[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الآيَاتُ 72 إِلَى 74]
[Surat al-Baqarah (2): ayat 72 sampai 74]
وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (72)
Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seseorang, lalu kalian saling tuduh-menuduh tentang itu,
padahal Allah akan menyingkapkan apa yang dahulu kalian sembunyikan. (72)
فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا ۚ كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (73)
Lalu Kami berfirman, “Pukullah dia (mayat itu) dengan sebagian (anggota tubuh) sapi betina itu!”
Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, agar kalian berakal. (73)
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74)
Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras; sehingga ia (hati itu) seperti batu, bahkan lebih keras lagi.
Padahal di antara batu-batu itu ada yang sungai-sungai memancar darinya,
dan di antaranya ada yang terbelah lalu keluarlah air darinya,
dan di antaranya ada yang jatuh (berguguran) karena takut kepada Allah.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan. (74)
---
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ١١٨)
Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 118).
قَدْ تَقَدَّمَ مَا ذَكَرْنَاهُ فِي قِصَّةِ ذَبْحِ الْبَقَرَةِ،
Telah lewat apa yang kami sebutkan pada kisah penyembelihan sapi betina,
فَيَكُونُ تَقْدِيرُ الْكَلَامِ:
maka susunan maknanya dapat diperkirakan sebagai berikut:
«وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ،
“Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seseorang lalu kalian saling tuduh-menuduh tentang itu, dan Allah akan menyingkapkan apa yang dahulu kalian sembunyikan,
فَقَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً…» إِلَى آخِرِ الْقِصَّةِ،
lalu Musa berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina…’ sampai akhir kisah,
وَبَعْدَهَا: «فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا» الْآيَةَ.
kemudian setelah itu firman-Nya: ‘Maka Kami berfirman: Pukullah dia dengan sebagian darinya (sapi betina itu)’ (ayat 73).”
وَقَالَ الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ:
Ar-Rāzī berkata dalam tafsirnya:
اعْلَمْ أَنَّ وُقُوعَ الْقَتْلِ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّمًا لِأَمْرِهِ تَعَالَىٰ بِالذَّبْحِ،
Ketahuilah bahwa peristiwa pembunuhan itu pasti terjadi lebih dahulu sebelum perintah Allah Ta‘ālā untuk menyembelih sapi betina.
فَأَمَّا الْإِخْبَارُ عَنْ وُقُوعِ ذَلِكَ الْقَتْلِ، وَعَنْ أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يُضْرَبَ الْقَتِيلُ بِبَعْضِ تِلْكَ الْبَقَرَةِ،
Adapun pemberitahuan tentang terjadinya pembunuhan itu, dan bahwa mayat itu harus dipukul dengan sebagian anggota sapi betina tersebut,
فَلَا يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُتَقَدِّمًا عَلَى الْإِخْبَارِ عَنْ قِصَّةِ الْبَقَرَةِ.
tidaklah mesti didahulukan (dalam urutan ayat) sebelum pemberitahuan tentang kisah sapi betina.
فَقَوْلُ مَنْ يَقُولُ: «هَذِهِ الْقِصَّةُ يَجِبُ أَنْ تَكُونَ مُتَقَدِّمَةً فِي التِّلَاوَةِ عَلَى الْأُولَىٰ» خَطَأٌ،
Maka ucapan orang yang berkata: “Kisah (pembunuhan) ini harusnya didahulukan dalam bacaan sebelum kisah sapi betina,” adalah keliru,
لِأَنَّ هَذِهِ الْقِصَّةَ فِي نَفْسِهَا يَجِبُ أَنْ تَكُونَ مُتَقَدِّمَةً عَلَى الْأُولَىٰ فِي الْوُجُودِ،
karena kisah pembunuhan ini pada hakikatnya memang wajib lebih dahulu dalam kenyataan (terjadi dulu) daripada kisah sapi betina,
فَأَمَّا التَّقَدُّمُ فِي الذِّكْرِ فَغَيْرُ وَاجِبٍ،
sedangkan didahulukannya dalam penyebutan (susunan ayat) bukan suatu keharusan,
لِأَنَّهُ تَارَةً يُقَدَّمُ ذِكْرُ السَّبَبِ عَلَى ذِكْرِ الْحُكْمِ، وَأُخْرَىٰ عَلَى الْعَكْسِ مِنْ ذَلِكَ،
karena terkadang sebab disebutkan sebelum hukum, dan terkadang hukum disebut terlebih dahulu sebelum sebabnya.
فَكَأَنَّهُمْ لَمَّا وَقَعَتْ لَهُمْ تِلْكَ «الْوَاقِعَةُ» أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِذَبْحِ الْبَقَرَةِ،
Seakan-akan ketika peristiwa pembunuhan itu terjadi pada mereka, Allah memerintahkan mereka menyembelih sapi betina,
فَلَمَّا ذَبَحُوهَا قَالَ: «وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا مِنْ قَبْلُ»،
lalu setelah mereka menyembelihnya, Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika kalian telah membunuh seseorang sebelumnya…”
وَنَسَبَ الْقَتْلَ إِلَيْهِمْ بِكَوْنِ «الْقَاتِلِ» مِنْهُمْ.
Dan Allah menisbatkan perbuatan membunuh itu kepada mereka, karena pelakunya memang dari kalangan mereka.
وَأَصْلُ «ادَّارَأْتُمْ»: «تَدَارَأْتُمْ»، ثُمَّ أُدْغِمَتِ التَّاءُ فِي الدَّالِ،
Asal lafal “iƉdāra’tum” adalah “tadāra’tum”, kemudian huruf tā’ diidghamkan (dilebur) ke dalam dāl,
وَلَمَّا كَانَ الِابْتِدَاءُ بِالْمُدْغَمِ السَّاكِنِ لَا يَجُوزُ، زَادُوا «أَلِفَ الْوَصْلِ».
dan karena tidak boleh memulai bacaan dengan huruf yang diidghamkan dalam keadaan sukun, maka ditambahkanlah alif waṣal.
وَمَعْنَى «ادَّارَأْتُمْ»: «اخْتَلَفْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ»،
Makna “iƉdāra’tum” adalah kalian saling berbeda pendapat dan berselisih,
لِأَنَّ الْمُتَنَازِعِينَ يَدْرَأُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا: أَيْ يَدْفَعُهُ.
karena orang-orang yang berselisih itu saling menolak satu sama lain, yakni saling melempar tuduhan.
وَمَعْنَى «مُخْرِجٌ»: «مُظْهِرٌ»،
Makna “mukhrij” adalah “menampakkan”.
أَيْ: مَا كَتَمْتُمْ بَيْنَكُمْ مِنْ أَمْرِ الْقَتْلِ، فَاللَّهُ مُظْهِرُهُ لِعِبَادِهِ وَمُبَيِّنُهُ لَهُمْ.
Yakni: apa yang kalian sembunyikan di antara kalian tentang urusan pembunuhan itu, Allah akan menampakkannya bagi hamba-hamba-Nya dan menjelaskannya kepada mereka.
وَهَذِهِ الْجُمْلَةُ «مُعْتَرِضَةٌ» بَيْنَ أَجْزَاءِ الْكَلَامِ،
Kalimat ini adalah kalimat sisipan (i‘tiraḍ) di antara rangkaian pembicaraan,
أَيْ: «فَادَّارَأْتُمْ فِيهَا فَقُلْنَا».
yakni: susunan maknanya: “Lalu kalian saling berselisih tentang itu, maka Kami berfirman…”
وَاخْتُلِفَ فِي تَعْيِينِ «الْبَعْضِ» الَّذِي أُمِرُوا بِأَنْ يَضْرِبُوا الْقَتِيلَ بِهِ،
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan bagian tubuh sapi mana yang diperintahkan untuk dipukulkan kepada mayat itu,
وَلَا حَاجَةَ إِلَىٰ ذَلِكَ مَعَ مَا فِيهِ مِنَ الْقَوْلِ بِغَيْرِ عِلْمٍ،
dan sebenarnya tidak ada kebutuhan untuk membahas rinciannya, di samping di dalamnya terdapat bahaya berkata tanpa ilmu.
وَيَكْفِينَا أَنْ نَقُولَ: «أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِأَنْ يَضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا»،
Cukuplah bagi kita untuk mengatakan: Allah memerintahkan mereka agar memukul (mayat itu) dengan sebagian anggota sapi tersebut,
فَأَيَّ «بَعْضٍ» ضَرَبُوا بِهِ فَقَدْ فَعَلُوا مَا أُمِرُوا بِهِ،
maka bagian mana pun yang mereka gunakan untuk memukul, selama itu bagian dari sapi, berarti mereka telah melaksanakan perintah.
وَمَا زَادَ عَلَىٰ هَذَا، فَهُوَ مِنْ «فُضُولِ الْعِلْمِ» إِذَا لَمْ يَرِدْ بِهِ بُرْهَانٌ.
Dan apa yang melampaui ini hanyalah bagian dari pengetahuan yang tak bermanfaat (berlebihan), selama tidak ada dalil yang sahih tentangnya.
قَوْلُهُ: «كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ»،
Firman-Nya: “Demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang mati,”
فِي الْكَلَامِ حَذْفٌ،
di dalam kalimat ini ada kata yang dihapus (dipahami maknanya),
وَالتَّقْدِيرُ: «فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا فَأَحْيَاهُ اللَّهُ، كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ»،
takdir (susunan lengkapnya) adalah: “Maka Kami berfirman: Pukullah dia dengan sebagian darinya, lalu Allah menghidupkannya; demikianlah Allah menghidupkan orang-orang yang mati.”
أَيْ: «إِحْيَاءٌ كَمِثْلِ هَذَا الْإِحْيَاءِ».
yakni: penghidupan kembali yang sama seperti penghidupan (mayat) ini.
«وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ»
“Dan Dia memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan)-Nya”
أَيْ: «عَلَامَاتِهِ وَدَلَائِلَهُ» الدَّالَّةَ عَلَىٰ كَمَالِ قُدْرَتِهِ،
yakni: bukti-bukti dan dalil-dalil-Nya yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
وَهَذَا يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خِطَابًا لِمَنْ حَضَرَ الْقِصَّةَ،
Ini bisa jadi adalah khithāb (seruan) kepada orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut,
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خِطَابًا لِلْمَوْجُودِينَ عِنْدَ نُزُولِ الْقُرْآنِ.
dan bisa pula menjadi khithāb kepada orang-orang yang hidup saat turunnya Al-Qur’an.
وَالْقَسْوَةُ: «الصَّلَابَةُ وَالْيُبْسُ»،
“Kekerasan” (al-qaswah) adalah sifat keras dan kering (tidak lembut),
وَهِيَ عِبَارَةٌ عَنْ «خُلُوِّهَا مِنَ الْإِنَابَةِ وَالْإِذْعَانِ لِآيَاتِ اللَّهِ»،
dan ini merupakan ungkapan kiasan untuk hati yang kosong dari sikap kembali (bertaubat) dan tunduk kepada ayat-ayat Allah,
مَعَ وُجُودِ مَا يَقْتَضِي خِلَافَ هَذِهِ الْقَسْوَةِ،
padahal telah ada sebab-sebab yang semestinya menuntut kebalikan dari kekerasan hati ini,
مِنْ «إِحْيَاءِ الْقَتِيلِ وَتَكَلُّمِهِ وَتَعْيِينِهِ لِقَاتِلِهِ»،
yaitu dihidupkannya mayat, ia berbicara, dan ia menunjukkan siapa pembunuhnya,
وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: «مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ» إِلَىٰ مَا تَقَدَّمَ مِنَ «الْآيَاتِ الْمُوجِبَةِ لِلِينِ الْقُلُوبِ وَرِقَّتِهَا».
Isyarat dalam firman-Nya: “setelah itu” kembali kepada seluruh tanda-tanda (ayat-ayat) sebelumnya yang semestinya membuat hati menjadi lembut dan lunak.
قِيلَ: «أَوْ» فِي قَوْلِهِ: «أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً» بِمَعْنَى «الْوَاوِ»، كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: «آثِمًا أَوْ كَفُورًا»1.
Ada yang berkata: Kata “aw” (atau) dalam firman-Nya: “atau lebih keras lagi” bermakna “dan” (wāw), sebagaimana dalam firman-Nya Ta‘ālā: “baik pendosa besar maupun sangat kufur.”
1
وَقِيلَ: هِيَ بِمَعْنَى «بَلْ».
Ada juga yang berkata: “aw” di situ bermakna “bahkan” (bal).
وَعَلَىٰ أَنَّ «أَوْ» عَلَىٰ أَصْلِهَا أَوْ بِمَعْنَى «الْوَاوِ»،
Baik “aw” dipahami pada makna asalnya (atau) ataupun dimaknai sebagai wāw,
فَالْعَطْفُ عَلَىٰ قَوْلِهِ: «كَالْحِجَارَةِ»،
maka peng‘athafan kembali kepada firman-Nya: “seperti batu,”
أَيْ: هَذِهِ الْقُلُوبُ هِيَ «كَالْحِجَارَةِ» أَوْ «هِيَ أَشَدُّ قَسْوَةً مِنْهَا»،
yakni: hati-hati ini sama seperti batu atau bahkan lebih keras dari batu,
فَشَبِّهُوهَا بِأَيِّ الْأَمْرَيْنِ شِئْتُمْ فَإِنَّكُمْ مُصِيبُونَ فِي هَذَا التَّشْبِيهِ.
maka silakan kalian menyerupakan hati mereka dengan salah satu dari dua keadaan itu, kalian pasti benar dalam perumpamaan ini.
وَقَدْ أَجَابَ الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ عَنْ وُقُوعِ «أَوْ» هَاهُنَا، مَعَ كَوْنِهَا لِلتَّرْدِيدِ – وَهُوَ لَا يَلِيقُ لِعَلَّامِ الْغُيُوبِ – بِثَمَانِيَةِ أَوْجُهٍ.
Ar-Rāzī dalam tafsirnya telah menjawab penggunaan kata “aw” di sini, padahal ia biasanya untuk keraguan (tardīd) dan keraguan tidak layak bagi Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, dengan delapan jawaban.
وَإِنَّمَا تُوُصِّلَ إِلَىٰ «أَفْعَلِ التَّفْضِيلِ» بِـ«أَشَدَّ» مَعَ كَوْنِهِ يَصِحُّ أَنْ يُقَالَ: «وَأَقْسَىٰ مِنَ الْحِجَارَةِ»،
Penggunaan bentuk af‘al at-tafḍīl (lebih…) di sini dihubungkan dengan kata “asyadda” (lebih keras), padahal secara bahasa juga sah dikatakan “wa aqsa min al-ḥijarah” (lebih keras daripada batu),
لِكَوْنِهِ أَبْيَنَ وَأَدَلَّ عَلَىٰ «فَرْطِ الْقَسْوَةِ»، كَمَا قَالَهُ فِي «الْكَشَّافِ».
hal ini karena bentuk “asyaddu qaswah” lebih jelas dan lebih menunjukkan betapa parahnya kekerasan hati mereka, sebagaimana disebutkan dalam al-Kasysyāf.
وَقَرَأَ الْأَعْمَشُ: «أَوْ أَشَدَّ» بِنَصْبِ الدَّالِ،
Al-A‘masy membaca: “aw asyadda” dengan fathah pada dāl,
وَكَأَنَّهُ عَطَفَهُ عَلَى «الْحِجَارَةِ»، فَيَكُونُ «أَشَدُّ» مَجْرُورًا بِالْفَتْحَةِ.
seakan-akan ia menjadikannya di-‘athaf-kan ke kata “al-ḥijarah”, sehingga “asyadda” menjadi majrūr (mengikuti ḥijarah) namun dengan fathah (karena ia isim mamnu‘ minash-sharf).
وَقَوْلُهُ: «وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ…» إِلَىٰ آخِرِهِ،
Firman-Nya: “Dan sungguh, di antara batu-batu itu…” hingga akhir ayat,
قَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: إِنَّهُ بَيَانٌ لِفَضْلِ قُلُوبِهِمْ عَلَىٰ الْحِجَارَةِ فِي شِدَّةِ الْقَسْوَةِ،
dalam al-Kasysyāf dikatakan: itu adalah penjelasan tentang keunggulan (dalam hal buruk) hati mereka atas batu-batu dalam sifat kerasnya,
وَتَقْرِيرٌ لِقَوْلِهِ: «أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً». انْتَهَىٰ.
dan pengokoh firman-Nya: “bahkan lebih keras lagi.” Selesai (kutipan).
وَفِيهِ أَنَّ مَجِيءَ «الْبَيَانِ» بِالْوَاوِ غَيْرُ مَعْرُوفٍ وَلَا مَأْلُوفٍ،
Namun perlu dicatat bahwa datangnya kalimat penjelas (bayān) dengan menggunakan wawu tidak lazim dan bukan hal yang umum,
وَالْأَوْلَىٰ جَعْلُ مَا بَعْدَ الْوَاوِ «تَذْيِيلًا» أَوْ «حَالًا».
sehingga yang lebih tepat adalah memandang apa yang datang setelah wawu itu sebagai tazyiīl (penutup yang menguatkan makna) atau sebagai keterangan keadaan (ḥāl).
«التَّفَجُّرُ»: «التَّفَتُّحُ»، وَقَدْ سَبَقَ تَفْسِيرُهُ.
“Tafajjur” berarti terbuka lebar memancar; penjelasannya telah disebutkan sebelumnya.
وَأَصْلُ «يَشَّقَّقُ»: «يَتَشَقَّقُ»، أُدْغِمَتِ التَّاءُ فِي الشِّينِ،
Asal kata “yassyyaqqaqu” adalah “yatashaqaqqu”, lalu huruf tā’ diidghamkan ke dalam syīn,
وَقَدْ قَرَأَ الْأَعْمَشُ: «يَتَشَقَّقُ» عَلَى الْأَصْلِ.
dan al-A‘masy membacanya dengan lafaz asal: “yatashaqaqqu”.
وَقَرَأَ ابْنُ مُصَرِّفٍ: «يَنْشَقُّ» بِالنُّونِ،
Ibnu Muṣarrif membaca: “yanshaqqu” dengan huruf nūn,
وَ«الشَّقُّ»: وَاحِدُ «الشُّقُوقِ»،
dan “asy-syaqq” adalah bentuk tunggal dari “asy-syuqūq” (belahan-belahan),
وَهُوَ يَكُونُ بِالطُّولِ أَوْ بِالْعَرْضِ، بِخِلَافِ «الِانْفِجَارِ»،
yang bisa berupa belahan memanjang ataupun melebar, berbeda dengan “infijār”,
فَهُوَ «الِانْفِتَاحُ مِنْ مَوْضِعٍ وَاحِدٍ» مَعَ اتِّسَاعِ الْخَرْقِ.
karena infijār adalah terbukanya suatu benda dari satu titik tertentu dengan melebarnya celah (lubang).
وَالْمُرَادُ: أَنَّ «الْمَاءَ» يَخْرُجُ مِنَ الْحِجَارَةِ مِنْ مَوَاضِعِ «الِانْفِجَارِ وَالِانْشِقَاقِ».
Yang dimaksud: air keluar dari batu-batu itu melalui titik-titik tempat ia memancar dan terbelah.
وَمِنَ الْحِجَارَةِ مَا «يَهْبِطُ»: أَيْ يَنْحَطُّ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِي هُوَ فِيهِ إِلَىٰ أَسْفَلَ مِنْهُ،
Dan di antara batu-batu itu ada yang “yahbiṭu” (jatuh) yakni turun dari tempat semula ke tempat yang lebih bawah,
مِنَ «الْخَشْيَةِ لِلَّهِ» الَّتِي «تُدَاخِلُهُ وَتَحُلُّ بِهِ».
karena rasa takut kepada Allah yang menyusup ke dalam dirinya dan menetap padanya (menurut makna lahir nash).
وَقِيلَ: إِنَّ «الْهُبُوطَ» مَجَازٌ عَنِ «الْخُشُوعِ مِنْهَا»،
Ada juga yang berkata: “turunnya” batu adalah majaz (kiasan) untuk sifat tunduk (khusyuk) darinya,
وَ«التَّوَاضُعِ» الْكَائِنِ فِيهَا انْقِيَادًا لِلَّهِ عز وجل،
dan kerendahan yang ada padanya sebagai bentuk kepatuhan kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
فَهُوَ مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: «لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ»2.
ini serupa dengan firman-Nya Ta‘ālā: “Jika seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, niscaya engkau akan melihatnya tunduk dan terbelah karena takut kepada Allah.”
2
وَقَدْ حَكَى ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ فِرْقَةٍ: أَنَّ «الْخَشْيَةَ» لِلْحِجَارَةِ مُسْتَعَارَةٌ،
Ibnu Jarir menukil dari sekelompok ulama bahwa sifat “takut” yang dinisbatkan kepada batu di sini adalah sesuatu yang dipinjamkan ( استعارة /metafora),
كَمَا اسْتُعِيرَتِ «الْإِرَادَةُ» لِلْجِدَارِ3،
sebagaimana kata “berkehendak” (irādah) dinisbatkan secara majazi kepada dinding
3,
وَكَمَا قَالَ الشَّاعِرُ:
dan sebagaimana ucapan seorang penyair:
لَمَّا أَتَىٰ خَبَرُ الزُّبَيْرِ تَوَاضَعَتْ … سُورُ الْمَدِينَةِ وَالْجِبَالُ الْخُشَّعُ
“Ketika kabar wafatnya az-Zubair datang,
tembok-tembok Madinah dan gunung-gunungnya yang kokoh seakan-akan merunduk (berduka).”
وَذَكَرَ الْجَاحِظُ أَنَّ الضَّمِيرَ فِي قَوْلِهِ: «وَإِنَّ مِنْهَا» رَاجِعٌ إِلَى «الْقُلُوبِ» لَا إِلَى الْحِجَارَةِ،
Al-Jāḥiẓ menyebutkan bahwa dhamir dalam firman-Nya: “wa inna minhā” kembali kepada “hati” bukan kepada “batu-batu”,
وَهُوَ فَاسِدٌ،
namun pendapat ini batil,
فَإِنَّ الْغَرَضَ مِنْ سِيَاقِ هَذَا الْكَلَامِ،
sebab tujuan dari rangkaian ayat ini
هُوَ التَّصْرِيحُ بِأَنَّ قُلُوبَ هَؤُلَاءِ بَلَغَتْ فِي «الْقَسْوَةِ وَفَرْطِ الْيُبْسِ» الْمُوجِبَيْنِ لِعَدَمِ قَبُولِ الْحَقِّ،
adalah menegaskan bahwa hati mereka telah mencapai tingkat kekerasan dan kekeringan yang ekstrem, yang menyebabkan mereka tidak menerima kebenaran,
وَعَدَمِ «التَأَثُّرِ لِلْمَوَاعِظِ»،
dan tidak terpengaruh oleh nasihat dan peringatan,
إِلَىٰ مَكَانٍ لَمْ تَبْلُغْ إِلَيْهِ «الْحِجَارَةُ»،
hingga pada derajat yang tidak sampai pada batu sekalipun,
الَّتِي هِيَ أَشَدُّ الْأَجْسَامِ صَلَابَةً وَأَعْظَمُهَا صَلَادَةً.
padahal batu adalah benda yang paling keras di antara benda-benda keras lainnya.
فَإِنَّهَا تَرْجِعُ إِلَىٰ نَوْعٍ مِنَ «اللِّينِ»،
Karena batu-batu itu pada akhirnya masih kembali kepada semacam kelembutan,
وَهِيَ «تَفَجُّرُهَا بِالْمَاءِ، وَتَشَقُّقُهَا عَنْهُ، وَقَبُولُهَا لِمَا تُوجِبُهُ الْخَشْيَةُ لِلَّهِ مِنَ الْخُشُوعِ وَالِانْقِيَادِ»،
yakni memancarkan air, terbelah dan mengeluarkan air, dan menerima apa yang dituntut oleh rasa takut kepada Allah: berupa tunduk dan patuh,
بِخِلَافِ تِلْكَ «الْقُلُوبِ».
berbeda dengan hati-hati mereka yang tetap keras.
وَفِي قَوْلِهِ: «وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ»،
Dalam firman-Nya: “Dan Allah tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan,”
مِنَ «التَّهْدِيدِ وَتَشْدِيدِ الْوَعِيدِ» مَا لَا يَخْفَىٰ،
terdapat ancaman dan penegasan hukuman yang amat jelas,
فَإِنَّ اللَّهَ عز وجل إِذَا كَانَ عَالِمًا بِمَا يَعْمَلُونَهُ، مُطَّلِعًا عَلَيْهِ، غَيْرَ غَافِلٍ عَنْهُ،
sebab apabila Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui apa yang mereka kerjakan, menyaksikannya, dan tidak lengah darinya,
كَانَ «لِمُجَازَاتِهِمْ بِالْمِرْصَادِ».
maka Dia pasti telah menyiapkan (hukuman) balasan bagi mereka dan mengintai mereka di ambang pembalasan.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ١١٩–١٢٠)
Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 119–120).
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَادَّارَأْتُمْ»،
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seseorang lalu kalian saling tuduh-menuduh,”
قَالَ: «اخْتَلَفْتُمْ فِيهَا»،
ia berkata: “yakni kalian berbeda pendapat tentang pembunuhan itu.”
«وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ» قَالَ: «مَا تُغَيِّبُونَ».
Tentang firman-Nya: “dan Allah menyingkapkan apa yang kalian sembunyikan,” ia berkata: “yakni apa yang kalian sembunyikan (bukan hanya dari manusia, tapi dari penampakan).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «شُعَبِ الْإِيمَانِ»،
Ibnu Abi Hatim dan al-Baihaqī dalam Syu‘ab al-Īmān meriwayatkan
عَنِ «الْمُسَيَّبِ بْنِ رَافِعٍ» قَالَ:
dari al-Musayyab bin Rāfi‘, ia berkata:
«مَا عَمِلَ رَجُلٌ حَسَنَةً فِي سَبْعَةِ أَبْيَاتٍ إِلَّا أَظْهَرَهَا اللَّهُ،
“Tidaklah seorang hamba mengerjakan satu kebaikan di dalam tujuh rumah yang tertutup (yakni sangat tersembunyi) melainkan Allah akan menampakkannya,
وَمَا عَمِلَ رَجُلٌ سَيِّئَةً فِي سَبْعَةِ أَبْيَاتٍ إِلَّا أَظْهَرَهَا،
dan tidak pula seseorang mengerjakan keburukan di tujuh rumah (yang tertutup) melainkan Allah akan menyingkapkannya,
وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ: «وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ»».
dan pembenaran hal itu terdapat di dalam Kitab Allah: ‘Dan Allah menampakkan apa yang dahulu kalian sembunyikan.’”
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ:
Ahmad dan al-Hākim (yang mensahihkannya) meriwayatkan dari Abu Sa‘id, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَوْ أَنَّ رَجُلًا عَمِلَ عَمَلًا فِي صَخْرَةٍ صَمَّاءَ لَا بَابَ لَهَا وَلَا كُوَّةَ،
“Andaikata seseorang melakukan suatu amal di dalam batu besar yang padat, yang tidak memiliki pintu dan lubang,
لَخَرَجَ عَمَلُهُ إِلَى النَّاسِ كَائِنًا مَا كَانَ».
niscaya amalnya itu akan keluar (tampak) kepada manusia, bagaimanapun bentuk amal tersebut.”
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ مِنْ حَدِيثِ عُثْمَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Al-Baihaqī meriwayatkan dari hadis ‘Utsmān, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ كَانَتْ لَهُ سَرِيرَةٌ صَالِحَةٌ أَوْ سَيِّئَةٌ، أَظْهَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِنْهَا رِدَاءً يُعْرَفُ بِهِ».
“Siapa yang memiliki rahasia (sifat batin) yang baik atau buruk, Allah akan menampakkan atasnya pakaian lahir yang dikenali manusia darinya.”
وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ أَيْضًا بِنَحْوِهِ مِنْ قَوْلِ عُثْمَانَ، قَالَ: «وَالْمَوْقُوفُ أَصَحُّ».
Al-Baihaqī juga meriwayatkannya dengan makna yang serupa sebagai ucapan (mauqūf) ‘Utsmān sendiri, dan ia berkata: “Riwayat mauqūf lebih sahih.”
وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا حَدِيثًا طَوِيلًا فِي هَذَا الْمَعْنَى،
Abu Syaikh dan al-Baihaqī meriwayatkan dari Anas secara marfū‘ sebuah hadis panjang dengan makna yang serupa,
وَمَعْنَاهُ: أَنَّ اللَّهَ يُلْبِسُ كُلَّ عَامِلٍ عَمَلَهُ، حَتَّىٰ يَتَحَدَّثَ بِهِ النَّاسُ وَيَزِيدُونَ،
intinya: bahwa Allah akan memakaikan kepada setiap pelaku amal pakaian amalnya, hingga manusia membicarakannya dan menambah-nambahkan (berita tentangnya),
وَلَوْ عَمِلَهُ فِي جَوْفِ بَيْتٍ، إِلَىٰ سَبْعِينَ بَيْتًا، عَلَىٰ كُلِّ بَيْتٍ بَابٌ مِنْ حَدِيدٍ،
sekalipun ia mengerjakannya di dalam sebuah rumah, lalu di dalam tujuh puluh rumah lainnya lagi, dan di setiap rumah ada pintu besi (yakni sangat tersembunyi),
وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ.
namun sanad hadis ini lemah.
وَأَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ أَيْضًا مَرْفُوعًا:
Ibnu ‘Adiyy juga meriwayatkan dari hadis Anas secara marfū‘:
«إِنَّ اللَّهَ مُرْدٍ كُلَّ امْرِئٍ رِدَاءَ عَمَلِهِ».
“Sesungguhnya Allah akan mengembalikan kepada setiap orang selimut (pakaian) amalnya (yakni akan menampakkannya).”
وَلِجَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ «كَلِمَاتٌ» تُفِيدُ هَذَا الْمَعْنَى.
Dan dari sekumpulan sahabat serta tabi‘in ada sejumlah ucapan yang maknanya mengarah ke hal ini (bahwa amal batin pada akhirnya akan tampak).
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا»،
‘Abd bin Humaid, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Maka Kami berfirman: Pukullah ia dengan sebagian darinya (sapi betina itu),”
قَالَ: «ضَرَبَ بِالْعَظْمِ الَّذِي يَلِي الْغُضْرُوفَ».
ia berkata: “Mereka memukulnya dengan tulang dekat persendian (tulang yang menempel pada rawan).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ: أَنَّهُمْ «ضَرَبُوهُ بِفَخِذِهَا».
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Qatādah bahwa mereka memukulnya dengan paha (sapi betina).
وَأَخْرَجَ مِثْلَهُ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ عِكْرِمَةَ.
Riwayat serupa juga dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari ‘Ikrimah.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ.
Dan ‘Abd bin Humaid serta Ibnu Jarir meriwayatkan yang semisalnya dari Mujahid.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ السُّدِّيِّ قَالَ: «ضُرِبَ بِالْبِضْعَةِ الَّتِي بَيْنَ الْكَتِفَيْنِ».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari as-Suddī, ia berkata: “Mayat itu dipukul dengan daging dari bagian di antara dua bahunya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ فِي «الْعَظَمَةِ»، عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ قِصَّةً طَوِيلَةً فِي ذِكْرِ الْبَقَرَةِ وَصَاحِبِهَا،
‘Abd bin Humaid dan Abu Syaikh dalam kitab al-‘Aẓamah meriwayatkan dari Wahb bin Munabbih sebuah kisah panjang tentang sapi betina dan pemiliknya,
لَا حَاجَةَ إِلَى التَّطْوِيلِ بِذِكْرِهَا، وَقَدِ اسْتَوْفَاهَا فِي «الدُّرِّ الْمَنْثُورِ».
dan tidak perlu kami perpanjang dengan menyebutkannya di sini; seluruhnya telah dicantumkan secara lengkap dalam ad-Durr al-Mantsūr.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ»،
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras,”
قَالَ: «مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاهُمُ اللَّهُ مِنْ إِحْيَاءِ الْمَوْتَىٰ،
ia berkata: “yakni setelah Allah memperlihatkan kepada mereka peristiwa menghidupkan orang mati,
وَمِنْ بَعْدِ مَا أَرَاهُمْ مِنْ أَمْرِ الْقَتِيلِ،
dan setelah memperlihatkan kepada mereka peristiwa pembunuhan itu.”
«فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً»،
(Lalu hati mereka) “seperti batu, atau bahkan lebih keras lagi.”
ثُمَّ «عَذَرَ اللَّهُ الْحِجَارَةَ» وَلَمْ يَعْذِرْ شَقِيَّ بَنِي آدَمَ،
Kemudian Allah “memaklumi” batu-batu namun tidak memaklumi orang-orang celaka dari Bani Adam,
فَقَالَ: «وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ…» إِلَىٰ آخِرِ الْآيَةِ.
maka Allah berfirman: “Dan sungguh, di antara batu-batu itu ada yang sungai-sungai memancar darinya…” hingga akhir ayat.
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«أَي: مِنَ الْحِجَارَةِ لَأَلْيَنُ مِنْ قُلُوبِكُمْ عَمَّا تُدْعَوْنَ إِلَيْهِ مِنَ الْحَقِّ».
“Yakni: sesungguhnya di antara batu-batu itu ada yang lebih lembut daripada hati kalian dalam menerima kebenaran yang kalian diajak kepadanya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
‘Abd bin Humaid, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas,
قَالَ: «إِنَّ الْحَجَرَ لَيَقَعُ عَلَى الْأَرْضِ،
ia berkata: “Sesungguhnya batu itu jatuh ke bumi,
وَلَوِ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ فِئَامٌ مِنَ النَّاسِ مَا اسْتَطَاعُوهُ،
dan sekalipun berkumpul sejumlah kelompok manusia untuk mengangkatnya, mereka tidak akan sanggup,
وَإِنَّهُ لَيَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ».
dan sesungguhnya (kadang) batu itu jatuh berguguran karena takut kepada Allah.”
---
Catatan kaki
1 الْإِنْسَانُ: 24. Surah al-Insān ayat 24: “فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا”.
2 الْحَشْرُ: 21. Surah al-Ḥasyr ayat 21: “لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ…”.
3 فِي هَذَا إِشَارَةٌ إِلَىٰ قَوْلِهِ تَعَالَىٰ فِي سُورَةِ الْكَهْفِ [الْآيَةُ: 77]: «فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ». Isyarat pada penisbatan “kehendak” kepada dinding dalam Surah al-Kahf ayat 77: “Maka mereka mendapati di negeri itu sebuah dinding yang hampir roboh (‘ingin’ runtuh)…”.