Al Baqarah Ayat 58-59

 

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الْآيَاتُ 58 إِلَى 59]

[Surat al-Baqarah (2): ayat 58 sampai 59]

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ ۚ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ (58)
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman, “Masuklah kalian ke kota ini lalu makanlah dari (hasilnya) di mana saja kalian kehendaki, dengan (nikmat yang) berlimpah. Dan masukilah pintu (gerbang) itu sambil bersujud, dan ucapkanlah: ‘Hiththah’ (bebaskanlah dosa kami), niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahan kalian. Dan Kami akan menambah (pahala) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (58)
فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ (59)
Lalu orang-orang yang zalim itu mengganti (ucapan itu) dengan ucapan yang bukan seperti yang telah dikatakan kepada mereka. Maka Kami turunkan kepada orang-orang yang zalim itu azab dari langit, karena mereka selalu berbuat kefasikan. (59) ---
قَالَ جُمْهُورُ الْمُفَسِّرِينَ: الْقَرْيَةُ هِيَ بَيْتُ الْمَقْدِسِ،
Mayoritas mufasir berkata: Yang dimaksud “kota” (al-qaryah) di sini adalah Baitul Maqdis.
وَقِيلَ: إِنَّهَا أَرِيحَاءُ، قَرْيَةٌ مِنْ قُرَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ،
Ada yang berkata: Ia adalah Ariḥā (Jericho), suatu kampung dari kampung-kampung Baitul Maqdis.
وَقِيلَ: مِنْ قُرَى الشَّامِ.
Ada juga yang berkata: Salah satu kampung di wilayah Syam (Levant).
وَقَوْلُهُ: «فَكُلُوا» أَمْرُ إِبَاحَةٍ،
Firman-Nya: “maka makanlah kalian” adalah perintah dalam bentuk kebolehan (bukan kewajiban).
وَ«رَغَدًا»: كَثِيرًا وَاسِعًا،
Kata “raghadān” bermakna: (rezeki) yang banyak dan luas.
وَهُوَ نَعْتٌ لِمَصْدَرٍ مَحْذُوفٍ؛ أَيْ: أَكْلًا رَغَدًا،
Kata ini merupakan sifat bagi mashdar yang dihapus, yakni: “makan yang lapang/berlimpah”.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ الْحَالِ،
Dan bisa juga ditempatkan sebagai keterangan keadaan (ḥāl).
وَقَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ.
Penjelasan tentang kata ini sudah disebutkan sebelumnya.
وَالْبَابُ الَّذِي أُمِرُوا بِدُخُولِهِ: هُوَ بَابٌ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ، يُعْرَفُ الْيَوْمَ بِـ«بَابِ حِطَّةٍ»،
Pintu yang mereka diperintahkan untuk memasukinya adalah sebuah pintu di Baitul Maqdis, yang sekarang dikenal dengan nama “Bab Hiththah”.
وَقِيلَ: هُوَ بَابُ الْقُبَّةِ الَّتِي كَانَ يُصَلِّي إِلَيْهَا مُوسَىٰ وَبَنُو إِسْرَائِيلَ.
Ada pula yang berkata: Itu adalah pintu kubah (bangunan) yang ke arahnya Musa dan Bani Israil menghadap salat.
وَ«السُّجُودُ»: قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ،
Tentang “sujud” telah lewat penjelasannya.
وَقِيلَ: هُوَ هُنَا «الِانْحِنَاءُ»،
Ada yang mengatakan: Yang dimaksud di sini adalah membungkuk (ruku’ ringan).
وَقِيلَ: «التَّوَاضُعُ وَالْخُضُوعُ»،
Ada juga yang berkata: maksudnya adalah sikap tawadhu‘ dan tunduk.
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ الْمُرَادُ السُّجُودَ الْحَقِيقِيَّ، الَّذِي هُوَ وَضْعُ الْجَبْهَةِ عَلَى الْأَرْضِ،
Mereka berdalil bahwa seandainya yang dimaksud adalah sujud hakiki (meletakkan dahi di tanah),
لَامْتَنَعَ الدُّخُولُ الْمَأْمُورُ بِهِ،
niscaya mustahil dilakukan perintah “masuk” tersebut,
لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ الدُّخُولُ حَالَ السُّجُودِ الْحَقِيقِيِّ.
karena tidak mungkin orang memasuki pintu dalam keadaan sedang sujud hakiki.
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: إِنَّهُمْ أُمِرُوا بِالسُّجُودِ عِنْدَ الِانْتِهَاءِ إِلَى الْبَابِ شُكْرًا لِلَّهِ وَتَوَاضُعًا.
Dalam al-Kasysyāf disebutkan: Mereka diperintahkan untuk sujud ketika sampai di pintu itu sebagai bentuk syukur kepada Allah dan sikap tawadhu‘.
وَاعْتَرَضَهُ أَبُو حَيَّانَ فِي «النَّهْرِ الْمَادِّ»، فَقَالَ: لَمْ يُؤْمَرُوا بِالسُّجُودِ،
Abu Ḥayyān membantah pendapat ini dalam kitab an-Nahr al-Mādd, ia berkata: Mereka tidak diperintahkan sujud secara tersendiri,
بَلْ هُوَ قَيْدٌ فِي وُقُوعِ الْمَأْمُورِ بِهِ، وَهُوَ «الدُّخُولُ»،
melainkan kata “sujudan” adalah syarat/pembatas dalam pelaksanaan perintah yang sebenarnya, yaitu perintah masuk.
وَالْأَحْوَالُ نِسَبٌ تَقْيِيدِيَّةٌ، وَالْأَوَامِرُ نِسَبٌ إِسْنَادِيَّةٌ. انْتَهَى.
Sebab keterangan keadaan (aḥwāl) adalah hubungan pembatas, sedangkan perintah adalah hubungan penyandaran. Selesai (kutipan).
وَيُجَابُ عَنْهُ بِأَنَّ «الْأَمْرَ بِالْمُقَيَّدِ» أَمْرٌ «بِالْقَيْدِ»،
Dijawab atasnya: Sesungguhnya “memerintahkan suatu perbuatan yang terikat syarat” berarti juga memerintahkan syarat itu sendiri.
فَمَنْ قَالَ: «اخْرُجْ مُسْرِعًا»، فَهُوَ آمِرٌ بِالْخُرُوجِ عَلَى هَذِهِ الْهَيْئَةِ،
Barang siapa berkata: “Keluarlah dengan cepat,” maka ia memerintahkan keluar dengan cara seperti itu.
فَلَوْ خَرَجَ غَيْرَ مُسْرِعٍ كَانَ عِنْدَ أَهْلِ اللِّسَانِ مُخَالِفًا لِلْأَمْرِ.
Maka jika ia keluar tanpa bersegera, menurut ahli bahasa ia telah menyelisihi perintah.
وَلَا يُنَافِي هَذَا كَوْنُ الْأَحْوَالِ نِسَبًا تَقْيِيدِيَّةً،
Hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa aḥwāl adalah hubungan pembatas,
فَإِنَّ اتِّصَافَهَا بِكَوْنِهَا «قُيُودًا مَأْمُورًا بِهَا» هُوَ شَيْءٌ زَائِدٌ عَلَى مُجَرَّدِ التَّقْيِيدِ.
karena disifatinya aḥwāl itu sebagai “pembatas yang juga diperintahkan” adalah sesuatu yang tambahan di atas sekadar pembatasan.
وَقَوْلُهُ: «حِطَّةٌ» بِالرَّفْعِ فِي قِرَاءَةِ الْجُمْهُورِ عَلَىٰ إِضْمَارِ مُبْتَدَأٍ،
Firman-Nya: “Hiththah” (dengan rafa‘) menurut bacaan jumhur, berdasar pada penghapusan mubtada’,
قَالَ الْأَخْفَشُ: وَقُرِئَتْ «حِطَّةً» نَصْبًا،
Al-Akhfasy berkata: Dan ada bacaan “ḥithtatan” dengan manshub,
عَلَىٰ مَعْنَى: «احْطُطْ عَنَّا ذُنُوبَنَا حِطَّةً»،
dengan makna: “Hapuskanlah dari kami dosa-dosa kami, suatu penghapusan.”
وَقِيلَ: مَعْنَاهَا «الِاسْتِغْفَارُ»،
Ada pula yang berkata: Maknanya adalah istighfar (permohonan ampun).
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Di antara contohnya ucapan seorang penyair:
فَازَ بِالْحِطَّةِ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ … بِهَا ذَنْبَ عَبْدِهِ مَغْفُورًا
“Beruntunglah orang yang mendapat ‘ḥiththah’ (penghapusan) yang Allah jadikan, dengannya dosa hamba-Nya diampuni.”
وَقَالَ ابْنُ فَارِسٍ فِي «الْمُجْمَلِ»: «حِطَّةٌ» كَلِمَةٌ أُمِرُوا بِهَا، وَلَوْ قَالُوهَا لَحُطَّتْ أَوْزَارُهُمْ.
Ibnu Fāris berkata dalam al-Mujmal: “Hiththah” adalah sebuah kata yang mereka diperintahkan untuk mengucapkannya; seandainya mereka benar-benar mengucapkannya, niscaya dosa-dosa mereka dihapus.
قَالَ الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: أَمَرَهُمْ بِأَنْ يَقُولُوا مَا يَدُلُّ عَلَى التَّوْبَةِ،
Ar-Rāzī berkata dalam tafsirnya: Allah memerintahkan mereka untuk mengucapkan sesuatu yang menunjukkan makna taubat,
وَذَلِكَ لِأَنَّ التَّوْبَةَ صِفَةُ الْقَلْبِ، فَلَا يَطَّلِعُ الْغَيْرُ عَلَيْهَا،
karena taubat adalah sifat hati, sehingga orang lain tidak dapat mengetahui apa yang ada dalam hati.
وَإِذَا اشْتُهِرَ وَأُخِذَ بِالذَّنْبِ ثُمَّ تَابَ بَعْدَهُ، لَزِمَهُ أَنْ يَحْكِيَ تَوْبَتَهُ لِمَنْ شَاهَدَ مِنْهُ الذَّنْبَ،
Jika seseorang telah dikenal (masyhur) dan ditangkap basah dengan suatu dosa, lalu ia bertaubat setelah itu, maka wajib baginya memberitahukan taubatnya kepada orang-orang yang menyaksikan dosanya,
لِأَنَّ التَّوْبَةَ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِهِ. انْتَهَى.
karena taubat tidak akan sempurna kecuali dengan itu. Selesai (kutipan).
وَكَوْنُ التَّوْبَةِ لَا تَتِمُّ إِلَّا بِذَلِكَ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ،
Adapun klaim bahwa taubat tidak sempurna kecuali dengan mengabarkannya kepada orang lain, tidak ada dalil yang mendasarinya.
بَلْ مُجَرَّدُ عَقْدِ الْقَلْبِ عَلَيْهَا يَكْفِي، سَوَاءٌ اطَّلَعَ النَّاسُ عَلَىٰ ذَنْبِهِ أَمْ لَا،
Justru sekadar tekad hati untuk bertaubat sudah cukup, baik manusia mengetahui dosa itu maupun tidak.
وَرُبَّمَا كَانَ «التَّكَتُّمُ بِالتَّوْبَةِ» عَلَىٰ وَجْهٍ لَا يَطَّلِعُ عَلَيْهَا إِلَّا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ،
Bahkan terkadang menyembunyikan taubat sehingga tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla lebih dicintai oleh Allah,
وَأَقْرَبَ إِلَىٰ مَغْفِرَتِهِ.
dan lebih dekat kepada ampunan-Nya.
وَأَمَّا رَفْعُ مَا عِنْدَ النَّاسِ مِنِ اعْتِقَادِهِمْ بَقَاءَهُ عَلَى الْمَعْصِيَةِ، فَذَلِكَ بَابٌ آخَرُ.
Adapun menghilangkan anggapan manusia bahwa ia masih tetap di atas maksiat, maka itu pembahasan lain (bab lain).
وَقَوْلُهُ: «نَغْفِرْ لَكُمْ» قَرَأَهُ نَافِعٌ بِالْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ الْمَضْمُومَةِ (يُغْفَرْ لَكُمْ)،
Firman-Nya: “naghfir lakum” dibaca oleh Nāfi‘ dengan ya’ di bawah yang didammah (yughfar lakum).
وَقَرَأَهُ ابْنُ عَامِرٍ بِالتَّاءِ الْفَوْقِيَّةِ الْمَضْمُومَةِ (تُغْفَرْ لَكُمْ)،
Ibnu ‘Āmir membacanya dengan ta’ di atas yang didammah (tughfar lakum).
وَقَرَأَهُ الْبَاقُونَ بِالنُّونِ (نَغْفِرْ لَكُمْ)، وَهِيَ أَوْلَى.
Sedangkan yang lain membacanya dengan nun (naghfir lakum), dan bacaan ini yang lebih utama.
وَ«الْخَطَايَا» جَمْعُ «خَطِيئَةٍ» بِالْهَمْزِ،
Kata “al-khaṭāyā” adalah bentuk jamak dari “khaṭī’ah” (dengan hamzah).
وَقَدْ تَكَلَّمَ عُلَمَاءُ الْعَرَبِيَّةِ فِي ذَلِكَ بِمَا هُوَ مَعْرُوفٌ فِي كُتُبِ الصَّرْفِ.
Para ahli bahasa Arab telah menjelaskan rincian bentuk ini dalam kitab-kitab sharf (tata kata).
وَقَوْلُهُ: «وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ» أَيْ: نَزِيدُهُمْ إِحْسَانًا عَلَىٰ إِحْسَانِهِمُ الْمُتَقَدِّمِ،
Firman-Nya: “Dan Kami akan menambah (pahala) bagi orang-orang yang berbuat kebaikan” maksudnya: Kami akan menambahkan kebaikan kepada mereka di atas kebaikan yang telah mereka lakukan sebelumnya.
وَهُوَ اسْمُ فَاعِلٍ مِنْ «أَحْسَنَ».
Kata “al-muḥsinīn” adalah isim fā‘il dari kata kerja “aḥsana” (berbuat baik).
وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنِ الْإِحْسَانِ فَقَالَ:
Dalam hadis sahih telah tetap bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang ihsan, lalu beliau bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ».
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
وَقَوْلُهُ: «فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ»،
Firman-Nya: “Lalu orang-orang yang zalim itu mengganti ucapan dengan (ucapan) yang bukan seperti yang telah dikatakan kepada mereka,”
قِيلَ: إِنَّهُمْ قَالُوا: «حِنْطَةٌ»،
Ada yang berkata: Mereka mengganti kalimat “ḥiththah” dengan kata “ḥinṭah” (gandum).
وَقِيلَ: غَيْرُ ذَلِكَ.
Ada juga yang mengatakan selain itu.
وَالصَّوَابُ أَنَّهُمْ قَالُوا: «حَبَّةٌ فِي شَعْرَةٍ»،
Pendapat yang tepat adalah bahwa mereka berkata: “ḥabbah fī sya‘rah” (sebutir biji dalam sehelai rambut),
كَمَا سَيَأْتِي مَرْفُوعًا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم.
sebagaimana akan datang penjelasannya secara marfū‘ sampai kepada Nabi ﷺ.
وَقَوْلُهُ: «فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا» هُوَ مِنْ «وَضْعِ الظَّاهِرِ مَوْضِعَ الْمُضْمَرِ» لِنُكْتَةٍ،
Firman-Nya: “Maka Kami turunkan kepada orang-orang yang zalim itu…” adalah contoh “penggantian dhamir dengan isim ẓāhir” karena ada tujuan balaghah,
كَمَا تَقَرَّرَ فِي عِلْمِ الْبَيَانِ،
sebagaimana telah dijelaskan dalam ilmu balaghah (ilmu al-bayān),
وَهِيَ هُنَا: تَعْظِيمُ الْأَمْرِ عَلَيْهِمْ وَتَقْبِيحُ فِعْلِهِمْ،
yaitu di sini untuk mengagungkan beratnya azab atas mereka dan memperburuk (memperjelas kejelekan) perbuatan mereka.
وَمِنْهُ قَوْلُ عَدِيِّ بْنِ زَيْدٍ:
Contoh lain adalah ucapan ‘Adiyy bin Zaid:
لَا أَرَى الْمَوْتَ يَسْبِقُ الْمَوْتَ شَيْئًا … نَغَّصَ الْمَوْتُ ذَا الْغِنَى وَالْفَقِيرَا
“Aku tidak melihat ada sesuatu pun yang mendahului kematian, kematian telah merusak kenikmatan si kaya dan si miskin.”
فَكَرَّرَ «الْمَوْتَ» فِي الْبَيْتِ ثَلَاثًا، تَهْوِيلًا لِأَمْرِهِ وَتَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ.
Ia mengulang kata “al-maut” tiga kali dalam satu bait untuk menakut-nakuti akan urusannya dan mengagungkan kedudukannya.
وَقَوْلُهُ: «رِجْزًا» بِكَسْرِ الرَّاءِ فِي قِرَاءَةِ الْجَمِيعِ، إِلَّا ابْنَ مُحَيْصِنٍ فَإِنَّهُ قَرَأَ بِضَمِّ الرَّاءِ،
Firman-Nya: “rijzan” (dengan kasrah pada rā’) adalah bacaan semua qāri’, kecuali Ibnu Muḥaiṣin yang membacanya dengan ḍammah (rujzan).
وَ«الرِّجْزُ»: الْعَذَابُ.
Makna “ar-rijz” adalah azab.
وَالْفِسْقُ: قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ.
Tentang makna “al-fisq” telah dijelaskan sebelumnya.
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ»،
‘Abdur Razzaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Masuklah kalian ke kota ini,”
قَالَ: «بَيْتُ الْمَقْدِسِ».
ia berkata: “Itu adalah Baitul Maqdis.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ زَيْدٍ قَالَ: «هِيَ أَرِيحَاءُ قَرْيَةٌ مِنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Zaid, ia berkata: “Itu adalah Ariḥā, sebuah kampung dari (wilayah) Baitul Maqdis.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ،
‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Hākim (yang mensahihkannya) meriwayatkan
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «ادْخُلُوا الْبَابَ» قَالَ: «بَابٌ ضَيِّقٌ»،
dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Masukilah pintu itu,” ia berkata: “Pintu yang sempit.”
«سُجَّدًا» قَالَ: «رُكَّعًا».
Tentang “dalam keadaan bersujud”, ia berkata: “Dalam keadaan ruku‘ (membungkuk).”
وَقَوْلُهُ: «حِطَّةٌ» قَالَ: «مَغْفِرَةٌ»،
Tentang firman-Nya: “Hiththah,” ia berkata: “Yakni ampunan.”
فَدَخَلُوا مِنْ قِبَلِ أَسْتَاهِهِمْ وَقَالُوا: «حِنْطَةٌ» اسْتِهْزَاءً،
Maka mereka masuk dari arah pantat mereka, dan berkata: “ḥinṭah” (gandum), sebagai ejekan,
قَالَ: فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: «فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ».
Ia berkata: Itulah makna firman Allah Ta‘ālā: “Lalu orang-orang yang zalim itu mengganti ucapan dengan (ucapan) yang bukan seperti yang telah dikatakan kepada mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «الْبَابُ هُوَ أَحَدُ أَبْوَابِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَهُوَ يُدْعَىٰ بَابَ حِطَّةٍ».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Pintu itu adalah salah satu pintu Baitul Maqdis, dan ia dinamakan Bab Hiththah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ،
‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
وَالطَّبَرَانِيُّ فِي «الْكَبِيرِ»، وَأَبُو الشَّيْخِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ:
serta ath-Thabrānī dalam al-Mu‘jam al-Kabīr dan Abu Syaikh, dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata:
«قِيلَ لَهُمْ: ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا، فَدَخَلُوا مُقَنِّعِي رُءُوسِهِمْ،
“Dikatakan kepada mereka: ‘Masukilah pintu itu sambil bersujud,’ namun mereka masuk dengan menutup kepala mereka (menengadahkan kepala, bukan menunduk),
وَقَالُوا: «حِنْطَةٌ: حَبَّةٌ حَمْرَاءُ فِيهَا شُعَيْرَةٌ».
dan berkata: ‘ḥinṭah: sebutir biji merah yang di dalamnya ada sebutir gandum.’”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ عِكْرِمَةَ فِي قَوْلِهِ: «ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا»،
‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya: “Masukilah pintu itu sambil bersujud,”
قَالَ: «طَأْطِئُوا رُءُوسَكُمْ»،
ia berkata: “Tundukkanlah kepala kalian.”
وَقُولُوا: «حِطَّةٌ» قَالَ: «قُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ».
Dan tentang firman-Nya: “Ucapkanlah: Hiththah,” ia berkata: “Ucapkanlah: Lā ilāha illallāh.”
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ فِي «الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «قُولُوا حِطَّةٌ»،
Al-Baihaqī dalam al-Asmā’ wa aṣ-Ṣifāt meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Ucapkanlah: Hiththah,”
قَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ».
ia berkata: “Maksudnya: Lā ilāha illallāh.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ قَالَ: «كَانَ الْبَابُ قِبَلَ الْقِبْلَةِ».
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbas), ia berkata: “Pintu itu berada di arah kiblat.”
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم،
Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ,
قَالَ: «قِيلَ لِبَنِي إِسْرَائِيلَ: ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ،
beliau bersabda: “Dikatakan kepada Bani Israil: ‘Masukilah pintu itu sambil bersujud dan ucapkanlah: Hiththah,’
فَبَدَّلُوا، فَدَخَلُوا يَزْحَفُونَ عَلَى أَسْتَاهِهِمْ، وَقَالُوا: «حَبَّةٌ فِي شَعْرَةٍ»».
lalu mereka menggantinya; maka mereka masuk dengan merangkak di atas pantat mereka, dan berkata: ‘ḥabbah fī sya‘rah (sebutir biji dalam sehelai rambut)’.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ،
Ibnu Jarir dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah,
قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
keduanya berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«دَخَلُوا الْبَابَ الَّذِي أُمِرُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيهِ سُجَّدًا، يَزْحَفُونَ عَلَى أَسْتَاهِهِمْ، وَهُمْ يَقُولُونَ: حِنْطَةٌ فِي شُعَيْرَةٍ».
“Mereka memasuki pintu yang mereka diperintahkan untuk memasukinya sambil bersujud, namun mereka merangkak di atas pantat mereka seraya berkata: ‘ḥinṭah fī sya‘irah (gandum dalam sebutir jelai)’.”
وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ لِكَوْنِهِ فِي «الصَّحِيحَيْنِ»،
Riwayat pertama (yang menyebut “ḥabbah fī sya‘rah”) lebih kuat karena terdapat dalam Shahihain (al-Bukhari dan Muslim).
وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَعَهُمَا مَنْ أَخْرَجَ هَذَا الْحَدِيثَ الْآخَرَ، أَعْنِي ابْنَ جَرِيرٍ وَابْنَ الْمُنْذِرِ.
Dan keduanya (Ibnu Jarir dan Ibnu al-Mundzir), yang meriwayatkan hadis kedua tadi, juga meriwayatkan hadis pertama ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ:
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ali, ia berkata:
«إِنَّمَا مَثَلُنَا فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ كَسَفِينَةِ نُوحٍ، وَكَبَابِ حِطَّةٍ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ».
“Sesungguhnya perumpamaan kami di tengah umat ini adalah seperti kapal Nuh, dan seperti (pintu) Hiththah pada Bani Israil.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«كُلُّ شَيْءٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ «الرِّجْزِ» يَعْنِي بِهِ «الْعَذَابَ»».
“Setiap lafaz ‘ar-rijz’ dalam Kitab Allah, yang dimaksud dengannya adalah ‘azab’.”
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيثِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَسَعْدِ بْنِ مَالِكٍ وَخُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ، قَالُوا:
Muslim dan selainnya meriwayatkan dari Usāmah bin Zaid, Sa‘d bin Malik, dan Khuzaymah bin Tsābit, mereka berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ هَذَا الطَّاعُونَ رِجْزٌ، وَبَقِيَّةُ عَذَابٍ عُذِّبَ بِهِ أُنَاسٌ مِنْ قَبْلِكُمْ،
“Sesungguhnya wabah tha‘un ini adalah rijz (azab), dan sisa dari azab yang dengannya suatu kaum sebelum kalian diazab.
فَإِذَا كَانَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا، فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا،
Maka apabila wabah itu berada di suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar dari negeri itu.
وَإِذَا بَلَغَكُمْ أَنَّهُ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا».
Dan jika kalian diberitahu bahwa wabah itu ada di sebuah negeri, janganlah kalian memasukinya.” --- فتح القدير للشوكاني – ج ١ (ص: ١٠٦–١٠٧) Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 106–107). ---

Catatan kaki

1 الأَعْرَافُ: 143. Surah al-A‘rāf ayat 143: “وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ…”.

2 Penjelasan istilah dalam bait Imru’ al-Qays: “بِسُحْرَةٍ” maksudnya waktu sahur; “العاثي” berarti orang yang menyentuh sesuatu dan lazim dipakai dalam bahasa Arab untuk pelaku kerusakan.

3 فِي «الْقُرْطُبِيِّ»: «لَوْ أَشْرَبِ السِّلْوَانَ مَا سَلِيتُ» وَالْبَيْتُ لِرُؤْبَةَ. Dalam Tafsir al-Qurṭubī terdapat variasi lafaz bait “لَوْ شَرِبْتُ السَّلْوَى مَا سَلَوْتُ…” menjadi “لو أشرب السلوان ما سليت”، dan bait tersebut dinukil dari Ru’bah ibn al-‘Ajjāj.

4 فِي «مُعْجَمِ الْعَيْنِ» (7/298): وَإِنِّي لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ هَزَّةٌ … كَمَا انْتَفَضَتِ السَّلْوَاةُ بَلَّهَا الْقَطْرُ Dalam Ma‘jam al-‘Ayn (7/298) bait ini dipakai untuk menunjukkan bahwa “السَّلْوَاةُ” adalah nama seekor burung dalam sebagian pemakaian bahasa Arab.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7