Al Baqarah Ayat 93-96
[سُورَةُ البَقَرَةِ (2): الآيَاتُ 93 إِلَى 96]
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ ۖ خُذُوا۟ مَآ ءَاتَيْنَٰكُم بِقُوَّةٍۢ وَاسْمَعُوا۟ ۖ قَالُوا۟ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا ۖ وَأُشْرِبُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ ۚ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُم بِهِۦٓ إِيمَٰنُكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ٩٣
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari kalian
dan Kami angkat bukit Ṭūr di atas kalian (seraya berfirman),
“Peganglah dengan teguh apa yang Kami berikan kepada kalian, dan dengarkanlah!”
Mereka berkata, “Kami dengar, tetapi kami durhaka.”
Dan (karena) kekafiran mereka, mereka dijadikan (seperti) telah diberi minum (kecintaan) kepada anak sapi itu ke dalam hati mereka.
Katakanlah, “Alangkah buruknya apa yang diperintahkan iman kalian kepada kalian, jika kalian benar-benar orang-orang beriman.”
قُلْ إِن كَانَتْ لَكُمُ ٱلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ عِندَ ٱللَّهِ خَالِصَةًۭ مِّن دُونِ ٱلنَّاسِ فَتَمَنَّوُا۟ ٱلْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ ٩٤
Katakanlah, “Jika negeri akhirat di sisi Allah itu
hanyalah untuk kalian saja, tidak untuk (selain) manusia,
maka harapkanlah kematian itu, jika kalian memang orang-orang yang benar.”
وَلَن يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًۢا بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌۢ بِٱلظَّٰلِمِينَ ٩٥
Dan mereka tidak akan pernah mengharapkannya,
karena (dosa-dosa) yang telah diperbuat tangan mereka sendiri.
Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ ٱلنَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٍۢ ۖ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍۢ ۖ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِۦ مِنَ ٱلْعَذَابِ أَن يُعَمَّرَ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ ٩٦
Dan sungguh engkau (Muhammad) akan mendapati mereka
sebagai manusia yang paling rakus terhadap kehidupan (dunia),
bahkan lebih rakus (lagi) daripada orang-orang yang mempersekutukan Allah.
Salah seorang dari mereka ingin seandainya ia diberi umur seribu tahun.
Padahal (panjang umur itu) sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari azab sedikit pun apabila ia dipanjangkan umurnya.
Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
---
قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُ أَخْذِ الْمِيثَاقِ وَرَفْعِ الطُّورِ.
Telah dijelaskan sebelumnya penafsiran tentang pengambilan perjanjian dan pengangkatan bukit Ṭūr.
وَالْأَمْرُ بِالسَّمَاعِ مَعْنَاهُ: الطَّاعَةُ وَالْقَبُولُ،
Perintah untuk “mendengar” maknanya adalah: taat dan menerima,
وَلَيْسَ الْمُرَادُ: الْإِدْرَاكَ بِحَاسَّةِ السَّمْعِ،
bukan yang dimaksud sekadar menangkap (suara) dengan indera pendengaran.
وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ: «سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، أَيْ: قَبِلَ وَأَجَابَ،
Di antaranya adalah ucapan mereka, “Samia’ Allāhu liman ḥamidah”
yang artinya: Allah menerima dan mengabulkan (pujian) orang yang memuji-Nya.
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Dan termasuk dalam penggunaan ini adalah ucapan seorang penyair:
دَعَوْتُ اللَّهَ حَتَّىٰ خِفْتُ أَلَّا … يَكُونَ اللَّهُ يَسْمَعُ مَا أَقُولُ
“Aku telah berdoa kepada Allah sampai aku khawatir
jangan-jangan Allah tidak ‘mendengar’ apa yang aku ucapkan”,
أَيْ: يَقْبَلُ.
yakni: tidak menerima (doaku).
---
وَقَوْلُهُمْ فِي الْجَوَابِ: «سَمِعْنَا» هُوَ عَلَى بَابِهِ، وَفِيهِ مَعْنَاهُ،
Adapun ucapan mereka sebagai jawaban, “Sami’nā” (kami mendengar),
adalah sesuai makna asalnya, dan di dalamnya terdapat makna (harfiahnya),
أَيْ: سَمِعْنَا قَوْلَكَ بِحَاسَّةِ السَّمْعِ،
yakni: “Kami mendengar perkataan-Mu dengan indera pendengaran kami,”
وَعَصَيْنَا، أَيْ: لَا نَقْبَلُ مَا تَأْمُرُنَا بِهِ.
dan (ucapan mereka): “Wa ‘aṣainā” (dan kami durhaka),
yakni: “Kami tidak menerima apa yang Engkau perintahkan kepada kami.”
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونُوا أَرَادُوا بِقَوْلِهِمْ: «سَمِعْنَا» مَا هُوَ مَعْهُودٌ مِنْ تَلَاعُبِهِمْ
Boleh jadi mereka menginginkan dengan ucapan “Sami’nā” itu
sesuatu yang sudah dikenal dari kebiasaan mereka mempermainkan (perkataan)
وَاسْتِعْمَالِهِمُ الْمُغَالَطَةَ فِي مُخَاطَبَةِ أَنْبِيَائِهِمْ؛
dan menggunakan tipu daya dalam berbicara dengan para nabi mereka;
وَذٰلِكَ بِأَنْ يَحْمِلُوا قَوْلَهُ تَعَالَى: ﴿وَاسْمَعُوا۟﴾ عَلَىٰ مَعْنَاهُ الْحَقِيقِيِّ،
yaitu dengan cara mereka memaknai firman Allah Ta‘ālā “Wa-sma‘ū”
pada makna hakikinya,
أَيْ: السَّمَاعِ بِالْحَاسَّةِ.
yakni: mendengar dengan indera pendengaran.
ثُمَّ أَجَابُوا بِقَوْلِهِمْ: «سَمِعْنَا» أَيْ: أَدْرَكْنَا ذٰلِكَ بِأَسْمَاعِنَا،
Kemudian mereka menjawab dengan ucapan: “Sami‘nā”,
yakni: “Kami telah menangkapnya dengan pendengaran kami,”
عَمَلًا بِمُوجَبِ مَا تَأْمُرُ بِهِ،
sebagai kesan seolah-olah mereka telah melaksanakan tuntutan perintah itu.
وَلٰكِنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا يَعْلَمُونَ أَنَّ هٰذَا غَيْرُ مُرَادِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ،
Akan tetapi karena mereka mengetahui bahwa hal itu bukanlah kehendak Allah ‘Azza wa Jalla,
بَلْ مُرَادُهُ بِالْأَمْرِ بِالسَّمَاعِ: الْأَمْرُ بِالطَّاعَةِ وَالْقَبُولِ،
bahkan yang dikehendaki-Nya dengan perintah “mendengar”
adalah perintah untuk taat dan menerima,
لَمْ يَقْتَصِرُوا عَلَىٰ هٰذِهِ الْمُغَالَطَةِ،
maka mereka tidak berhenti hanya pada tipu daya ini,
بَلْ ضَمُّوا إِلَىٰ ذٰلِكَ مَا هُوَ الْجَوَابُ عِنْدَهُمْ،
bahkan mereka menambahkan jawaban yang sebenarnya ada di batin mereka,
فَقَالُوا: «وَعَصَيْنَا».
yaitu dengan berkata: “Dan kami durhaka.”
---
وَفِي قَوْلِهِ: ﴿وَأُشْرِبُوا۟ فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ﴾ تَشْبِيهٌ بَلِيغٌ،
Dalam firman-Nya: “Wa usyribū fī qulūbihimu al-‘ijla” terdapat tasybīh balīgh (perumpamaan yang sangat kuat),
أَيْ: جُعِلَتْ قُلُوبُهُمْ ـ لِتَمَكُّنِ حُبِّ الْعِجْلِ مِنْهَا ـ كَأَنَّهَا تَشْرَبُهُ.
yakni: hati mereka — karena begitu kuatnya kecintaan kepada anak sapi itu
menancap di dalamnya — seakan-akan hati itu meminumnya.
وَمِثْلُهُ قَوْلُ زُهَيْرٍ:
Yang serupa dengan ini adalah ucapan Zuhair:
فَصَحَوْتُ عَنْهَا بَعْدَ حُبٍّ دَاخِلٍ
وَالْحُبُّ تُشْرِبُهُ فُؤَادَكَ دَاءُ
“Aku sadar kembali darinya setelah cinta yang sudah merasuk,
dan cinta yang engkau minumkan ke dalam hatimu itu adalah penyakit.”
وَإِنَّمَا عُبِّرَ عَنْ حُبِّ الْعِجْلِ بِالشُّرْبِ دُونَ الْأَكْلِ،
Hanya saja, cinta kepada anak sapi itu diungkapkan dengan “minum” (syurb), bukan dengan “makan”,
لِأَنَّ شُرْبَ الْمَاءِ يَتَغَلْغَلُ فِي الْأَعْضَاءِ حَتَّىٰ يَصِلَ إِلَىٰ بَاطِنِهَا،
karena minuman (air) meresap ke dalam anggota tubuh
hingga sampai ke bagian dalamnya,
وَالطَّعَامُ يُجَاوِرُهَا وَلَا يَتَغَلْغَلُ فِيهَا.
sedangkan makanan hanya berada di sekelilingnya dan tidak meresap ke dalamnya.
وَالْبَاءُ فِي قَوْلِهِ: ﴿بِكُفْرِهِمْ﴾ سَبَبِيَّةٌ؛
Huruf “bā’” pada firman-Nya “bikufrihim” adalah bā’ sababiyyah (menunjukkan sebab),
أَيْ: كَانَ ذٰلِكَ بِسَبَبِ كُفْرِهِمْ، عُقُوبَةً لَهُمْ وَخِذْلَانًا.
yakni: hal itu terjadi karena kekafiran mereka,
sebagai hukuman bagi mereka dan sebagai bentuk penelantaran (dari Allah).
---
وَقَوْلُهُ: ﴿قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُم بِهِۦٓ إِيمَٰنُكُمْ﴾
Firman-Nya: “Katakanlah, ‘Alangkah buruknya apa yang diperintahkan iman kalian kepada kalian…’”
أَيْ: إِيمَانُكُمُ الَّذِي زَعَمْتُمْ:
yakni: iman kalian yang kalian klaim itu,
أَنَّكُمْ تُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ، وَتَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ،
(yaitu) bahwa kalian beriman kepada apa yang diturunkan kepada kalian
dan kalian kafir terhadap apa yang selainnya,
فَإِنَّ هٰذَا الصُّنْعَ ـ وَهُوَ قَوْلُكُمْ: ﴿سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا﴾ فِي جَوَابِ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ فِي كِتَابِكُمْ،
padahal perbuatan kalian ini — yaitu ucapan kalian, “Kami dengar dan kami durhaka,”
sebagai jawaban terhadap apa yang diperintahkan kepada kalian dalam kitab kalian,
وَأُخِذَ عَلَيْكُمُ الْمِيثَاقُ بِهِ،
dan telah diambil perjanjian atas kalian dengannya —
مُنَادٍ عَلَيْكُمْ بِأَبْلَغِ نِدَاءٍ بِخِلَافِ مَا زَعَمْتُمْ.
hal itu telah meneriakkan (membongkar) keadaan kalian dengan sejelas-jelasnya,
bahwa keadaan kalian bertentangan dengan klaim kalian.
وَكَذٰلِكَ مَا وَقَعَ مِنْكُمْ مِنْ عِبَادَةِ الْعِجْلِ،
Demikian pula apa yang terjadi dari kalian berupa penyembahan anak sapi,
وَنُزُولِ حُبِّهِ مِنْ قُلُوبِكُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرَابِ،
dan turunnya kecintaan kepada anak sapi itu di hati kalian seperti turunnya minuman,
هُوَ مِنْ أَعْظَمِ مَا يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّكُمْ كَاذِبُونَ فِي قَوْلِكُمْ: ﴿نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا﴾،
adalah termasuk bukti terbesar bahwa kalian dusta dalam ucapan kalian: “Kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami,”
لَا صَادِقُونَ.
bukan orang-orang yang jujur.
فَإِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّ كِتَابَكُمُ الَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ أَمَرَكُمْ بِهٰذَا،
Maka jika kalian mengklaim bahwa kitab kalian yang kalian imani itu memerintahkan kalian seperti ini,
فَبِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ بِكِتَابِكُمْ.
maka sungguh buruk apa yang diperintahkan oleh iman kalian terhadap kitab kalian itu.
وَفِي هٰذَا مِنَ التَّهَكُّمِ بِهِمْ مَا لَا يَخْفَىٰ.
Dan dalam (ungkapan) ini terdapat bentuk penghinaan dan sindiran terhadap mereka yang sangat jelas.
---
وَقَوْلُهُ: ﴿قُلْ إِن كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ﴾
Firman-Nya: “Katakanlah: Jika negeri akhirat itu untuk kalian…”
هُوَ رَدٌّ عَلَيْهِمْ لَمَّا ادَّعَوْا أَنَّهُمْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ،
adalah bantahan terhadap mereka ketika mereka mengklaim bahwa merekalah yang akan masuk surga,
وَلَا يُشَارِكُهُمْ فِي دُخُولِهَا غَيْرُهُمْ،
dan tidak ada seorang pun selain mereka yang akan ikut masuk ke dalamnya.
وَإِلْزَامٌ لَهُمْ بِمَا يَتَبَيَّنُ بِهِ أَنَّهُمْ كَاذِبُونَ فِي تِلْكَ الدَّعْوَىٰ،
Juga sebagai pemaksaan hujjah kepada mereka,
yang dengannya menjadi jelas bahwa mereka dusta dalam klaim itu,
وَأَنَّهَا صَادِرَةٌ مِنْهُمْ لَا عَنْ بُرْهَانٍ.
dan bahwa klaim itu keluar dari mereka bukan berdasarkan suatu bukti.
وَ«خَالِصَةً» مَنْصُوبٌ عَلَى الْحَالِ،
Kata “khāliṣatan” (murni) dibaca manshub sebagai ḥāl (keterangan keadaan),
وَيَكُونُ خَبَرُ «كَانَ» هُوَ: ﴿عِندَ اللَّهِ﴾،
dan khabar dari “kānat” adalah firman-Nya “‘inda Allāh” (di sisi Allah),
أَوْ يَكُونُ خَبَرُ «كَانَ» هُوَ: «خَالِصَةً».
atau khabarnya adalah kata “khāliṣatan”.
وَمَعْنَى الْخُلُوصِ:
Makna “khulūṣ” (kemurnian) adalah:
أَنَّهُ لَا يُشَارِكُهُمْ فِيهَا غَيْرُهُمْ إِذَا كَانَتِ اللَّامُ فِي قَوْلِهِ: ﴿مِن دُونِ النَّاسِ﴾ لِلْجِنْسِ،
bahwa tidak ada seorang pun yang turut (bersama mereka) di dalamnya jika lām (pada kata “an-nās”) adalah lām lil-jins (menunjukkan seluruh manusia),
أَوْ لَا يُشَارِكُهُمْ فِيهَا الْمُسْلِمُونَ، إِنْ كَانَتِ اللَّامُ لِلْعَهْدِ.
atau bahwa orang-orang muslim tidak ikut serta bersama mereka di dalamnya, jika lām itu lām lil-‘ahd (menunjuk kelompok tertentu).
وَهٰذَا أَرْجَحُ لِقَوْلِهِمْ فِي الْآيَةِ الْأُخْرَىٰ:
Dan pendapat kedua ini lebih kuat, karena firman-Nya tentang mereka di ayat yang lain:
﴿وَقَالُوا۟ لَن يَدْخُلَ ٱلْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَٰرَىٰ﴾1
“Dan mereka berkata: Tidak akan masuk surga kecuali orang yang menjadi Yahudi atau Nasrani.”1
---
وَإِنَّمَا أَمَرَهُمْ بِتَمَنِّي الْمَوْتِ،
Allah memerintahkan mereka untuk mengharapkan (meminta) kematian
لِأَنَّ مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، كَانَ الْمَوْتُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْحَيَاةِ،
karena siapa saja yang meyakini bahwa dirinya termasuk penghuni surga,
maka kematian akan lebih ia cintai daripada kehidupan (dunia),
وَلَمَّا كَانَ ذٰلِكَ مِنْهُمْ مُجَرَّدَ دَعْوَىٰ أَحْجَمُوا.
dan ketika hal itu pada diri mereka hanyalah klaim kosong, mereka pun enggan (untuk meminta mati).
وَلِهٰذَا قَالَ سُبْحَانَهُ: ﴿وَلَن يَتَمَنَّوْهُ أَبَدًا﴾.
Karena itulah Allah berfirman: “Dan mereka tidak akan pernah mengharapkannya.”
وَ«مَا» فِي قَوْلِهِ: ﴿بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ﴾ مَوْصُولَةٌ،
Kata “mā” dalam firman-Nya “bimā qaddamat aydīhim” adalah isim maushūl (kata sambung),
وَالْعَائِدُ مَحْذُوفٌ؛
dan ḍamīr (kata ganti) kembalinya dihilangkan,
أَيْ: بِمَا قَدَّمَتْهُ مِنَ الذُّنُوبِ
yakni: karena apa yang telah mereka dahulukan (lakukan) berupa dosa-dosa,
الَّتِي يَكُونُ فَاعِلُهَا غَيْرَ آمِنٍ مِنَ الْعَذَابِ،
yang pelakunya tidak merasa aman dari azab,
بَلْ غَيْرُ طَامِعٍ فِي دُخُولِ الْجَنَّةِ،
bahkan tidak pantas mengharapkan masuk surga,
فَضْلًا عَنْ كَوْنِهِ قَاطِعًا بِهَا،
apalagi sampai yakin pasti masuk ke dalamnya,
فَضْلًا عَنْ كَوْنِهَا خَالِصَةً لَهُ مُخْتَصَّةً بِهِ.
apalagi sampai yakin bahwa surga itu khusus dan murni untuknya saja.
وَقِيلَ: إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ صَرَفَهُمْ عَنِ التَّمَنِّي لِيَجْعَلَ ذٰلِكَ آيَةً لِنَبِيِّهِ ﷺ.
Ada yang berkata: Sesungguhnya Allah Subhānahu telah memalingkan mereka dari (mau) mengharapkan kematian, untuk menjadikan hal itu sebagai tanda (mukjizat) bagi Nabi-Nya ﷺ.
وَالْمُرَادُ بِالتَّمَنِّي هُنَا: هُوَ التَّلَفُّظُ بِمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ،
Yang dimaksud dengan “tamannī” (mengharap) di sini adalah
mengucapkan sesuatu yang menunjukkan hal itu,
لَا مُجَرَّدُ خُطُورِهِ بِالْقَلْبِ وَمَيْلِ النَّفْسِ إِلَيْهِ؛
bukan sekadar terlintas dalam hati dan condongnya jiwa kepada hal itu;
فَإِنَّ ذٰلِكَ لَا يُرَادُ فِي مَقَامِ الْمُحَاجَّةِ، وَمَوَاطِنِ الْخُصُومَةِ، وَمَوَاقِفِ التَّحَدِّي.
karena hal seperti itu tidak menjadi tujuan dalam konteks debat, perselisihan, dan tantangan.
وَفِي تَرْكِهِمْ لِلتَّمَنِّي، أَوْ صَرْفِهِمْ عَنْهُ، مُعْجِزَةٌ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ؛
Dan dalam sikap mereka yang tidak mau mengharapkan kematian, atau dipalingkan darinya,
terdapat suatu mukjizat bagi Rasulullah ﷺ,
فَإِنَّهُمْ قَدْ كَانُوا يَسْلُكُونَ مِنَ التَّعَجْرُفِ، وَالتَّجَرُّؤِ عَلَى اللَّهِ وَعَلَىٰ أَنْبِيَائِهِ بِالدَّعَاوَى الْبَاطِلَةِ فِي غَيْرِ مَوْطِنٍ،
karena mereka terbiasa bersikap angkuh dan berani terhadap Allah dan para nabi-Nya
dengan berbagai klaim batil di banyak tempat,
مَا قَدْ حَكَاهُ عَنْهُمُ التَّنْزِيلُ،
sebagaimana telah dikisahkan tentang mereka dalam Al-Qur’an,
فَلَمْ يَتْرُكُوا عَادَتَهُمْ هُنَا إِلَّا لَمَّا قَدْ تَقَرَّرَ عِنْدَهُمْ
mereka tidak meninggalkan kebiasaan itu di sini kecuali karena sudah mantap bagi mereka
مِنْ أَنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا ذٰلِكَ التَّمَنِّيَ نَزَلَ بِهِمُ الْمَوْتُ؛
bahwa jika mereka melakukan tamannī itu, kematian akan menimpa mereka,
إِمَّا لِأَمْرٍ قَدْ عَلِمُوهُ، أَوْ لِلصِّرْفَةِ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
entah karena sesuatu yang mereka ketahui sebelumnya, atau karena adanya “ṣarfah” (palingan khusus) dari Allah ‘Azza wa Jalla.
---
وَقَدْ يُقَالُ:
Ada yang bisa berkata:
ثَبَتَ النَّهْيُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ عَنْ تَمَنِّيِ الْمَوْتِ،
“Telah tetap (dalam hadis) larangan dari Nabi ﷺ untuk mengharapkan kematian,
فَكَيْفَ أَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِمَا هُوَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ فِي شَرِيعَتِهِ؟».
maka bagaimana Allah memerintahkan beliau untuk memerintahkan mereka sesuatu yang dilarang dalam syariat beliau?”
وَيُجَابُ بِأَنَّ الْمُرَادَ هُنَا: إِلْزَامُهُمُ الْحُجَّةَ،
Dijawab bahwa yang dimaksud di sini adalah memaksa mereka dengan hujjah (argumen yang kuat),
وَإِقَامَةُ الْبُرْهَانِ عَلَىٰ بُطْلَانِ دَعْوَاهُمْ.
dan menegakkan bukti atas batilnya klaim mereka.
وَقَوْلُهُ: ﴿وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ﴾ تَهْدِيدٌ لَهُمْ،
Firman-Nya: “Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim”
adalah ancaman bagi mereka,
وَتَسْجِيلٌ عَلَيْهِمْ بِأَنَّهُمْ كَذٰلِكَ.
dan penetapan (stempel) atas mereka bahwa mereka memang demikian (zalim).
---
وَ«اللَّامُ» فِي قَوْلِهِ: ﴿وَلَتَجِدَنَّهُمْ﴾ جَوَابُ قَسَمٍ مَحْذُوفٍ،
Huruf lām pada firman-Nya “wa latarjidannahum” adalah jawaban dari suatu sumpah yang dihilangkan (tidak disebutkan).
وَتَنْكِيرُ «حَيَاةٍ» لِلتَّحْقِيرِ؛
Dibaca nakirahnya kata “ḥayāh” (sebuah kehidupan) adalah untuk merendahkan (menghina),
أَيْ: أَنَّهُمْ أَحْرَصُ النَّاسِ عَلَىٰ أَحْقَرِ حَيَاةٍ،
yakni: bahwa mereka adalah manusia yang paling rakus terhadap kehidupan yang paling hina,
وَأَقَلِّ لُبْثٍ فِي الدُّنْيَا،
dan masa tinggal (umur) yang paling sedikit di dunia,
فَكَيْفَ بِحَيَاةٍ كَثِيرَةٍ وَلُبْثٍ مُتَطَاوِلٍ؟
maka bagaimana lagi dengan kehidupan yang panjang dan masa tinggal yang lama?
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»:
Dalam al-Kasysyāf disebutkan:
إِنَّهُ أَرَادَ بِالتَّنْكِيرِ «حَيَاةً» مَخْصُوصَةً، وَهِيَ الْحَيَاةُ الْمُتَطَاوِلَةُ،
“Bahwa yang dimaksud dengan menjadikan ‘ḥayāh’ sebagai nakirah
adalah kehidupan tertentu, yaitu kehidupan yang panjang.”
وَتَبِعَهُ فِي ذٰلِكَ الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ.
Pendapat ini diikuti oleh ar-Rāzī dalam tafsirnya.
---
وَقَوْلُهُ: ﴿وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا۟﴾
Firman-Nya: “wa mina alladzīna asyrakū” (dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah…)
قِيلَ: هُوَ كَلَامٌ مُسْتَأْنَفٌ،
dikatakan: ini adalah kalam musta’naf (kalimat baru yang berdiri sendiri),
وَالتَّقْدِيرُ: وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا نَاسٌ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ…
dan takdirnya adalah: “Dan dari orang-orang musyrik itu ada suatu kaum, salah seorang dari mereka ingin…”
وَقِيلَ: إِنَّهُ مَعْطُوفٌ عَلَى «النَّاسِ»،
Ada juga yang berpendapat: ia di-‘athaf-kan kepada kata “an-nās”,
أَيْ: أَحْرَصَ النَّاسِ، وَأَحْرَصَ مِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا.
yakni: (mereka adalah) yang paling rakus di antara manusia, dan lebih rakus lagi daripada orang-orang musyrik.
وَعَلَىٰ هٰذَا يَكُونُ قَوْلُهُ: ﴿يَوَدُّ أَحَدُهُمْ﴾ رَاجِعًا إِلَى الْيَهُودِ،
Menurut pendapat ini, firman-Nya “yawaddu aḥaduhum” kembali kepada orang-orang Yahudi,
بَيَانًا لِزِيَادَةِ حِرْصِهِمْ عَلَى الْحَيَاةِ.
sebagai penjelasan tentang betapa lebih rakusnya mereka terhadap kehidupan.
وَوَجْهُ ذِكْرِ «الَّذِينَ أَشْرَكُوا۟» بَعْدَ ذِكْرِ «النَّاسِ» مَعَ كَوْنِهِمْ دَاخِلِينَ فِيهِمْ،
Alasan penyebutan “orang-orang musyrik” setelah penyebutan “manusia”,
padahal mereka sudah termasuk dalam kategori manusia,
الدَّلَالَةُ عَلَىٰ مَزِيدِ حِرْصِ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الْعَرَبِ وَمَنْ شَابَهَهُمْ مِنْ غَيْرِهِمْ.
adalah untuk menunjukkan betapa besar tambahan kerakusan orang-orang musyrik dari bangsa Arab dan selain mereka yang serupa.
فَمَنْ كَانَ أَحْرَصَ مِنْهُمْ، وَهُمُ الْيَهُودُ،
Maka siapa yang lebih rakus daripada mereka — yaitu orang-orang Yahudi —
كَانَ بَالِغًا فِي الْحِرْصِ إِلَىٰ غَايَةٍ لَا يُقَادَرُ قَدْرُهَا.
maka ia telah mencapai puncak kerakusan yang tidak terbayangkan ukurannya.
وَإِنَّمَا بَلَغُوا فِي الْحِرْصِ إِلَىٰ هٰذَا الْحَدِّ الْفَاضِلِ عَلَىٰ حِرْصِ الْمُشْرِكِينَ،
Mereka sampai pada tingkat kerakusan yang melebihi orang-orang musyrik
لِأَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ بِمَا يَحِلُّ بِهِمْ مِنَ الْعَذَابِ فِي الْآخِرَةِ،
karena mereka mengetahui azab yang akan menimpa mereka di akhirat,
بِخِلَافِ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الْعَرَبِ وَنَحْوِهِمْ فَإِنَّهُمْ لَا يُقِرُّونَ بِذٰلِكَ،
berbeda dengan orang-orang musyrik Arab dan yang semacam mereka yang tidak mengakui hal itu,
وَكَانَ حِرْصُهُمْ عَلَى الْحَيَاةِ دُونَ حِرْصِ الْيَهُودِ.
maka kerakusan mereka terhadap kehidupan di bawah (lebih kecil daripada) kerakusan orang-orang Yahudi.
وَالْأَوَّلُ وَإِنْ كَانَ فِيهِ خُرُوجٌ مِنَ الْكَلَامِ فِي الْيَهُودِ إِلَىٰ غَيْرِهِمْ مِنْ مُشْرِكِي الْعَرَبِ
Pendapat pertama, meskipun di dalamnya terdapat peralihan pembicaraan
dari orang-orang Yahudi kepada selain mereka, yaitu orang-orang musyrik Arab,
لٰكِنَّهُ أَرْجَحُ لِعَدَمِ اسْتِلْزَامِهِ لِلتَّكَلُّفِ،
namun ia lebih kuat karena tidak mengharuskan adanya takalluf (pemaksaan penafsiran),
وَلَا ضَيْرَ فِي اسْتِطْرَادِ ذِكْرِ حِرْصِ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ ذِكْرِ حِرْصِ الْيَهُودِ.
dan tidak mengapa menyebut secara sampingan tentang kerakusan orang-orang musyrik setelah menyebut kerakusan orang-orang Yahudi.
وَقَالَ الرَّازِيُّ: إِنَّ الثَّانِيَ أَرْجَحُ،
Ar-Rāzī berkata: sesungguhnya pendapat kedua lebih kuat,
لِيَكُونَ ذٰلِكَ أَبْلَغَ فِي إِبْطَالِ دَعْوَاهُمْ،
supaya hal itu lebih kuat lagi dalam membatalkan klaim mereka,
وَفِي إِظْهَارِ كَذِبِهِمْ فِي قَوْلِهِمْ: إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَنَا لَا لِغَيْرِنَا.
dan dalam menampakkan kedustaan mereka dalam ucapan mereka: “Sesungguhnya negeri akhirat hanya milik kami, bukan milik selain kami.”
انْتَهَىٰ.
Selesai (kutipan).
وَيُجَابُ عَنْهُ بِأَنَّ هٰذَا الَّذِي جَعَلَهُ مُرَجِّحًا قَدْ أَفَادَهُ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ:
Dijawab terhadap pendapat ar-Rāzī ini, bahwa hal yang ia jadikan sebagai penguat itu
telah tercakup dalam firman-Nya Ta‘ālā:
﴿وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ﴾،
“Dan sungguh engkau akan dapati mereka adalah manusia yang paling rakus…”
وَلَا يَسْتَلْزِمُ اسْتِئْنَافُ الْكَلَامِ فِي الْمُشْرِكِينَ أَنْ لَا يَكُونُوا مِنْ جُمْلَةِ «النَّاسِ».
Dan memulai pembicaraan baru tentang orang-orang musyrik tidak mengharuskan bahwa mereka bukan termasuk golongan “manusia”.
وَخَصَّ «الْأَلْفَ» بِالذِّكْرِ، لِأَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ تَذْكُرُ ذٰلِكَ عِنْدَ إِرَادَةِ الْمُبَالَغَةِ.
Allah menyebut secara khusus bilangan seribu,
karena orang-orang Arab biasa menyebut angka itu ketika ingin berlebih-lebihan (hiperbola).
وَأَصْلُ «سَنَةٍ»: «سَنَهَةٌ»، وَقِيلَ: «سَنَوَةٌ».
Asal kata “sanah” (tahun) adalah “sanahah”;
ada juga yang berkata: “sanawah”.
---
وَاخْتُلِفَ فِي الضَّمِيرِ فِي قَوْلِهِ: ﴿وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِۦ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ﴾؛
Terdapat perbedaan pendapat tentang rujukan ḍamīr (kata ganti) pada firman-Nya:
“wa mā huwa bimuzahiḥihi mina al-‘adzābi an yu‘ammara”;
فَقِيلَ: هُوَ رَاجِعٌ إِلَىٰ «أَحَدِهِمْ»،
dikatakan: ia kembali kepada “aḥadihim” (salah seorang dari mereka),
وَالتَّقْدِيرُ: وَمَا أَحَدُهُمْ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ؛
dan takdir kalimatnya: “Dan salah seorang dari mereka itu,
tidaklah (panjang umur) dapat menjauhkannya dari azab.”
وَعَلَىٰ هٰذَا يَكُونُ قَوْلُهُ: ﴿أَنْ يُعَمَّرَ﴾ فَاعِلًا لِـ «مُزَحْزِحِهِ».
Menurut pendapat ini, kata “an yu‘ammara” berfungsi sebagai fā‘il (subjek) dari “muzahzihi”.
وَقِيلَ: هُوَ لِمَا دَلَّ عَلَيْهِ «يُعَمَّرُ» مِنْ مَصْدَرِهِ؛
Ada pula yang berkata: ḍamīr itu kembali kepada apa yang ditunjukkan oleh “yu‘ammaru” berupa mashdar-nya,
أَيْ: وَمَا التَّعْمِيرُ بِمُزَحْزِحِهِ،
yakni: “Dan tidaklah ‘ta‘mīr’ (pemberian umur panjang) itu menjauhkannya,”
وَيَكُونُ قَوْلُهُ: ﴿أَنْ يُعَمَّرَ﴾ بَدَلًا مِنْهُ.
dan firman-Nya “an yu‘ammara” menjadi badal (pengganti) dari mashdar tersebut.
وَحَكَى الطَّبَرِيُّ عَنْ فِرْقَةٍ أَنَّهَا قَالَتْ: «هُوَ عِمَادٌ»،
Ath-Tabari menukil dari suatu kelompok yang berkata: “‘Hu’ adalah i‘mād (kata bantu/penguat),”
وَقِيلَ: هُوَ «ضَمِيرُ الشَّأْنِ»،
dan ada yang berkata: ia adalah ḍamīr asy-sya’n (kata ganti untuk menjelaskan keadaan),
وَقِيلَ: «مَا» هِيَ الْحِجَازِيَّةُ، وَالضَّمِيرُ اسْمُهَا، وَمَا بَعْدَهُ خَبَرُهَا.
dan ada yang berkata: “Mā” di sini adalah mā ḥijāziyyah, ḍamīr adalah isim-nya, dan apa setelahnya adalah khabarnya.
وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ،
Pendapat pertama lebih kuat,
وَكَذٰلِكَ الثَّانِي وَالثَّالِثُ ضَعِيفٌ جِدًّا؛
sedangkan pendapat kedua dan ketiga sangat lemah,
لِأَنَّ «الْعِمَادَ» لَا يَكُونُ إِلَّا بَيْنَ شَيْئَيْنِ،
karena i‘mād (kata bantu/pemisah) tidak terjadi kecuali di antara dua hal,
وَلِهٰذَا يُسَمُّونَهُ «ضَمِيرَ الْفَصْلِ».
oleh karena itu ia disebut juga “ḍamīr al-faṣl” (kata ganti pemisah).
وَالرَّابِعُ فِيهِ: أَنَّ «ضَمِيرَ الشَّأْنِ» يُفَسَّرُ بِجُمْلَةٍ سَالِمَةٍ عَنْ حَرْفِ جَرٍّ،
Dan pendapat keempat (bahwa ia ḍamīr asy-sya’n) juga lemah,
karena ḍamīr asy-sya’n dijelaskan oleh suatu jumlah (kalimat)
yang bebas dari huruf jar,
كَمَا حَكَاهُ ابْنُ عَطِيَّةَ عَنِ النُّحَاةِ.
sebagaimana dinukil Ibnu ‘Athiyyah dari para ahli nahwu.
وَالزَّحْزَحَةُ: التَّنْحِيَةُ؛
“Az-zahzahah” berarti menyingkirkan (menjauhkan);
يُقَالُ: «زَحْزَحْتُهُ فَتَزَحْزَحَ»،
dikatakan: “zahzahhtuhu fatazahzaḥa”,
أَيْ: نَحَّيْتُهُ فَتَنَحَّىٰ وَتَبَاعَدَ،
yakni: aku menyingkirkannya maka ia tersingkir dan menjauh.
وَمِنْهُ قَوْلُ ذِي الرُّمَّةِ:
Dan di antaranya adalah ucapan Dzu ar-Rummah:
يَا قَابِضَ الرُّوحِ عَنْ جِسْمٍ عَصَىٰ زَمَنًا
وَغَافِرَ الذَّنْبِ زَحْزِحْنِي عَنِ النَّارِ
“Wahai (Dzat) yang menggenggam ruh dari jasad yang lama durhaka,
dan wahai Pengampun dosa, jauhkanlah aku dari neraka.”
---
وَ«الْبَصِيرُ»: الْعَالِمُ بِالشَّيْءِ، الْخَبِيرُ بِهِ؛
“Al-Baṣīr” artinya: Yang Maha Mengetahui sesuatu, yang Maha Mengenalinya,
وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ: «فُلَانٌ بَصِيرٌ بِكَذَا»، أَيْ: خَبِيرٌ بِهِ،
dan di antaranya adalah ucapan mereka: “Fulanun baṣīrun bikadhā”,
yakni: ia sangat mengetahui/ahli tentang hal itu,
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
dan di antaranya adalah ucapan seorang penyair:
فَإِنْ تَسْأَلُونِي بِالنِّسَاءِ فَإِنَّنِي
بَصِيرٌ بِأَدْوَاءِ النِّسَاءِ طَبِيبُ
“Jika kalian bertanya kepadaku tentang (urusan) wanita, sesungguhnya aku
adalah orang yang sangat mengerti tentang penyakit-penyakit wanita, dokter (ahli)-nya.”
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيّ - ج ١ (ص: ١٣٤-١٣٦)
(Fath al-Qadīr karya asy-Syaukānī, jilid 1, hlm. 134–136)
---
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: ﴿وَأُشْرِبُوا۟ فِى قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ﴾
‘Abd ar-Razzāq dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: “Dan mereka diberi minum (cinta) anak sapi itu ke dalam hati mereka”,
قَالَ: «أُشْرِبُوا حُبَّهُ حَتَّىٰ خَلَصَ ذٰلِكَ إِلَىٰ قُلُوبِهِمْ».
ia berkata: “Mereka ‘diminumkan’ kecintaannya (kepada anak sapi) sampai hal itu betul-betul meresap ke dalam hati mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ:
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah:
أَنَّ الْيَهُودَ لَمَّا قَالُوا: ﴿لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ﴾ الْآيَةَ،
bahwa ketika orang-orang Yahudi berkata: “Tidak akan masuk surga kecuali orang yang menjadi Yahudi atau Nasrani…” (ayat),
نَزَلَ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: ﴿قُلْ إِن كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْآخِرَةُ﴾ الْآيَةَ.
turunlah firman-Nya Ta‘ālā: “Katakanlah: Jika negeri akhirat itu untuk kalian…” (ayat).
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ مِثْلَهُ عَنْ قَتَادَةَ.
Ibnu Jarir meriwayatkan yang semisal itu dari Qatadah.
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ فِي «الدَّلَائِلِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
Al-Baihaqī dalam Dalā’il (an-Nubuwwah) meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
أَنَّ قَوْلَهُ: ﴿خَالِصَةً مِّن دُونِ ٱلنَّاسِ﴾ يَعْنِي الْمُؤْمِنِينَ؛
bahwa firman-Nya: “khāliṣatan min dūni an-nās” maksudnya adalah selain orang-orang mukmin;
﴿فَتَمَنَّوُا۟ الْمَوْتَ﴾،
“maka harapkanlah kematian…”
فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka:
«إِنْ كُنْتُمْ فِي مَقَالَتِكُمْ صَادِقِينَ فَقُولُوا: اَللَّهُمَّ أَمِتْنَا؛
“Jika kalian benar dalam ucapan kalian itu, maka ucapkanlah: ‘Allāhumma amitnā’ (Ya Allah matikanlah kami);
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا يَقُولُهَا رَجُلٌ مِنْكُمْ إِلَّا غُصَّ بِرِيقِهِ فَمَاتَ مَكَانَهُ».
demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari kalian mengucapkannya kecuali ia akan tersedak ludahnya dan mati di tempatnya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿فَتَمَنَّوُا۟ الْمَوْتَ﴾
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Fata mannawul mauta”,
قَالَ: «أَيِ: ادْعُوا بِالْمَوْتِ عَلَىٰ أَيِّ الْفَرِيقَيْنِ أَكْذَبُ؛
ia berkata: “Yakni: berdoalah (mintalah) kematian menimpa kelompok mana pun yang lebih dusta di antara kita;
فَأَبَوْا ذٰلِكَ،
maka mereka enggan melakukannya,
وَلَوْ تَمَنَّوْهُ يَوْمَ قَالَ ذٰلِكَ، مَا بَقِيَ عَلَى الْأَرْضِ يَهُودِيٌّ إِلَّا مَاتَ».
dan seandainya mereka mengharapkan kematian pada hari ketika Nabi mengucapkan hal itu, niscaya tidak akan tersisa satu pun orang Yahudi di atas bumi melainkan semuanya akan mati.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْهُ قَالَ:
‘Abd ar-Razzāq, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir dan Abu Nu‘aim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«لَوْ تَمَنَّى الْيَهُودُ الْمَوْتَ لَمَاتُوا».
“Seandainya orang-orang Yahudi mengharapkan kematian, niscaya mereka akan mati (ketika itu juga).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari beliau yang semakna dengan itu.
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيثِهِ مَرْفُوعًا:
Al-Bukhari dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas secara marfū‘:
«لَوْ أَنَّ الْيَهُودَ تَمَنَّوُا الْمَوْتَ لَمَاتُوا، وَلَرَأَوْا مَقَاعِدَهُمْ مِنَ النَّارِ».
“Seandainya orang-orang Yahudi mengharapkan kematian, niscaya mereka akan mati, dan mereka akan melihat tempat duduk mereka di neraka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنْهُ
Ibnu Abi Hatim dan al-Hakim — dan ia mensahihkannya — meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
فِي قَوْلِهِ: ﴿وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٍ﴾ قَالَ:
tentang firman-Nya: “Dan sungguh engkau akan dapati mereka sebagai manusia yang paling rakus terhadap kehidupan…”, ia berkata:
«الْيَهُودُ مِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا؛
“Maksudnya adalah: (mereka adalah) orang-orang Yahudi, (mereka itulah) sebagian dari orang-orang yang mempersekutukan Allah.
وَذٰلِكَ أَنَّ الْمُشْرِكِينَ لَا يَرْجُونَ بَعْثًا بَعْدَ الْمَوْتِ، فَهُوَ يُحِبُّ طُولَ الْحَيَاةِ،
Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mengharapkan adanya kebangkitan setelah mati, maka ia senang terhadap panjangnya kehidupan,
وَأَنَّ الْيَهُودِيَّ قَدْ عَرَفَ مَا لَهُ مِنَ الْخِزْيِ بِمَا ضَيَّعَ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْعِلْمِ».
sedangkan orang Yahudi telah mengetahui kehinaan yang akan menimpanya
karena ia menyia-nyiakan ilmu yang ada di sisinya.”
﴿وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِۦ مِنَ الْعَذَابِ﴾ قَالَ: «بِمُنَحِّيهِ».
Firman-Nya: “Dan (panjang umur itu) sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari azab,” ia berkata: “yakni tidak akan menyingkirkannya.”
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالْحَاكِمُ عَنْهُ
Sa‘īd bin Manṣūr, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
فِي قَوْلِهِ: ﴿يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ﴾ قَالَ:
tentang firman-Nya: “Salah seorang dari mereka ingin seandainya ia diberi umur seribu tahun…”, ia berkata:
«هُوَ قَوْلُ الْأَعَاجِمِ إِذَا عَطَسَ أَحَدُهُمْ: (زِه هَزَارْ سَالْ)، يَعْنِي: عِشْ أَلْفَ سَنَةٍ».
“Itu adalah ucapan orang-orang ‘ajam (non-Arab), ketika salah seorang dari mereka bersin mereka berkata: ‘Zih hazār sāl’, yang artinya: ‘Hiduplah seribu tahun’.”
---
1 QS. al-Baqarah [2]: 111.