi keagungan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.’
فَلَمْ يَدْرِ ٱلْمَلَكَانِ كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا،
Maka dua malaikat (pencatat amal) tidak tahu bagaimana menuliskannya.
فَصَعِدَا إِلَى ٱلسَّمَاءِ فَقَالَا: يَا رَبَّنَا! إِنَّ عَبْدًا قَدْ قَالَ مَقَالَةً لَا نَدْرِي كَيْفَ نَكْتُبُهَا.
Keduanya naik ke langit dan berkata, ‘Wahai Rabb kami, seorang hamba telah mengucapkan satu kalimat yang kami tidak tahu bagaimana menuliskannya.’
قَالَ ٱللَّهُ– وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ–: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟
Allah berfirman—dan Dia lebih mengetahui apa yang diucapkan hamba-Nya—: ‘Apa yang diucapkan hamba-Ku?’
قَالَا: يَا رَبِّ، إِنَّهُ قَالَ: لَكَ ٱلْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ.
Keduanya berkata, ‘Wahai Rabb kami, sesungguhnya ia berkata: “Bagi-Mu segala puji sebagaimana layak bagi keagungan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.”’
فَقَالَ ٱللَّهُ لَهُمَا: ٱكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِي، حَتَّىٰ يَلْقَانِي فَأَجْزِيَهُ بِهَا».
Maka Allah berfirman kepada keduanya, ‘Tulislah kalimat itu sebagaimana diucapkan hamba-Ku, hingga ia datang menemui-Ku, lalu Aku akan memberi balasan kepadanya dengan kalimat itu.’”
---
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Muslim meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«إِنَّ ٱللَّهَ لَيَرْضَىٰ عَنِ ٱلْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ ٱلْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا، أَوْ يَشْرَبَ ٱلشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا».
“Sesungguhnya Allah benar-benar ridha terhadap seorang hamba yang makan satu suapan makanan lalu memuji-Nya karenanya, atau minum satu tegukan minuman lalu memuji-Nya karenanya.”
---
رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ
“Rabb (Tuhan) seluruh alam.”
قَالَ فِي «ٱلصِّحَاحِ»: ٱلرَّبُّ ٱسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ ٱللَّهِ تَعَالَىٰ، وَلَا يُقَالُ فِي غَيْرِهِ إِلَّا بِٱلْإِضَافَةِ،
Dalam *Ash-Shiḥāḥ* disebutkan: “Ar-Rabb adalah salah satu nama dari Nama-nama Allah Ta‘ala, dan tidak boleh dipakai untuk selain-Nya kecuali dengan tambahan (idāfah),”
وَقَدْ قَالُوهُ فِي ٱلْجَاهِلِيَّةِ لِلْمَلِكِ.
meskipun orang-orang jahiliah pernah menggunakannya untuk menyebut raja.
وَقَالَ فِي «ٱلْكَشَّافِ»: ٱلرَّبُّ ٱلْمَالِكُ،
Dalam *Al-Kasysyāf* disebutkan: “Ar-Rabb artinya pemilik (al-mālik).”
وَمِنْهُ قَوْلُ صَفْوَانَ لِأَبِي سُفْيَانَ:
Di antaranya adalah ucapan Ṣafwān kepada Abū Sufyān:
«لَأَنْ يَرُبَّنِي رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَرُبَّنِي رَجُلٌ مِنْ هَوَازِنَ».
“Sungguh kalau aku diurus sebagai bawahan oleh seorang lelaki Quraisy lebih aku sukai daripada aku diurus oleh seorang lelaki dari Hawāzin.”
ثُمَّ ذَكَرَ نَحْوَ كَلَامِ «ٱلصِّحَاحِ».
Lalu ia menyebutkan ucapan yang serupa dengan keterangan dalam *Ash-Shiḥāḥ*.
---
قَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ:
Al-Qurṭubi berkata dalam tafsirnya:
وَٱلرَّبُّ ٱلسَّيِّدُ،
“Ar-Rabb berarti tuan (penguasa),
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: ٱذْكُرْنِي عِندَ رَبِّكَ،
di antaranya firman Allah Ta‘ala: *Użkurnī ‘inda rabbik* (Ingatlah aku di sisi tuanmu),
وَفِي ٱلْحَدِيثِ: «أَنْ تَلِدَ ٱلْأَمَةُ رَبَّهَا».
dan dalam hadis: ‘Seorang budak perempuan melahirkan tuannya’.”
وَٱلرَّبُّ: ٱلْمُصْلِحُ وَٱلْجَابِرُ وَٱلْقَائِمُ.
“Ar-Rabb juga berarti: yang memperbaiki, yang membenahi (mengobati kerusakan), dan yang memelihara.”
قَالَ: وَٱلرَّبُّ: ٱلْمَعْبُودُ.
Ia berkata lagi: “Ar-Rabb juga berarti: yang disembah.”
وَمِنْهُ قَوْلُ ٱلشَّاعِرِ:
Di antaranya adalah ucapan seorang penyair:
أَرَبٌّ يَبُولُ ٱلثُّعْلُبَانُ بِرَأْسِهِ … لَقَدْ هَانَ مَنْ بَالَتْ عَلَيْهِ ٱلثَّعَالِبُ
“Apakah (ini) tuhan, yang kepalanya kencing si rubah? Sungguh hina orang yang dikencingi rubah.”
---
وَٱلْعَالَمِينَ: جَمْعُ «ٱلْعَالَمِ»،
Kata *al-‘ālamīn* adalah jamak dari *‘ālam*,
وَهُوَ كُلُّ مَوْجُودٍ سِوَى ٱللَّهِ تَعَالَىٰ، قَالَهُ قَتَادَةُ.
dan makna ‘ālam adalah setiap yang wujud selain Allah Ta‘ala, demikian dikatakan oleh Qatādah.
وَقِيلَ: أَهْلُ كُلِّ زَمَانٍ عَالَمٌ، قَالَهُ ٱلْحُسَيْنُ بْنُ ٱلْفَضْلِ.
Ada yang berpendapat: penduduk setiap zaman merupakan satu ‘ālam; demikian dikatakan oleh Al-Ḥusayn bin Al-Faḍl.
وَقَالَ ٱبْنُ عَبَّاسٍ: ٱلْعَالَمُونَ ٱلْجِنُّ وَٱلْإِنْسُ.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Al-‘ālamūn adalah jin dan manusia.”
وَقَالَ ٱلْفَرَّاءُ وَأَبُو عُبَيْدٍ:
Al-Farrā’ dan Abū ‘Ubaid berkata:
ٱلْعَالَمُ عِبَارَةٌ عَمَّنْ يَعْقِلُ، وَهُمْ أَرْبَعَةُ أُمَمٍ: ٱلْإِنْسُ وَٱلْجِنُّ وَٱلْمَلَائِكَةُ وَٱلشَّيَاطِينُ.
“Kata *‘ālam* digunakan untuk menyebut yang berakal, dan mereka ada empat golongan: manusia, jin, malaikat, dan setan.”
وَلَا يُقَالُ لِلْبَهَائِمِ عَالَمٌ، لِأَنَّ هٰذَا ٱلْجَمْعَ إِنَّمَا هُوَ جَمْعُ مَا يَعْقِلُ.
Tidak dikatakan ‘ālam untuk binatang, karena bentuk jamak ini dipakai untuk mengumpulkan yang berakal.
حَكَىٰ هٰذِهِ ٱلْأَقْوَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ وَذَكَرَ أَدِلَّتَهَا،
Pendapat-pendapat ini dikemukakan oleh Al-Qurṭubi dalam tafsirnya dan ia menyebutkan dalil-dalilnya,
وَقَالَ: إِنَّ ٱلْقَوْلَ ٱلْأَوَّلَ أَصَحُّ هٰذِهِ ٱلْأَقْوَالِ،
dan ia berkata: “Pendapat pertama adalah yang paling sahih dari semua pendapat ini,
لِأَنَّهُ شَامِلٌ لِكُلِّ مَخْلُوقٍ وَمَوْجُودٍ،
karena ia mencakup seluruh makhluk dan yang wujud.”
دَلِيلُهُ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: قالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ ٱلْعَالَمِينَ؟ قالَ رَبُّ ٱلسَّمَاوَاتِ وَٱلْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا «2».
Dalilnya adalah firman-Nya Ta‘ala: *Qāla fir‘aunu wa mā rabbu al-‘ālamīn? Qāla rabbu as-samāwāti wal-arḍi wa mā baynahumā* (2).
وَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنَ ٱلْعِلْمِ وَٱلْعَلَامَةِ لِأَنَّهُ يَدُلُّ عَلَىٰ مُوجِدِهِ، كَذَا قَالَ ٱلزَّجَّاجُ.
Dan kata *‘ālam* diambil dari kata *‘ilm* (ilmu) dan *‘alāmah* (tanda), karena ia menunjukkan kepada Zat yang mengadakannya; demikian perkataan Az-Zajjāj.
وَقَالَ: ٱلْعَالَمُ: كُلُّ مَا خَلَقَهُ ٱللَّهُ فِي ٱلدُّنْيَا وَٱلْآخِرَةِ.
Ia berkata: “Al-‘ālam adalah semua yang Allah ciptakan di dunia dan di akhirat.”
ٱنْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
وَعَلَىٰ هٰذَا يَكُونُ جَمْعُهُ عَلَىٰ هٰذِهِ ٱلصِّيغَةِ ٱلْمُخْتَصَّةِ بِٱلْعُقَلَاءِ تَغْلِيبًا لِلْعُقَلَاءِ عَلَىٰ غَيْرِهِمْ.
Berdasarkan pendapat ini, bentuk jamak *al-‘ālamīn* yang khusus bagi makhluk berakal dianggap sebagai bentuk ghālib (dominasi) bagi yang berakal atas selain mereka.
وَقَالَ فِي «ٱلْكَشَّافِ»: سَاغَ ذٰلِكَ لِمَعْنَى ٱلْوَصْفِيَّةِ فِيهِ، وَهِيَ ٱلدَّلَالَةُ عَلَىٰ مَعْنَى ٱلْعِلْمِ.
Dalam *Al-Kasysyāf* disebutkan: “Hal itu dibenarkan karena dalam kata ini terkandung makna sifat, yaitu menunjukkan makna ilmu (tanda).”
---
وَقَدْ أَخْرَجَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ قَوْلِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ عَنْهُ ٱلْفِرْيَابِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ.
Riwayat yang telah lalu dari Ibnu ‘Abbas tersebut dikeluarkan oleh Al-Firyābi, ‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al-Ḥakim, yang mensahihkannya.
وَأَخْرَجَهُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ.
Dan riwayat serupa juga dikeluarkan oleh ‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Jarir dari Mujahid.
وَأَخْرَجَهُ ٱبْنُ جَرِيرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ.
Ibnu Jarir juga meriwayatkannya dari Sa‘id bin Jubair.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ جُبَيْرٍ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ، قَالَ:
Dan Ibnu Jubair bersama Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya Ta‘ala: *Rabbil-‘ālamīn*, ia berkata:
إِلٰهُ ٱلْخَلْقِ كُلِّهِ، ٱلسَّمَاوَاتُ كُلُّهُنَّ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَٱلْأَرَضُونَ كُلُّهُنَّ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَمَنْ بَيْنَهُنَّ مِمَّا يُعْلَمُ وَمِمَّا لَا يُعْلَمُ.
“Tuhan seluruh makhluk; semua langit dan siapa saja yang ada di dalamnya; seluruh bumi dan siapa saja yang ada di dalamnya; dan apa yang ada di antara keduanya, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui.”
---
ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
“Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُمَا.
Penafsiran keduanya telah dipaparkan sebelumnya.
قَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ:
Al-Qurṭubi berkata:
وَصَفَ نَفْسَهُ تَعَالَىٰ بَعْدَ «رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ» بِأَنَّهُ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ،
“Allah Ta‘ala menyifati diri-Nya, setelah (sifat) *Rabbil-‘ālamīn*, dengan sifat *Ar-Raḥmān Ar-Raḥīm*,
لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ فِي ٱتِّصَافِهِ بِرَبِّ ٱلْعَالَمِينَ تَرْهِيبٌ، قَرَنَهُ بِٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ لِمَا تَضَمَّنَ مِنَ ٱلتَّرْغِيبِ،
karena ketika sifat *Rabbil-‘ālamīn* mengandung unsur menimbulkan rasa takut (tarhīb), Dia menggandenginya dengan *Ar-Raḥmān Ar-Raḥīm* yang mengandung unsur menarik harapan (targhīb),
لِيَجْمَعَ فِي صِفَاتِهِ بَيْنَ ٱلرَّهْبَةِ مِنْهُ وَٱلرَّغْبَةِ إِلَيْهِ،
agar sifat-sifat-Nya mengumpulkan antara rasa takut kepada-Nya dan harapan menuju kepada-Nya,
فَيَكُونَ أَعْوَنَ عَلَىٰ طَاعَتِهِ وَأَمْنَعَ.
sehingga itu lebih membantu dalam menaati-Nya dan lebih menghalangi dari bermaksiat.”
كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ: نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ ٱلْعَذَابُ ٱلْأَلِيمُ «1».
Sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: *Nabbi’ ‘ibādī annī anā al-ghafūru ar-raḥīm, wa anna ‘ażābī huwa al-‘ażābu al-alīm* (1).
وَقَالَ: غَافِرِ ٱلذَّنْبِ وَقَابِلِ ٱلتَّوْبِ شَدِيدِ ٱلْعِقَابِ «2».
Dan firman-Nya: *Ghāfiriz-żanbi wa qābilit-taubi syadīdil-‘iqāb* (2).
وَفِي «صَحِيحِ مُسْلِمٍ» عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
Dan dalam *Ṣaḥīḥ Muslim* dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ ٱلْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ ٱللَّهِ مِنَ ٱلْعُقُوبَةِ، مَا طَمِعَ فِي جَنَّتِهِ أَحَدٌ،
“Andaikan seorang mukmin mengetahui apa (beratnya) hukuman di sisi Allah, niscaya tidak seorang pun berangan-angan masuk surga-Nya.
وَلَوْ يَعْلَمُ ٱلْكَافِرُ مَا عِنْدَ ٱللَّهِ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ».
Dan andaikan orang kafir mengetahui apa (luasnya) rahmat di sisi Allah, niscaya tidak seorang pun berputus asa dari surga-Nya.”
ٱنْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ، قَالَ: مَا وُصِفَ مِنْ خَلْقِهِ،
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: *Al-ḥamdu lillāhi Rabbil-‘ālamīn*, ia berkata: “(Itulah) pujian atas semua makhluk-Nya yang telah disebutkan sifat-sifatnya.”
وَفِي قَوْلِهِ: ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ قَالَ: مَدَحَ نَفْسَهُ.
Dan tentang firman-Nya: *Ar-Raḥmān Ar-Raḥīm*, ia berkata: “(Ayat ini) adalah pujian Allah atas diri-Nya sendiri.”
ثُمَّ ذَكَرَ بَقِيَّةَ ٱلْفَاتِحَةِ.
Lalu ia menyebutkan sisa (ayat-ayat) Al-Fatihah.
---
مَالِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ
“Penguasa hari pembalasan.”
قُرِئَ «مَلِكِ» وَ«مَالِكِ» وَ«مَلْكِ» بِسُكُونِ ٱللَّامِ، وَ«مَلَكَ» بِصِيغَةِ ٱلْفِعْلِ.
Ayat ini dibaca dengan beberapa qirā’ah: *Maliki*, *Māliki*, *Malki* (dengan sukun pada lām), dan *Malaka* (dengan bentuk fi‘l).
وَقَدِ ٱخْتَلَفَ ٱلْعُلَمَاءُ أَيُّهُمَا أَبْلَغُ: «مَلِكِ» أَوْ «مَالِكِ»؟
Para ulama berbeda pendapat mana yang lebih kuat maknanya, *Malik* (raja) atau *Mālik* (pemilik)?
فَقِيلَ: إِنَّ «مَلِكَ» أَعَمُّ وَأَبْلَغُ مِنْ «مَالِكٍ»،
Ada yang berpendapat: *Malik* lebih umum dan lebih kuat daripada *Mālik*,
إِذْ كُلُّ مَلِكٍ مَالِكٌ، وَلَيْسَ كُلُّ مَالِكٍ مَلِكًا،
karena setiap raja pasti adalah pemilik, sedangkan setiap pemilik belum tentu raja.
وَلِأَنَّ أَمْرَ ٱلْمَلِكِ نَافِذٌ عَلَى ٱلْمَالِكِ فِي مُلْكِهِ، حَتَّىٰ لَا يَتَصَرَّفَ إِلَّا بِتَدْبِيرِ ٱلْمَلِكِ.
Dan karena keputusan raja berlaku atas pemilik dalam wilayah kepemilikannya, sehingga ia tidak dapat bertindak kecuali dengan kebijakan sang raja.
قَالَهُ أَبُو عُبَيْدٍ وَٱلْمُبَرَّدُ، وَرَجَّحَهُ ٱلزَّمَخْشَرِيُّ.
Demikian dikatakan oleh Abū ‘Ubaid dan Al-Mubarrad, dan Az-Zamakhsyari menguatkannya.
وَقِيلَ: «مَالِكٌ» أَبْلَغُ، لِأَنَّهُ يَكُونُ مَالِكًا لِلنَّاسِ وَغَيْرِهِمْ،
Ada pula yang berpendapat: *Mālik* lebih kuat, karena pemilik bisa menjadi pemilik terhadap manusia dan selain mereka,
فَٱلْمَالِكُ أَبْلَغُ تَصَرُّفًا وَأَعْظَمُ.
maka *Mālik* (Pemilik) lebih besar kekuasaan dan penguasaannya.
وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ: إِنَّ «مَالِكًا» أَبْلَغُ فِي مَدْحِ ٱلْخَالِقِ مِنْ «مَلِكٍ»، وَ«مَلِكٌ» أَبْلَغُ فِي مَدْحِ ٱلْمَخْلُوقِينَ مِنْ «مَالِكٍ»،
Abu Ḥatim berkata: “Sesungguhnya *Mālik* lebih kuat dalam memuji Sang Pencipta, sedangkan *Malik* lebih kuat dalam memuji makhluk.
لِأَنَّ ٱلْمَالِكَ مِنَ ٱلْمَخْلُوقِينَ قَدْ يَكُونُ غَيْرَ مَلِكٍ، وَإِذَا كَانَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ مَالِكًا كَانَ مَلِكًا».
Karena pemilik dari kalangan makhluk bisa jadi bukan raja, sedangkan jika Allah Ta‘ala adalah Pemilik, maka Dia pasti Raja.”
وَٱخْتَارَ هٰذَا ٱلْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنُ ٱلْعَرَبِيِّ.
Pendapat ini dipilih oleh Qāḍi Abu Bakar Ibnul-‘Arabi.
وَٱلْحَقُّ أَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ ٱلْوَصْفَيْنِ نَوْعَ أَخَصِّيَّةٍ لَا يُوجَدُ فِي ٱلْآخَرِ؛
Kebenaran yang tepat adalah bahwa masing-masing dari dua sifat itu (*Malik* dan *Mālik*) memiliki kekhususan tertentu yang tidak terdapat pada yang lain;
فَٱلْمَالِكُ يَقْدِرُ عَلَىٰ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ ٱلْمَلِكُ مِنَ ٱلتَّصَرُّفَاتِ بِمَا هُوَ مَالِكٌ لَهُ بِٱلْبَيْعِ وَٱلْهِبَةِ وَٱلْعِتْقِ وَنَحْوِهَا،
seorang pemilik (*mālik*) mampu melakukan berbagai tindakan yang juga dilakukan oleh raja, yaitu tindakan terhadap apa yang ia miliki melalui jual beli, hibah, pembebasan budak, dan semisalnya.
وَٱلْمَلِكُ يَقْدِرُ عَلَىٰ مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ ٱلْمَالِكُ مِنَ ٱلتَّصَرُّفَاتِ ٱلْعَائِدَةِ إِلَىٰ تَدْبِيرِ ٱلْمُلْكِ وَحِيَاطَتِهِ وَرِعَايَةِ مَصَالِحِ ٱلرَّعِيَّةِ.
Sedangkan raja (*malik*) mampu melakukan apa yang tidak mampu dilakukan oleh pemilik, berupa kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan kerajaan, penjagaannya, dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat.
فَٱلْمَالِكُ أَقْوَىٰ مِنَ ٱلْمَلِكِ فِي بَعْضِ ٱلْأُمُورِ، وَٱلْمَلِكُ أَقْوَىٰ مِنَ ٱلْمَالِكِ فِي بَعْضِ ٱلْأُمُورِ.
Karena itu, pemilik lebih kuat dari raja dalam sebagian perkara, dan raja lebih kuat dari pemilik dalam sebagian perkara lainnya.
وَٱلْفَرْقُ بَيْنَ ٱلْوَصْفَيْنِ بِٱلنِّسْبَةِ إِلَى ٱلرَّبِّ سُبْحَانَهُ، أَنَّ «ٱلْمَلِكَ» صِفَةٌ لِذَاتِهِ، وَ«ٱلْمَالِكَ» صِفَةٌ لِفِعْلِهِ.
Perbedaan dua sifat ini jika disandarkan kepada Rabb Mahasuci, adalah: *Al-Malik* merupakan sifat Dzat-Nya, sedangkan *Al-Mālik* merupakan sifat perbuatan-Nya.
---
وَيَوْمِ ٱلدِّينِ: يَوْمُ ٱلْجَزَاءِ مِنَ ٱلرَّبِّ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ،
*Yaumid-Dīn* (hari pembalasan) adalah hari ketika Rabb Yang Mahasuci memberi balasan kepada hamba-hamba-Nya,
كَمَا قَالَ: وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ ٱلدِّينِ * ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ ٱلدِّينِ * يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَٱلْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ «3».
sebagaimana firman-Nya: *Wa mā adrāka mā yaumud-dīn, ṡumma mā adrāka mā yaumud-dīn, yauma lā tamliku nafsun linafsin syai’an wal-amru yauma’idhin lillāh* (3).
وَهٰذِهِ ٱلْإِضَافَةُ إِلَى ٱلظَّرْفِ عَلَىٰ طَرِيقِ ٱلِٱتِّسَاعِ،
Penyandaran (idāfah) kepada kata yang menunjukkan waktu di sini termasuk bentuk perluasan makna dalam bahasa Arab,
كَقَوْلِهِمْ: يَا سَارِقَ ٱللَّيْلَةِ أَهْلَ ٱلدَّارِ.
seperti ucapan orang Arab: “Wahai pencuri malam ini, (yang mencuri) penghuni rumah!”
وَيَوْمَ ٱلدِّينِ وَإِنْ كَانَ مُتَأَخِّرًا، فَقَدْ يُضَافُ ٱسْمُ ٱلْفَاعِلِ وَمَا فِي مَعْنَاهُ إِلَى ٱلْمُسْتَقْبَلِ،
Kalimat *Yaumid-Dīn* memang menunjuk waktu yang akan datang, dan termasuk dalam contoh disandarkannya isim fā‘il dan yang semakna dengannya kepada sesuatu yang akan datang,
كَقَوْلِكَ: هٰذَا ضَارِبٌ زَيْدًا غَدًا.
seperti ucapanmu: “Orang ini besok akan memukul Zaid” (ḍāribun Zaidan gadan).
---
وَقَدْ أَخْرَجَ ٱلتِّرْمِذِيُّ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ ٱلنَّبِيَّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ «مَلِكِ» بِغَيْرِ أَلِفٍ.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. membaca (ayat ini dengan lafaz) *Maliki* tanpa alif.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ ٱبْنُ ٱلْأَنْبَارِيِّ عَنْ أَنَسٍ.
Riwayat yang semisal juga dikeluarkan oleh Ibnu Al-Anbari dari Anas.
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَٱلتِّرْمِذِيُّ عَنْ أَنَسٍ أَيْضًا:
Ahmad dan At-Tirmidzi juga meriwayatkan dari Anas bahwa:
أَنَّ ٱلنَّبِيَّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوا يَقْرَءُونَ «مَالِكِ» بِٱلْأَلِفِ.
Nabi saw., Abu Bakar, Umar, dan Utsman membaca *Māliki* dengan alif.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنِ ٱبْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا.
Riwayat semacam ini juga dikeluarkan oleh Sa‘id bin Manṣur dari Ibnu ‘Umar secara marfū‘.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ أَيْضًا وَكِيعٌ فِي تَفْسِيرِهِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَأَبُو دَاوُدَ عَنِ ٱلزُّهْرِيِّ يَرْفَعُهُ مُرْسَلًا.
Riwayat seperti itu juga dikeluarkan oleh Waki‘ dalam tafsirnya, ‘Abd bin Ḥumayd, dan Abū Dāwud dari Az-Zuhri secara mursal.
وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ فِي تَفْسِيرِهِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَأَبُو دَاوُدَ عَنِ ٱبْنِ ٱلْمُسَيَّبِ مَرْفُوعًا مُرْسَلًا.
Demikian pula ‘Abdurrazzaq dalam tafsirnya, ‘Abd bin Ḥumayd dan Abu Dāwud meriwayatkannya dari Ibnu Al-Musayyab, secara marfū‘ namun mursal.
وَقَدْ رُوِيَ هَذَا مِنْ طُرُقٍ كَثِيرَةٍ، فَهُوَ أَرْجَحُ مِنَ ٱلْأَوَّلِ.
Riwayat ini datang dari banyak jalur, sehingga lebih kuat daripada riwayat yang pertama (tanpa alif).
وَأَخْرَجَ ٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ «مَالِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ».
Al-Hakim meriwayatkan dan mensahihkannya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. membaca: *Māliki yaumid-dīn*.
وَكَذَا رَوَاهُ ٱلطَّبَرَانِيُّ فِي «ٱلْكَبِيرِ» عَنِ ٱبْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوعًا.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ath-Ṭabarani dalam *Al-Mu‘jam Al-Kabīr* dari Ibnu Mas‘ūd secara marfū‘.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنِ ٱبْنِ مَسْعُودٍ وَنَاسٍ مِنَ ٱلصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ فَسَّرُوا «يَوْمَ ٱلدِّينِ» بِيَوْمِ ٱلْحِسَابِ.
Ibnu Jarir dan Al-Ḥakim (yang mensahihkannya) meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd dan beberapa sahabat bahwa mereka menafsirkan *Yaumid-Dīn* dengan hari hisab (hari perhitungan amal).
وَكَذَا رَوَاهُ ٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ:
‘Abdurrazzaq, ‘Abd bin Ḥumayd, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatādah, ia berkata:
«يَوْمِ ٱلدِّينِ: يَوْمَ يُدِينُ ٱللَّهُ ٱلْعِبَادَ بِأَعْمَالِهِمْ».
“*Yaumid-Dīn* adalah hari ketika Allah akan memberi balasan kepada hamba-hamba-Nya sesuai amal perbuatan mereka.”
---
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
قِرَاءَةُ ٱلسَّبْعَةِ وَغَيْرِهِمْ بِتَشْدِيدِ ٱلْيَاءِ،
Qirā’ah tujuh imam dan yang lainnya membaca *iyyāka* dengan tasydid pada huruf yā’.
وَقَرَأَ عَمْرُو بْنُ فَائِدٍ بِتَخْفِيفِهَا مَعَ ٱلْكَسْرِ،
‘Amr bin Fā’id membacanya dengan meringankan (tanpa tasydid) disertai kasrah.
وَقَرَأَ ٱلْفَضْلُ وَٱلرَّقَاشِيُّ بِفَتْحِ ٱلْهَمْزَةِ،
Al-Faḍl dan Ar-Raqasyi membacanya dengan fatḥah pada hamzah (*ayyāka*).
وَقَرَأَ أَبُو ٱلسَّوَّارِ ٱلْغَنَوِيُّ «هَيَّاكَ» فِي ٱلْمَوْضِعَيْنِ، وَهِيَ لُغَةٌ مَشْهُورَةٌ.
Abu As-Sawwār Al-Ghanawī membacanya dengan lafal *hayyāka* pada kedua tempat ini, dan itu merupakan satu dialek yang masyhur.
وَٱلضَّمِيرُ ٱلْمُنْفَصِلُ هُوَ «إِيَّا»،
Dhamir (kata ganti) munfaṣil (terpisah) di sini adalah *iyyā*,
وَمَا يَلْحَقُهُ مِنَ ٱلْكَافِ وَٱلْهَاءِ وَٱلْيَاءِ هِيَ حُرُوفٌ لِبَيَانِ ٱلْخِطَابِ وَٱلْغَيْبَةِ وَٱلتَّكَلُّمِ،
sedangkan huruf-huruf yang mengikutinya seperti kāf, hā’, dan yā’ adalah huruf-huruf untuk menjelaskan bentuk mukhāṭab (yang diajak bicara), ghaib, dan mutakallim (yang berbicara),
وَلَا مَحَلَّ لَهَا مِنَ ٱلْإِعْرَابِ كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ ٱلْجُمْهُورُ.
dan huruf-huruf itu tidak memiliki posisi i‘rāb sendiri, sebagaimana pendapat mayoritas ulama nahwu.
وَتَقْدِيمُهُ عَلَى ٱلْفِعْلِ لِقَصْدِ ٱلِٱخْتِصَاصِ، وَقِيلَ لِلِٱهْتِمَامِ،
Dhamir ini didahulukan dari fi‘l (iyyāka sebelum na‘budu) untuk menunjukkan kekhususan; ada juga yang berpendapat untuk menunjukkan perhatian (pentingnya objek tersebut).
وَٱلصَّوَابُ أَنَّهُ لَهُمَا، وَلَا تَزَاحُمَ بَيْنَ ٱلْمُقْتَضَيَاتِ.
Yang benar, keduanya sekaligus dimaksudkan; dan tidak ada pertentangan antara dua maksud ini.
وَٱلْمَعْنَىٰ: نَخُصُّكَ بِٱلْعِبَادَةِ وَنَخُصُّكَ بِٱلِٱسْتِعَانَةِ،
Maknanya: “Kami mengkhususkan Engkau dengan ibadah dan mengkhususkan Engkau dengan permohonan pertolongan.”
لَا نَعْبُدُ غَيْرَكَ وَلَا نَسْتَعِينُهُ.
“Kami tidak menyembah selain Engkau dan tidak memohon pertolongan kepada selain Engkau.”
وَٱلْعِبَادَةُ أَقْصَىٰ غَايَاتِ ٱلْخُضُوعِ وَٱلتَّذَلُّلِ.
Ibadah adalah puncak dan batas terjauh dari ketundukan dan kerendahan diri.
قَالَ ٱبْنُ كَثِيرٍ: وَفِي ٱلشَّرْعِ عِبَارَةٌ عَمَّا يَجْمَعُ كَمَالَ ٱلْمَحَبَّةِ وَٱلْخُضُوعِ وَٱلْخَوْفِ.
Ibnu Katsir berkata: “Secara syar‘i, ibadah adalah istilah bagi sesuatu yang mengumpulkan kesempurnaan cinta, ketundukan, dan rasa takut.”
وَعَدَلَ عَنِ ٱلْغَيْبَةِ إِلَى ٱلْخِطَابِ لِقَصْدِ ٱلِٱلْتِفَاتِ،
Ayat ini beralih dari gaya ghaib (Dia) kepada gaya khithāb (Engkau) sebagai bentuk iltifāt (perpindahan gaya bahasa),
لِأَنَّ ٱلْكَلَامَ إِذَا نُقِلَ مِنْ أُسْلُوبٍ إِلَىٰ آخَرَ كَانَ أَحْسَنَ تَطْرِيَةً لِنَشَاطِ ٱلسَّامِعِ، وَأَكْثَرَ إِيقَاظًا لَهُ، كَمَا تَقَرَّرَ فِي عِلْمِ ٱلْمَعَانِي.
karena suatu ucapan bila dipindahkan dari satu gaya ke gaya yang lain maka akan lebih menyegarkan bagi semangat pendengar dan lebih menggerakkan perhatiannya, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu balaghah (ilmu ma‘ani).
وَٱلْمَجِيءُ بِٱلنُّونِ فِي ٱلْفِعْلَيْنِ لِقَصْدِ ٱلْإِخْبَارِ مِنَ ٱلدَّاعِي عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ جِنْسِهِ مِنَ ٱلْعِبَادِ،
Penggunaan nūn (نَعبُدُ، نَستعينُ) dimaksudkan untuk mengabarkan dari pihak yang berdoa tentang dirinya dan tentang golongannya dari kaum hamba.
وَقِيلَ: إِنَّ ٱلْمَقَامَ لَمَّا كَانَ عَظِيمًا لَمْ يَسْتَقِلَّ بِهِ ٱلْوَاحِدُ ٱسْتِقْصَارًا لِنَفْسِهِ وَٱسْتِصْغَارًا لَهَا،
Dikatakan pula: “Karena kedudukan (ucapan) ini sangat agung, satu orang merasa tidak pantas memikulnya sendirian, sebagai bentuk merendahkan dan menganggap kecil dirinya,
فَٱلْمَجِيءُ بِٱلنُّونِ لِقَصْدِ ٱلتَّوَاضُعِ لَا لِتَعْظِيمِ ٱلنَّفْسِ».
maka penggunaan nūn ini dimaksudkan untuk menunjukkan ketawadhuan, bukan untuk mengagungkan diri.”
وَقُدِّمَتِ ٱلْعِبَادَةُ عَلَى ٱلِٱسْتِعَانَةِ لِكَوْنِ ٱلْأُولَىٰ وَسِيلَةً إِلَى ٱلثَّانِيَةِ،
Ibadah didahulukan atas permohonan pertolongan karena ibadah adalah sarana untuk meraih pertolongan tersebut,
وَتَقْدِيمُ ٱلْوَسَائِلِ سَبَبٌ لِتَحْصِيلِ ٱلْمَطَالِبِ،
dan mendahulukan sarana adalah faktor untuk memperoleh tujuan.
وَإِطْلَاقُ ٱلِٱسْتِعَانَةِ لِقَصْدِ ٱلتَّعْمِيمِ.
Penyebutan isti‘ānah (pertolongan) secara mutlak di sini dimaksudkan agar mencakup segala bentuk pertolongan.
---
وَقَدْ أَخْرَجَ ٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ:
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: *Iyyāka na‘budu*:
يَعْنِي: إِيَّاكَ نُوَحِّدُ وَنَخَافُ يَا رَبَّنَا لَا غَيْرَكَ،
yaitu: “Hanya Engkau kami tauhidkan dan hanya Engkau kami takutkan, wahai Rabb kami, bukan selain-Mu.”
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ عَلَىٰ طَاعَتِكَ وَعَلَىٰ أُمُورِنَا كُلِّهَا.
“Dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan dalam menaati-Mu dan dalam semua urusan kami.”
وَحَكَىٰ ٱبْنُ كَثِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّهُ قَالَ فِي: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ:
Ibnu Katsir menukil dari Qatādah bahwa ia berkata tentang *Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn*:
«يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُخْلِصُوا لَهُ ٱلْعِبَادَةَ، وَأَنْ تَسْتَعِينُوهُ عَلَىٰ أَمْرِكُمْ».
“Dia memerintahkan kalian agar memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan agar kalian memohon pertolongan kepada-Nya dalam urusan kalian.”
---
وَفِي «صَحِيحِ مُسْلِمٍ» مِنْ حَدِيثِ ٱلْمُعَلَّىٰ بْنِ عَبْدِ ٱلرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Dan dalam *Ṣaḥīḥ Muslim* dari hadis Al-Mu‘allā bin ‘Abdirraḥmān, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw.:
«يَقُولُ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ: قَسَمْتُ ٱلصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ،
Allah Ta‘ala berfirman: “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian: setengahnya untuk-Ku dan setengahnya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
إِذَا قَالَ ٱلْعَبْدُ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ، قَالَ: حَمِدَنِي عَبْدِي،
Apabila hamba itu berkata: *Al-ḥamdu lillāhi Rabbil-‘ālamīn*, Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku.’
وَإِذَا قَالَ: ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ، قَالَ: أَثْنَىٰ عَلَيَّ عَبْدِي،
Apabila ia berkata: *Ar-Raḥmānir-Raḥīm*, Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.’
فَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي،
Apabila ia berkata: *Māliki yaumid-dīn*, Allah berfirman: ‘Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku.’
فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، قَالَ: هٰذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ،
Apabila ia berkata: *Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn*, Allah berfirman: ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.’
فَإِذَا قَالَ: ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّالِّينَ، قَالَ: هٰذَا لِعَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ».
Apabila ia berkata: *Ihdināṣ-ṣirāṭal-mustaqīm, ṣirāṭallażīna an‘amta ‘alayhim, ghayril-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn*, Allah berfirman: ‘Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.’”
---
وَأَخْرَجَ أَبُو ٱلْقَاسِمِ ٱلْبَغَوِيُّ وَٱلْمَاوَرْدِيُّ مَعًا فِي «مَعْرِفَةِ ٱلصَّحَابَةِ»، وَٱلطَّبَرَانِيُّ فِي «ٱلْأَوْسَطِ»، وَأَبُو نُعَيْمٍ فِي «ٱلدَّلَائِلِ» عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي طَلْحَةَ قَالَ:
Abu Al-Qasim Al-Baghawi dan Al-Māwardi bersama-sama dalam *Ma‘rifat aṣ-Ṣahābah*, Ath-Ṭabarani dalam *Al-Awsaṭ*, dan Abu Nu‘aim dalam *Ad-Dalā’il*, meriwayatkan dari Anas bin Mālik, dari Abu Ṭalḥah, ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ، فَلَقِيَ ٱلْعَدُوَّ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ:
“Kami pernah bersama Rasulullah saw. dalam suatu peperangan; ketika beliau berhadapan dengan musuh, aku mendengar beliau mengucapkan:
«يَا مَالِكَ يَوْمِ ٱلدِّينِ، إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ».
‘Wahai Penguasa hari pembalasan, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.’”
قَالَ: فَلَقَدْ رَأَيْتُ ٱلرِّجَالَ تُصْرَعُ، فَتَضْرِبُهَا ٱلْمَلَائِكَةُ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهَا وَمِنْ خَلْفِهَا.
Ia berkata, “Maka sungguh aku melihat orang-orang (musuh) itu berjatuhan, para malaikat memukul mereka dari depan dan dari belakang.”
---
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
قَرَأَهُ ٱلْجُمْهُورُ بِٱلصَّادِ، وَقُرِئَ «ٱلسِّرَاطَ» بِٱلسِّينِ، وَ«ٱلزِّرَاطَ» بِٱلزَّايِ.
Mayoritas qari membacanya dengan ṣād (*ṣ-ṣirāṭ*); dan ada bacaan *s-sirāṭ* dengan sīn, serta *z-zirāṭ* dengan zāy.
وَٱلْهِدَايَةُ قَدْ يَتَعَدَّىٰ فِعْلُهَا بِنَفْسِهِ كَمَا هُنَا، وَكَقَوْلِهِ: وَهَدَيْنَاهُ ٱلنَّجْدَيْنِ «1»،
Kata *hidāyah* (membimbing) kadang fi‘ilnya bertransitif tanpa perantara, seperti di sini, dan seperti firman-Nya: *Wa hadaynāhun-najdayn* (1),
وَقَدْ يَتَعَدَّىٰ بِـ «إِلَىٰ» كَقَوْلِهِ: ٱجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ «2»، فَٱهْدُوهُمْ إِلَىٰ صِرَاطِ ٱلْجَحِيمِ «3»، وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ «4»،
dan kadang bertransitif dengan huruf *ilā*, seperti firman-Nya: *Ijtabāhu wa hadāhu ilā ṣirāṭin mustaqīm* (2), *Fahdūhum ilā ṣirāṭil-jaḥīm* (3), *Wa innaka latahdī ilā ṣirāṭin mustaqīm* (4),
وَقَدْ يَتَعَدَّىٰ بِـ «ٱللَّامِ» كَقَوْلِهِ: ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي هَدَانَا لِهٰذَا «5»، إِنَّ هٰذَا ٱلْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ «6».
dan kadang dengan huruf lām, seperti firman-Nya: *Al-ḥamdu lillāhi allażī hadānā lihāżā* (5), dan: *Inna hāżal-Qur’āna yahdī lillatī hiya aqwam* (6).
قَالَ ٱلزَّمَخْشَرِيُّ: أَصْلُهُ أَنْ يَتَعَدَّىٰ بِٱللَّامِ أَوْ بِـ «إِلَىٰ».
Az-Zamakhsyarī berkata: “Asalnya (fi‘l hadā) bertransitif dengan lām atau dengan ilā.”
ٱنْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
وَهِيَ ٱلْإِرْشَادُ أَوِ ٱلتَّوْفِيقُ أَوِ ٱلْإِلْهَامُ أَوِ ٱلدَّلَالَةُ.
Makna hidāyah sendiri adalah: petunjuk, atau taufik, atau ilham, atau penunjukan (menunjukkan jalan).
وَفَرَّقَ كَثِيرٌ مِنَ ٱلْمُتَأَخِّرِينَ بَيْنَ مَعْنَى ٱلْمُتَعَدِّي بِنَفْسِهِ وَغَيْرِ ٱلْمُتَعَدِّي، فَقَالُوا: مَعْنَى ٱلْأَوَّلِ ٱلدَّلَالَةُ، وَٱلثَّانِي ٱلْإِيصَالُ.
Banyak ulama muta’akhkhirīn membedakan antara hidāyah yang bertransitif sendiri dan yang dengan perantara: mereka berkata, makna yang pertama adalah penunjukan (sekadar menunjukkan), sedangkan yang kedua adalah menyampaikan (membuat sampai pada tujuan).
وَطَلَبُ ٱلْهِدَايَةِ مِنَ ٱلْمُهْتَدِي مَعْنَاهُ طَلَبُ ٱلزِّيَادَةِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَىٰ: وَٱلَّذِينَ ٱهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى «1» وَٱلَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا «2».
Meminta hidayah dari orang yang sudah mendapat hidayah maknanya adalah meminta tambahan hidayah, sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: *Wallażīna ihtadaw zādahum hudan* (1), dan: *Wallażīna jāhadū fīnā lanahdiyannahum subulanā* (2).
---
وَٱلصِّرَاطُ:
Adapun *ṣ-ṣirāṭ* (jalan):
قَالَ ٱبْنُ جَرِيرٍ: أَجْمَعَتِ ٱلْأُمَّةُ مِنْ أَهْلِ ٱلتَّأْوِيلِ جَمِيعًا عَلَىٰ أَنَّ ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ: هُوَ ٱلطَّرِيقُ ٱلْوَاضِحُ ٱلَّذِي لَا ٱعْوِجَاجَ فِيهِ،
Ibnu Jarir berkata: “Seluruh ulama tafsir bersepakat bahwa *ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm* adalah jalan yang jelas dan tidak ada kebengkokan di dalamnya,
وَهُوَ كَذٰلِكَ فِي لُغَةِ جَمِيعِ ٱلْعَرَبِ».
dan begitu pula maknanya dalam bahasa seluruh orang Arab.”
قَالَ: ثُمَّ تَسْتَعِيرُ ٱلْعَرَبُ ٱلصِّرَاطَ، فَتَسْتَعْمِلُهُ فَتَصِفُ ٱلْمُسْتَقِيمَ بِٱسْتِقَامَتِهِ وَٱلْمُعْوَجَّ بِٱعْوِجَاجِهِ.
Ia berkata: “Kemudian orang Arab meminjam istilah ṣirāṭ, lalu menggunakannya untuk menyifati jalan yang lurus dengan kelurusannya dan jalan yang bengkok dengan kebengkokannya.”
---
وَقَدْ أَخْرَجَ ٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَتَعَقَّبَهُ ٱلذَّهَبِيُّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:
Al-Ḥakim meriwayatkan dan mensahihkannya, namun Adz-Dzahabi mengkritiknya, dari Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ بِٱلصَّادِ.
bahwa Rasulullah saw. membaca: *Ihdinā ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm* dengan huruf ṣād.
---
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱلْبُخَارِيُّ فِي «تَارِيخِهِ»، عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَرَأَ «ٱلسِّرَاطَ» بِٱلسِّينِ.
Sa‘id bin Manṣur, ‘Abd bin Ḥumayd, dan Al-Bukhārī dalam *At-Tārīkh*-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia membaca *as-sirāṭ* dengan sīn.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ ٱلْأَنْبَارِيِّ عَنِ ٱبْنِ كَثِيرٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ «ٱلسِّرَاطَ» بِٱلسِّينِ.
Ibnu Al-Anbari meriwayatkan dari Ibnu Katsir bahwa ia pernah membaca *as-sirāṭ* dengan sīn.
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنْ حَمْزَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ «ٱلزِّرَاطَ» بِٱلزَّايِ.
Ia juga meriwayatkan dari Hamzah bahwa ia membaca *az-zirāṭ* dengan zāy.
قَالَ ٱلْفَرَّاءُ: وَهِيَ لُغَةٌ لِعُذْرَةَ وَكَلْبٍ وَبَنِي ٱلْقَيْنِ.
Al-Farrā’ berkata: “Itu adalah dialek (bahasa) kabilah ‘Użrah, Kalb, dan Bani Al-Qayn.”
---
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ:
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata:
«ٱهْدِنَا ٱلصِّرَاطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ» يَقُولُ: أَلْهِمْنَا دِينَكَ ٱلْحَقَّ.
“Makna *Ihdinā ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm* adalah: ‘Ilhamkanlah kepada kami agama-Mu yang benar.’”
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ، وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ نَحْوَهُ.
Riwayat semakna juga dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Al-Mundzir darinya.
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ ٱللَّهِ أَنَّهُ قَالَ:
Waki‘, ‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Al-Ḥakim (yang mensahihkannya) meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata:
«هُوَ دِينُ ٱلْإِسْلَامِ، وَهُوَ أَوْسَعُ مِمَّا بَيْنَ ٱلسَّمَاءِ وَٱلْأَرْضِ».
“Ia adalah agama Islam, dan agama itu lebih luas daripada apa yang ada antara langit dan bumi.”
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ ٱبْنُ جَرِيرٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ.
Riwayat serupa juga dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ أَيْضًا عَنِ ٱبْنِ مَسْعُودٍ وَنَاسٍ مِنَ ٱلصَّحَابَةِ.
Dan juga dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Mas‘ud dan sekelompok sahabat dengan makna serupa.
---
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَٱلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَٱلنَّسَائِيُّ وَابْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَأَبُو ٱلشَّيْخِ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَٱبْنُ مَرْدَوَيْهِ وَٱلْبَيْهَقِيُّ فِي «شُعَبِ ٱلْإِيمَانِ»، عَنِ ٱلنَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ، عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
Ahmad, At-Tirmidzi (dan ia menghasankannya), An-Nasā’i, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Abū Asy-Syaikh, Al-Ḥakim (yang mensahihkannya), Ibnu Mardawaih, dan Al-Baihaqi dalam *Syu‘ab al-Īmān* meriwayatkan dari An-Nawwās bin Sam‘ān, dari Rasulullah saw., beliau bersabda:
«ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا، وَعَلَىٰ جَنْبَتَيِ ٱلصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُّفَتَّحَةٌ، وَعَلَى ٱلْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُّرْخَاةٌ،
“Allah membuat perumpamaan jalan yang lurus; di kedua sisi jalan itu terdapat dua dinding (tembok), pada masing-masingnya terdapat pintu-pintu yang terbuka, dan di atas pintu-pintu itu ada tirai-tirai yang diturunkan.
وَعَلَىٰ بَابِ ٱلصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱدْخُلُوا ٱلصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تَتَفَرَّقُوا،
Di pintu jalan itu ada seorang penyeru yang berkata: ‘Wahai manusia, masuklah kalian semuanya ke jalan itu, dan jangan bercerai-berai.’
وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ فَوْقِ ٱلصِّرَاطِ،
Dan ada pula penyeru lain yang menyeru dari atas jalan tersebut.
فَإِذَا أَرَادَ ٱلْإِنْسَانُ أَنْ يَفْتَحَ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ ٱلْأَبْوَابِ قَالَ: وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ، فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ».
Apabila seseorang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu, penyeru tadi berkata: ‘Celaka engkau, jangan engkau buka, sebab jika engkau membukanya niscaya engkau akan memasukinya.’”
فَٱلصِّرَاطُ: ٱلْإِسْلَامُ، وَٱلسُّورَانِ: حُدُودُ ٱللَّهِ، وَٱلْأَبْوَابُ ٱلْمُّفَتَّحَةُ: مَحَارِمُ ٱللَّهِ،
“Jalan itu adalah Islam; kedua dinding itu adalah batas-batas (hudud) Allah; pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan Allah;
وَذٰلِكَ ٱلدَّاعِي عَلَىٰ رَأْسِ ٱلصِّرَاطِ: كِتَابُ ٱللَّهِ، وَٱلدَّاعِي مِنْ فَوْقٍ: وَاعِظُ ٱللَّهِ تَعَالَىٰ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ».
dan penyeru yang berada di ujung jalan itu adalah Kitab Allah, sedangkan penyeru dari atas itu adalah nasihat Allah Ta‘ala dalam hati setiap muslim.”
قَالَ ٱبْنُ كَثِيرٍ بَعْدَ إِخْرَاجِهِ: وَهُوَ إِسْنَادٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Ibnu Katsir berkata setelah mengeluarkan hadis ini: “Hadis ini memiliki sanad hasan lagi sahih.”
---
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَأَبُو بَكْرٍ ٱلْأَنْبَارِيُّ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَٱلْبَيْهَقِيُّ فِي «شُعَبِ ٱلْإِيمَانِ» عَنِ ٱبْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ:
Waki‘, ‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Al-Mundzir, Abu Bakr Al-Anbari, Al-Ḥakim (yang mensahihkannya), dan Al-Baihaqi dalam *Syu‘ab al-Īmān* meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud bahwa ia berkata:
«هُوَ كِتَابُ ٱللَّهِ».
“(Ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm) itu adalah Kitab Allah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَٱبْنُ عَدِيٍّ وَٱبْنُ عَسَاكِرَ عَنْ أَبِي ٱلْعَالِيَةِ قَالَ:
‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu ‘Adiy, dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abu Al-‘Āliyah, ia berkata:
«هُوَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ مِنْ بَعْدِهِ».
“(Ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm) adalah Rasulullah saw. dan dua sahabat beliau setelahnya (Abu Bakar dan Umar).”
وَأَخْرَجَ ٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنْ أَبِي ٱلْعَالِيَةِ، عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ مِثْلَهُ.
Al-Ḥakim meriwayatkan dan mensahihkannya dari Abu Al-‘Āliyah, dari Ibnu ‘Abbas dengan makna yang serupa.
وَرَوَىٰ ٱلْقُرْطُبِيُّ عَنِ ٱلْفُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ أَنَّهُ قَالَ: ٱلصِّرَاطُ ٱلْمُسْتَقِيمُ طَرِيقُ ٱلْحَجِّ.
Al-Qurṭubi menukil dari Al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ bahwa ia berkata: “Ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm adalah jalan menuju haji.”
قَالَ: وَهٰذَا خَاصٌّ، وَٱلْعُمُومُ أَوْلَىٰ.
Ia (Al-Qurṭubi) berkata: “Ini penafsiran yang khusus, sedangkan makna umum lebih utama (untuk dipegang).”
ٱنْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
وَجَمِيعُ مَا رُوِيَ فِي تَفْسِيرِ هٰذِهِ ٱلْآيَةِ مَا عَدَا هٰذَا ٱلْمَرْوِيَّ عَنِ ٱلْفُضَيْلِ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا،
Semua riwayat yang disebutkan tentang tafsir ayat ini, selain riwayat dari Al-Fuḍail, saling menguatkan satu sama lain,
فَإِنَّ مَنِ ٱتَّبَعَ ٱلْإِسْلَامَ أَوِ ٱلْقُرْآنَ أَوِ ٱلنَّبِيَّ، قَدِ ٱتَّبَعَ ٱلْحَقَّ.
karena siapa saja yang mengikuti Islam, atau Al-Qur’an, atau Nabi, berarti ia telah mengikuti kebenaran.
وَقَدْ ذَكَرَ ٱبْنُ جَرِيرٍ نَحْوَ هٰذَا، فَقَالَ:
Ibnu Jarir menyebutkan hal yang serupa, ia berkata:
وَٱلَّذِي هُوَ أَوْلَىٰ بِتَأْوِيلِ هٰذِهِ ٱلْآيَةِ عِنْدِي أَنْ يَكُونَ مَعْنِيًّا بِهِ:
“Penafsiran yang lebih utama menurutku tentang ayat ini adalah:
«وَفِّقْنَا لِلثَّبَاتِ عَلَىٰ مَا ٱرْتَضَيْتَهُ، وَوَفَّقْتَ لَهُ مَنْ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِ مِنْ عِبَادِكَ مِنْ قَوْلٍ وَعَمَلٍ، وَذٰلِكَ هُوَ ٱلصِّرَاطُ ٱلْمُسْتَقِيمُ»،
‘(Yaitu) berilah kami taufik untuk tetap teguh di atas apa yang Engkau ridhai, dan apa yang Engkau berikan taufik kepadanya kepada orang-orang yang Engkau beri nikmat dari hamba-hamba-Mu, berupa ucapan dan perbuatan; dan itulah ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm.’
لِأَنَّ مَنْ وُفِّقَ إِلَيْهِ مِمَّنْ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ مِنَ ٱلنَّبِيِّينَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَاءِ وَٱلصَّالِحِينَ، فَقَدْ وُفِّقَ لِلْإِسْلَامِ وَتَصْدِيقِ ٱلرُّسُلِ، وَٱلتَّمَسُّكِ بِٱلْكِتَابِ، وَٱلْعَمَلِ بِمَا أَمَرَهُ ٱللَّهُ بِهِ، وَٱلِٱنْزِجَارِ عَمَّا زَجَرَهُ عَنْهُ،
Karena barang siapa diberi taufik kepada hal itu, dari kalangan orang yang Allah beri nikmat berupa para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada dan orang-orang shalih, maka ia telah diberi taufik kepada Islam, membenarkan para rasul, berpegang teguh dengan Kitab (Al-Qur’an), mengamalkan apa yang Allah perintahkan, dan meninggalkan apa yang Allah larang,
وَٱتِّبَاعِ مَنْهَاجِ ٱلنَّبِيِّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْهَاجِ ٱلْخُلَفَاءِ ٱلْأَرْبَعَةِ، وَكُلِّ عَبْدٍ صَالِحٍ، وَكُلُّ ذٰلِكَ مِنَ ٱلصِّرَاطِ ٱلْمُسْتَقِيمِ.
serta mengikuti manhaj (jalan) Nabi saw., manhaj empat khalifah dan setiap hamba yang shalih; dan semua itu termasuk ṣ-ṣirāṭal-mustaqīm.”
ٱنْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
---
صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّالِّينَ
“(Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) orang-orang yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat.”
ٱنْتَصَبَ «صِرَاطَ» عَلَىٰ أَنَّهُ بَدَلٌ مِنَ ٱلْأَوَّلِ،
Kata *ṣirāṭa* di sini berstatus manshub sebagai badal (pengganti) dari *aṣ-ṣirāṭ* yang pertama,
وَفَائِدَتُهُ ٱلتَّوْكِيدُ لِمَا فِيهِ مِنَ ٱلتَّثْنِيَةِ وَٱلتَّكْرِيرِ،
dengan faedah penguatan, karena adanya pengulangan dan penegasan.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَطْفَ بَيَانٍ، وَفَائِدَتُهُ ٱلْإِيضَاحُ.
Dan boleh juga dianggap sebagai ‘aṭf bayān (penjelas), dengan faedah memberikan kejelasan tambahan.
وَٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ هُمُ ٱلْمَذْكُورُونَ فِي سُورَةِ ٱلنِّسَاءِ، حَيْثُ قَالَ:
Orang-orang yang Allah beri nikmat kepada mereka adalah yang disebutkan dalam Surah An-Nisā’, ketika Allah berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُولٰئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ ٱلنَّبِيِّينَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَاءِ وَٱلصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولٰئِكَ رَفِيقًا * ذٰلِكَ ٱلْفَضْلُ مِنَ ٱللَّهِ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ عَلِيمًا «1».
*Wa man yuṭi‘i Allāha war-rasūla fa’ulā’ika ma‘allażīna an‘ama Allāhu ‘alayhim minan-nabiyyīna waṣ-ṣiddīqīna wasy-syuhadā’i waṣ-ṣāliḥīn, wa ḥasuna ulā’ika rafīqā, żālika al-faḍlu minallāh, wa kafā billāhi ‘alīmā* (1).
وَأُطْلِقَ ٱلْإِنْعَامُ لِيَشْمَلَ كُلَّ إِنْعَامٍ.
Istilah *an‘amta* di sini dibiarkan umum agar mencakup seluruh bentuk pemberian nikmat.
---
وَ«غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ» بَدَلٌ مِنَ «ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ»، عَلَىٰ مَعْنَىٰ:
Frasa *ghayril-maghḍūbi ‘alayhim* adalah badal dari *allażīna an‘amta ‘alayhim*, dengan makna:
أَنَّ ٱلْمُنْعَمَ عَلَيْهِمْ هُمُ ٱلَّذِينَ سَلِمُوا مِنْ غَضَبِ ٱللَّهِ وَٱلضَّلَالِ،
bahwa orang-orang yang diberi nikmat itu adalah mereka yang selamat dari kemurkaan Allah dan dari kesesatan,
أَوْ صِفَةٌ لَهُ عَلَىٰ مَعْنَىٰ: أَنَّهُمْ جَمَعُوا بَيْنَ ٱلنِّعْمَتَيْنِ، نِعْمَةِ ٱلْإِيمَانِ وَٱلسَّلَامَةِ مِنْ ذٰلِكَ.
atau sebagai sifat bagi mereka, dalam arti bahwa mereka mengumpulkan dua nikmat: nikmat iman dan selamat dari kemurkaan dan kesesatan itu.
وَصَحَّ جَعْلُهُ صِفَةً لِلْمَعْرِفَةِ مَعَ كَوْنِ «غَيْرِ» لَا تَتَعَرَّفُ بِٱلْإِضَافَةِ إِلَى ٱلْمَعَارِفِ لِمَا فِيهَا مِنَ ٱلْإِبْهَامِ،
Menjadikan *ghayr* sebagai sifat bagi isim ma‘rifah (allażīna an‘amta ‘alayhim) adalah sah, meskipun *ghayr* secara asal tidak menjadi ma‘rifah hanya dengan idāfah kepada isim ma‘rifah, karena di dalam *ghayr* ada unsur ketidakjelasan,
لِأَنَّهَا هُنَا غَيْرُ مُبْهَمَةٍ لِٱشْتِهَارِ ٱلْمُغَايَرَةِ بَيْنَ ٱلْجِنْسَيْنِ.
akan tetapi di sini ia tidak samar, karena sudah jelas dan masyhur perbedaan antara dua golongan itu (yang diberi nikmat dan yang dimurkai).
---
وَٱلْغَضَبُ فِي ٱللُّغَةِ– قَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ–: ٱلشِّدَّةُ،
Tentang makna *al-ghaḍab* (kemurkaan) dalam bahasa, Al-Qurṭubi berkata: “(Maknanya) adalah kekerasan (sikap keras).”
وَرَجُلٌ غَضُوبٌ: أَيْ شَدِيدُ ٱلْخُلُقِ،
“Seorang laki-laki yang *ghaḍūb* artinya berakhlak keras.”
وَٱلْغَضُوبُ: ٱلْحَيَّةُ ٱلْخَبِيثَةُ لِشِدَّتِهَا.
“Dan *al-ghaḍūb* juga dipakai untuk menyebut ular yang sangat jahat karena kerasnya (ganasnya).”
قَالَ: وَمَعْنَى ٱلْغَضَبِ فِي صِفَةِ ٱللَّهِ: إِرَادَةُ ٱلْعُقُوبَةِ، فَهُوَ صِفَةُ ذَاتِهِ،
Ia berkata: “Adapun makna *ghaḍab* jika disandarkan kepada Allah adalah kehendak untuk menghukum (memberi sanksi), dan ini adalah sifat dzat-Nya,
أَوْ نَفْسُ ٱلْعُقُوبَةِ، وَمِنْهُ ٱلْحَدِيثُ: «إِنَّ ٱلصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ ٱلرَّبِّ»، فَهُوَ صِفَةُ فِعْلِهِ».
atau (maknanya) adalah sendiri hukuman itu, sebagaimana dalam hadis: ‘Sesungguhnya sedekah memadamkan kemurkaan Rabb,’ maka ini adalah sifat perbuatan-Nya.”
قَالَ فِي «ٱلْكَشَّافِ»: هُوَ إِرَادَةُ ٱلِٱنْتِقَامِ مِنَ ٱلْعُصَاةِ وَإِنْزَالُ ٱلْعُقُوبَةِ بِهِمْ، وَأَنْ يَفْعَلَ بِهِمْ مَا يَفْعَلُهُ ٱلْمَلِكُ إِذَا غَضِبَ عَلَىٰ مَنْ تَحْتَ يَدِهِ.
Dalam *Al-Kasysyāf* disebutkan: “Ghaḍab (kemurkaan Allah) adalah kehendak untuk membalas (menghukum) orang-orang durhaka dan menjatuhkan hukuman kepada mereka, serta melakukan terhadap mereka apa yang biasa dilakukan raja ketika murka kepada orang yang di bawah kekuasaannya.”
---
وَٱلْفَرْقُ بَيْنَ «عَلَيْهِمُ» ٱلْأُولَىٰ وَ«عَلَيْهِمُ» ٱلثَّانِيَةِ:
Perbedaan antara *‘alayhim* yang pertama dan yang kedua adalah:
أَنَّ ٱلْأُولَىٰ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى ٱلْمَفْعُولِيَّةِ، وَٱلثَّانِيَةَ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ عَلَى ٱلنِّيَابَةِ عَنِ ٱلْفَاعِلِ.
Yang pertama (dalam *al-maghḍūbi ‘alayhim*) berkedudukan sebagai maf‘ūl bih, sedangkan yang kedua (dalam *aḍ-ḍāllīn*) berkedudukan sebagai pengganti fā‘il (na’ibul-fā‘il).
وَ«لَا» فِي قَوْلِهِ: «وَلَا ٱلضَّالِّينَ» تَأْكِيدٌ لِلنَّفْيِ ٱلْمَفْهُومِ مِنْ «غَيْرِ».
Huruf *lā* pada firman-Nya *wa laḍ-ḍāllīn* adalah penegas bagi penafian yang sudah dipahami dari kata *ghayr* sebelumnya.
وَٱلضَّلَالُ فِي لِسَانِ ٱلْعَرَبِ– قَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ–: هُوَ ٱلذَّهَابُ عَنْ سَنَنِ ٱلْقَصْدِ وَطَرِيقِ ٱلْحَقِّ.
Tentang makna *aḍ-ḍalāl*, Al-Qurṭubi berkata: “Ia adalah keluar dari jalan yang lurus dan dari jalan kebenaran,”
وَمِنْهُ: «ضَلَّ ٱللَّبَنُ فِي ٱلْمَاءِ» أَيْ غَابَ،
di antaranya ucapan Arab: “Ḍalla al-labanu fil-mā’” (susu itu hilang dalam air), maksudnya: lenyap, tidak tampak lagi.
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي ٱلْأَرْضِ «2» أَيْ غِبْنَا بِٱلْمَوْتِ وَصِرْنَا تُرَابًا.
Dan di antaranya firman-Nya Ta‘ala: *A’idzā ḍalalnā fil-arḍ* (2), maknanya: “Apakah ketika kami telah lenyap di bumi (karena mati) dan menjadi tanah?”
---
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ وَأَبُو عُبَيْدٍ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ عَنْ عُمَرَ بْنِ ٱلْخَطَّابِ:
Waki‘, Abu ‘Ubaid, Sa‘id bin Manṣur, ‘Abd bin Ḥumayd, dan Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Umar bin Al-Khaṭṭāb:
أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ: «صِرَاطَ مَنْ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّالِّينَ».
bahwa ia membaca: *ṣirāṭa man an‘amta ‘alayhim ghayril-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn*.
وَأَخْرَجَ أَبُو عُبَيْدٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَنَّ عَبْدَ ٱللَّهِ بْنَ ٱلزُّبَيْرِ قَرَأَ كَذٰلِكَ.
Abu ‘Ubaid dan ‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Az-Zubair juga membaca seperti itu.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ ٱلْأَنْبَارِيِّ عَنِ ٱلْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ: «عَلَيْهِمِي» بِكَسْرِ ٱلْهَاءِ وَٱلْمِيمِ وَإِثْبَاتِ ٱلْيَاءِ.
Ibnu Al-Anbari meriwayatkan dari Al-Ḥasan bahwa ia membaca *‘alayhimī* dengan kasrah pada hā’ dan mīm serta menetapkan huruf yā’.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ ٱلْأَنْبَارِيِّ عَنِ ٱلْأَعْرَجِ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ: «عَلَيْهُمُو» بِضَمِّ ٱلْهَاءِ وَٱلْمِيمِ وَإِلْحَاقِ ٱلْوَاوِ.
Ibnu Al-Anbari juga meriwayatkan dari Al-A‘raj bahwa ia membaca *‘alayhumo* dengan ḍammah pada hā’ dan mīm serta menambahkan wawu.
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنِ ٱبْنِ كَثِيرٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ: «عَلَيْهُمُو» بِكَسْرِ ٱلْهَاءِ وَضَمِّ ٱلْمِيمِ مَعَ إِلْحَاقِ ٱلْوَاوِ.
Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Katsir bahwa ia membaca *‘alayhumo* dengan kasrah pada hā’ dan ḍammah pada mīm disertai tambahan wawu.
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ أَنَّهُ قَرَأَ: «عَلَيْهِمْ» بِضَمِّ ٱلْهَاءِ وَٱلْمِيمِ مِنْ غَيْرِ إِلْحَاقِ وَاوٍ.
Ia juga meriwayatkan dari Abu Ishaq bahwa ia membaca *‘alayhum* dengan ḍammah pada hā’ dan mīm tanpa tambahan wawu.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ أَبِي دَاوُدَ عَنْ عِكْرِمَةَ وَٱلْأَسْوَدِ أَنَّهُمَا كَانَا يَقْرَآنِ كَقِرَاءَةِ عُمَرَ ٱلسَّابِقَةِ.
Ibnu Abi Dāwud meriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Al-Aswad bahwa keduanya membaca seperti bacaan Umar yang telah disebutkan.
---
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ،
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: *ṣirāṭallażīna an‘amta ‘alayhim*:
يَقُولُ: طَرِيقُ مَنْ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ ٱلْمَلَائِكَةِ وَٱلنَّبِيِّينَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَاءِ وَٱلصَّالِحِينَ ٱلَّذِينَ أَطَاعُوكَ وَعَبَدُوكَ.
yakni: “(Yaitu) jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, dari kalangan malaikat, para nabi, orang-orang yang sangat jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih yang telah menaati-Mu dan menyembah-Mu.”
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ جَرِيرٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمْ ٱلْمُؤْمِنُونَ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa mereka adalah orang-orang mukmin.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ ٱلرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ فِي قَوْلِهِ: صِرَاطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ، قَالَ: ٱلنَّبِيُّونَ.
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Ar-Rabī‘ bin Anas, tentang firman-Nya: *ṣirāṭallażīna an‘amta ‘alayhim*, ia berkata: “Mereka adalah para nabi.”
---
«غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ» قَالَ: ٱلْيَهُودُ. «وَلَا ٱلضَّالِّينَ» قَالَ: ٱلنَّصَارَىٰ.
Tentang frasa *ghayril-maghḍūbi ‘alayhim*, ia berkata: “(Mereka) adalah orang-orang Yahudi.” Dan tentang *wa laḍ-ḍāllīn*, ia berkata: “(Mereka) adalah orang-orang Nasrani.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ مِثْلَهُ.
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Mujāhid dengan makna yang serupa.
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ مِثْلَهُ.
Ia juga meriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair dengan makna yang sama.
---
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ وَأَحْمَدُ فِي «مُسْنَدِهِ» وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱلْبَغَوِيُّ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَأَبُو ٱلشَّيْخِ عَنْ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ:
‘Abdurrazzaq, Ahmad dalam *Musnad*-nya, ‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Jarir, Al-Baghawi, Ibnu Al-Mundzir, dan Abu Asy-Syaikh meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syaqīq, ia berkata:
«أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِوَادِي ٱلْقُرَىٰ عَلَىٰ فَرَسٍ لَهُ،
“Orang yang mendengar langsung dari Rasulullah saw. memberitahuku, ketika beliau berada di Wādi Al-Qurā di atas seekor kuda miliknya,
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي ٱلْقَيْنِ فَقَالَ: مَنِ ٱلْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمْ يَا رَسُولَ ٱللَّهِ؟ قَالَ: ٱلْيَهُودُ.
lalu seorang laki-laki dari Bani Al-Qayn bertanya kepada beliau: ‘Siapakah orang-orang yang dimurkai itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang Yahudi.’
قَالَ: فَمَنِ ٱلضَّالُّونَ؟ قَالَ: ٱلنَّصَارَىٰ».
Laki-laki itu bertanya, ‘Lalu siapakah orang-orang yang sesat?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang Nasrani.’”
وَأَخْرَجَهُ ٱبْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ:
Ibnu Mardawaih meriwayatkan hadis yang sama dari ‘Abdullah bin Syaqīq, dari Abū Żar, ia berkata:
سَأَلْتُ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَهُ.
“Aku bertanya kepada Rasulullah saw., lalu beliau menyebutkan (jawaban yang sama).”
وَأَخْرَجَهُ وَكِيعٌ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱبْنُ جَرِيرٍ عَنْ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ:
Waki‘, ‘Abd bin Ḥumayd, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syaqīq, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَاصِرُ أَهْلَ وَادِي ٱلْقُرَىٰ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ … إِلَىٰ آخِرِهِ.
“Rasulullah saw. sedang mengepung penduduk Wādi Al-Qurā, lalu seorang lelaki berkata kepada beliau… (hingga akhir hadis),” namun dalam riwayat ini tidak disebutkan ungkapan “orang yang mendengar dari Rasulullah” sebagaimana pada hadis pertama.
وَأَخْرَجَهُ ٱلْبَيْهَقِيُّ فِي «ٱلشُّعَبِ» عَنْ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي ٱلْقَيْنِ، عَنْ ٱبْنِ عَمٍّ لَهُ أَنَّهُ قَالَ:
Al-Baihaqi dalam *Syu‘ab al-Īmān* meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Syaqīq, dari seorang laki-laki Bani Al-Qayn, dari sepupunya, bahwa ia berkata:
أَتَيْتُ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَهُ.
“Aku datang kepada Rasulullah saw., lalu ia menyebutkan hadis tersebut (dengan makna yang sama).”
---
وَأَخْرَجَهُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ فِي تَفْسِيرِهِ، وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنِ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ:
Sufyān bin ‘Uyainah dalam tafsirnya, dan Sa‘id bin Manṣur dari Ismā‘īl bin Abī Khālid, meriwayatkan:
أَنَّ ٱلنَّبِيَّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «ٱلْمَغْضُوبُ عَلَيْهِمُ: ٱلْيَهُودُ، وَٱلضَّالُّونَ: ٱلنَّصَارَىٰ».
bahwa Nabi saw. bersabda: “Orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.”
وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَٱلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَٱبْنُ جَرِيرٍ وَٱبْنُ ٱلْمُنْذِرِ وَٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَٱبْنُ حِبَّانَ فِي «صَحِيحِهِ» عَنِ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ:
Ahmad, ‘Abd bin Ḥumayd, At-Tirmidzi (dan ia menghasankannya), Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Ḥibbān dalam *Ṣaḥīḥ*-nya meriwayatkan dari ‘Adī bin Ḥātim, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ ٱلْمَغْضُوبَ عَلَيْهِمْ هُمُ ٱلْيَهُودُ، وَإِنَّ ٱلضَّالِّينَ ٱلنَّصَارَىٰ».
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang dimurkai itu adalah orang-orang Yahudi, dan sesungguhnya orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.”
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَٱبْنُ حِبَّانَ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ وَٱلطَّبَرَانِيُّ عَنِ ٱلشَّرِيدِ قَالَ:
Ahmad, Abu Dāwud, Ibnu Ḥibbān, Al-Ḥakim (yang mensahihkannya), dan Ath-Ṭabarani meriwayatkan dari Asy-Syarīd, ia berkata:
«مَرَّ بِي رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جَالِسٌ هَكَذَا، وَقَدْ وَضَعْتُ يَدِي ٱلْيُسْرَىٰ خَلْفَ ظَهْرِي وَٱتَّكَأْتُ عَلَىٰ أَلْيَةِ يَدِي،
“Rasulullah saw. pernah melewatiku ketika aku sedang duduk seperti ini: aku meletakkan tangan kiriku di belakang punggungku dan bersandar pada pangkal telapak tanganku,
فَقَالَ: أَتَقْعُدُ قَعْدَةَ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ؟!».
lalu beliau bersabda: ‘Apakah engkau duduk dengan duduknya orang-orang yang dimurkai (Yahudi)?!’”
قَالَ ٱبْنُ كَثِيرٍ بَعْدَ ذِكْرِهِ لِحَدِيثِ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ: وَقَدْ رُوِيَ حَدِيثُ عَدِيٍّ هٰذَا مِنْ طُرُقٍ، وَلَهُ أَلْفَاظٌ كَثِيرَةٌ يَطُولُ ذِكْرُهَا.
Ibnu Katsir berkata setelah menyebut hadis ‘Adiy bin Ḥātim ini: “Hadis ini diriwayatkan melalui beberapa jalur, dan memiliki banyak lafaz, yang bila disebutkan seluruhnya akan memakan tempat yang panjang.”
ٱنْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
وَٱلْمَصِيرُ إِلَىٰ هٰذَا ٱلتَّفْسِيرِ ٱلنَّبَوِيِّ مُتَعَيِّنٌ،
Berpegang kepada tafsir nabawi ini adalah keharusan,
وَهُوَ ٱلَّذِي أَطْبَقَ عَلَيْهِ أَئِمَّةُ ٱلتَّفْسِيرِ مِنَ ٱلسَّلَفِ.
dan inilah yang disepakati oleh para imam tafsir dari kalangan salaf.
قَالَ ٱبْنُ أَبِي حَاتِمٍ: لَا أَعْلَمُ خِلَافًا بَيْنَ ٱلْمُفَسِّرِينَ فِي تَفْسِيرِ «ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ» بِٱلْيَهُودِ، وَ«ٱلضَّالِّينَ» بِٱلنَّصَارَىٰ.
Ibnu Abi Hatim berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan di antara para mufassir dalam menafsirkan *al-maghḍūbi ‘alayhim* dengan orang-orang Yahudi dan *aḍ-ḍāllīn* dengan orang-orang Nasrani.”
وَيَشْهَدُ لِهٰذَا ٱلتَّفْسِيرِ ٱلنَّبَوِيِّ آيَاتٌ مِنَ ٱلْقُرْآنِ،
Tafsir nabawi ini dikuatkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an,
قَالَ ٱللَّهُ تَعَالَىٰ فِي خِطَابِهِ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ فِي سُورَةِ ٱلْبَقَرَةِ:
Allah Ta‘ala berfirman dalam seruan-Nya kepada Bani Israil dalam Surah Al-Baqarah:
بِئْسَمَا ٱشْتَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ أَنْ يَكْفُرُوا بِمَا أَنْزَلَ ٱللَّهُ بَغْيًا أَنْ يُنَزِّلَ ٱللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ عَلَىٰ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ،
*Bi’samāsy-taraw bihī anfusahum an yakfurū bimā anzalallāhu bāghyan an yunazzila Allāhu min faḍlihī ‘alā man yasyā’u min ‘ibādihī*,
فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَىٰ غَضَبٍ، وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُّهِينٌ «1».
*fabā’ū bighaḍabin ‘alā ghaḍab, wa lil-kāfirīna ‘ażābun muhīn* (1).
وَقَالَ فِي «ٱلْمَائِدَةِ»: قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذٰلِكَ مَثُوبَةً عِندَ ٱللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ ٱللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ ٱلْقِرَدَةَ وَٱلْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ ٱلطَّاغُوتَ، أُولٰئِكَ شَرٌّ مَّكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ ٱلسَّبِيلِ «2».
Dan dalam Surah Al-Mā’idah: *Qul hal unabbi’ukum bisyar-rim min żālika maṡūbatan ‘indallāh man la‘anahullāhu wa ghaḍiba ‘alayhi wa ja‘ala minhumul-qiradata wal-khanāzīra wa ‘abadat-tāghūt, ulā’ika syarrun makānaw wa aḍallu ‘an sawā’is-sabīl* (2).
---
وَفِي ٱلسِّيرَةِ عَنْ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ أَنَّهُ لَمَّا خَرَجَ هُوَ وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَىٰ ٱلشَّامِ يَطْلُبُونَ ٱلدِّينَ ٱلْحَنِيفَ،
Dalam kitab-kitab sirah, dari Zaid bin ‘Amr bin Nufail bahwa ketika ia keluar bersama beberapa sahabatnya menuju negeri Syam untuk mencari agama yang lurus,
قَالَ ٱلْيَهُودُ: إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ ٱلدُّخُولَ مَعَنَا حَتَّىٰ تَأْخُذَ بِنَصِيبِكَ مِنْ غَضَبِ ٱللَّهِ،
orang-orang Yahudi berkata kepadanya: “Engkau tidak akan mampu masuk ke dalam agama kami sampai engkau mengambil bagianmu dari kemurkaan Allah.”
فَقَالَ: أَنَا مِنْ غَضَبِ ٱللَّهِ أَفِرُّ.
Maka Zaid berkata: “Aku justru lari dari kemurkaan Allah.”
وَقَالَتْ لَهُ ٱلنَّصَارَىٰ: إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ ٱلدُّخُولَ مَعَنَا حَتَّىٰ تَأْخُذَ بِنَصِيبِكَ مِنْ سَخَطِ ٱللَّهِ،
Orang-orang Nasrani berkata kepadanya: “Engkau tidak akan sanggup masuk bersama kami sampai engkau mengambil bagianmu dari kemurkaan (sakhath) Allah.”
فَقَالَ: لَا أَسْتَطِيعُهُ.
Zaid menjawab: “Aku tidak sanggup (menerima itu).”
فَٱسْتَمَرَّ عَلَىٰ فِطْرَتِهِ وَجَانَبَ عِبَادَةَ ٱلْأَوْثَانِ.
Maka ia tetap berada di atas fitrahnya dan menjauhi penyembahan berhala.
---
[فَائِدَةٌ فِي مَشْرُوعِيَّةِ ٱلتَّأْمِينِ بَعْدَ قِرَاءَةِ ٱلْفَاتِحَةِ]
[Faedah tentang disyariatkannya mengucapkan “Āmīn” setelah membaca Al-Fatihah]
ٱعْلَمْ أَنَّ ٱلسُّنَّةَ ٱلصَّحِيحَةَ ٱلصَّرِيحَةَ ٱلثَّابِتَةَ تَوَاتُرًا قَدْ دَلَّتْ عَلَىٰ ذٰلِكَ.
Ketahuilah bahwa sunnah-sunnah yang sahih, jelas, dan telah tetap secara mutawatir, telah menunjukkan disyariatkannya hal tersebut (mengucapkan “Āmīn”).
فَمِنْ ذٰلِكَ مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَٱلتِّرْمِذِيُّ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ:
Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi, dari Wā’il bin Ḥujr, ia berkata:
«سَمِعْتُ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّالِّينَ، فَقَالَ: آمِينْ، مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ».
“Aku mendengar Rasulullah saw. membaca: *ghayril-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn*, lalu beliau mengucapkan: *Āmīn*, dan beliau memanjangkan suaranya ketika mengucapkannya.”
وَلِأَبِي دَاوُدَ: «رَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ».
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: “Beliau mengangkat suaranya ketika mengucapkannya.”
وَقَدْ حَسَّنَهُ ٱلتِّرْمِذِيُّ.
At-Tirmidzi menilai hadis ini hasan.
وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا ٱلنَّسَائِيُّ وَٱبْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَٱبْنُ مَاجَهْ وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh An-Nasā’i, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Mājah dan Al-Ḥakim, yang mensahihkannya.
وَفِي لَفْظٍ مِنْ حَدِيثِهِ أَنَّهُ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «رَبِّ ٱغْفِرْ لِي آمِينْ».
Dalam salah satu lafaz hadisnya disebutkan bahwa beliau saw. mengucapkan: “Rabbi-ghfir lī, Āmīn.”
أَخْرَجَهُ ٱلطَّبَرَانِيُّ وَٱلْبَيْهَقِيُّ.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Ṭabarani dan Al-Baihaqi.
وَفِي لَفْظٍ أَنَّهُ قَالَ: «آمِينْ» ثَلَاثَ مَرَّاتٍ.
Dan dalam satu lafaz disebutkan bahwa beliau mengucapkan: “Āmīn” sebanyak tiga kali.
أَخْرَجَهُ ٱلطَّبَرَانِيُّ.
Riwayat ini dikeluarkan oleh Ath-Ṭabarani.
---
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ وَٱبْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْ أَبِي مَيْسَرَةَ قَالَ:
Waki‘ dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abu Maisarah, ia berkata:
«لَمَّا أَقْرَأَ جِبْرِيلُ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتِحَةَ ٱلْكِتَابِ، فَبَلَغَ: وَلَا ٱلضَّالِّينَ، قَالَ: قُلْ: آمِينْ، فَقَالَ: آمِينْ».
“Ketika Jibril membacakan Fātiḥat al-Kitāb kepada Rasulullah saw. dan sampai pada ayat *wa laḍ-ḍāllīn*, ia berkata: ‘Ucapkanlah: Āmīn,’ maka Rasulullah pun mengucapkan: ‘Āmīn.’”
---
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ مَاجَهْ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ:
Ibnu Mājah meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata:
«سَمِعْتُ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ: وَلَا ٱلضَّالِّينَ، قَالَ: آمِينْ».
“Aku mendengar Rasulullah saw. ketika mengucapkan *wa laḍ-ḍāllīn*, beliau mengucapkan: ‘Āmīn.’”
---
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُدَ وَٱلنَّسَائِيُّ وَٱبْنُ مَاجَهْ عَنْ أَبِي مُوسَىٰ قَالَ:
Muslim, Abu Dāwud, An-Nasā’i dan Ibnu Mājah meriwayatkan dari Abu Mūsā, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا قَرَأَ» يَعْنِي ٱلْإِمَامَ «غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّالِّينَ، فَقُولُوا: آمِينْ، يُحِبُّكُمُ ٱللَّهُ».
Rasulullah saw. bersabda: “Apabila imam membaca *ghayril-maghḍūbi ‘alayhim wa laḍ-ḍāllīn*, maka ucapkanlah kalian: *Āmīn*, niscaya Allah akan mencintai kalian.”
---
وَأَخْرَجَ ٱلْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَأَهْلُ ٱلسُّنَنِ وَأَحْمَدُ وَٱبْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَغَيْرُهُمْ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ:
Al-Bukhārī, Muslim, para penulis Sunan, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«إِذَا أَمَّنَ ٱلْإِمَامُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ ٱلْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ».
“Apabila imam mengucapkan *Āmīn*, maka ucapkanlah juga *Āmīn*; karena barang siapa ucapan *Āmīn*-nya bertepatan dengan *Āmīn*-nya para malaikat, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
---
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَٱبْنُ مَاجَهْ وَٱلْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ قَالَ ٱلسُّيُوطِيُّ: صَحِيحٌ، عَنْ عَائِشَةَ:
Ahmad, Ibnu Mājah, dan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang dinyatakan sahih oleh As-Suyūṭī, dari ‘Aisyah:
أَنَّ ٱلنَّبِيَّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
bahwa Nabi saw. bersabda:
«مَا حَسَدَتْكُمُ ٱلْيَهُودُ عَلَىٰ شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَىٰ ٱلسَّلَامِ وَٱلتَّأْمِينِ».
“Orang-orang Yahudi tidak begitu iri kepada kalian terhadap sesuatu sebagaimana iri mereka kepada kalian dalam masalah salam (ucapan salam) dan ucapan Āmīn.”
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ عَدِيٍّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ:
Ibnu ‘Adiy meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«إِنَّ ٱلْيَهُودَ قَوْمٌ حُسَّادٌ، حَسَدُوكُمْ عَلَىٰ ثَلَاثَةٍ: إِفْشَاءِ ٱلسَّلَامِ، وَإِقَامَةِ ٱلصَّفِّ، وَآمِينْ».
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi adalah kaum yang pendengki; mereka mendengki kalian pada tiga perkara: penyebaran salam, pelurusan shaf (salat berjamaah), dan ucapan Āmīn.”
وَأَخْرَجَ ٱلطَّبَرَانِيُّ فِي «ٱلْأَوْسَطِ» مِنْ حَدِيثِ مُعَاذٍ مِثْلَهُ.
Ath-Ṭabarani dalam *Al-Awsaṭ* meriwayatkan hadis serupa dari Mu‘āż.
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Mājah meriwayatkan dengan sanad lemah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«مَا حَسَدَتْكُمُ ٱلْيَهُودُ عَلَىٰ شَيْءٍ مَا حَسَدَتْكُمْ عَلَىٰ آمِينْ، فَأَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ آمِينْ».
“Orang-orang Yahudi tidak begitu iri kepada kalian terhadap sesuatu sebagaimana iri mereka kepada kalian dalam ucapan Āmīn; karena itu, perbanyaklah mengucapkan Āmīn.”
وَوَجْهُ ضَعْفِهِ: أَنَّ فِي إِسْنَادِهِ طَلْحَةَ بْنَ عَمْرٍو، وَهُوَ ضَعِيفٌ.
Sisi kelemahannya adalah karena dalam sanadnya terdapat Ṭalḥah bin ‘Amr, dan ia perawi yang lemah.
---
وَأَخْرَجَ ٱلدَّيْلَمِيُّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Ad-Daylami meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ قَرَأَ «بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ»، ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ ٱلْكِتَابِ، ثُمَّ قَالَ: آمِينْ، لَمْ يَبْقَ مَلَكٌ فِي ٱلسَّمَاءِ مُقَرَّبٌ إِلَّا ٱسْتَغْفَرَ لَهُ».
“Barang siapa membaca *Bismillāhir-Raḥmānir-Raḥīm*, kemudian membaca Fātiḥat al-Kitāb, lalu mengucapkan: Āmīn, maka tidak ada satu malaikat pun di langit yang dekat (kepada Allah) melainkan ia akan memintakan ampun baginya.”
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ عَنْ بِلَالٍ أَنَّهُ قَالَ:
Abu Dāwud meriwayatkan dari Bilāl, ia berkata:
«يَا رَسُولَ ٱللَّهِ! لَا تَسْبِقْنِي بِآمِينْ».
“Wahai Rasulullah, janganlah engkau mendahuluiku dalam mengucapkan Āmīn.”
---
وَمَعْنَىٰ «آمِينْ»: ٱسْتَجِبْ.
Makna kata *Āmīn* adalah: “Kabulkanlah (doa kami).”
قَالَ ٱلْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: مَعْنَىٰ «آمِينْ» عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ: ٱللَّهُمَّ ٱسْتَجِبْ لَنَا، وُضِعَ مَوْضِعَ ٱلدُّعَاءِ.
Al-Qurṭubi berkata dalam tafsirnya: “Makna Āmīn menurut mayoritas ahli ilmu adalah: ‘Ya Allah, kabulkanlah (doa) kami’; ia ditempatkan pada posisi doa.”
وَقَالَ فِي «ٱلصِّحَاحِ»: مَعْنَىٰ «آمِينْ»: كَذٰلِكَ فَلْيَكُنْ.
Dalam *Ash-Shiḥāḥ* disebutkan: “Makna Āmīn adalah: ‘Demikianlah hendaknya terjadi.’”
وَأَخْرَجَ جُوَيْبِرٌ فِي تَفْسِيرِهِ عَنِ ٱلضَّحَّاكِ، عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Juwaybir dalam tafsirnya meriwayatkan dari Aḍ-Ḍaḥḥāk, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«قُلْتُ: يَا رَسُولَ ٱللَّهِ! مَا مَعْنَىٰ «آمِينْ»؟ قَالَ: رَبِّ ٱفْعَلْ».
“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, apa makna Āmīn?’ Beliau bersabda: ‘(Maknanya) wahai Rabb, lakukanlah (kabulkanlah).’”
وَأَخْرَجَ ٱلْكَلْبِيُّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ مِثْلَهُ.
Al-Kalbī meriwayatkan dari Abū Ṣāliḥ, dari Ibnu ‘Abbas dengan makna serupa.
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ وَٱبْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي «ٱلْمُصَنَّفِ» عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ وَمُجَاهِدٍ قَالَا:
Waki‘ dan Ibnu Abi Syaibah dalam *Al-Muṣannaf* meriwayatkan dari Hilāl bin Yasāf dan Mujāhid, keduanya berkata:
«آمِينْ ٱسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ ٱللَّهِ».
“Āmīn adalah salah satu nama dari Nama-nama Allah.”
وَأَخْرَجَ ٱبْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ جُبَيْرٍ مِثْلَهُ.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ḥakīm bin Jubair dengan makna yang sama.
وَقَالَ ٱلتِّرْمِذِيُّ: مَعْنَاهُ: لَا تُخَيِّبْ رَجَاءَنَا.
At-Tirmidzi berkata: “Maknanya adalah: ‘Janganlah Engkau mengecewakan harapan kami.’”
وَفِيهَا لُغَتَانِ: ٱلْمَدُّ عَلَىٰ وَزْنِ «فَاعِيلَ» كَـ «يَاسِينَ»، وَٱلْقَصْرُ عَلَىٰ وَزْنِ «يَمِينٍ».
Dalam pengucapan Āmīn ada dua dialek: (1) dengan mad (panjang) seperti wazan *fā‘īla* sebagaimana *Yāsīn*, dan (2) dengan qashr (pendek) seperti wazan *yamīn*.
قَالَ ٱلشَّاعِرُ فِي ٱلْمَدِّ:
Seorang penyair berkata dengan bacaan yang panjang:
يَا رَبُّ لَا تَسْلُبَنِّي حُبَّهَا أَبَدًا … وَيَرْحَمُ ٱللَّهُ عَبْدًا قَالَ آمِينَا
“Ya Rabb, janganlah Engkau cabut rasa cintaku kepadanya selamanya … dan semoga Allah merahmati seorang hamba yang berkata: ‘Āmīnā.’”
وَقَالَ آخَرُ:
Penyair lain berkata:
آمِينَ آمِينَ لَا أَرْضَىٰ بِوَاحِدَةٍ … حَتَّىٰ أُبَلِّغَهَا أَلْفَيْنِ آمِينَا
“Āmīn, Āmīn, aku tidak ridha dengan satu kali saja … hingga aku menyampaikannya menjadi dua ribu kali ‘Āmīnā’.”
قَالَ ٱلْجَوْهَرِيُّ: وَتَشْدِيدُ ٱلْمِيمِ خَطَأٌ.
Al-Jauharī berkata: “Men-tasydid huruf mīm pada Āmīn adalah keliru.”
وَرُوِيَ عَنِ ٱلْحَسَنِ وَجَعْفَرٍ ٱلصَّادِقِ وَٱلْحُسَيْنِ بْنِ فَضْلٍ ٱلتَّشْدِيدُ، مِنْ «أَمَّ» إِذَا قَصَدَ، أَيْ: نَحْنُ قَاصِدُونَ نَحْوَكَ.
Namun diriwayatkan dari Al-Ḥasan, Ja‘far As-Sādiq, dan Al-Ḥusayn bin Faḍl bahwa mereka membacanya dengan tasydid (أمّين) yang diambil dari kata *amma* (أمَّ) yang bermakna ‘menuju’; artinya: “Kami sedang menuju (menghadap) kepada-Mu.”
حَكَىٰ ذٰلِكَ ٱلْقُرْطُبِيُّ.
Hal ini dinukil oleh Al-Qurṭubi.
قَالَ ٱلْجَوْهَرِيُّ: وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَىٰ ٱلْفَتْحِ مِثْلُ «أَيْنَ» وَ«كَيْفَ» لِٱجْتِمَاعِ ٱلسَّاكِنَيْنِ،
Al-Jauharī berkata: “Āmīn dibangun di atas fathah, seperti *aina* dan *kaifa*, karena adanya pertemuan dua huruf sukun.”
وَتَقُولُ مِنْهُ: أَمَّنَ فُلَانٌ تَأْمِينًا.
Dari kata itu engkau dapat berkata: *ammina fulānun ta’mīnan* (si fulan mengucapkan Āmīn).
وَقَدِ ٱخْتَلَفَ أَهْلُ ٱلْعِلْمِ فِي ٱلْجَهْرِ بِهَا، وَفِي أَنَّ ٱلْإِمَامَ يَقُولُهَا أَمْ لَا؟ وَذٰلِكَ مُبَيَّنٌ فِي مَوَاطِنِهِ.
Para ulama berbeda pendapat tentang menjaharkan (mengeraskan suara) ketika mengucapkan Āmīn, dan apakah imam mengucapkannya atau tidak; perinciannya dijelaskan pada tempat pembahasannya masing-masing.