Al Baqarah Ayat 67-71
[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الآيَاتُ 67 إِلَى 71]
[Surat al-Baqarah (2): ayat 67 sampai 71]
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (67)
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyembelih seekor sapi betina.”
Mereka berkata, “Apakah engkau menjadikan kami bahan olok-olokan?”
Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari menjadi golongan orang-orang yang bodoh.” (67)
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ ۚ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَ ۖ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ (68)
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami sapi apakah itu.”
Musa menjawab, “Sesungguhnya Dia berfirman bahwa sapi betina itu bukan yang tua dan bukan yang muda, tetapi di tengah-tengah di antara keduanya.
Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kalian.” (68)
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا لَوْنُهَا ۚ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ (69)
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.”
Musa menjawab, “Sesungguhnya Dia berfirman bahwa sapi betina itu berwarna kuning, kuning tua lagi terang warnanya, yang menyenangkan orang-orang yang memandangnya.” (69)
قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ ۚ إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ (70)
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami sapi apakah itu,
karena sesungguhnya sapi-sapi itu (bentuknya) serupa bagi kami, dan sesungguhnya kami, insya Allah, benar-benar akan mendapat petunjuk.” (70)
قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ تُثِيرُ الْأَرْضَ وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ مُسَلَّمَةٌ لَا شِيَةَ فِيهَا ۚ قَالُوا الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ ۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ (71)
Musa berkata, “Sesungguhnya Dia berfirman bahwa sapi betina itu tidak jinak untuk mengolah tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman;
sempurna (tidak bercela), tidak ada belang (warna lain) padanya.”
Mereka berkata, “Sekarang engkau datang membawa keterangan yang benar.”
Lalu mereka menyembelihnya, padahal hampir saja mereka tidak melaksanakannya. (71)
---
قِيلَ: إِنَّ قِصَّةَ ذَبْحِ الْبَقَرَةِ الْمَذْكُورَةَ هُنَا مُقَدَّمٌ فِي التِّلَاوَةِ، وَمُؤَخَّرٌ فِي الْمَعْنَى عَلَى قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: «وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا».
Dikatakan: Sesungguhnya kisah penyembelihan sapi betina yang disebut di sini didahulukan dari segi urutan bacaan, namun diakhirkan dari segi makna dibandingkan firman-Nya Ta‘ālā: “Dan (ingatlah) ketika kalian membunuh seseorang.”
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ: «قَتَلْتُمْ» مُقَدَّمًا فِي النُّزُولِ،
Dan boleh jadi firman-Nya: “kalian telah membunuh” turun lebih dahulu,
وَيَكُونَ «الْأَمْرُ بِالذَّبْحِ» مُؤَخَّرًا،
dan perintah penyembelihan (sapi) turun belakangan.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ تَرْتِيبُ نُزُولِهَا عَلَىٰ حَسَبِ تِلَاوَتِهَا،
Dan juga mungkin urutan turunnya sesuai dengan urutan bacaannya (sebagaimana di mushaf sekarang),
فَكَأَنَّ اللَّهَ أَمَرَهُمْ بِذَبْحِ الْبَقَرَةِ حَتَّىٰ ذَبَحُوهَا،
seakan-akan Allah memerintahkan mereka menyembelih sapi betina hingga mereka pun menyembelihnya,
ثُمَّ وَقَعَ مَا وَقَعَ مِنْ أَمْرِ الْقَتْلِ،
kemudian terjadilah peristiwa pembunuhan (yang disebut dalam ayat selanjutnya),
فَأُمِرُوا أَنْ يَضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا.
maka mereka diperintahkan untuk memukul mayat itu dengan sebagian dari anggota badan sapi tersebut.
هَذَا عَلَىٰ فَرْضِ أَنَّ «الْوَاوَ» تَقْتَضِي التَّرْتِيبَ،
Ini semua berdasarkan anggapan bahwa huruf “wawu” menuntut adanya urutan (kronologis).
وَقَدْ تَقَرَّرَ فِي عِلْمِ الْعَرَبِيَّةِ أَنَّهَا «لِمُجَرَّدِ الْجَمْعِ، مِنْ دُونِ تَرْتِيبٍ وَلَا مَعِيَّةٍ».
Padahal telah ditetapkan dalam ilmu bahasa Arab bahwa huruf wawu pada asalnya hanya menunjukkan penggabungan (sekadar menyebut bersama), tanpa harus menunjukkan urutan maupun kebersamaan waktu.
وَسَيَأْتِي فِي قِصَّةِ «الْقَتْلِ» تَمَامُ الْكَلَامِ،
Penjelasan lengkap pembunuhan itu akan datang pada kisah pembunuhan (ayat berikutnya).
وَالْبَقَرَةُ: اسْمٌ لِلْأُنْثَىٰ، وَيُقَالُ لِلذَّكَرِ: «ثَوْرٌ»،
Kata “al-baqorah” adalah nama untuk sapi betina; sedangkan untuk jantan disebut “ṯawr”.
وَقِيلَ: إِنَّهَا تُطْلَقُ عَلَيْهِمَا،
Ada juga yang berkata: “baqarah” dapat digunakan untuk keduanya (jantan dan betina).
وَأَصْلُهُ مِنَ «الْبَقْرِ» وَهُوَ «الشَّقُّ»،
Asalnya dari kata “baqr” yang berarti membelah,
لِأَنَّهَا تَشُقُّ الْأَرْضَ بِالْحَرْثِ.
karena sapi dipakai untuk membelah tanah (membajak) ketika bercocok tanam.
قَالَ الْأَزْهَرِيُّ: «الْبَقَرُ» اسْمُ جِنْسٍ، وَجَمْعُهُ «بَاقِرٌ».
Al-Azhari berkata: “Al-baqar” adalah isim jenis, dan bentuk jamaknya “bāqir”.
وَقَدْ قَرَأَ عِكْرِمَةُ وَيَحْيَىٰ بْنُ يَعْمَرَ: «إِنَّ الْبَاقِرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا».
‘Ikramah dan Yahyā bin Ya‘mar membaca: “inna al-bāqir tasyābaha ‘alainā” (dengan lafaz al-bāqir sebagai jamak dari baqar).
وَقَوْلُهُ: «هُزُوًا»؛
Firman-Nya: “huzū’an” (bahan olok-olokan);
«الْهُزُوُ» هُنَا: «اللَّعِبُ وَالسُّخْرِيَةُ»،
“al-huzū’” di sini berarti permainan dan ejekan,
وَقَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ.
dan penjelasannya telah disebutkan sebelumnya.
وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ أَهْلُ الْجَهْلِ؛
Perbuatan memperolok-olok seperti ini hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh,
لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنَ «الْعَبَثِ» الَّذِي لَا يَفْعَلُهُ الْعُقَلَاءُ،
karena itu adalah sejenis kelalaian/bermain-main yang tidak dilakukan oleh orang-orang berakal.
وَلِهَذَا أَجَابَهُمْ مُوسَىٰ بِـ«الِاسْتِعَاذَةِ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنَ الْجَهْلِ».
Karena itulah Musa menjawab mereka dengan memohon perlindungan kepada Allah Mahasuci dari (sikap) kebodohan.
وَقَوْلُهُ: «قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ»؛
Firman-Nya: “Mereka berkata: mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami…”
هَذَا نَوْعٌ مِنْ أَنْوَاعِ تَعَنُّتِهِمُ الْمَأْلُوفَةِ،
Ini adalah bentuk lain dari pola sikap keras kepala mereka yang sudah biasa,
فَقَدْ كَانُوا يَسْلُكُونَ هَذِهِ الْمَسَالِكَ فِي غَالِبِ مَا أَمَرَهُمُ اللَّهُ بِهِ.
karena mereka senantiasa menempuh cara-cara seperti ini dalam kebanyakan perkara yang Allah perintahkan kepada mereka.
وَلَوْ تَرَكُوا «التَّعَنُّتَ وَالْأَسْئِلَةَ الْمُتَكَلَّفَةَ»،
Seandainya mereka meninggalkan sikap keras kepala dan pertanyaan-pertanyaan yang dipaksakan,
لَأَجْزَأَهُمْ «ذَبْحُ بَقَرَةٍ مِنْ عَرَضِ الْبَقَرِ»،
niscaya sudah cukup bagi mereka menyembelih sapi betina biasa saja dari jenis sapi apa pun,
وَلَكِنَّهُمْ شَدَّدُوا فَشَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ،
tetapi mereka mempersulit diri mereka sendiri, maka Allah pun mempersulit atas mereka,
كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ.
sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
وَ«الْفَارِضُ»: «الْمُسِنَّةُ»،
“Al-fāriḍ” adalah sapi yang sudah tua.
وَمَعْنَاهُ فِي اللُّغَةِ: «الْوَاسِعُ».
Secara bahasa maknanya adalah “yang melebar/luas (tua)”.
قَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: وَكَأَنَّهَا سُمِّيَتْ فَارِضًا؛ لِأَنَّهَا «فَرَضَتْ سِنَّهَا»:
Dalam al-Kasysyāf disebutkan: Seakan-akan ia disebut “fārid/ fāriḍ” karena ia “farodat sinnaha”,
أَيْ: قَطَعَتْهَا وَبَلَغَتْ آخِرَهَا. انْتَهَى.
yakni telah memotong (menghabiskan) masa mudanya dan mencapai akhir usia. Selesai (kutipan).
وَيُقَالُ لِلشَّيْءِ الْقَدِيمِ: «فَارِضٌ»،
Dan sesuatu yang sudah lama (usang) juga disebut “fāriḍ”.
وَمِنْهُ قَوْلُ الرَّاجِزِ:
Di antaranya ucapan perawi rajaz:
يَا رَبَّ ذِي ضِغْنٍ عَلَيَّ فَارِضٍ … لَهُ قُرُوءٌ كَقُرُوءِ الْحَائِضِ
“Wahai Rabbku, (lindungi aku) dari orang yang menyimpan dengki lama terhadapku,
yang masa dendamnya sepanjang masa haid wanita (berulang-ulang).”
أَيْ: قَدِيمٌ.
Maksudnya: dendam yang sudah lama.
وَقِيلَ: «الْفَارِضُ»: الَّتِي قَدْ وَلَدَتْ بُطُونًا كَثِيرَةً، فَيَتَّسِعُ جَوْفُهَا.
Ada pula yang berkata: “fāriḍ” adalah sapi yang telah beranak berkali-kali sehingga perutnya menjadi besar/longgar.
وَ«الْبِكْرُ»: الصَّغِيرَةُ الَّتِي لَمْ تَحْمِلْ،
Al-bikr adalah sapi muda yang belum pernah bunting,
وَتُطْلَقُ فِي إِنَاثِ الْبَهَائِمِ وَبَنِي آدَمَ عَلَىٰ مَا لَمْ يَفْتَحِلْهُ الْفَحْلُ،
dan digunakan untuk betina hewan maupun manusia (gadis) yang belum pernah digauli pejantan (atau suami),
وَتُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى «الْأَوَّلِ مِنَ الْأَوْلَادِ»،
dan juga digunakan untuk anak pertama (dari sebuah kelahiran).
وَمِنْهُ قَوْلُ الرَّاجِزِ:
Di antaranya perkataan perawi rajaz:
يَا بَكْرَ بَكْرَيْنِ وَيَا خَلْبَ الْكَبِدِ … أَصْبَحْتَ مِنِّي كَذِرَاعٍ مِنْ عَضُدِ
“Wahai anak pertama dari dua anak pertama, wahai yang merobek hati;
engkau kini begitu dekat denganku bagaikan lengan atas dengan siku.”
وَ«الْعَوَانُ»: «الْمُتَوَسِّطَةُ بَيْنَ سِنِيِّ الْفَارِضِ وَالْبِكْرِ»،
“Al-‘awān” adalah sapi yang usianya pertengahan antara yang tua (fāriḍ) dan yang muda (bikr),
وَهِيَ الَّتِي قَدْ وَلَدَتْ بَطْنًا أَوْ بَطْنَيْنِ،
yakni yang pernah beranak sekali atau dua kali,
وَيُقَالُ: هِيَ الَّتِي قَدْ وَلَدَتْ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ.
ada juga yang berkata: ia adalah yang sudah pernah beranak beberapa kali.
وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: «بَيْنَ ذَٰلِكَ» إِلَى «الْفَارِضِ وَالْبِكْرِ»،
Isyarat dalam firman-Nya: “di antara (keduanya) itu” kembali kepada yang tua (fāriḍ) dan yang muda (bikr),
وَهُمَا وَإِنْ كَانَتَا مُؤَنَّثَتَيْنِ،
meskipun keduanya adalah lafaz mu’annats (bentuk feminin),
فَقَدْ أُشِيرَ إِلَيْهِمَا بِمَا هُوَ لِلْمُذَكَّرِ، عَلَىٰ تَأْوِيلِ «الْمَذْكُورِ»،
tetapi ditunjuk dengan kata tunjuk maskulin (dzālika) berdasarkan ta’wil “sesuatu yang disebutkan,”
كَأَنَّهُ قَالَ: بَيْنَ ذَلِكَ الْمَذْكُورِ.
seakan-akan Allah berfirman: “di antara (dua sifat) yang disebutkan itu.”
وَجَازَ «دُخُولُ بَيْنَ» الْمُقْتَضِيَةِ لِشَيْئَيْنِ عَلَى «الْمُفْرَدِ»1،
Dan bolehlah kata “baina” yang biasanya menuntut dua hal digunakan dengan lafaz tunggal1,
لِأَنَّ الْمَذْكُورَ «مُتَعَدِّدٌ».
karena yang ditunjuk oleh lafaz tunggal itu hakikatnya adalah beberapa hal (fāriḍ dan bikr).
وَقَوْلُهُ: «فَافْعَلُوا» تَجْدِيدٌ لِلْأَمْرِ، وَتَأْكِيدٌ لَهُ،
Firman-Nya: “maka kerjakanlah (perintah itu)” adalah pembaruan perintah dan penegasan ulang,
وَزَجْرٌ لَهُمْ عَنِ «التَّعَنُّتِ»،
serta bentuk peringatan keras bagi mereka agar meninggalkan sikap keras kepala.
فَلَمْ يَنْفَعْهُمْ ذَلِكَ وَلَا نَجَعَ فِيهِمْ،
Namun semua itu tidak bermanfaat bagi mereka dan tidak berpengaruh pada diri mereka,
بَلْ رَجَعُوا إِلَىٰ طَبِيعَتِهِمْ، وَعَادُوا إِلَىٰ مَكْرِهِمْ،
bahkan mereka kembali kepada tabiat mereka dan kembali kepada tipu daya mereka,
وَاسْتَمَرُّوا عَلَىٰ عَادَتِهِمُ الْمَأْلُوفَةِ،
dan berlanjut di atas kebiasaan mereka yang sudah dikenal,
فَقَالُوا: «ادْعُ لَنَا رَبَّكَ».
lalu mereka berkata lagi: “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami…”
وَ«اللَّوْنُ»: وَاحِدُ «الْأَلْوَانِ»،
“Al-lawn” adalah bentuk tunggal dari “al-alwān” (warna-warna).
وَجُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ عَلَىٰ أَنَّهَا كَانَتْ «جَمِيعُهَا صَفْرَاءَ»،
Mayoritas mufasir berpendapat bahwa seluruh tubuh sapi itu berwarna kuning.
قَالَ بَعْضُهُمْ: حَتَّىٰ قَرْنُهَا وَظِلْفُهَا.
Sebagian mereka berkata: bahkan sampai tanduk dan kukunya berwarna kuning.
وَقَالَ الْحَسَنُ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: إِنَّهَا كَانَتْ صَفْرَاءَ الْقَرْنِ وَالظِّلْفِ فَقَطْ،
Al-Hasan dan Sa‘īd bin Jubair berkata: Sapi itu hanya kuning pada tanduk dan kukunya saja,
وَهُوَ خِلَافُ الظَّاهِرِ.
dan ini bertentangan dengan zahir (teks) ayat.
وَالْمُرَادُ بِالصُّفْرَةِ هُنَا «الصُّفْرَةُ الْمَعْرُوفَةُ».
Yang dimaksud dengan “kuning” di sini adalah warna kuning yang sudah dikenal (bukan makna majazi).
وَرُوِيَ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّ «صَفْرَاءَ» مَعْنَاهُ «سَوْدَاءُ»،
Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa “ṣafrā’” bermakna “hitam”,
وَهَذَا مِنْ «بِدَعِ التَّفَاسِيرِ» وَمُنْكَرَاتِهَا،
dan ini termasuk bid‘ah dalam tafsir dan sesuatu yang mungkar (tidak dapat diterima),
وَلَيْتَ شِعْرِي كَيْفَ يَصْدُقُ عَلَى «اللَّوْنِ الْأَسْوَدِ» الَّذِي هُوَ أَقْبَحُ الْأَلْوَانِ، أَنَّهُ «يَسُرُّ النَّاظِرِينَ»،
entah bagaimana dapat dinisbatkan pada warna hitam—yang merupakan warna paling buruk menurut kebiasaan—bahwa ia “menyenangkan orang-orang yang memandang”,
وَكَيْفَ يَصِحُّ وَصْفُهُ بِـ«الْفُقُوعِ» الَّذِي يَعْلَمُ كُلُّ مَنْ يَعْرِفُ لُغَةَ الْعَرَبِ أَنَّهُ لَا يَجْرِي عَلَى الْأَسْوَدِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ؟
dan bagaimana mungkin warna hitam digambarkan dengan “fāqi‘” (sangat terang), padahal setiap orang yang mengenal bahasa Arab tahu bahwa istilah itu sama sekali tidak digunakan untuk warna hitam?
فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ فِي وَصْفِ الْأَسْوَدِ: «حَالِكٌ، وَحَلْكُوكٌ، وَدَجُوجِيٌّ، وَغِرْبِيبٌ».
Karena orang Arab bila menggambarkan warna hitam menggunakan istilah: “ḥālik, ḥalkūk, dajūjī, ghirbīb” dan semisalnya.
قَالَ الْكِسَائِيُّ: يُقَالُ «فَقَعَ لَوْنُهَا يَفْقَعُ فُقُوعًا» إِذَا خَلَصَتْ صُفْرَتُهُ.
Al-Kisā’ī berkata: Dikatakan “faqa‘a lawnuhā yafqa‘u fuqū‘an” bila warna kuningnya murni (sangat terang).
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: «الْفُقُوعُ أَشَدُّ مَا يَكُونُ مِنَ الصُّفْرَةِ وَأَنْصَعُهُ».
Dalam al-Kasysyāf disebutkan: “Al-fuqū‘ adalah warna kuning yang paling kuat dan paling cerah.”
وَمَعْنَى «تَسُرُّ النَّاظِرِينَ»: تُدْخِلُ عَلَيْهِمُ السُّرُورَ إِذَا نَظَرُوا إِلَيْهَا،
Makna “tusirru an-nāẓirīn” adalah: sapi itu memasukkan rasa gembira ke dalam diri orang-orang yang memandangnya,
إِعْجَابًا بِهَا، وَاسْتِحْسَانًا لِلَوْنِهَا.
karena mereka kagum kepadanya dan menyukai warnanya.
قَالَ وَهْبٌ: كَانَتْ كَأَنَّ «شُعَاعَ الشَّمْسِ» يَخْرُجُ مِنْ جِلْدِهَا.
Wahb berkata: Sapi itu seakan-akan sinar matahari memancar dari kulitnya.
ثُمَّ لَمْ يَنْزِعُوا عَنْ غِوَايَتِهِمْ، وَلَا ارْعَوَوْا مِنْ سَفَهِهِمْ وَجَهْلِهِمْ،
Namun mereka belum juga berhenti dari kesesatan mereka, dan tidak sadar dari kebodohan dan kejahilan mereka,
بَلْ عَادُوا إِلَىٰ «تَعَنُّتِهِمْ»،
bahkan mereka kembali kepada sikap keras kepala mereka,
فَقَالُوا: «ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ،
hingga mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Rabbmu untuk kami, agar Dia menjelaskan kepada kami sapi apakah itu,
إِنَّ الْبَقَرَ تَشَابَهَ عَلَيْنَا»؛
karena sesungguhnya sapi-sapi itu (bentuknya) serupa bagi kami.”
أَيْ: أَنَّ جِنْسَ الْبَقَرِ يَتَشَابَهُ عَلَيْهِمْ،
Maksudnya: jenis-jenis sapi itu mirip satu sama lain bagi mereka,
لِكَثْرَةِ مَا يَتَّصِفُ مِنْهَا بِالْعَوَانِ الصَّفْرَاءِ الْفَاقِعَةِ،
karena banyak sapi yang memenuhi kriteria “pertengahan usia” dan “kuning terang”.
وَوَعَدُوا مِنْ أَنْفُسِهِمْ بِالِاهْتِدَاءِ إِلَىٰ مَا دَلَّهُمْ عَلَيْهِ،
Dan mereka menjanjikan dari diri mereka bahwa mereka akan mendapat petunjuk kepada apa yang beliau (Musa) tunjukkan,
وَالِامْتِثَالِ لِمَا أُمِرُوا بِهِ.
serta akan menaati apa yang telah mereka diperintahkan.
«لَا ذَلُولٌ»؛ الَّتِي لَمْ يُذَلِّلْهَا الْعَمَلُ،
“Lā dhalūl” (tidak jinak) maksudnya sapi yang belum dijinakkan oleh kerja,
أَيْ: هِيَ غَيْرُ مُذَلَّلَةٍ بِالْعَمَلِ، وَلَا رَيِّضَةٍ بِهِ.
yakni ia tidak jinak karena kerja dan tidak terlatih dengannya.
وَقَوْلُهُ: «تُثِيرُ الْأَرْضَ» فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ عَلَى الصِّفَةِ لِـ«بَقَرَةٍ»،
Firman-Nya: “tutsīrul arḍa” (menggemburkan tanah) berada pada posisi marfū‘ sebagai sifat bagi “baqarah”,
أَيْ: هِيَ بَقَرَةٌ لَا ذَلُولٌ «مُثِيرَةٌ».
yakni: ia adalah sapi betina yang tidak jinak, bukan pula sapi yang menggemburkan tanah.
وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ: «وَلَا تَسْقِي الْحَرْثَ» فِي مَحَلِّ رَفْعٍ لِأَنَّهُ وَصْفٌ لَهَا،
Demikian pula firman-Nya: “dan tidak mengairi tanaman,” juga berada pada posisi marfū‘ karena menjadi sifat baginya,
أَيْ: لَيْسَتْ مِنَ «النَّوَاضِحِ» الَّتِي «يُسْنَىٰ» عَلَيْهَا لِسَقْيِ الزُّرُوعِ.
yakni: sapi itu bukan termasuk hewan pengangkut air yang digunakan untuk mengairi ladang.
وَحَرْفُ النَّفْيِ الْآخَرُ تَوْكِيدٌ لِلْأَوَّلِ،
Huruf nafi yang kedua adalah penegasan bagi yang pertama,
أَيْ: هِيَ بَقَرَةٌ غَيْرُ مُذَلَّلَةٍ بِالْحَرْثِ وَلَا بِالنَّضْحِ،
yakni: ia adalah sapi yang tidak dijinakkan untuk membajak tanah maupun untuk mengairi.
وَلِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ: «كَانَتِ الْبَقَرَةُ وَحْشِيَّةً».
Karena itu al-Hasan berkata: “Sapi itu adalah sapi liar (bukan sapi pekerja).”
وَقَالَ قَوْمٌ: إِنَّ قَوْلَهُ: «تُثِيرُ» فِعْلٌ مُسْتَأْنَفٌ،
Ada sekelompok ulama yang berkata: firman-Nya “tutsīrul arḍa” adalah fi‘il musta’naf (kalimat baru),
وَالْمَعْنَىٰ: «إِيجَابُ الْحَرْثِ لَهَا وَالنَّضْحِ بِهَا».
dan maknanya: justru menetapkan bahwa ia digunakan untuk membajak dan mengairi.
وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ،
Pendapat pertama lebih kuat,
لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ مُثِيرَةً سَاقِيَةً، لَكَانَتْ مُذَلَّلَةً رَيِّضَةً،
karena jika sapi itu adalah sapi yang menggemburkan tanah dan mengairi, niscaya ia adalah sapi yang jinak lagi terlatih,
وَقَدْ نَفَى اللَّهُ ذَلِكَ عَنْهَا.
padahal Allah telah meniadakan sifat tersebut darinya.
وَقَوْلُهُ: «مُسَلَّمَةٌ» مُرْتَفِعٌ عَلَىٰ أَنَّهُ مِنْ أَوْصَافِ الْبَقَرَةِ،
Firman-Nya: “musallamah” berada dalam keadaan marfū‘ sebagai salah satu sifat sapi betina itu,
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مُرْتَفِعًا عَلَىٰ أَنَّهُ «خَبَرٌ لِمُبْتَدَإٍ مَحْذُوفٍ»،
dan juga boleh dipahami marfū‘ sebagai khabar bagi mubtada’ yang dihapus,
أَيْ: «هِيَ مُسَلَّمَةٌ»،
yakni: “ia (sapi itu) adalah sapi yang sempurna (musallamah).”
وَالْجُمْلَةُ فِي مَحَلِّ رَفْعٍ عَلَىٰ أَنَّهَا صِفَةٌ.
Kalimat itu secara keseluruhan berada pada posisi marfū‘ sebagai sifat.
وَالْمُسَلَّمَةُ: هِيَ الَّتِي لَا عَيْبَ فِيهَا،
“Al-musallamah” adalah sapi yang tidak memiliki cacat sedikit pun.
وَقِيلَ: «مُسَلَّمَةٌ مِنَ الْعَمَلِ»،
Ada pula yang berkata: maksudnya adalah bebas dari (belum pernah dipakai) kerja,
وَهُوَ ضَعِيفٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ قَدْ نَفَىٰ ذَلِكَ عَنْهَا،
namun ini lemah, karena Allah Mahasuci sudah meniadakan (kerja) tersebut darinya,
وَ«التَّأْسِيسُ» خَيْرٌ مِنَ «التَّأْكِيدِ»، وَ«الْإِفَادَةُ» أَوْلَىٰ مِنَ «الْإِعَادَةِ».
dan membangun makna baru (ta’sīs) lebih baik daripada sekadar pengulangan (ta’kīd); memberi faedah baru lebih utama daripada hanya mengulang-ulang.
وَ«الشِّيَةُ» أَصْلُهَا «وَشِيَةٌ»، حُذِفَتِ الْوَاوُ،
“asy-syiyyah” asalnya adalah “washiyyah”, huruf wawnya dihapus
كَمَا حُذِفَتْ مِنْ «يَشِي»، وَأَصْلُهُ «يَوْشِي»،
sebagaimana dihapus pada kata “yashī” (asalnya “yawshī”).
وَنَظِيرُهُ: «الزِّينَةُ، وَالْعِدَةُ، وَالصِّلَةُ»،
Sejenis dengan itu adalah kata “az-zīnah, al-‘iddah, ash-shilah”.
وَهِيَ مَأْخُوذَةٌ مِنْ «وَشِيَ الثَّوْبُ»: إِذَا نُسِجَ عَلَىٰ لَوْنَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ،
“Kata syiyyah” diambil dari “washiya ats-tsawb” (pakaian yang bermotif) bila kain itu ditenun dengan dua warna yang berbeda,
وَ«ثَوْرٌ مُوَشًّى»: فِي وَجْهِهِ وَقَوَائِمِهِ سَوَادٌ.
dan “ṯaur muwashshā” (sapi jantan bermotif) adalah sapi yang memiliki warna lain (misalnya hitam) di wajah dan kakinya.
وَالْمُرَادُ أَنَّ هَذِهِ الْبَقَرَةَ «خَالِصَةُ الصُّفْرَةِ»،
Yang dimaksud ialah bahwa sapi ini murni berwarna kuning,
لَيْسَ فِي جِسْمِهَا لَمْعَةٌ مِنْ لَوْنٍ آخَرَ.
tidak ada sedikit pun bercak warna lain di tubuhnya.
فَلَمَّا سَمِعُوا هَذِهِ الْأَوْصَافَ الَّتِي لَا يَبْقَىٰ بَعْدَهَا رَيْبٌ،
Ketika mereka mendengar sifat-sifat yang tidak menyisakan keraguan sedikit pun setelahnya,
وَلَا يُخَالِجُ سَامِعَهَا شَكٌّ،
dan tidak menyisakan keraguan di hati orang yang mendengarnya,
وَلَا تَحْتَمِلُ «الشَّرِيكَةَ» بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ،
dan tidak memungkinkan adanya sapi lain yang serupa pada sisi apa pun,
أَقْصَرُوا مِنْ غِوَايَتِهِمْ، وَانْتَبَهُوا مِنْ رَقْدَتِهِمْ،
mereka pun berhenti dari kesesatan mereka dan bangun dari kelalaian mereka,
وَعَرَفُوا بِمِقْدَارِ مَا أَوْقَعَهُمْ فِيهِ «تَعَنُّتُهُمْ» مِنَ التَّضْيِيقِ عَلَيْهِمْ،
dan mereka mengetahui seberapa besar sikap keras kepala mereka telah menjerumuskan mereka ke dalam kesempitan (kesulitan).
فَقَالُوا: «الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ»،
Maka mereka berkata: “Sekarang engkau telah datang membawa kebenaran,”
أَيْ: أَوْضَحْتَ لَنَا الْوَصْفَ،
yakni: engkau telah menjelaskan sifat (sapi) itu kepada kami,
وَبَيَّنْتَ لَنَا «الْحَقِيقَةَ» الَّتِي يَجِبُ الْوُقُوفُ عِنْدَهَا.
dan engkau telah menjelaskan hakikat yang wajib kami pegang.
فَحَصَلُوا عَلَىٰ تِلْكَ الْبَقَرَةِ الْمَوْصُوفَةِ بِتِلْكَ الصِّفَاتِ،
Akhirnya mereka mendapatkan sapi betina yang memiliki sifat-sifat tersebut,
فَذَبَحُوهَا،
lalu mereka menyembelihnya,
وَامْتَثَلُوا الْأَمْرَ الَّذِي كَانَ «يُسْرًا فَعَسَّرُوهُ»،
dan mereka pun melaksanakan perintah yang sebenarnya mudah namun mereka buat menjadi sulit,
وَكَانَ «وَاسِعًا فَضَيَّقُوهُ».
dan yang tadinya lapang tetapi mereka persempit sendiri.
وَ«مَا كَادُوا يَفْعَلُونَ» مَا أُمِرُوا بِهِ؛
Dan “hampir saja mereka tidak melaksanakannya” maksudnya: apa yang mereka diperintahkan untuk melakukannya,
لِمَا وَقَعَ مِنْهُمْ مِنَ التَّثَبُّطِ وَالتَّعَنُّتِ وَعَدَمِ الْمُبَادَرَةِ،
karena adanya sikap menunda-nunda, keras kepala, dan enggan bersegera dari mereka,
فَكَانَ ذَلِكَ مَظِنَّةً «لِلِاسْتِبْعَادِ»،
sehingga hal itu menjadi faktor yang mengesankan seolah-olah mereka jauh dari melaksanakan perintah itu,
وَمَحَلًّا «لِلْمَجِيءِ بِعِبَارَةٍ مُشْعِرَةٍ بِالتَّثَبُّطِ الْكَائِنِ مِنْهُمْ».
dan menjadi tempat yang tepat untuk datangnya ungkapan Al-Qur’an yang menunjukkan adanya sikap menahan diri (enggan) dari pihak mereka.
وَقِيلَ: إِنَّهُمْ «مَا كَادُوا يَفْعَلُونَ» لِعَدَمِ وِجْدَانِ الْبَقَرَةِ الْمُتَّصِفَةِ بِهَذِهِ الْأَوْصَافِ،
Ada yang berkata: Mereka hampir saja tidak melaksanakannya karena sulitnya menemukan sapi yang memiliki sifat-sifat tersebut,
وَقِيلَ: لِارْتِفَاعِ ثَمَنِهَا،
dan ada pula yang berkata: karena harganya yang sangat tinggi.
وَقِيلَ: لِخَوْفِ انْكِشَافِ أَمْرِ «الْمَقْتُولِ»،
Ada juga yang berkata: karena khawatir terbongkarnya perkara pembunuhan itu.
وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ.
Pendapat pertama lebih kuat.
وَقَدِ اسْتَدَلَّ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ وَالْأُصُولِيِّينَ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَىٰ «جَوَازِ النَّسْخِ قَبْلَ إِمْكَانِ الْفِعْلِ»،
Sekelompok mufasir dan ulama ushul telah berdalil dengan ayat ini atas bolehnya nasakh (penghapusan hukum) sebelum adanya kemampuan untuk melaksanakan (hukum pertama).
وَلَيْسَ ذَلِكَ عِنْدِي بِصَحِيحٍ، لِوَجْهَيْنِ:
Menurut saya hal itu tidak benar, karena dua alasan:
الْأَوَّلُ: أَنَّ هَذِهِ «الْأَوْصَافَ الْمَزِيدَةَ» بِسَبَبِ تَكَرُّرِ السُّؤَالِ،
Pertama: Sifat-sifat tambahan yang datang karena berulangnya pertanyaan,
هِيَ مِنْ «بَابِ التَّقْيِيدِ» لِلْمَأْمُورِ بِهِ، لَا مِنْ «بَابِ النَّسْخِ»،
termasuk dalam bab pembatasan (taqyīd) terhadap objek perintah, bukan dari bab nasakh,
وَبَيْنَ «الْبَابَيْنِ» بَوْنٌ بَعِيدٌ كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ فِي عِلْمِ الْأُصُولِ.
dan perbedaan antara dua bab ini sangat besar sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul.
الثَّانِي: أَنَّا لَوْ سَلَّمْنَا أَنَّ هَذَا مِنْ بَابِ «النَّسْخِ» لَا مِنْ بَابِ «التَّقْيِيدِ»،
Kedua: Seandainya pun kami menerima bahwa ini dari bab nasakh dan bukan dari bab taqyīd,
لَمْ يَكُنْ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَىٰ مَا قَالُوهُ،
maka tetap tidak terdapat di dalamnya dalil atas apa yang mereka katakan,
فَإِنَّهُ قَدْ كَانَ يُمْكِنُهُمْ بَعْدَ الْأَمْرِ الْأَوَّلِ،
karena sesungguhnya setelah perintah pertama,
أَنْ يَعْمِدُوا إِلَىٰ بَقَرَةٍ مِنْ عَرَضِ الْبَقَرِ فَيَذْبَحُوهَا،
mereka masih bisa memilih sapi betina biasa saja dari jenis sapi apa pun lalu mereka sembelih,
ثُمَّ كَذَلِكَ بَعْدَ الْوَصْفِ بِكَوْنِهَا جَامِعَةً بَيْنَ الْوَصْفِ بِالْعَوَانِ وَالصَّفْرَاءِ،
dan juga setelah adanya sifat tambahan (pertengahan usia dan kuning) mereka masih bisa mencari sapi dengan sifat-sifat tersebut.
وَلَا دَلِيلَ يَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ هَذِهِ «الْمُحَاوَرَةَ» بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَاقِعَةٌ «فِي لَحْظَةٍ وَاحِدَةٍ»،
Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dialog antara mereka dan Musa ‘alaihissalām ini terjadi dalam satu momen saja,
بَلِ الظَّاهِرُ أَنَّ هَذِهِ الْأَسْئِلَةَ الْمُتَعَنِّتَةَ، كَانُوا يَتَوَاطَؤُونَ عَلَيْهَا،
bahkan yang tampak adalah bahwa serangkaian pertanyaan keras kepala ini mereka sepakati terlebih dahulu,
وَيُدِيرُونَ الرَّأْيَ بَيْنَهُمْ فِي أَمْرِهَا ثُمَّ يُورِدُونَهَا،
dan mereka mengolah pendapat di antara mereka tentangnya, baru kemudian mereka ajukan kepada Musa.
وَأَقَلُّ الْأَحْوَالِ: «الِاحْتِمَالُ الْقَادِحُ فِي الِاسْتِدْلَالِ».
Dalam keadaan minimal pun, adanya kemungkinan seperti ini sudah cukup untuk merusak kekuatan istidlāl (pendalilan) mereka.
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ،
‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «سُنَنِهِ»، عَنْ عُبَيْدَةَ السَّلْمَانِيِّ، قَالَ:
serta al-Baihaqī dalam kitab Sunan-nya, dari ‘Ubaidah as-Salmānī, ia berkata:
«كَانَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَقِيمًا لَا يُولَدُ لَهُ، وَكَانَ لَهُ مَالٌ كَثِيرٌ،
“Ada seorang laki-laki dari Bani Israil yang mandul (tidak punya anak), dan ia memiliki harta yang banyak.
وَكَانَ ابْنُ أَخِيهِ وَارِثَهُ، فَقَتَلَهُ، ثُمَّ احْتَمَلَهُ لَيْلًا،
Anak saudaranya (keponakannya) adalah pewarisnya; lalu keponakannya itu membunuhnya, kemudian memanggul mayatnya pada malam hari,
فَوَضَعَهُ عَلَىٰ بَابِ رَجُلٍ مِنْهُمْ،
ia letakkan di depan pintu salah seorang dari mereka,
ثُمَّ أَصْبَحَ يَدَّعِيهِ عَلَيْهِمْ، حَتَّىٰ تَسَلَّحُوا،
lalu di pagi hari ia menuduh (orang itu dan kelompoknya) sebagai pembunuh, hingga mereka saling mempersenjatai,
وَرَكِبَ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ،
dan sebagian mereka menyerang sebagian yang lain.
فَقَالَ ذُو الرَّأْيِ مِنْهُمْ: «عَلَامَ يَقْتُلُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَهَذَا رَسُولُ اللَّهِ فِيكُمْ؟»
Maka seorang yang berakal di antara mereka berkata: “Mengapa kalian saling membunuh, padahal Rasul Allah ada di tengah-tengah kalian?”
فَأَتَوْا مُوسَىٰ، فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً…» الْآيَةَ.
Lalu mereka mendatangi Musa dan menceritakan hal itu kepadanya; Musa berkata: “Sesungguhnya Allah memerintah kalian agar menyembelih seekor sapi betina…” dan seterusnya.
قَالَ: «فَلَوْ لَمْ يَعْتَرِضُوا لَأَجْزَأَتْ عَنْهُمْ أَدْنَىٰ بَقَرَةٍ،
‘Ubaidah berkata: “Seandainya mereka tidak berbelit-belit, niscaya cukup bagi mereka sapi yang paling mudah/termurah sekalipun,
وَلَٰكِنَّهُمْ شَدَّدُوا فَشُدِّدَ عَلَيْهِمْ،
namun mereka mempersulit maka dipersulitlah atas mereka,
حَتَّىٰ انْتَهَوْا إِلَى الْبَقَرَةِ الَّتِي أُمِرُوا بِذَبْحِهَا،
hingga akhirnya mereka sampai kepada sapi betina tertentu yang memang diperintahkan untuk mereka sembelih.”
فَوَجَدُوهَا عِنْدَ رَجُلٍ لَيْسَ لَهُ بَقَرَةٌ غَيْرُهَا،
Mereka mendapatkannya di rumah seorang lelaki yang tidak memiliki sapi selain sapi betina itu,
فَقَالَ: «وَاللَّهِ لَا أَنْقُصُهَا مِنْ مَلْءِ جِلْدِهَا ذَهَبًا»،
lalu lelaki itu berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menjualnya kepada kalian kecuali seharga isi kulitnya dengan emas.”
فَأَخَذُوهَا بِمَلْءِ جِلْدِهَا ذَهَبًا، فَذَبَحُوهَا، فَضَرَبُوهُ بِبَعْضِهَا،
Mereka pun mengambilnya dengan harga kulitnya yang dipenuhi emas, lalu menyembelihnya dan memukul (mayat) itu dengan sebagian anggotanya,
فَقَامَ، فَقَالُوا: «مَنْ قَتَلَكَ؟» فَقَالَ: «هَذَا»، لِابْنِ أَخِيهِ، ثُمَّ مَالَ مَيِّتًا.
maka mayat itu pun bangkit; mereka bertanya: “Siapa yang membunuhmu?” Ia menjawab: “Dia ini,” sambil menunjuk ke anak saudaranya, lalu ia pun kembali rebah sebagai mayat.
فَلَمْ يُعْطَ مِنْ مَالِهِ شَيْئًا، وَلَمْ يُوَرَّثْ قَاتِلٌ بَعْدَهُ».
Setelah itu si pembunuh tidak diberi apa pun dari hartanya, dan sejak saat itu pembunuh tidak lagi mendapat warisan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ «مَنْ عَاشَ بَعْدَ الْمَوْتِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
Ibnu Abi ad-Dunyā dalam kitab “Man ‘Āsya Ba‘dal-Maut” meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
أَنَّ الْقَتِيلَ وُجِدَ بَيْنَ قَرْيَتَيْنِ،
bahwa mayat itu ditemukan di antara dua desa,
وَأَنَّ الْبَقَرَةَ كَانَتْ لِرَجُلٍ كَانَ يَبَرُّ أَبَاهُ، فَاشْتَرَوْهَا بِوَزْنِهَا ذَهَبًا.
dan sapi betina itu adalah milik seorang lelaki yang amat berbakti kepada ayahnya; mereka membelinya dengan emas seberat bobot sapi itu.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ نَحْوًا مِنْ ذَلِكَ، وَلَمْ يَذْكُرْ مَا تَقَدَّمَ فِي الْبَقَرَةِ.
Ibnu Jarir meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbas) riwayat yang serupa dengan ini, hanya saja tanpa menyebut rincian sifat-sifat sapi betina.
وَقَدْ رُوِيَ فِي هَذَا «قَصَصٌ مُخْتَلِفَةٌ» لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا كَثِيرُ فَائِدَةٍ.
Tentang kisah ini telah diriwayatkan beragam cerita yang perbedaannya tidak mengandung banyak faedah.
وَأَخْرَجَ الْبَزَّارُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
Al-Bazzār meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَوْ أَخَذُوا أَدْنَىٰ بَقَرَةٍ لَأَجْزَأَهُمْ، أَوْ لَأَجْزَأَتْ عَنْهُمْ».
“Sesungguhnya seandainya Bani Israil mengambil sapi betina yang paling mudah (murah) sekalipun, niscaya sudah cukup bagi mereka, atau sudah mencukupi dari mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«لَوْلَا أَنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَمُهْتَدُونَ، مَا أُعْطُوا أَبَدًا،
“Seandainya Bani Israil tidak mengatakan: ‘Dan sesungguhnya kami, insya Allah, benar-benar akan mendapat petunjuk,’ niscaya mereka tidak akan diberi petunjuk selamanya,
وَلَوْ أَنَّهُمُ اعْتَرَضُوا بَقَرَةً مِنَ الْبَقَرِ فَذَبَحُوهَا، لَأَجْزَأَتْ عَنْهُمْ،
dan seandainya mereka mengambil saja satu sapi betina secara umum lalu menyembelihnya, niscaya sudah cukup bagi mereka,
وَلَٰكِنَّهُمْ شَدَّدُوا، فَشَدَّدَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ».
akan tetapi mereka mempersulit diri, maka Allah pun mempersulit mereka.”
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ الْفِرْيَابِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ عِكْرِمَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم.
Riwayat yang serupa dikeluarkan oleh al-Firyābī, Sa‘īd bin Mansur, dan Ibnu al-Mundzir dari ‘Ikrimah yang menyambungkannya sampai kepada Nabi ﷺ (secara marfū‘).
وَأَخْرَجَهُ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ يَرْفَعُهُ،
Ibnu Jarir juga meriwayatkannya dari Ibnu Jurayj secara marfū‘,
وَأَخْرَجَهُ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ يَرْفَعُهُ أَيْضًا، وَهَذِهِ الثَّلَاثَةُ «مُرْسَلَةٌ».
dan dari Qatādah secara marfū‘; ketiga riwayat ini termasuk mursal.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ.
Riwayat serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ طُرُقٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari berbagai jalur dari Ibnu ‘Abbas,
قَالَ: «الْفَارِضُ: الْهَرِمَةُ، وَالْبِكْرُ: الصَّغِيرَةُ، وَالْعَوَانُ: النِّصْفُ».
ia berkata: “Al-fāriḍ adalah sapi betina yang sangat tua, al-bikr adalah yang muda, dan al-‘awān adalah yang pertengahan (setengah baya).”
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ عَنْ مُجَاهِدٍ.
Riwayat serupa juga diriwayatkan dari Mujahid.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «عَوَانٌ بَيْنَ ذَٰلِكَ»
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “pertengahan di antara keduanya,”
قَالَ: «بَيْنَ الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ، وَهِيَ أَقْوَىٰ مَا يَكُونُ وَأَحْسَنُهُ».
ia berkata: “yakni antara yang kecil dan yang tua; dan itulah keadaan sapi yang paling kuat dan paling baik.”
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ أَيْضًا فِي قَوْلِهِ: «صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا»،
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan darinya tentang firman-Nya: “kuning tua lagi terang warnanya,”
قَالَ: «شَدِيدَةُ الصُّفْرَةِ، تَكَادُ مِنْ صُفْرَتِهَا تَبْيَضُّ».
ia berkata: “Warna kuningnya sangat kuat, saking kuningnya hampir-hampir tampak seperti putih.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ فِي قَوْلِهِ: «صَفْرَاءُ» قَالَ: «صَفْرَاءُ الظِّلْفِ»،
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tentang firman-Nya: “ṣafrā’” ia berkata: “kuning pada kukunya,”
«فَاقِعٌ لَوْنُهَا» قَالَ: «صَافٍ».
dan tentang “warna kuningnya terang” ia berkata: “yakni murni (jernih).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ:
‘Abdur Razzaq, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatādah, ia berkata:
«فَاقِعٌ لَوْنُهَا» أَيْ: «صَافٍ»؛ «تَسُرُّ النَّاظِرِينَ» أَيْ: «تُعْجِبُ».
“Warnanya yang terang maksudnya murni; ‘menyenangkan orang yang memandang’ maksudnya: membuat kagum.”
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الْحَسَنِ فِي قَوْلِهِ: «صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا»،
Sa‘īd bin Mansur, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Hasan tentang firman-Nya: “kuning tua lagi terang warnanya,”
قَالَ: «سَوْدَاءُ شَدِيدَةُ السَّوَادِ».
ia berkata: “yakni hitam pekat.” (Ini pendapat yang telah dikritik sebelumnya oleh asy-Syaukānī).
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «لَا ذَلُولٌ»،
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “tidak jinak (lā dhālūl),”
قَالَ: «أَيْ: لَمْ يَذِلَّهَا الْعَمَلُ؛ تُثِيرُ الْأَرْضَ يَعْنِي: لَيْسَ بِذَلُولٍ فَتُثِيرُ الْأَرْضَ، وَلا تَسْقِي الْحَرْثَ يَقُولُ: وَلَا تَعْمَلُ فِي الْحَرْثِ».
ia berkata: “Yakni: kerja tidak membuatnya jinak; ‘menggemburkan tanah’ maksudnya: ia bukan sapi jinak yang menggemburkan tanah; ‘dan tidak mengairi tanaman’ maksudnya: tidak dipakai bekerja di ladang.”
«مُسَلَّمَةٌ» قَالَ: «مِنَ الْعُيُوبِ».
Tentang “musallamah” ia berkata: “yakni bebas dari cacat.”
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ.
Riwayat yang serupa juga diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir dari Mujahid.
وَقَالَ: «لَا شِيَةَ فِيهَا»: «لَا بَيَاضَ فِيهَا وَلَا سَوَادَ».
Dan Mujahid berkata tentang “lā syiyata fīhā”: “tidak ada putih dan tidak ada hitam di tubuhnya (murni satu warna).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: «مُسَلَّمَةٌ لَا عَوَارَ فِيهَا».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: “musallamah” maksudnya: tidak ada cacat padanya.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ: «قَالُوا: الْآنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ»،
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Mereka berkata: Sekarang engkau telah membawa kebenaran,”
قَالُوا: «الْآنَ بَيَّنْتَ لَنَا»؛ «فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ».
ia berkata: “yakni sekarang engkau telah menjelaskan kepada kami; maka mereka menyembelihnya, padahal hampir saja mereka tidak melaksanakannya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ فِي قَوْلِهِ: «وَمَا كَادُوا يَفْعَلُونَ» لِغَلَاءِ ثَمَنِهَا.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Muhammad bin Ka‘b tentang firman-Nya: “dan hampir saja mereka tidak melaksanakannya,” ia berkata: “karena mahalnya harga sapi tersebut.”
---
فتح القدير للشوكاني – ج ١ (ص: ١١٥–١١٧)
Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 115–117).
---
Catatan kaki
1 «مَا بَيْنَ حَاصِرَتَيْنِ: زِيَادَةٌ يَقْتَضِيهَا السِّيَاقُ». Kalimat dalam tanda kurung siku [على المفرد] adalah tambahan penjelas yang ditulis oleh penyalin karena dituntut oleh konteks kalimat.