Al Baqarah Ayat 47-50

 

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الْآيَاتُ 47 إِلَى 50]

[Surat al-Baqarah (2): ayat 47 sampai 50]

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (47)
Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, dan bahwa Aku telah melebihkan kalian atas (penduduk) seluruh alam. (47)
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (48)
Dan takutlah kalian kepada suatu hari ketika tidak ada suatu jiwa pun yang dapat membela jiwa yang lain sedikit pun; dan tidak akan diterima darinya syafaat, tidak pula akan diambil darinya tebusan, dan mereka tidak akan ditolong. (48)
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ ۚ وَفِي ذَٰلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ (49)
Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kalian dari (siksaan) keluarga Fir‘aun yang menimpakan kepada kalian siksaan yang sangat berat; mereka menyembelih anak-anak lelaki kalian dan membiarkan hidup perempuan-perempuan kalian. Dan pada hal yang demikian itu terdapat cobaan yang besar dari Rabb kalian. (49)
وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (50)
Dan (ingatlah) ketika Kami belah lautan untuk kalian lalu Kami menyelamatkan kalian dan menenggelamkan keluarga Fir‘aun, sedang kalian sendiri menyaksikan. (50) ---
قَوْلُهُ: يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ،
Firman-Nya: “Yā Banī Isrā’īl, użkurū ni‘matīya allatī an‘amtu ‘alaikum,” telah lewat penafsirannya.
وَإِنَّمَا كَرَّرَ ذَلِكَ سُبْحَانَهُ تَوْكِيدًا لِلْحُجَّةِ عَلَيْهِمْ،
Hanya saja Allah mengulanginya untuk mempertegas hujjah atas mereka,
وَتَحْذِيرًا لَهُمْ مِنْ تَرْكِ اتِّبَاعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
dan untuk memperingatkan mereka agar tidak meninggalkan sikap mengikuti Muhammad ﷺ.
ثُمَّ قَرَنَهُ بِالْوَعِيدِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: وَاتَّقُوا يَوْمًا،
Kemudian Allah mengiringinya dengan ancaman, yaitu firman-Nya: “Dan bertakwalah kalian kepada suatu hari…”
وَقَوْلُهُ: وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ مَعْطُوفٌ عَلَى مَفْعُولِ «اذْكُرُوا»،
Firman-Nya: “wa-annī faḍḍaltukum” di-‘athaf-kan kepada maf‘ul dari “udzkurū”.
أَيْ: اذْكُرُوا نِعْمَتِي وَتَفْضِيلِي لَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ،
Yakni: ingatlah nikmat-Ku dan pengutamaan-Ku kepada kalian atas (penduduk) seluruh alam.
قِيلَ: الْمُرَادُ بِالْعَالَمِينَ عَالَمُ زَمَانِهِمْ،
Ada yang berkata: yang dimaksud dengan “al-‘ālamīn” adalah manusia di masa mereka.
وَقِيلَ: عَلَى جَمِيعِ الْعَالَمِينَ بِمَا جَعَلَ فِيهِمْ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ.
Ada pula yang berkata: atas semua (penduduk) alam, karena Allah menjadikan di antara mereka para nabi.
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: عَلَى الْجَمِّ الْغَفِيرِ مِنَ النَّاسِ،
Dalam al-Kasysyāf dikatakan: (maknanya) atas kelompok besar manusia,
كَقَوْلِهِ: بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ1،
seperti firman-Nya: “Kami memberkahinya bagi seluruh alam.”1
يُقَالُ: رَأَيْتُ عَالَمًا مِنَ النَّاسِ، يُرَادُ الْكَثْرَةُ. انْتَهَى.
Dikatakan: “Aku melihat ‘ālaman min an-nās (sejumlah besar manusia),” yang dimaksud adalah banyak. Selesai (kutipan).
قَالَ الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: وَهَذَا ضَعِيفٌ،
Ar-Rāzī berkata dalam tafsirnya: “Penjelasan ini lemah,
لِأَنَّ لَفْظَ الْعَالَمِ مُشْتَقٌّ مِنَ الْعَلَمِ، وَهُوَ الدَّلِيلُ،
karena lafaz ‘ālam berasal dari ‘alam, yaitu tanda/petunjuk.
وَكُلُّ مَا كَانَ دَلِيلًا عَلَى اللَّهِ كَانَ عَلَمًا، وَكَانَ مِنَ الْعَالَمِ،
Dan setiap yang menjadi petunjuk kepada Allah adalah ‘alam (tanda), dan ia termasuk al-‘ālam (makhluk).
وَهَذَا تَحْقِيقُ قَوْلِ الْمُتَكَلِّمِينَ: «الْعَالَمُ: كُلُّ مَوْجُودٍ سِوَى اللَّهِ».
Ini merupakan penjelasan dari ucapan para ahli kalam: “Al-‘ālam adalah setiap sesuatu yang wujud selain Allah.”
وَعَلَى هَذَا لَا يُمْكِنُ تَخْصِيصُ لَفْظِ الْعَالَمِ بِبَعْضِ الْمُحْدَثَاتِ. انْتَهَى.
Atas dasar ini tidak mungkin lafaz al-‘ālam dibatasi hanya pada sebagian makhluk yang diciptakan.” Selesai (kutipan).
وَأَقُولُ: هَذَا الِاعْتِرَاضُ سَاقِطٌ،
Aku (asy-Syaukānī) berkata: Bantahan ini tidak tepat.
أَمَّا أَوَّلًا: فَدَعْوَى اشْتِقَاقِهِ مِنَ الْعَلَمِ لَا بُرْهَانَ عَلَيْهِ،
Pertama, klaim bahwa kata itu diambil dari ‘alam (tanda) tidak memiliki dalil yang kuat.
وَأَمَّا ثَانِيًا: فَلَوْ سَلَّمْنَا صِحَّةَ هَذَا الِاشْتِقَاقِ،
Kedua, seandainya kita menerima kebenaran asal-usul kata tersebut,
كَانَ الْمَعْنَى مَوْجُودًا بِمَا يَتَحَصَّلُ مَعَهُ مَفْهُومُ الدَّلِيلِ عَلَى اللَّهِ،
maka maknanya tetap terwujud pada sesuatu yang dengannya terkumpul pengertian sebagai petunjuk kepada Allah,
الَّذِي يَصِحُّ إِطْلَاقُ اسْمِ الْعَلَمِ عَلَيْهِ،
yang benar bila diberi nama ‘alam (tanda).
وَهُوَ كَائِنٌ فِي كُلِّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمَخْلُوقَاتِ الَّتِي يُسْتَدَلُّ بِهَا عَلَى الْخَالِقِ،
Dan hal itu ada pada setiap individu dari makhluk yang dijadikan dalil atas keberadaan Sang Pencipta.
وَغَايَتُهُ أَنَّ جَمْعَ الْعَالَمِ يَسْتَلْزِمُ أَنْ يَكُونُوا مُفَضَّلِينَ عَلَى أَفْرَادٍ كَثِيرَةٍ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ،
Paling jauh maknanya adalah bahwa bentuk jamak “al-‘ālamīn” mengharuskan bahwa mereka diutamakan di atas banyak individu makhluk.
وَأَمَّا أَنَّهُمْ مُفَضَّلُونَ عَلَى كُلِّ الْمُحْدَثَاتِ فِي كُلِّ زَمَانٍ،
Adapun pengertian bahwa mereka diutamakan di atas semua makhluk pada setiap masa,
فَلَيْسَ فِي اللَّفْظِ مَا يُفِيدُ هَذَا، وَلَا فِي اشْتِقَاقِهِ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ.
maka tidak ada pada lafaznya petunjuk akan hal itu, dan tidak pula pada asal-usul katanya penunjuk kepada makna tersebut.
وَأَمَّا مَنْ جَعَلَ الْعَالَمَ أَهْلَ الْعَصْرِ،
Adapun orang yang memaknai “al-‘ālam” sebagai penduduk suatu masa,
فَغَايَتُهُ أَنْ يَكُونُوا مُفَضَّلِينَ عَلَى أَهْلِ عُصُورٍ، لَا عَلَى أَهْلِ كُلِّ عَصْرٍ،
paling jauh maksudnya adalah bahwa mereka diutamakan di atas penduduk beberapa masa, bukan atas penduduk setiap masa.
فَلَا يَسْتَلْزِمُ ذَلِكَ تَفْضِيلَهُمْ عَلَى أَهْلِ الْعَصْرِ الَّذِينَ فِيهِمْ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Maka itu tidak mengharuskan pengutamaan mereka atas penduduk masa di mana Nabi kita ﷺ berada,
وَلَا عَلَى مَا بَعْدَهُ مِنَ الْعُصُورِ.
dan tidak pula atas penduduk masa-masa setelahnya.
وَمِثْلُ هَذَا الْكَلَامِ يَنْبَغِي اسْتِحْضَارُهُ عِنْدَ تَفْسِيرِ قَوْلِهِ تَعَالَى:
Keterangan semisal ini perlu dihadirkan dalam benak ketika menafsirkan firman-Nya Ta‘ālā:
إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ2،
“(Ingatlah) ketika Dia menjadikan di tengah kalian para nabi, menjadikan kalian sebagai raja-raja, dan memberikan kepada kalian apa yang tidak pernah Dia berikan kepada seorang pun dari (penduduk) alam.”2
وَعِنْدَ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَىٰ عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ3،
Dan ketika menafsirkan firman-Nya Ta‘ālā: “Dan sungguh Kami telah memilih mereka berdasarkan pengetahuan (Kami) di atas (penduduk) alam.”3
وَعِنْدَ قَوْلِهِ: إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ4،
Dan ketika menafsirkan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran atas (penduduk) alam.”4
فَإِنْ قِيلَ: إِنَّ التَّعْرِيفَ فِي «الْعَالَمِينَ» يَدُلُّ عَلَى شُمُولِهِ لِكُلِّ عَالَمٍ،
Jika dikatakan: “Alif-lam pada kata al-‘ālamīn menunjukkan mencakup semua alam,”
قُلْتُ: لَوْ كَانَ الْأَمْرُ هَكَذَا، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مُسْتَلْزِمًا لِكَوْنِهِمْ أَفْضَلَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
maka aku katakan: Seandainya demikian, itu pun tidak mengharuskan bahwa mereka lebih utama daripada umat Muhammad ﷺ,
لِقَوْلِهِ تَعَالَى: كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ5،
karena firman-Nya Ta‘ālā: “Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia.”5
فَإِنَّ هَذِهِ الْآيَةَ وَنَحْوَهَا تَكُونُ مُخَصِّصَةً لِتِلْكَ الْآيَاتِ.
Ayat ini dan semisalnya menjadi pengecualian (takhsis) bagi ayat-ayat tersebut (sehingga tidak mencakup umat Muhammad).
وَقَوْلُهُ: وَاتَّقُوا يَوْمًا، أَمْرٌ مَعْنَاهُ الْوَعِيدُ،
Firman-Nya: “Dan bertakwalah kalian kepada suatu hari…” adalah perintah yang bermakna ancaman.
وَقَدْ تَقَدَّمَ مَعْنَى التَّقْوَى.
Makna takwa telah dijelaskan sebelumnya.
وَالْمُرَادُ بِالْيَوْمِ: يَوْمُ الْقِيَامَةِ، أَيْ عَذَابُهُ.
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari Kiamat, yakni siksanya.
وَقَوْلُهُ: لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا، فِي مَحَلِّ نَصْبٍ صِفَةً لِـ«يَوْمٍ»،
Firman-Nya: “lā tajzī nafsun ‘an nafsin syai’ā” berada pada posisi manshub sebagai sifat bagi “yauman”.
وَالْعَائِدُ مَحْذُوفٌ.
Kata ganti penghubungnya (al-‘āid) dihapuskan.
قَالَ الْبَصْرِيُّونَ فِي هَذَا وَأَمْثَالِهِ: تَقْدِيرُهُ «فِيهِ»،
Ahli nahwu Bashrah berkata tentang ini dan semisalnya: takdirnya adalah “fīhi” (pada hari itu).
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ: هَذَا خَطَأٌ، بَلِ التَّقْدِيرُ: «لَا تَجْزِيهِ»،
Al-Kisā’ī berkata: Ini keliru; yang benar takdirnya: “lā tajzīhi”.
لِأَنَّ حَذْفَ الظَّرْفِ لَا يَجُوزُ، وَيَجُوزُ حَذْفُ الضَّمِيرِ وَحْدَهُ،
Sebab menghapus zharf (kata keterangan seperti “fīhi”) tidak boleh, sedangkan menghapus dhamir (kata ganti) sendiri boleh.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ سِيبَوَيْهِ وَالْأَخْفَشِ وَالزَّجَّاجِ جَوَازُ الْأَمْرَيْنِ.
Dan telah diriwayatkan dari Sibawaih, al-Akhfasy, dan az-Zajjāj bolehnya kedua cara tersebut.
وَمَعْنَى «لَا تَجْزِي»: لَا تَكْفِي وَلَا تَقْضِي،
Makna “lā tajzī” adalah: tidak mencukupi dan tidak menunaikan (mengganti).
يُقَالُ: «جَزَىٰ عَنِّي هَذَا الْأَمْرُ يَجْزِي»، أَيْ: قَضَى،
Dikatakan: “jazā ‘annī hādzā al-amru yajzī” artinya: urusan itu sudah selesai/tertunaikan.
وَ«اجْتَزَأْتُ بِالشَّيْءِ اجْتِزَاءً»: أَيْ اكْتَفَيْتُ،
Dan “ijtzā’tu bisy-syai’i ijtzā’an” artinya: aku merasa cukup dengan sesuatu.
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Di antaranya ucapan seorang penyair:
فَإِنَّ الْغَدْرَ فِي الْأَقْوَامِ عَارٌ … وَإِنَّ الْحُرَّ يُجْزَىٰ بِالْكُرَاعِ
“Sesungguhnya khianat di tengah kaum adalah aib, dan orang yang merdeka (berjiwa mulia) merasa cukup meski hanya dengan (jamuan) kaki kambing.”6
وَالْمُرَادُ: أَنَّ هَذَا الْيَوْمَ لَا تَقْضِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا تَكْفِي عَنْهَا.
Yang dimaksud adalah bahwa pada hari itu, suatu jiwa tidak akan menunaikan dan tidak akan mencukupi sedikit pun (siksa) yang seharusnya menimpa jiwa lain.
وَمَعْنَى التَّنْكِيرِ: التَّحْقِيرُ،
Makna penyebutan “sesuatu (syai’an)” secara nakirah (tidak tertentu) di sini adalah untuk merendahkan (menghinakan nilainya),
أَيْ: شَيْئًا يَسِيرًا حَقِيرًا،
yakni: sesuatu yang sangat kecil dan hina sekali pun.
وَهُوَ مَنْصُوبٌ عَلَى الْمَفْعُولِيَّةِ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ صِفَةُ مَصْدَرٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ: «جَزَاءً حَقِيرًا».
Kata “syai’an” ini manshub sebagai maf‘ul bih, atau sebagai sifat untuk mashdar yang dihapus, yakni “jazā’an haqīran” (balasan yang hina).
وَالشَّفَاعَةُ مَأْخُوذَةٌ مِنَ «الشَّفْعِ»، وَهُوَ الِاثْنَانِ،
“Syafā‘ah” diambil dari kata “syaf‘” yang bermakna genap (dua).
تَقُولُ: «اسْتَشْفَعْتُهُ»، أَيْ سَأَلْتُهُ أَنْ يَشْفَعَ لِي،
Dikatakan: “istasyfa‘tuhu” artinya aku memintanya untuk memberi syafaat kepadaku,
أَيْ: يَضُمَّ جَاهَهُ إِلَى جَاهِكَ عِنْدَ الْمَشْفُوعِ إِلَيْهِ لِيَصِلَ النَّفْعُ إِلَى الْمَشْفُوعِ لَهُ.
yakni: ia menggabungkan kedudukannya dengan kedudukanmu di sisi pihak yang dimintai syafaat agar manfaat sampai kepada orang yang diberi syafaat.
وَسُمِّيَتِ «الشُّفْعَةُ» شُفْعَةً؛ لِأَنَّكَ تَضُمُّ مُلْكَ شَرِيكِكَ إِلَى مُلْكِكَ.
Hak “syuf‘ah” juga disebut demikian karena engkau menggabungkan bagian kepemilikan rekanmu kepada milikmu.
وَقَدْ قَرَأَ ابْنُ كَثِيرٍ وَأَبُو عَمْرٍو: «تُقْبَلُ» بِالْمُثَنَّاةِ الْفَوْقِيَّةِ، لِأَنَّ «الشَّفَاعَةَ» مُؤَنَّثَةٌ،
Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membaca “tutqobalu” dengan ta’ di awal, karena “syafā‘ah” berjenis mu’annats (perempuan).
وَقَرَأَ الْبَاقُونَ: «يُقْبَلُ» بِالْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ، لِأَنَّهَا بِمَعْنَى «الشَّفِيعِ».
Sedangkan yang lain membaca “yuqbalu” dengan ya’, karena “syafā‘ah” di sini bermakna “syafī‘” (pemberi syafaat).
قَالَ الْأَخْفَشُ: الْأَحْسَنُ التَّذْكِيرُ.
Al-Akhfasy berkata: Bentuk mudzakkar (dengan ya’) lebih bagus.
وَضَمِيرُ «مِنْهَا» يَرْجِعُ إِلَى النَّفْسِ الْمَذْكُورَةِ ثَانِيًا،
Dhamir “minhā” kembali kepada jiwa yang disebut kedua kali (yang dimintakan syafaat untuknya),
أَيْ: إِنْ جَاءَتْ بِشَفَاعَةِ شَفِيعٍ،
yakni: jika jiwa itu datang membawa syafaat seorang pemberi syafaat.
وَيَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى النَّفْسِ الْمَذْكُورَةِ أَوَّلًا،
Boleh juga dhamir itu kembali kepada jiwa yang disebut pertama,
أَيْ: إِذَا شَفَعَتْ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا.
yakni: jika jiwa itu memberi syafaat, tidak akan diterima darinya.
وَالْعَدْلُ – بِفَتْحِ الْعَيْنِ –: الْفِدَاءُ، وَبِكَسْرِهَا: الْمِثْلُ.
“Al-‘adl” dengan fathah pada ‘ain bermakna tebusan; dengan kasrah bermakna yang sepadan (serupa).
يُقَالُ: «عَدْلٌ» وَ«عَدِيلٌ» لِلَّذِي مَاثَلَ فِي الْوَزْنِ وَالْقَدْرِ،
Dikatakan “‘adl” dan “‘adīl” untuk sesuatu yang serupa dalam timbangan dan ukuran.
وَحَكَى ابْنُ جَرِيرٍ أَنَّ فِي الْعَرَبِ مَنْ يَكْسِرُ الْعَيْنَ فِي مَعْنَى «الْفِدْيَةِ».
Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ada di kalangan Arab yang membaca dengan kasrah ‘ain dengan makna “fidyah” (tebusan).
وَالنَّصْرُ: الْعَوْنُ،
“An-nashr” berarti pertolongan.
وَالْأَنْصَارُ: الْأَعْوَانُ،
“Al-Anshār” berarti para penolong.
وَ«انْتَصَرَ الرَّجُلُ»: انْتَقَمَ.
“Intashara ar-rajulu” artinya: ia membalas (mengambil haknya).
وَالضَّمِيرُ – أَيْ: «هُمْ» – يَرْجِعُ إِلَى النُّفُوسِ الْمَدْلُولِ عَلَيْهَا بِالنَّكِرَةِ فِي سِيَاقِ النَّفْيِ،
Dhamir “hum” (pada “wa lā hum yunsharūn”) kembali kepada jiwa-jiwa yang ditunjuk oleh lafaz nakirah “nafsun” dalam konteks penafian.
وَ«النَّفْسُ» تُذَكَّرُ وَتُؤَنَّثُ.
Dan kata “nafs” bisa diperlakukan sebagai mudzakkar maupun mu’annats dalam bahasa Arab.
وَقَوْلُهُ: وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مُتَعَلِّقٌ بِقَوْلِهِ: «اذْكُرُوا»،
Firman-Nya: “wa idz najjainākum…” berkaitan (terhubung) dengan firman-Nya: “udzkurū” (ingatlah).
وَ«النَّجَاةُ»: «النَّجْوَةُ» مِنَ الْأَرْضِ، وَهِيَ مَا ارْتَفَعَ مِنْهَا،
“Kemenangan/penyelamatan” (najāt) berasal dari “najwah” dari bumi, yaitu bagian tanah yang tinggi.
ثُمَّ سُمِّيَ كُلُّ فَائِزٍ نَاجِيًا.
Kemudian setiap orang yang lolos/selamat disebut “nājī”.
وَ«آلُ فِرْعَوْنَ»: قَوْمُهُ،
“Ālu Fir‘aun” berarti kaum Fir‘aun.
وَأَصْلُ «آلٍ»: «أَهْلٌ»،
Asal kata “āl” adalah “ahl” (keluarga),
بِدَلِيلِ تَصْغِيرِهِ عَلَى «أُهَيْيِلٍ»،
dibuktikan dengan bentuk tasghir-nya “uhayyil”.
وَقِيلَ: غَيْرُ ذَلِكَ،
Ada juga yang berpendapat lain.
وَهُوَ يُضَافُ إِلَى ذَوِي الْخَطَرِ،
Kata “āl” biasanya disandarkan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan (terhormat).
قَالَ الْأَخْفَشُ: إِنَّمَا يُقَالُ فِي الرَّئِيسِ الْأَعْظَمِ نَحْوُ: «آلِ مُحَمَّدٍ»،
Al-Akhfasy berkata: Ia hanya digunakan untuk pemimpin besar, seperti “Ālu Muhammad”.
وَلَا يُضَافُ إِلَى الْبُلْدَانِ، فَلَا يُقَالُ: «مِنْ آلِ الْمَدِينَةِ».
Dan tidak disandarkan kepada nama negeri; maka tidak dikatakan “min āli al-madīnah”.
وَقَالَ الْأَخْفَشُ: قَدْ سَمِعْنَاهُ فِي الْبُلْدَانِ، قَالُوا: «آلِ الْمَدِينَةِ».
Namun al-Akhfasy juga mengatakan: Telah kami dengar penggunaannya untuk nama negeri; mereka berkata: “Āli al-Madīnah.”
وَاخْتَلَفُوا هَلْ يُضَافُ إِلَى الْمُضْمَرِ أَمْ لَا،
Mereka berselisih apakah kata “āl” boleh disandarkan kepada dhamir (kata ganti) atau tidak.
فَمَنَعَهُ قَوْمٌ، وَسَوَّغَهُ آخَرُونَ، وَهُوَ الْحَقُّ،
Sebagian melarangnya, sementara yang lain membolehkannya; dan inilah pendapat yang benar.
وَمِنْهُ قَوْلُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ:
Di antaranya adalah ucapan ‘Abdul-Muththalib:
وَانْصُرْ عَلَى آلِ الصَّلِيبِ وَعَابِدِيهِ الْيَوْمَ آلَكَ
“Dan tolonglah (kami) menghadapi para pemilik salib dan para penyembahnya; hari ini (tolonglah) keluarga-Mu (ālak).”
وَ«فِرْعَوْنُ»: قِيلَ هُوَ اسْمُ ذَلِكَ الْمَلِكِ بِعَيْنِهِ،
Tentang “Fir‘aun”, ada yang mengatakan itu adalah nama raja tertentu itu.
وَقِيلَ: إِنَّهُ اسْمٌ لِكُلِّ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الْعَمَالِقَةِ،
Ada pula yang berkata: ia adalah sebutan bagi setiap raja dari raja-raja ‘Amāliqah,
كَمَا يُسَمَّى مَنْ مَلَكَ الْفُرْسَ: «كِسْرَى»، وَمَنْ مَلَكَ الرُّومَ: «قَيْصَرَ»، وَمَنْ مَلَكَ الْحَبَشَةَ: «النَّجَاشِيَّ».
sebagaimana yang memerintah Persia disebut “Kisrā”, yang memerintah Romawi disebut “Qaisar”, dan yang memerintah Habasyah disebut “an-Najāsyī”.
وَاسْمُ فِرْعَوْنِ مُوسَى الْمَذْكُورِ هُنَا: «قَابُوسُ» فِي قَوْلِ أَهْلِ الْكِتَابِ،
Nama Fir‘aun di zaman Musa yang disebut di sini, menurut Ahli Kitab, adalah Qābūs.
وَقَالَ وَهْبٌ: اسْمُهُ: «الْوَلِيدُ بْنُ مُصْعَبِ بْنِ الرَّيَّانِ».
Wahb berkata: namanya adalah al-Walīd bin Mush‘ab bin ar-Rayyan.
قَالَ الْمَسْعُودِيُّ: لَا يُعْرَفُ لِفِرْعَوْنَ تَفْسِيرٌ بِالْعَرَبِيَّةِ.
Al-Mas‘ūdī berkata: Tidak diketahui asal kata “Fir‘aun” dalam bahasa Arab.
وَقَالَ الْجَوْهَرِيُّ: إِنَّ كُلَّ عَاتٍ يُقَالُ لَهُ «فِرْعَوْنُ»،
Al-Jauharī berkata: Setiap orang yang sangat sewenang-wenang disebut “fir‘aun”.
وَقَدْ «تَفَرْعَنَ»، وَهُوَ ذُو «فَرْعَنَةٍ»: أَيْ دَهَاءٍ وَمَكْرٍ.
Dikatakan “tafar‘ana” (bertingkah seperti Fir‘aun), dan ia memiliki “far‘anah” yakni kecerdikan licik dan tipu daya.
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: «تَفَرْعَنَ فُلَانٌ» إِذَا عَتَا وَتَجَبَّرَ.
Dalam al-Kasysyāf disebutkan: “tafar‘ana fulān” bila seseorang melampaui batas dan berlaku sombong.
وَمَعْنَى قَوْلِهِ: «يَسُومُونَكُمْ» يُوَلُّونَكُمُ، قَالَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ،
Makna firman-Nya: “yasūmūnakum” adalah “menguasai dan memperlakukan kalian” demikian; ini dikatakan oleh Abu ‘Ubaidah.
وَقِيلَ: «يُذِيقُونَكُمْ وَيُلْزِمُونَكُمْ إِيَّاهُ»،
Ada yang berkata: maksudnya “mereka membuat kalian merasakan dan memaksakan siksaan itu kepada kalian”.
وَأَصْلُ «السَّوْمِ»: الدَّوَامُ،
Asal makna “sawm” (di sini) adalah kontinuitas (keberlanjutan).
وَمِنْهُ: «سَائِمَةُ الْغَنَمِ» لِمُدَاوَمَتِهَا الرَّعْيَ،
Dari kata itu pula istilah “sā’imatu al-ghanam” (ternak merumput sendiri) karena terus-menerus merumput.
وَيُقَالُ: «سَامَهُ خُطَّةَ خَسْفٍ» إِذَا أَوْلَاهُ إِيَّاهَا.
Dikatakan: “sāmuhu khithata khasf” bila seseorang menjatuhkan dan memaksakan kehinaan kepadanya.
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: أَصْلُهُ مِنْ «سَامَ السِّلْعَةَ» إِذَا طَلَبَهَا،
Dalam al-Kasysyāf disebutkan: Asalnya dari “sāma as-sil‘ah” bila ia mencari/menawar barang.
كَأَنَّهُ بِمَعْنَى: «يَبْغُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيُرِيدُونَكُمْ عَلَيْهِ». انْتَهَى.
Seakan-akan maknanya: “mereka mencari-cari dan menghendaki untuk menimpakan kepada kalian siksaan yang buruk itu.” Selesai (kutipan).
وَ«سُوءُ الْعَذَابِ»: أَشَدُّهُ،
“Su’u al-‘adzāb” berarti siksaan yang paling berat.
وَهُوَ صِفَةُ مَصْدَرٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ: «يَسُومُونَكُمْ سَوْمًا سُوءَ الْعَذَابِ»،
Dan ia adalah sifat bagi mashdar yang dihapus, yakni: “yasūmūnakum sawman su’a al-‘adzāb” (mereka senantiasa menimpakan siksaan yang paling buruk kepada kalian).
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مَفْعُولًا ثَانِيًا،
Boleh juga “su’a al-‘adzāb” menjadi maf‘ul kedua.
وَهَذِهِ الْجُمْلَةُ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ عَلَى أَنَّهَا خَبَرٌ لِمُبْتَدَأٍ مُقَدَّرٍ،
Kalimat ini berada pada posisi rafa‘ sebagai khabar bagi mubtada’ yang diperkirakan (terhapus).
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ، أَيْ: «سَائِمِينَ لَكُمْ».
Boleh juga diposisikan sebagai hal, yakni: “dalam keadaan mereka senantiasa menimpakan azab.”
وَقَوْلُهُ: «يُذَبِّحُونَ» وَمَا بَعْدَهُ، بَدَلٌ مِنْ قَوْلِهِ: «يَسُومُونَكُمْ»،
Firman-Nya: “yudzabbihūna abnā’akum wa yastahyūna nisā’akum” merupakan badal dari “yasūmūnakum”.
وَقَالَ الْفَرَّاءُ: إِنَّهُ تَفْسِيرٌ لِمَا قَبْلَهُ،
Al-Farrā’ berkata: Ia adalah penjelasan dari kalimat sebelumnya.
وَقَرَأَهُ الْجَمَاعَةُ بِالتَّشْدِيدِ، وَقَرَأَ ابْنُ مُحَيْصِنٍ بِالتَّخْفِيفِ،
Jumhur qari‘ membaca “yudzabbihūn” dengan tasydid (memperbanyak bentuk), sedangkan Ibnu Muḥaishin dengan tanpa tasydid.
وَ«الذَّبْحُ» فِي الْأَصْلِ: الشَّقُّ، وَهُوَ فَرْيُ أَوْدَاجِ الْمَذْبُوحِ.
“Asl dzabh” (sembelihan) pada asalnya berarti membelah, yaitu memutus urat nadi hewan sembelihan.
وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: «وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ»
Yang dimaksud dengan firman-Nya Ta‘ālā: “dan mereka membiarkan hidup perempuan-perempuan kalian”
يَتْرُكُونَهُنَّ أَحْيَاءً، لِيَسْتَخْدِمُوهُنَّ وَيَمْتَهِنُوهُنَّ،
adalah bahwa mereka membiarkan para perempuan hidup agar dapat dijadikan budak dan dihinakan.
وَإِنَّمَا أَمَرَ بِذَبْحِ الْأَبْنَاءِ وَاسْتِحْيَاءِ الْبَنَاتِ،
Fir‘aun memerintahkan penyembelihan anak-anak lelaki dan membiarkan hidup anak-anak perempuan,
لِأَنَّ الْكَهَنَةَ أَخْبَرُوهُ بِأَنَّهُ مَوْلُودٌ يَكُونُ هَلَاكُهُ عَلَى يَدَيْهِ،
karena para ahli nujum (dukun) telah memberitahunya bahwa akan lahir seorang bayi laki-laki, di tangan dialah kehancurannya.
وَعُبِّرَ عَنِ الْبَنَاتِ بِاسْمِ «النِّسَاءِ» لِأَنَّهُ جِنْسٌ يَصْدُقُ عَلَى الْبَنَاتِ.
Anak-anak perempuan diungkapkan dengan lafaz “an-nisā’” karena kata itu merupakan jenis yang mencakup juga anak-anak perempuan.
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: إِنَّهُ أَمَرَ بِذَبْحِ الرِّجَالِ،
Ada sekelompok ulama yang mengatakan: Fir‘aun memerintahkan penyembelihan para lelaki dewasa.
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ: «نِسَاءَكُمْ»،
Mereka berdalil dengan lafaz “nisā’akum”.
وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ بِشَهَادَةِ السَّبَبِ،
Namun pendapat pertama lebih benar berdasarkan sebab (kisah) yang disebutkan.
وَلَا يَخْفَى مَا فِي قَتْلِ الْأَبْنَاءِ وَاسْتِحْيَاءِ الْبَنَاتِ لِلْخِدْمَةِ وَنَحْوِهَا،
Tidak samar lagi, betapa besar kehinaan dalam pembunuhan anak-anak lelaki dan dibiarkannya hidup anak-anak perempuan untuk dijadikan pelayan dan sebagainya,
مِنْ إِنْزَالِ الذُّلِّ بِهِمْ، وَإِلْصَاقِ الْإِهَانَةِ الشَّدِيدَةِ بِجَمِيعِهِمْ، لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْعَارِ.
yakni dalam menimpakan kehinaan kepada mereka, dan melekatkannya kehinaan yang besar pada seluruh kaum mereka, karena itu adalah aib yang sangat.
وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: «وَفِي ذَلِكُمْ» إِلَى جُمْلَةِ الْأَمْرِ.
Isyarat pada firman-Nya: “wa fī dzālikum” kembali kepada keseluruhan perkara yang telah disebut.
وَ«الْبَلَاءُ» يُطْلَقُ تَارَةً عَلَى الْخَيْرِ، وَتَارَةً عَلَى الشَّرِّ،
“Kata ‘balā’” kadang dipakai untuk kebaikan dan kadang untuk keburukan (ujian).
فَإِنْ أُرِيدَ بِهِ هُنَا الشَّرُّ، كَانَتِ الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: «وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ» إِلَى مَا حَلَّ بِهِمْ مِنَ النِّقْمَةِ بِالذَّبْحِ وَنَحْوِهِ،
Bila yang dimaksud di sini adalah keburukan, maka isyarat pada firman-Nya “di dalam hal itu terdapat balā’ (cobaan)” kembali kepada hukuman yang menimpa mereka berupa penyembelihan dan sebagainya.
وَإِنْ أُرِيدَ بِهِ الْخَيْرُ، كَانَتِ الْإِشَارَةُ إِلَى النِّعْمَةِ الَّتِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ بِالْإِنْجَاءِ،
Namun bila yang dimaksud adalah kebaikan, maka isyarat itu kembali kepada nikmat yang Allah karuniakan berupa penyelamatan,
وَمَا هُوَ مَذْكُورٌ قَبْلَهُ مِنْ تَفْضِيلِهِمْ عَلَى الْعَالَمِينَ.
dan apa yang telah disebut sebelumnya berupa pengutamaan mereka atas (penduduk) alam.
وَقَدِ اخْتَلَفَ السَّلَفُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي مَرْجِعِ الْإِشَارَةِ،
Para ulama salaf dan sesudah mereka berbeda pendapat tentang kemana isyarat itu kembali.
فَرَجَّحَ الْجُمْهُورُ الْأَوَّلَ، وَرَجَّحَ الْآخَرُونَ الْآخَرَ.
Mayoritas ulama menguatkan pendapat pertama, sedangkan sebagian yang lain menguatkan pendapat kedua.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: وَأَكْثَرُ مَا يُقَالُ فِي الشَّرِّ: «بَلَوْتُهُ أَبْلُوهُ بَلَاءً»،
Ibnu Jarir berkata: Kebanyakan penggunaan kata “balā” untuk keburukan dalam ucapan mereka: “balautuhu ab lūhu balā’an”.
وَفِي الْخَيْرِ: «أُبْلِيهِ إِبْلَاءً وَبَلَاءً»،
Sedangkan untuk kebaikan: “ublīhi iblā’an wa balā’an”.
قَالَ زُهَيْرٌ:
Zuhair berkata:
جَزَى اللَّهُ بِالْإِحْسَانِ مَا فَعَلَا بِكُمْ … وَأَبْلَاهُمَا خَيْرَ الْبَلَاءِ الَّذِي يَبْلُو
“Semoga Allah membalas dengan ihsan atas apa yang mereka perbuat pada kalian, dan menganugerahi keduanya sebaik-baik balā’ (nikmat) yang dengannya Dia menguji hamba-hamba-Nya.”
قَالَ: فَجَمَعَ بَيْنَ اللُّغَتَيْنِ،
Ibnu Jarir berkata: Dalam bait ini penyair menggabungkan dua bentuk penggunaan,
لِأَنَّهُ أَرَادَ: «فَأَنْعَمَ عَلَيْهِمَا خَيْرَ النِّعَمِ الَّتِي يَخْتَبِرُ بِهَا عِبَادَهُ».
karena yang ia maksud adalah: “Semoga Allah melimpahkan kepada keduanya sebaik-baik nikmat yang Dia gunakan untuk menguji hamba-hamba-Nya.”
وَقَوْلُهُ: «وَإِذْ فَرَقْنَا» مُتَعَلِّقٌ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ قَوْلِهِ: «اذْكُرُوا»،
Firman-Nya: “wa idz faraqnā” berhubungan dengan firman-Nya yang telah lalu: “udzkurū”.
وَ«فَرَقْنَا»: فَلَقْنَا،
“Faraqnā” bermakna: Kami membelah.
وَأَصْلُ «الْفَرْقِ»: الْفَصْلُ، وَمِنْهُ: «فَرْقُ الشَّعْرِ»،
Asal makna “al-farq” adalah memisahkan; darinya istilah “farqu asy-sya‘r” (membelah rambut).
وَقَرَأَ الزُّهْرِيُّ: «فَرَّقْنَا» بِالتَّشْدِيدِ.
Az-Zuhrī membaca “farraqnā” dengan tasydid.
وَالْبَاءُ فِي قَوْلِهِ: «بِكُمُ» قِيلَ: هِيَ بِمَعْنَى اللَّامِ، أَيْ: «لَكُمْ»،
Huruf bā’ pada firman-Nya: “bikum” menurut sebagian bermakna lam, yakni: “untuk kalian”.
وَقِيلَ: هِيَ «الْبَاءُ السَّبَبِيَّةُ»، أَيْ: «فَرَقْنَاهُ بِسَبَبِكُمْ»،
Ada pula yang berkata: itu adalah bā’ sababiyyah, yakni: “Kami membelahnya karena kalian.”
وَقِيلَ: إِنَّ الْجَارَّ وَالْمَجْرُورَ فِي مَحَلِّ الْحَالِ،
Ada juga yang berpendapat bahwa jar-majrūr (bikum) berada pada posisi hal,
أَيْ: «فَرَقْنَاهُ مُتَلَبِّسًا بِكُمْ».
yakni: “Kami membelahnya dalam keadaan kalian berada di dalamnya.”
وَالْمُرَادُ هَاهُنَا: أَنَّ فَرْقَ الْبَحْرِ كَانَ بِهِمْ، أَيْ: بِسَبَبِ دُخُولِهِمْ فِيهِ،
Yang dimaksud di sini adalah bahwa pembelahan laut itu terjadi karena mereka; yakni karena mereka masuk ke dalamnya.
أَيْ: لَمَّا صَارُوا بَيْنَ الْمَاءَيْنِ صَارَ الْفَرْقُ بِهِمْ.
Yakni, ketika mereka berada di antara dua belahan air, terjadilah pembelahan itu (karena keberadaan mereka).
وَأَصْلُ «الْبَحْرِ» فِي اللُّغَةِ: الِاتِّسَاعُ،
Asal makna “al-baḥr” dalam bahasa adalah keluasan.
أُطْلِقَ عَلَى الْبَحْرِ الَّذِي هُوَ مُقَابِلُ الْبَرِّ لِمَا فِيهِ مِنَ الِاتِّسَاعِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى النَّهْرِ وَالْخَلِيجِ،
Nama itu dipakai untuk laut yang berhadapan dengan daratan karena luasnya dibandingkan dengan sungai atau teluk.
وَيُطْلَقُ عَلَى الْمَاءِ الْمَالِحِ، وَمِنْهُ: «أَبْحَرَ الْمَاءُ» إِذَا مَلُحَ،
Kata ini juga dipakai untuk air yang asin; darinya ungkapan “abḥara al-mā’u” bila air menjadi asin.
قَالَ نُصَيْبٌ:
Nuṣaib berkata:
وَقَدْ عَادَ مَاءُ الْأَرْضِ بَحْرًا فَزَادَنِي … إِلَى مَرَضِي أَنْ أَبْحَرَ الْمَشْرَبُ الْعَذْبُ
“Sungguh air di muka bumi telah kembali menjadi laut, dan bertambah pula sakitku ketika sumber air yang tawar ikut menjadi asin.”
وَقَوْلُهُ: «فَأَنْجَيْنَاكُمْ» أَيْ: أَخْرَجْنَاكُمْ مِنْهُ،
Firman-Nya: “fa anjainākum” berarti: Kami keluarkan kalian darinya.
وَ«أَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ» فِيهِ.
Dan “Kami tenggelamkan keluarga Fir‘aun” di dalamnya.
وَقَوْلُهُ: «وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ» فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ،
Firman-Nya: “wa antum tanẓurūn” berada pada posisi manshub sebagai hal,
أَيْ: حَالَ كَوْنِكُمْ نَاظِرِينَ إِلَيْهِمْ بِأَبْصَارِكُمْ،
yakni: dalam keadaan kalian menyaksikan mereka dengan mata kepala kalian.
وَقِيلَ: مَعْنَاهُ: «وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ»، أَيْ: يَنْظُرُ بَعْضُكُمْ إِلَى الْبَعْضِ الْآخَرِ مِنَ السَّالِكِينَ فِي الْبَحْرِ،
Ada yang berkata: Maknanya: kalian saling memandang satu sama lain di antara orang-orang yang berjalan di lautan itu.
وَقِيلَ: نَظَرُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ يَنْجُونَ، وَإِلَى آلِ فِرْعَوْنَ يَغْرَقُونَ.
Ada pula yang berkata: Mereka memandang diri mereka yang selamat, dan memandang keluarga Fir‘aun yang tenggelam.
وَالْمُرَادُ بِـ«آلِ فِرْعَوْنَ» هُنَا: هُوَ وَقَوْمُهُ وَأَتْبَاعُهُ.
Yang dimaksud dengan “Ālu Fir‘aun” di sini adalah Fir‘aun sendiri, kaumnya, dan para pengikutnya.
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ:
Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab:
أَنَّهُ كَانَ إِذَا تَلَا: «اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ» قَالَ: «مَضَى الْقَوْمُ، وَإِنَّمَا يَعْنِي بِهِ أَنْتُمْ».
Bahwa ketika beliau membaca: “Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian,” beliau berkata: “Kaum itu telah berlalu, dan yang dimaksud adalah kalian (wahai umat Muhammad).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ، قَالَ فِي قَوْلِهِ: «اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ»: هِيَ أَيَادِي اللَّهِ وَأَيَّامُهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sufyān bin ‘Uyainah tentang firman-Nya: “Ingatlah nikmat-Ku,” ia berkata: “Itulah berbagai karunia dan hari-hari (pertolongan) Allah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ:
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata:
«نِعْمَةُ اللَّهِ الَّتِي أَنْعَمَ بِهَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِيمَا سَمَّىٰ وَفِيمَا سِوَى ذَلِكَ:
“Ni‘mat Allah yang Dia anugerahkan kepada Bani Israil, baik yang telah Dia sebutkan maupun selainnya:
فَجَّرَ لَهُمُ الْحَجَرَ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ،
Dia memancarkan air dari batu untuk mereka, dan menurunkan manna dan salwa kepada mereka,
وَأَنْجَاهُمْ مِنْ عُبُودِيَّةِ آلِ فِرْعَوْنَ».
dan menyelamatkan mereka dari perbudakan keluarga Fir‘aun.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ»،
‘Abdur Razzaq dan ‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Dan bahwa Aku telah melebihkan kalian atas (penduduk) alam,”
قَالَ: «فُضِّلُوا عَلَى الْعَالَمِ الَّذِي كَانُوا فِيهِ، وَلِكُلِّ زَمَانٍ عَالَمٌ».
ia berkata: “Mereka diutamakan atas (penduduk) alam pada masa mereka; dan setiap zaman memiliki alamnya sendiri.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ نَحْوَهُ.
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Mujahid perkataan yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ»،
Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “Aku melebihkan kalian atas (penduduk) alam,”
قَالَ: «بِمَا أُعْطُوا مِنَ الْمُلْكِ وَالرُّسُلِ وَالْكُتُبِ عَلَى مَنْ كَانَ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ، فَإِنَّ لِكُلِّ زَمَانٍ عَالَمًا».
ia berkata: “Dengan apa yang diberikan kepada mereka berupa kerajaan, para rasul, dan kitab-kitab, atas orang-orang yang hidup pada masa itu; karena setiap masa memiliki alamnya sendiri.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ السُّدِّيِّ فِي قَوْلِهِ: «لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا»،
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddī tentang firman-Nya: “Tidak ada suatu jiwa pun yang dapat membela jiwa lain sedikit pun,”
قَالَ: «لَا تُغْنِي نَفْسٌ مُؤْمِنَةٌ عَنْ نَفْسٍ كَافِرَةٍ مِنَ الْمَنْفَعَةِ شَيْئًا».
ia berkata: “Tidak ada jiwa yang beriman dapat memberi manfaat sedikit pun kepada jiwa yang kafir.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ الْمُلَائِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ، أَحْسَنَ الثَّنَاءَ عَلَيْهِ،
Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Amr bin Qais al-Mulā’ī, dari seorang lelaki dari Bani Umayyah, dari penduduk Syam, yang ia puji dengan baik,
قَالَ: «قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْعَدْلُ؟ قَالَ: الْعَدْلُ: الْفِدْيَةُ».
ia berkata: “Dikatakan: Wahai Rasulullah, apakah al-‘adl itu? Beliau menjawab: al-‘adl adalah tebusan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas perkataan yang serupa.
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: وَرُوِيَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ وَالْحَسَنِ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَقَتَادَةَ وَالرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ نَحْوُ ذَلِكَ.
Ibnu Abi Hatim berkata: Riwayat semisal juga datang dari Abu Mālik, al-Hasan, Sa‘id bin Jubair, Qatādah, dan ar-Rabī‘ bin Anas.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ فِي تَفْسِيرِ «الصَّرْفِ وَالْعَدْلِ»،
‘Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ali tentang tafsir “ash-sharf wal-‘adl”,
قَالَ: «التَّطَوُّعُ وَالْفَرِيضَةُ».
ia berkata: “(Ash-sharf) adalah ibadah sunnah dan (al-‘adl) adalah ibadah wajib.”
قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ: وَهَذَا الْقَوْلُ غَرِيبٌ هَاهُنَا،
Ibnu Katsir berkata: “Pendapat ini asing (lemah) dalam konteks ayat ini,
وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ أَظْهَرُ فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ.
dan pendapat pertama lebih jelas dalam menafsirkan ayat ini.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«قَالَتِ الْكَهَنَةُ لِفِرْعَوْنَ: إِنَّهُ يُولَدُ فِي هَذَا الْعَامِ مَوْلُودٌ يَذْهَبُ بِمُلْكِكَ،
“Para dukun berkata kepada Fir‘aun: ‘Akan lahir pada tahun ini seorang bayi yang akan menghancurkan kekuasaanmu.’
فَجَعَلَ فِرْعَوْنُ عَلَى كُلِّ أَلْفِ امْرَأَةٍ مِائَةَ رَجُلٍ، وَعَلَى كُلِّ مِائَةٍ عَشَرَةً، وَعَلَى كُلِّ عَشَرَةٍ رَجُلًا،
Maka Fir‘aun menugaskan untuk setiap seribu wanita seratus orang lelaki (pengawas), untuk setiap seratus wanita sepuluh orang, dan untuk setiap sepuluh wanita satu orang.
فَقَالَ: انْظُرُوا كُلَّ امْرَأَةٍ حَامِلٍ فِي الْمَدِينَةِ، فَإِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا، فَإِنْ كَانَ ذَكَرًا فَاذْبَحُوهُ، وَإِنْ كَانَ أُنْثَىٰ فَخَلُّوا عَنْهَا،
Lalu ia berkata: ‘Perhatikan setiap perempuan hamil di kota; bila ia melahirkan, jika bayinya laki-laki, sembelihlah; bila perempuan, biarkan hidup.’
وَذَلِكَ قَوْلُهُ: «يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ».
Itulah maksud firman-Nya: “Mereka menyembelih anak-anak lelaki kalian dan membiarkan hidup perempuan-perempuan kalian.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ»،
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “yasūmūnakum su’a al-‘adzāb”,
قَالَ: «إِنَّ فِرْعَوْنَ مَلَكَهُمْ أَرْبَعَمِائَةِ سَنَةٍ،
ia berkata: “Sesungguhnya Fir‘aun berkuasa atas mereka selama empat ratus tahun.
فَقَالَتْ لَهُ الْكَهَنَةُ: إِنَّهُ سَيُولَدُ الْعَامَ بِمِصْرَ غُلَامٌ هَلَاكُكَ عَلَى يَدَيْهِ،
Para dukun berkata kepadanya: ‘Akan lahir tahun ini di Mesir seorang anak laki-laki, kebinasaanmu akan terjadi di tangannya.’
فَبَعَثَ فِي أَهْلِ مِصْرَ نِسَاءً قَوَابِلَ،
Maka ia mengutus para bidan ke tengah penduduk Mesir.
فَإِذَا وَلَدَتِ امْرَأَةٌ غُلَامًا أُتِيَ بِهِ فِرْعَوْنَ فَقَتَلَهُ، وَيَسْتَحْيِي الْجَوَارِيَ».
Jika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki, bayi itu dibawa kepada Fir‘aun lalu ia membunuhnya, sedangkan para bayi perempuan dibiarkan hidup.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ»،
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “balā’un min rabbikum ‘azhīm”,
قَالَ: «نِقْمَةٌ».
ia berkata: “Maksudnya adalah hukuman/adzab.”
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ عَنْ مُجَاهِدٍ نَحْوَهُ.
Wakī‘ meriwayatkan dari Mujahid ucapan yang serupa.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ»،
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “wa idz faraqnā bikumu al-baḥr”,
فَقَالَ: «إِي وَاللَّهِ، لَفَرَقَ الْبَحْرَ بَيْنَهُمْ، حَتَّى صَارَ طَرِيقًا يَبَسًا يَمْشُونَ فِيهِ،
ia berkata: “Benar, demi Allah, Allah benar-benar membelah laut di antara mereka hingga menjadi jalan yang kering, yang mereka berjalan melaluinya.
فَأَنْجَاهُمُ اللَّهُ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ عَدُوَّهُمْ».
Maka Allah menyelamatkan mereka dan menenggelamkan keluarga Fir‘aun, musuh mereka.”
وَقَدْ ثَبَتَ فِي «الصَّحِيحَيْنِ» وَغَيْرِهِمَا مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
Telah tetap dalam Shahihain dan selain keduanya, dari hadis Ibnu ‘Abbas,
قَالَ: «قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَرَأَى الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ،
ia berkata: “Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, lalu melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura.
فَقَالَ: مَا هَذَا الْيَوْمُ؟
Beliau bertanya: ‘Hari apakah ini?’
قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، نَجَّى اللَّهُ فِيهِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَىٰ»،
Mereka menjawab: ‘Ini adalah hari yang baik, hari ketika Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu.’
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَحْنُ أَحَقُّ بِمُوسَىٰ مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصَوْمِهِ».
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Lalu beliau berpuasa hari itu dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa.”
وَقَدْ أَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو نُعَيْمٍ فِي «الْحِلْيَةِ» عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ:
Ath-Thabrānī dan Abu Nu‘aim dalam Hilyah meriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair:
أَنَّ هِرَقْلَ كَتَبَ إِلَى مُعَاوِيَةَ يَسْأَلُهُ عَنْ أُمُورٍ، مِنْهَا عَنِ الْبُقْعَةِ الَّتِي لَمْ تُصِبْهَا الشَّمْسُ إِلَّا سَاعَةً،
Bahwa Heraklius menulis surat kepada Mu‘awiyah menanyainya tentang beberapa perkara, di antaranya tentang tempat (tanah) yang tidak terkena sinar matahari kecuali satu saat saja (dalam sehari).
فَكَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، فَأَجَابَهُ عَنْ تِلْكَ الْأُمُورِ،
Maka Mu‘awiyah menulis surat kepada Ibnu ‘Abbas; lalu Ibnu ‘Abbas menjawab semua pertanyaan itu.
وَقَالَ: «وَأَمَّا الْبُقْعَةُ الَّتِي لَمْ تُصِبْهَا الشَّمْسُ إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ، فَالْبَحْرُ الَّذِي أَفْرَجَ عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ».
Ia berkata: “Adapun tanah yang tidak tersentuh matahari kecuali selama satu jam di siang hari itu adalah lautan yang terbelah bagi Bani Israil (yang mereka lewati).”
وَلَعَلَّهُ سَيَأْتِي – إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى – زِيَادَةٌ عَلَى مَا هُنَا عِنْدَ تَفْسِيرِ قَوْلِهِ تَعَالَى:
Barangkali—insya Allah Ta‘ālā—akan datang tambahan penjelasan di luar apa yang ada di sini ketika menafsirkan firman-Nya Ta‘ālā:
فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ.
“Maka Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah laut itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan (air) seperti gunung yang besar.”7 ---

Catatan kaki

1 الْأَنْبِيَاءُ: 71. Surah al-Anbiyā’ ayat 71, tentang firman-Nya: “وَبَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ”.

2 الْمَائِدَةُ: 20. Surah al-Mā’idah ayat 20, sebagai rujukan bagi ayat: “إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ…”.

3 الدُّخَانُ: 32. Surah ad-Dukhān ayat 32, rujukan untuk: “وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَىٰ عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ”.

4 آلُ عِمْرَانَ: 33. Surah Āli ‘Imrān ayat 33, tentang: “إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ…”.

5 آلُ عِمْرَانَ: 110. Surah Āli ‘Imrān ayat 110: “كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ…”.

6 فِي الْقُرْطُبِيِّ: «يَجْزَأُ». Dalam Tafsir al-Qurṭubī pada bait syair “وَإِنَّ الْحُرَّ يُجْزَىٰ بِالْكُرَاعِ” terdapat bentuk lafaz lain “يَجْزَأُ” sebagai varian bacaan.

7 الشُّعَرَاءُ: 63. Surah asy-Syu‘arā’ ayat 63: “فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْبَحْرَ…”.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7