[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الْآيَاتُ 55 إِلَى 57]
[Surat al-Baqarah (2): ayat 55 sampai 57]
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (55)
Dan (ingatlah) ketika kalian berkata, “Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami melihat Allah dengan terang-terangan.”
Lalu kalian disambar petir, sedang kalian menyaksikan. (55)
ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (56)
Kemudian Kami membangkitkan kalian setelah kematian kalian, agar kalian bersyukur. (56)
وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۖ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (57)
Dan Kami naungi kalian dengan awan, dan Kami turunkan kepada kalian manna dan salwa.
“Makanlah dari yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian.”
Dan mereka tidak menzalimi Kami, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (57)
---
قَوْلُهُ: وَإِذْ قُلْتُمْ هَذِهِ الْجُمْلَةُ مَعْطُوفَةٌ عَلَى الَّتِي قَبْلَهَا،
Firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika kalian berkata…” kalimat ini di-‘athaf-kan kepada kalimat sebelumnya.
وَظَاهِرُ السِّيَاقِ أَنَّ الْقَائِلِينَ هَذِهِ الْمَقَالَةَ هُمْ قَوْمُ مُوسَىٰ،
Dari lahiriah susunan ayat tampak bahwa orang-orang yang mengucapkan perkataan ini adalah kaum Musa.
وَقِيلَ: هُمُ السَّبْعُونَ الَّذِينَ اخْتَارَهُمْ،
Ada yang berkata: Mereka adalah tujuh puluh orang yang Musa pilih.
وَذَلِكَ أَنَّهُمْ لَمَّا سَمِعُوا كَلَامَ اللَّهِ قَالُوا لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ هَذِهِ الْمَقَالَةَ،
Hal itu karena ketika mereka mendengar kalam Allah, setelah itu mereka berkata kepada Musa perkataan ini.
فَأَرْسَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ نَارًا فَأَحْرَقَتْهُمْ،
Maka Allah mengirimkan api kepada mereka lalu membakar mereka.
ثُمَّ دَعَا مُوسَىٰ رَبَّهُ فَأَحْيَاهُمْ،
Kemudian Musa berdoa kepada Rabb-nya, lalu Allah menghidupkan mereka kembali.
كَمَا قَالَ تَعَالَىٰ هُنَا: ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ،
Sebagaimana Allah Ta‘ālā berfirman di sini: “Kemudian Kami bangkitkan kalian setelah kematian kalian.”
وَسَيَأْتِي ذَلِكَ فِي الْأَعْرَافِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
Dan hal ini akan datang penjelasannya dalam (surat) al-A‘rāf, insya Allah.
وَالْجَهْرَةُ: الْمُعَايَنَةُ،
“Kata ‘jahrah’ berarti melihat dengan mata kepala (langsung).”
وَأَصْلُهَا: الظُّهُورُ،
Asal maknanya adalah tampak/terlihat.
وَمِنْهُ «الْجَهْرُ بِالْقِرَاءَةِ» وَ«الْمُجَاهَرَةُ بِالْمَعَاصِي»،
Dari akar ini pula: “jahr (mengeraskan bacaan) dalam membaca” dan “mujāharah (menampakkan) maksiat”.
وَ«رَأَيْتُ الْأَمْرَ جَهْرَةً وَجِهَارًا»، أَيْ غَيْرَ مُسْتَتِرٍ بِشَيْءٍ،
Dan ungkapan: “Aku melihat perkara itu jahrah dan jihāran” artinya: tidak tertutupi oleh apa pun.
وَهِيَ مَصْدَرٌ وَاقِعٌ مَوْقِعَ الْحَالِ.
Kata “jahrah” adalah mashdar yang digunakan sebagai kata keterangan keadaan (ḥāl).
وَقَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «جَهَرَةً» بِفَتْحِ الْهَاءِ،
Ibnu ‘Abbas membaca: “jahratan” dengan membuka huruf hā’.
وَهِيَ لُغَتَانِ، مِثْلُ «زَهْرَةٍ» وَ«زَهَرَةٍ»،
Keduanya adalah dua dialek, seperti “zahrah” dan “zaharāh”.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ عَلَى هَذِهِ الْقِرَاءَةِ جَمْعَ «جَاهِرٍ».
Dan mungkin pada bacaan ini ia dianggap sebagai jamak dari “jāhir” (orang yang menampakkan).
وَ«الصَّاعِقَةُ»: قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهَا،
“Ṣā‘iqah” (petir/sambaran kilat) telah dijelaskan tafsirnya sebelumnya.
وَقَرَأَ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ: «الصَّعْقَةُ»،
‘Umar, ‘Utsmān, dan ‘Alī membaca: “aṣ-ṣa‘qah”,
وَهِيَ قِرَاءَةُ ابْنِ مُحَيْصِنٍ،
dan itulah bacaan Ibnu Muḥaiṣin.
وَالْمُرَادُ بِأَخْذِ الصَّاعِقَةِ: إِصَابَتُهَا إِيَّاهُمْ،
Yang dimaksud dengan “disambar petir” adalah petir itu menimpa mereka.
وَ«أَنْتُمْ تَنْظُرُونَ» فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ،
Dan frasa “sedang kalian menyaksikan” berada pada posisi manshub sebagai ḥāl (keadaan).
وَالْمُرَادُ مِنْ هَذَا النَّظَرِ الْكَائِنِ مِنْهُمْ،
Yang dimaksud dengan “melihat” yang terjadi dari mereka ini
أَنَّهُمْ نَظَرُوا أَوَائِلَ الصَّاعِقَةِ النَّازِلَةِ بِهِمُ الْوَاقِعَةِ عَلَيْهِمْ،
adalah bahwa mereka melihat awal turunnya petir yang menimpa mereka,
لَا آخِرَهَا الَّذِي مَاتُوا عِنْدَهُ.
bukan bagian akhirnya, ketika mereka telah mati.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِالصَّاعِقَةِ «الْمَوْتُ»،
Ada yang berkata: Yang dimaksud dengan “ṣā‘iqah” adalah “kematian”,
وَاسْتُدِلَّ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ: ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ،
dan mereka berdalil dengan firman-Nya: “Kemudian Kami bangkitkan kalian setelah kematian kalian.”
وَلَا مُوجِبَ لِلْمَصِيرِ إِلَى هَذَا التَّفْسِيرِ،
Namun tidak ada yang mewajibkan kita berpaling kepada tafsir seperti ini,
لِأَنَّ «الْمَصْعُوقَ» قَدْ يَمُوتُ كَمَا فِي هَذِهِ الْآيَةِ،
karena orang yang tersambar petir bisa saja mati—sebagaimana dalam ayat ini—
وَقَدْ يُغْشَىٰ عَلَيْهِ ثُمَّ يُفِيقُ،
dan bisa juga pingsan kemudian sadar kembali,
كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: «وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ»1.
sebagaimana dalam firman-Nya Ta‘ālā: “Dan Musa pun jatuh pingsan, lalu ketika ia sadar kembali…”
1
وَمِمَّا يُوجِبُ بُعْدَ ذَلِكَ قَوْلُهُ: «وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ»،
Di antara hal yang menguatkan jauhnya (tafsir bahwa ṣā‘iqah = kematian) adalah firman-Nya: “sedang kalian menyaksikan”,
فَإِنَّهَا لَوْ كَانَتِ الصَّاعِقَةُ عِبَارَةً عَنِ الْمَوْتِ لَمْ يَكُنْ لِهَذِهِ الْجُمْلَةِ كَبِيرُ مَعْنًى،
sebab jika ṣā‘iqah itu hanya bermakna kematian, maka kalimat ini tidak punya makna besar.
بَلْ قَدْ يُقَالُ: إِنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَنْظُرُوا الْمَوْتَ النَّازِلَ بِهِمْ،
Bahkan dapat dikatakan: Tidak mungkin mereka menyaksikan kematian yang menimpa mereka,
إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ «نَظَرَ الْأَسْبَابِ الْمُؤَثِّرَةِ لِلْمَوْتِ».
kecuali jika yang dimaksud adalah memandang sebab-sebab yang menimbulkan kematian itu.
وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: «ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ» الْإِحْيَاءُ لَهُمْ لِوُقُوعِهِ بَعْدَ الْمَوْتِ،
Yang dimaksud dengan firman-Nya: “Kemudian Kami bangkitkan kalian” adalah menghidupkan mereka kembali, karena terjadi setelah kematian.
وَأَصْلُ «الْبَعْثِ»: الْإِثَارَةُ لِلشَّيْءِ مِنْ مَحَلِّهِ،
Asal makna “ba‘ts” adalah menggerakkan sesuatu dari tempatnya.
يُقَالُ: «بَعَثْتُ النَّاقَةَ» أَيْ: أَثَرْتُهَا،
Dikatakan: “ba‘atstu an-nāqah” artinya: aku menggerakkannya (mendorongnya untuk bangun/berjalan).
وَمِنْهُ قَوْلُ امْرِئِ الْقَيْسِ:
Dari akar ini pula ucapan Imru’ al-Qays:
وَفِتْيَانِ صِدْقٍ قَدْ بَعَثْتُ بِسُحْرَةٍ … فَقَامُوا جَمِيعًا بَيْنَ عَاثٍ وَنَشْوَانِ
“Dan para pemuda yang jujur, telah ku bangunkan mereka di waktu sahur,
maka mereka semua bangun, di antara yang sedang merusak dan yang sedang mabuk.”
2
وَقَوْلُ عَنْتَرَةَ:
Dan ucapan ‘Antarah:
وَصَحَابَةٍ شُمِّ الْأُنُوفِ بَعَثْتُهُمْ … لَيْلًا وَقَدْ مَالَ الْكَرَىٰ بِطِلَاهَا
“Dan sahabat-sahabat berhidung tinggi (terhormat) yang kubangunkan mereka di malam hari,
padahal kantuk telah menundukkan mata mereka.”
وَإِنَّمَا عُوقِبُوا بِأَخْذِ الصَّاعِقَةِ لَهُمْ،
Mereka dihukum dengan disambar petir itu
لِأَنَّهُمْ طَلَبُوا مَا لَمْ يَأْذَنْ اللَّهُ بِهِ مِنْ رُؤْيَتِهِ فِي الدُّنْيَا.
karena mereka meminta sesuatu yang Allah tidak izinkan, yaitu melihat-Nya di dunia.
وَقَدْ ذَهَبَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَمَنْ تَابَعَهُمْ إِلَى إِنْكَارِ الرُّؤْيَةِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ،
Kaum Mu‘tazilah dan para pengikutnya berpendapat menolak kemungkinan melihat Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
وَذَهَبَ مَنْ عَدَاهُمْ إِلَى جَوَازِهَا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَوُقُوعِهَا فِي الْآخِرَةِ،
Adapun selain mereka berpendapat bolehnya ru’yah (melihat Allah) di dunia dan akhirat, dan bahwa ru’yah itu pasti terjadi di akhirat.
وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ بِأَنَّ الْعِبَادَ يَرَوْنَ رَبَّهُمْ فِي الْآخِرَةِ،
Telah mutawatir hadis-hadis sahih bahwa para hamba akan melihat Rabb mereka di akhirat,
وَهِيَ قَطْعِيَّةُ الدَّلَالَةِ،
dan dalalah (penunjukannya) bersifat pasti.
لَا يَنْبَغِي لِمُنْصِفٍ أَنْ يَتَمَسَّكَ فِي مُقَابِلِهَا بِتِلْكَ الْقَوَاعِدِ الْكَلَامِيَّةِ،
Tidak sepantasnya orang yang adil berpegang dalam menentang hadis-hadis itu dengan kaidah-kaidah ilmu kalam
الَّتِي جَاءَ بِهَا قُدَمَاءُ الْمُعْتَزِلَةِ، وَزَعَمُوا أَنَّ الْعَقْلَ قَدْ حَكَمَ بِهَا،
yang dibuat oleh tokoh-tokoh awal Mu‘tazilah, yang mereka klaim ditetapkan oleh akal,
دَعْوَىٰ مَبْنِيَّةً عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ،
padahal klaim mereka itu dibangun di atas tepian jurang yang runtuh.
وَقَوَاعِدُ لَا يَغْتَرُّ بِهَا إِلَّا مَنْ لَمْ يَحْظَ مِنَ الْعِلْمِ النَّافِعِ بِنَصِيبٍ،
Itu adalah kaidah-kaidah yang tidak tertipu dengannya kecuali orang yang tidak mendapatkan bagian dari ilmu yang bermanfaat.
وَسَيَأْتِيكَ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – بَيَانُ مَا تَمَسَّكُوا بِهِ مِنَ الْأَدِلَّةِ الْقُرْآنِيَّةِ،
Akan datang kepadamu—insya Allah—penjelasan tentang dalil-dalil Al-Qur’an yang mereka jadikan pegangan,
وَكُلُّهَا خَارِجٌ عَنْ مَحَلِّ النِّزَاعِ، بَعِيدٌ مِنْ مَوْضِعِ الْحُجَّةِ،
dan semuanya berada di luar wilayah sengketa, jauh dari tempat yang dapat dijadikan hujjah.
وَلَيْسَ هَذَا مَوْضِعَ الْمَقَالِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.
Dan tempat ini bukanlah lokasi pembahasan terperinci tentang masalah ini.
قَوْلُهُ: «وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ» أَيْ: جَعَلْنَاهُ كَالظُّلَّةِ.
Firman-Nya: “Dan Kami naungi kalian dengan awan” maksudnya: Kami menjadikan awan itu seperti payung naungan di atas kalian.
وَالْغَمَامُ: جَمْعُ «غَمَامَةٍ» كَـ«سَحَابَةٍ» وَ«سَحَابٍ»، قَالَهُ الْأَخْفَشُ،
“Al-ghamām” adalah jamak dari “ghamāmah”, seperti “saḥābah” dan “saḥāb”; demikian dikatakan al-Akhfasy.
وَقَالَ الْفَرَّاءُ: وَيَجُوزُ «غَمَائِمُ».
Al-Farrā’ berkata: Bentuk jamaknya juga bisa “ghamā’im”.
وَقَدْ ذَكَرَ الْمُفَسِّرُونَ أَنَّ هَذَا جَرَىٰ فِي «التِّيهِ» بَيْنَ مِصْرَ وَالشَّامِ،
Para mufasir menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi ketika mereka tersesat (di padang) antara Mesir dan Syam,
لَمَّا امْتَنَعُوا مِنْ دُخُولِ مَدِينَةِ الْجَبَّارِينَ.
yakni setelah mereka enggan memasuki kota kaum yang kuat dan kejam (al-jabbārīn).
وَ«الْمَنُّ»: قِيلَ هُوَ «التَّرَّنْجَبِينُ»،
Tentang “al-mann”, ada yang berkata: ia adalah “at-tarranjabīn”.
قَالَ النَّحَّاسُ: هُوَ بِتَشْدِيدِ الرَّاءِ وَإِسْكَانِ النُّونِ،
An-Naḥḥās berkata: Kata itu dengan tasydid pada rā’ dan sukun pada nun (tarranjabīn).
وَيُقَالُ: «الطَّرَّنْجَبِينُ» بِالطَّاءِ،
Juga dikatakan: “at-tarranjabīn” dengan huruf ṭā’.
وَعَلَىٰ هَذَا أَكْثَرُ الْمُفَسِّرِينَ،
Inilah pendapat mayoritas mufasir.
وَهُوَ طَلٌّ يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ عَلَىٰ شَجَرٍ أَوْ حَجَرٍ،
Ia adalah semacam embun yang turun dari langit ke atas pepohonan atau bebatuan,
وَيَحْلُو وَيَنْعَقِدُ عَسَلًا، وَيَجِفُّ جَفَافَ الصَّمْغِ،
rasanya manis, kemudian mengental seperti madu, lalu mengering seperti getah (permen karet).
ذُكِرَ مَعْنَاهُ فِي «الْقَامُوسِ».
Maknanya ini disebutkan dalam kitab al-Qāmūs.
وَقِيلَ: إِنَّ «الْمَنَّ» الْعَسَلُ،
Ada yang mengatakan: “al-mann” adalah madu.
وَقِيلَ: «شَرَابٌ حُلْوٌ»،
Ada pula yang berkata: ia adalah minuman yang manis.
وَقِيلَ: «خُبْزُ الرُّقَاقِ»،
Ada yang mengatakan: ia adalah roti tipis (seperti roti kering).
وَقِيلَ: إِنَّهُ مَصْدَرٌ يَعُمُّ جَمِيعَ مَا مَنَّ اللَّهُ بِهِ عَلَىٰ عِبَادِهِ مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلَا زَرْعٍ،
Ada juga yang mengatakan: “al-mann” adalah mashdar yang mencakup semua jenis nikmat yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya tanpa jerih payah dan tanpa bercocok tanam.
وَمِنْهُ مَا ثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم:
Di antaranya hadis yang sahih dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa‘id bin Zaid, dari Nabi ﷺ:
«أَنَّ الْكَمْأَةَ مِنَ الْمَنِّ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَىٰ مُوسَىٰ».
“Sesungguhnya jamur truffle (al-kam’ah) termasuk dari jenis manna yang diturunkan kepada Musa.”
وَقَدْ ثَبَتَ مِثْلُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ عِنْدَ أَحْمَدَ وَالتِّرْمِذِيِّ،
Hadis serupa juga sahih dari Abu Hurairah, diriwayatkan Ahmad dan at-Tirmidzi.
وَمِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ وَأَبِي سَعِيدٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ عِنْدَ النَّسَائِيِّ.
Dan dari hadis Jābir, Abu Sa‘id, dan Ibnu ‘Abbas dalam riwayat an-Nasā’ī.
وَ«السَّلْوَى»: قِيلَ هُوَ «السُّمَانَىٰ»، كَـ«حُبَارَىٰ»،
Tentang “as-salwā”, ada yang mengatakan: ia adalah burung puyuh (as-summānā), seperti burung houbara.
طَائِرٌ يَذْبَحُونَهُ فَيَأْكُلُونَهُ.
Yaitu seekor burung yang mereka sembelih lalu mereka makan.
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: السَّلْوَىٰ طَيْرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُفَسِّرِينَ،
Ibnu ‘Atiyyah berkata: As-salwā adalah jenis burung menurut ijmak para mufasir.
وَقَدْ غَلِطَ الْهُذَلِيُّ فَقَالَ:
Dan al-Hudzalī telah keliru ketika ia berkata:
وَقَاسَمَهُمَا بِاللَّهِ جَهْدًا لَأَنْتُمَا … أَلَذُّ مِنَ السَّلْوَىٰ إِذَا مَا نَشُورُهَا
“Demi Allah, ia bersumpah keras kepada keduanya:
Kalian berdua lebih lezat daripada salwā ketika kami menyajikannya.”
ظَنَّ أَنَّ السَّلْوَىٰ الْعَسَلُ.
Ia menyangka bahwa as-salwā adalah madu.
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: مَا ادَّعَاهُ مِنَ الْإِجْمَاعِ لَا يَصِحُّ،
Al-Qurṭubī berkata: Klaim ijmak yang disebutkan (bahwa salwā pasti burung) tidak sah.
وَقَدْ قَالَ «الْمُؤَرِّجُ» أَحَدُ عُلَمَاءِ اللُّغَةِ وَالتَّفْسِيرِ: إِنَّهُ الْعَسَلُ،
Telah berkata al-Mu’arrij, salah satu ulama bahasa dan tafsir: bahwa salwā adalah madu,
وَاسْتَدَلَّ بِبَيْتِ الْهُذَلِيِّ،
dan ia berdalil dengan bait syair al-Hudzalī tadi,
وَذَكَرَ أَنَّهُ كَذَلِكَ بِلُغَةِ كِنَانَةَ،
dan ia menyebutkan bahwa demikianlah maksud salwā dalam bahasa (suku) Kinanah,
وَأَنْشَدَ:
lalu ia mengutip bait berikut:
لَوْ شَرِبْتُ السَّلْوَىٰ مَا سَلَوْتُ … مَا بِي غِنًى عَنْكِ وَإِنْ غَنِيتُ
“Seandainya aku minum salwā, aku takkan lupa,
aku tak mampu merasa cukup tanpamu meski aku cukup (harta).”
3
وَقَالَ الْجَوْهَرِيُّ: وَالسَّلْوَىٰ الْعَسَلُ.
Al-Jauharī berkata: As-salwā adalah madu.
قَالَ الْأَخْفَشُ: السَّلْوَىٰ لَا وَاحِدَ لَهُ مِنْ لَفْظِهِ مِثْلُ «الْخَيْرِ» وَ«الشَّرِّ»،
Al-Akhfasy berkata: As-salwā tidak memiliki bentuk tunggal dari lafaz yang sama, sebagaimana “al-khair” dan “asy-syarr” (keduanya isim jamak makna).
وَهُوَ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ وَاحِدُهُ «سَلْوَىٰ».
Namun tampak dekat kemungkinan bahwa bentuk tunggalnya adalah “salwā”.
وَقَالَ الْخَلِيلُ: وَاحِدُهُ «سَلْوَاةٌ»،
Al-Khalīl berkata: Bentuk tunggalnya adalah “salwāh”.
وَأَنْشَدَ:
Lalu ia melantunkan:
وَإِنِّي لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ سَلْوَةٌ … كَمَا انْتَفَضَتْ السَّلْوَاةُ مَنْ سَلَكَهَا الْقَطْرُ
“Dan sungguh, demi mengingatmu, aku dilanda ‘salwah’ (rasa lega),
seperti seekor burung salwāh yang mengguncangkan tubuhnya ketika air hujan membasahinya.”
4
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ: السَّلْوَىٰ وَاحِدَةٌ، وَجَمْعُهُ «سَلَاوَى».
Al-Kisā’ī berkata: As-salwā adalah bentuk tunggal, dan jamaknya “salāwā”.
وَقَوْلُهُ: «كُلُوا» أَيْ: قُلْنَا لَهُمْ «كُلُوا»،
Firman-Nya: “Makanlah (kulū)” artinya: Kami berfirman kepada mereka, “Makanlah.”
وَفِي الْكَلَامِ حَذْفٌ،
Dalam kalimat ini terdapat penghapusan (kata yang dipahami).
وَالتَّقْدِيرُ: «قُلْنَا: كُلُوا، فَعَصَوْا وَلَمْ يُقَابِلُوا النِّعَمَ بِالشُّكْرِ، فَظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ، وَمَا ظَلَمُونَا»،
Takdir (kelengkapannya) adalah: “Kami berkata: ‘Makanlah’, lalu mereka durhaka dan tidak membalas nikmat dengan syukur, sehingga mereka menzalimi diri mereka sendiri dan tidak menzalimi Kami.”
فَحَذَفَ هَذَا لِدَلَالَةِ قَوْلِهِ: «وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ» عَلَيْهِ.
Bagian ini dihapus karena telah ditunjukkan oleh firman-Nya: “Tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri.”
وَتَقْدِيمُ «الْأَنْفُسِ» هُنَا يُفِيدُ الِاخْتِصَاصَ.
Pendahuluan kata “anfusahum” (diri mereka) di sini memberikan faedah pengkhususan (bahwa kezhaliman hanya kembali pada diri mereka).
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً»،
Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “hingga kami melihat Allah dengan terang-terangan,”
قَالَ: «عَلَانِيَةً».
ia berkata: “Yakni terang-terangan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
«هُمُ السَّبْعُونَ الَّذِينَ اخْتَارَهُمْ مُوسَىٰ، «فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ»،
“Mereka adalah tujuh puluh orang yang Musa pilih; (tentang firman-Nya) ‘lalu kalian disambar petir’,
قَالَ: «مَاتُوا، ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ»،
ia berkata: “Mereka mati; kemudian ‘Kami bangkitkan kalian setelah kematian kalian’,
قَالَ: «فَبُعِثُوا مِنْ بَعْدِ الْمَوْتِ لِيَسْتَوْفُوا آجَالَهُمْ».
ia berkata: “Mereka dibangkitkan setelah mati agar dapat menyempurnakan sisa umur mereka.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ» نَحْوَهُ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Kemudian Kami bangkitkan kalian” dengan makna yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ»،
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Dan Kami naungi kalian dengan awan,”
قَالَ: «غَمَامٌ أَبْرَدُ مِنْ هَذَا وَأَطْيَبُ،
ia berkata: “Itu adalah awan yang lebih sejuk dan lebih baik daripada awan ini (yang biasa kita lihat),
وَهُوَ الَّذِي يَأْتِي اللَّهُ فِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
dan itulah awan yang Allah akan datang dengannya pada hari Kiamat,
وَهُوَ الَّذِي جَاءَتْ فِيهِ الْمَلَائِكَةُ يَوْمَ بَدْرٍ،
dan itulah awan yang para malaikat datang melaluinya pada hari Badar,
وَكَانَ مَعَهُمْ فِي التِّيهِ».
dan awan itulah yang menyertai mereka di masa mereka tersesat (di padang).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ»،
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Dan Kami naungi kalian dengan awan,”
قَالَ: «كَانَ هَذَا الْغَمَامُ فِي الْبَرِّيَّةِ،
ia berkata: “Awan ini berada di padang pasir,
ظَلَّلَ عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ مِنَ الشَّمْسِ،
Allah menaungi mereka dengan awan dari panas matahari,
وَأَطْعَمَهُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ حِينَ بَرَزُوا إِلَى الْبَرِّيَّةِ،
dan memberi mereka makan manna dan salwa ketika mereka keluar ke padang pasir.
فَكَانَ «الْمَنُّ» يَسْقُطُ عَلَيْهِمْ فِي مَحَلَّتِهِمْ سُقُوطَ الثَّلْجِ،
Manna itu turun kepada mereka di perkemahan mereka bagaikan turunnya salju,
أَشَدَّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ، وَأَحْلَىٰ مِنَ الْعَسَلِ،
lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu.
يَسْقُطُ عَلَيْهِمْ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَىٰ طُلُوعِ الشَّمْسِ،
Ia turun kepada mereka sejak terbit fajar hingga terbit matahari.
فَيَأْخُذُ الرَّجُلُ قَدْرَ مَا يَكْفِيهِ لِيَوْمِهِ ذَلِكَ،
Seorang laki-laki mengambil kadar yang cukup baginya untuk hari itu.
فَإِنْ تَعَدَّىٰ ذَلِكَ فَسَدَ مَا يَبْقَى عِنْدَهُ،
Jika ia mengambil lebih dari itu, rusaklah sisa yang ia simpan.
حَتَّىٰ إِذَا كَانَ يَوْمُ سَادِسِهِ، يَوْمُ جُمُعَتِهِ،
Hingga ketika memasuki hari keenam, yaitu hari Jumat mereka,
أَخَذَ مَا يَكْفِيهِ لِيَوْمِ سَادِسِهِ وَيَوْمِ سَابِعِهِ، فَبَقِيَ عِنْدَهُ،
ia mengambil secukupnya untuk hari keenam dan ketujuh, dan itu tetap baik di sisinya,
لِأَنَّهُ كَانَ يَوْمَ عِيدٍ لَا يُشْخَصُ فِيهِ لِأَمْرِ الْمَعِيشَةِ وَلَا لِطَلَبِ شَيْءٍ،
karena itu adalah hari raya di mana mereka tidak keluar mencari penghidupan maupun mencari sesuatu.
وَهَذَا كُلُّهُ فِي الْبَرِّيَّةِ».
Semua ini terjadi ketika mereka berada di padang pasir.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ:
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia berkata:
«الْمَنُّ: شَيْءٌ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِثْلُ الطَّلِّ،
“Manna adalah sesuatu yang Allah turunkan kepada mereka seperti embun,
وَ«السَّلْوَىٰ» طَيْرٌ أَكْبَرُ مِنَ الْعُصْفُورِ».
dan salwa adalah burung yang lebih besar dari burung pipit.”
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ:
Wakī‘, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata:
«الْمَنُّ صَمْغَةٌ، وَ«السَّلْوَىٰ» طَائِرٌ».
“Manna adalah semacam getah (resin), dan salwa adalah burung.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ السُّدِّيِّ قَالَ:
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddī, ia berkata:
«قَالُوا: يَا مُوسَىٰ، كَيْفَ لَنَا بِمَا هَاهُنَا؟ أَيْنَ الطَّعَامُ؟
“Mereka berkata: ‘Wahai Musa, bagaimana keadaan kami di sini? Di mana makanan kami?’
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْمَنَّ،
Maka Allah menurunkan manna kepada mereka,
فَكَانَ يَسْقُطُ عَلَى الشَّجَرَةِ «التَّرَّنْجَبِينُ».
sehingga tarranjabīn itu turun di atas pepohonan.”
وَأَخْرَجُوا عَنْ وَهْبٍ أَنَّهُ سُئِلَ: مَا الْمَنُّ؟
Dan mereka meriwayatkan dari Wahb bahwa ia ditanya: “Apakah manna itu?”
قَالَ: «خُبْزُ الرُّقَاقِ مِثْلُ الذُّرَّةِ أَوْ مِثْلُ النَّقِيِّ».
Ia menjawab: “Roti tipis seperti butiran kecil atau seperti tepung halus yang bersih.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ قَالَ:
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ar-Rabī‘ bin Anas, ia berkata:
«الْمَنُّ شَرَابٌ كَانَ يُنَزَّلُ عَلَيْهِمْ مِثْلَ الْعَسَلِ،
“Manna adalah minuman yang diturunkan kepada mereka seperti madu,
فَيَمْزِجُونَهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ يَشْرَبُونَهُ».
lalu mereka mencampurnya dengan air kemudian meminumnya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«كَانَ الْمَنُّ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ بِاللَّيْلِ عَلَى الْأَشْجَارِ،
“Manna turun kepada mereka di malam hari pada pepohonan,
فَيَغْدُونَ إِلَيْهِ فَيَأْكُلُونَ مِنْهُ مَا شَاءُوا،
kemudian di pagi hari mereka mendatanginya dan memakan darinya sesuka hati mereka,
وَ«السَّلْوَىٰ» طَائِرٌ يُشْبِهُ السُّمَانَىٰ كَانُوا يَأْكُلُونَ مِنْهُ مَا شَاءُوا».
dan salwa adalah burung yang mirip dengan burung puyuh; mereka makan darinya sesuka hati mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan darinya riwayat yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَنَاسٍ مِنَ الصَّحَابَةِ فِي «السَّلْوَىٰ» مِثْلَهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud dan sejumlah sahabat tentang salwa dengan penjelasan yang serupa.
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ التَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ.
Dan riwayat yang mirip juga disampaikan dari sekumpulan tabi‘in dan generasi setelah mereka.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَمَا ظَلَمُونَا»،
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Dan mereka tidak menzalimi Kami,”
قَالَ: «نَحْنُ أَعَزُّ مِنْ أَنْ نُظْلَمَ».
ia berkata: “Kami (Allah) terlalu mulia untuk dizalimi.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ»
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Tetapi mereka menzalimi diri mereka sendiri,”
قَالَ: «يَضُرُّونَ».
ia berkata: “Yakni, mereka merugikan (mencelakakan) diri mereka sendiri.”
---
Catatan kaki
1 الأَعْرَافُ: 143. Surah al-A‘rāf ayat 143: “وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ…”.
2 Penjelasan lafaz dalam bait Imru’ al-Qays: “بِسُحْرَةٍ” (bisuhrah) maksudnya waktu sahur; “العاثي” berarti orang yang menyentuh sesuatu dan sering dipakai untuk menunjuk pada pelaku kerusakan dalam bahasa Arab klasik.
3 Variasi bait dalam Tafsir al-Qurṭubī berbunyi: “لو أشرب السِّلوان ما سليتُ”، dan bait itu dinukil dari Ru’bah ibn al-‘Ajjāj. Di sini digunakan sebagai dalil bahwa “السَّلْوَىٰ” dapat bermakna madu atau minuman manis dalam sebagian dialek.
4 Diriwayatkan dalam Ma‘jam al-‘Ayn (7/298) dengan lafaz:
وَإِنِّي لَتَعْرُونِي لِذِكْرَاكِ هَزَّةٌ … كَمَا انْتَفَضَتِ السَّلْوَاةُ بَلَّهَا الْقَطْرُ
Yang menunjukkan bahwa “السَّلْوَاةُ” adalah nama seekor burung dalam sebagian pemakaian bahasa Arab.