Al Baqarah Ayat 40-42

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الْآيَاتُ 40 إِلَى 42]

[Surat al-Baqarah (2): ayat 40 sampai 42]
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ (40)
Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, dan penuhilah janji-Ku, niscaya Aku penuhi janji kalian; dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut. (40)
وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41)
Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa yang ada pada kalian, dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus bertakwa. (41)
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (42)
Dan janganlah kalian mencampuradukkan yang benar dengan yang batil, dan kalian sembunyikan yang benar, padahal kalian mengetahui. (42)
اعْلَمْ أَنَّ كَثِيرًا مِنَ الْمُفَسِّرِينَ جَاءُوا بِعِلْمٍ مُتَكَلَّفٍ،
Ketahuilah bahwa banyak mufasir datang dengan ilmu yang dipaksakan.
وَخَاضُوا فِي بَحْرٍ لَمْ يُكَلَّفُوا سِبَاحَتَهُ،
Mereka terjun ke sebuah lautan yang mereka tidak dibebani kewajiban untuk berenang di dalamnya.
وَاسْتَغْرَقُوا أَوْقَاتَهُمْ فِي فَنٍّ لَا يَعُودُ عَلَيْهِمْ بِفَائِدَةٍ،
Mereka habiskan waktu-waktu mereka dalam satu bidang yang tidak kembali kepada mereka dengan suatu manfaat.
بَلْ أَوْقَعُوا أَنْفُسَهُمْ فِي التَّكَلُّمِ بِمَحْضِ الرَّأْيِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فِي الْأُمُورِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِكِتَابِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ،
Bahkan mereka menjerumuskan diri mereka ke dalam pembicaraan dengan sekadar pendapat semata, yang dilarang, dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan Kitab Allah Mahasuci Dia.
وَذَلِكَ أَنَّهُمْ أَرَادُوا أَنْ يَذْكُرُوا الْمُنَاسَبَةَ بَيْنَ الْآيَاتِ الْقُرْآنِيَّةِ الْمَسْرُودَةِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ الْمَوْجُودِ فِي الْمَصَاحِفِ،
Hal itu karena mereka ingin menyebutkan hubungan kesesuaian (munāsabah) antara ayat-ayat Al-Qur’an yang disusun menurut urutan yang ada di mushaf-mushaf ini.
فَجَاءُوا بِتَكَلُّفَاتٍ وَتَعَسُّفَاتٍ يَتَبَرَّأُ مِنْهَا الْإِنْصَافُ،
Lalu mereka datang dengan berbagai pemaksaan dan sikap memaksa-maksa yang keadilan berlepas diri darinya.
وَيَتَنَزَّهُ عَنْهَا كَلَامُ الْبُلَغَاءِ فَضْلًا عَنْ كَلَامِ الرَّبِّ1.
Dan ucapan para ahli balaghah (fasih) pun merasa dirinya lebih mulia daripada itu, apalagi firman Tuhan.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٨٦)
Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 86).
سُبْحَانَهُ، حَتَّى أَفْرَدُوا ذَلِكَ بِالتَّصْنِيفِ،
Mahasuci Dia, sampai-sampai mereka mengkhususkan masalah itu dengan penulisan karya tersendiri.
وَجَعَلُوهُ الْمَقْصِدَ الْأَهَمَّ مِنَ التَّأْلِيفِ،
Dan mereka menjadikannya tujuan terpenting dari penulisan kitab.
كَمَا فَعَلَهُ الْبِقَاعِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ وَمَنْ تَقَدَّمَهُ حَسْبَمَا ذَكَرَ فِي خُطْبَتِهِ،
Sebagaimana yang dilakukan al-Biqā‘ī dalam tafsirnya dan orang-orang sebelum dia, sebagaimana yang ia sebutkan dalam mukadimahnya.
وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَعْجَبِ مَا يَسْمَعُهُ مَنْ يَعْرِفُ أَنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَا زَالَ يَنْزِلُ مُفَرَّقًا عَلَى حَسَبِ الْحَوَادِثِ الْمُقْتَضِيَةِ لِنُزُولِهِ مُنْذُ نُزُولِ الْوَحْيِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَنْ قَبَضَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِ،
Padahal ini termasuk hal paling mengherankan yang didengar oleh orang yang mengetahui bahwa Al-Qur’an itu senantiasa turun secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang menuntut turunnya, sejak wahyu turun kepada Rasulullah ﷺ sampai Allah ‘Azza wa Jalla mewafatkan beliau.
وَكُلُّ عَاقِلٍ فَضْلًا عَنْ عَالِمٍ لَا يَشُكُّ أَنَّ هَذِهِ الْحَوَادِثَ الْمُقْتَضِيَةَ نُزُولَ الْقُرْآنِ مُتَخَالِفَةٌ بِاعْتِبَارِ نَفْسِهَا،
Dan setiap orang berakal, apalagi seorang alim, tidak ragu bahwa peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya Al-Qur’an itu saling berbeda jika dilihat dari dirinya sendiri.
بَلْ قَدْ تَكُونُ مُتَنَاقِضَةً كَتَحْرِيمِ أَمْرٍ كَانَ حَلَالًا، وَتَحْلِيلِ أَمْرٍ كَانَ حَرَامًا،
Bahkan terkadang saling bertentangan, seperti pengharaman suatu perkara yang tadinya halal, atau penghalalan suatu perkara yang sebelumnya haram.
وَإِثْبَاتِ أَمْرٍ لِشَخْصٍ يُنَاقِضُ مَا كَانَ قَدْ ثَبَتَ لَهُ قَبْلَهُ،
Dan penetapan suatu hukum untuk seseorang yang bertentangan dengan apa yang sebelumnya telah ditetapkan baginya.
وَتَارَةً يَكُونُ الْكَلَامُ مَعَ الْمُسْلِمِينَ، وَتَارَةً مَعَ الْكَافِرِينَ،
Kadang pembicaraan (Al-Qur’an) itu bersama kaum muslimin, dan kadang bersama orang-orang kafir.
وَتَارَةً مَعَ مَنْ مَضَى، وَتَارَةً مَعَ مَنْ حَضَرَ،
Kadang (berbicara) kepada orang-orang yang telah berlalu, dan kadang kepada yang sedang hadir.
وَحِينًا فِي عِبَادَةٍ، وَحِينًا فِي مُعَامَلَةٍ،
Kadang mengenai ibadah, dan kadang mengenai muamalah.
وَوَقْتًا فِي تَرْغِيبٍ، وَوَقْتًا فِي تَرْهِيبٍ،
Pada suatu waktu berupa ajakan dan dorongan (targhīb), dan pada waktu lain berupa ancaman (tarhīb).
وَآوِنَةً فِي بُشْرَى، وَآوِنَةً فِي نِذَارَةٍ،
Sekali waktu berupa kabar gembira, dan di lain waktu berupa peringatan.
وَطَوْرًا فِي أَمْرِ دُنْيَا، وَطَوْرًا فِي أَمْرِ آخِرَةٍ،
Terkadang dalam perkara dunia, dan terkadang dalam perkara akhirat.
وَمَرَّةً فِي تَكَالِيفَ آتِيَةٍ، وَمَرَّةً فِي أَقَاصِيصَ مَاضِيَةٍ،
Sekali waktu tentang kewajiban-kewajiban yang akan datang, dan sekali waktu tentang kisah-kisah masa lalu.
وَإِذَا كَانَتْ أَسْبَابُ النُّزُولِ مُخْتَلِفَةً هَذَا الِاخْتِلَافَ، وَمُتَبَايِنَةً هَذَا التَّبَايُنَ الَّذِي لَا يَتَيَسَّرُ مَعَهُ الِائْتِلَافُ،
Jika sebab-sebab turunnya (ayat) berbeda-beda seperti perbedaan yang disebutkan ini, dan saling berjauhan seperti pertentangan yang dengan itu tidak mungkin terjadi keserasian (dari sisi sebab-sebabnya),
فَالْقُرْآنُ النَّازِلُ فِيهَا هُوَ بِاعْتِبَارِهِ نَفْسِهِ مُخْتَلِفٌ كَاخْتِلَافِهَا،
maka Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan peristiwa-peristiwa itu, jika dilihat dari dirinya, juga berbeda-beda sebagaimana perbedaan peristiwa-peristiwa tersebut.
فَكَيْفَ يَطْلُبُ الْعَاقِلُ الْمُنَاسَبَةَ بَيْنَ الضَّبِّ وَالنُّونِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ وَالْمَلَّاحِ وَالْحَادِي،
Maka bagaimana mungkin orang yang berakal mencari hubungan kesesuaian antara biawak gurun dan ikan paus, antara air dan api, antara pelaut dan pemandu kafilah?
وَهَلْ هَذَا إِلَّا مِنْ فَتْحِ أَبْوَابِ الشَّكِّ وَتَوْسِيعِ دَائِرَةِ الرَّيْبِ عَلَى مَنْ فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ،
Bukankah ini hanyalah membuka pintu-pintu keraguan dan meluaskan lingkaran syak bagi orang yang di dalam hatinya ada penyakit,
أَوْ كَانَ مَرَضُهُ مُجَرَّدَ الْجَهْلِ وَالْقُصُورِ،
atau penyakitnya hanya berupa kebodohan dan kekurangan pemahaman?
فَإِنَّهُ إِذَا وَجَدَ أَهْلَ الْعِلْمِ يَتَكَلَّمُونَ فِي التَّنَاسُبِ بَيْنَ جَمِيعِ آيِ الْقُرْآنِ وَيُفْرِدُونَ ذَلِكَ بِالتَّصْنِيفِ،
Sebab ketika ia mendapati para ahli ilmu berbicara tentang keserasian antara seluruh ayat Al-Qur’an dan mengkhususkannya dengan penulisan kitab tersendiri,
تَقَرَّرَ عِنْدَهُ أَنَّ هَذَا أَمْرٌ لَا بُدَّ مِنْهُ،
akan tertanamlah dalam dirinya bahwa ini adalah suatu perkara yang pasti harus ada,
وَأَنَّهُ لَا يَكُونُ الْقُرْآنُ بَلِيغًا مُعْجِزًا إِلَّا إِذَا ظَهَرَ الْوَجْهُ الْمُقْتَضِي لِلْمُنَاسَبَةِ،
dan bahwa Al-Qur’an tidak akan menjadi baligh lagi mengagumkan kecuali jika tampak sisi yang menuntut adanya munāsabah itu,
وَتَبَيَّنَ الْأَمْرُ الْمُوجِبُ لِلِارْتِبَاطِ،
dan jelas perkara yang mewajibkan adanya keterkaitan (antara ayat-ayat).
فَإِنْ وُجِدَ الِاخْتِلَافُ بَيْنَ الْآيَاتِ، فَرَجَعَ إِلَى مَا قَالَهُ الْمُتَكَلِّمُونَ فِي ذَلِكَ،
Lalu bila ia mendapati adanya perbedaan antara ayat-ayat, lalu ia kembali kepada apa yang dikatakan oleh para pembicara (tentang munāsabah) tadi,
فَوَجَدَهُ تَكَلُّفًا مَحْضًا، وَتَعَسُّفًا بَيِّنًا،
dan ia mendapati hal itu hanyalah paksaan murni dan pemaksaan yang jelas,
انْقَدَحَ فِي قَلْبِهِ مَا كَانَ عَنْهُ فِي عَافِيَةٍ وَسَلَامَةٍ،
maka akan terlintas di dalam hatinya sesuatu yang sebelumnya ia berada dalam keadaan selamat dan terbebas darinya (yakni keraguan).
هَذَا عَلَى فَرْضِ أَنَّ نُزُولَ الْقُرْآنِ كَانَ مُتَرَتِّبًا عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ الْكَائِنِ فِي الْمُصْحَفِ،
Ini jika kita mengandaikan bahwa turunnya Al-Qur’an berurutan sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf sekarang.
فَكَيْفَ، وَكُلُّ مَنْ لَهُ أَدْنَى عِلْمٍ بِالْكِتَابِ، وَأَيْسَرُ حَظٍّ مِنْ مَعْرِفَتِهِ،
Lalu bagaimana (lagi), padahal setiap orang yang punya sedikit saja ilmu tentang Kitab (Al-Qur’an) dan bagian sekecil apa pun dari pengetahuannya,
يَعْلَمُ عِلْمًا يَقِينًا أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ،
tahu dengan pengetahuan yang pasti bahwa urutan turunnya tidak seperti itu.
وَمَنْ شَكَّ فِي هَذَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِمَّا يَشُكُّ فِيهِ أَهْلُ الْعِلْمِ،
Siapa yang ragu dalam hal ini—meski sebenarnya para ahli ilmu tidak meragukannya—
رَجَعَ إِلَى كَلَامِ أَهْلِ الْعِلْمِ الْعَارِفِينَ بِأَسْبَابِ النُّزُولِ، الْمُطَّلِعِينَ عَلَى حَوَادِثِ النُّبُوَّةِ،
hendaklah ia kembali kepada ucapan para ulama yang mengetahui sebab-sebab turunnya ayat dan yang memahami peristiwa-peristiwa kenabian.
فَإِنَّهُ يَنْثَلِجُ صَدْرُهُ، وَيَزُولُ عَنْهُ الرَّيْبُ،
Maka dadanya akan merasa lapang, dan hilanglah darinya keraguan.
بِالنَّظَرِ فِي سُورَةٍ مِنَ السُّوَرِ الْمُتَوَسِّطَةِ، فَضْلًا عَنِ الْمُطَوَّلَةِ،
Cukup dengan meneliti sebuah surat di antara surat-surat yang sedang panjangnya, apalagi yang panjang,
لِأَنَّهُ لَا مَحَالَةَ يَجِدُهَا مُشْتَمِلَةً عَلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي حَوَادِثَ مُخْتَلِفَةٍ، وَأَوْقَاتٍ مُتَبَايِنَةٍ،
karena pasti ia akan mendapati surat tersebut memuat ayat-ayat yang turun berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang berbeda dan waktu-waktu yang berlainan,
لَا مُطَابَقَةَ بَيْنَ أَسْبَابِهَا وَمَا نَزَلَ فِيهَا فِي التَّرْتِيبِ،
yang tidak terdapat kesesuaian dalam urutan antara sebab-sebabnya dan apa yang turun berkaitan dengannya.
بَلْ يَكْفِي الْمُقَصِّرَ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ أَوَّلَ مَا نَزَلَ: اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ،
Bahkan cukup bagi orang yang kurang (mendalam ilmunya) untuk mengetahui bahwa yang pertama kali turun adalah: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
وَبَعْدَهُ: يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ، يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ،
Kemudian setelahnya: “Wahai orang yang berselimut (al-Muddatsir), wahai orang yang berkemul (al-Muzzammil).”
وَيَنْظُرُ أَيْنَ مَوْضِعُ هَذِهِ الْآيَاتِ وَالسُّوَرِ فِي تَرْتِيبِ الْمُصْحَفِ؟
Lalu ia melihat, di manakah letak ayat-ayat dan surat-surat ini dalam susunan mushaf (sekarang)?
وَإِذَا كَانَ الْأَمْرُ هَكَذَا،
Dan jika memang urusannya demikian,
فَأَيُّ مَعْنًى لِطَلَبِ الْمُنَاسَبَةِ بَيْنَ آيَاتٍ نَعْلَمُ قَطْعًا أَنَّهُ قَدْ تَقَدَّمَ فِي تَرْتِيبِ الْمُصْحَفِ مَا أَنْزَلَهُ اللَّهُ مُتَأَخِّرًا،
maka apa maknanya mencari munāsabah antara ayat-ayat, padahal kita yakin bahwa dalam susunan mushaf telah didahulukan sesuatu yang Allah turunkan belakangan,
وَتَأَخُّرَ مَا أَنْزَلَهُ اللَّهُ مُتَقَدِّمًا؟
dan diakhirkan sesuatu yang Allah turunkan lebih dahulu?
فَإِنَّ هَذَا عَمَلٌ لَا يَرْجِعُ إِلَى تَرْتِيبِ نُزُولِ الْقُرْآنِ،
Maka ini adalah suatu amalan yang tidak kembali (berpatokan) kepada urutan turunnya Al-Qur’an,
بَلْ إِلَى مَا وَقَعَ مِنَ التَّرْتِيبِ عِنْدَ جَمْعِهِ مِمَّنْ تَصَدَّى لِذَلِكَ مِنَ الصَّحَابَةِ،
melainkan hanya kepada susunan yang terjadi ketika pengumpulan mushaf oleh para sahabat yang mengerjakannya.
وَمَا أَقَلَّ نَفْعَ مِثْلِ هَذَا، وَأَنْزَرَ ثَمَرَتَهُ، وَأَحْقَرَ فَائِدَتَهُ،
Betapa sedikit manfaat dari hal seperti ini, betapa langka buahnya, dan betapa remehnya faidahnya.
بَلْ هُوَ عِنْدَ مَنْ يَفْهَمُ مَا يَقُولُ وَمَا يُقَالُ لَهُ مِنْ تَضْيِيعِ الْأَوْقَاتِ،
Bahkan, menurut orang yang memahami apa yang ia katakan dan apa yang dikatakan kepadanya, ini termasuk bentuk menyia-nyiakan waktu.
وَإِنْفَاقِ السَّاعَاتِ فِي أَمْرٍ لَا يَعُودُ بِنَفْعٍ عَلَى فَاعِلِهِ وَلَا عَلَى مَنْ يَقِفُ عَلَيْهِ مِنَ النَّاسِ،
Dan menghabiskan berjam-jam dalam suatu hal yang tidak membawa manfaat bagi pelakunya maupun bagi orang yang membacanya dari kalangan manusia.
وَأَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ لَوْ تَصَدَّى رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لِلْمُنَاسَبَةِ بَيْنَ مَا قَالَهُ رَجُلٌ مِنَ الْبُلَغَاءِ مِنْ خُطَبِهِ وَرَسَائِلِهِ وَإِنْشَائَاتِهِ،
Dan engkau tahu, seandainya ada seorang ahli ilmu yang berusaha mencari munāsabah antara apa yang diucapkan seorang ahli balaghah dalam khutbah-khutbah, surat-surat, dan karangan-karangannya,
أَوْ إِلَى مَا قَالَهُ شَاعِرٌ مِنَ الشُّعَرَاءِ مِنَ الْقَصَائِدِ الَّتِي تَكُونُ تَارَةً مَدْحًا وَأُخْرَى هِجَاءً، وَحِينًا نَسِيبًا وَحِينًا رِثَاءً، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَنْوَاعِ الْمُتَخَالِفَةِ،
atau antara apa yang diucapkan seorang penyair dalam kasidah-kasidahnya—yang terkadang berupa pujian, terkadang berupa sindiran, kadang berupa ghazal (cinta), kadang berupa ratapan, dan lain sebagainya dari jenis-jenis yang berbeda-beda—
فَعَمَدَ هَذَا الْمُتَصَدِّي إِلَى ذَلِكَ الْمَجْمُوعِ فَنَاسَبَ بَيْنَ فِقَرِهِ وَمَقَاطِعِهِ،
lalu orang yang memberanikan diri itu mengambil kumpulan (teks) tersebut dan mencari munāsabah antara bagian-bagian kalimat dan potongan-potongannya,
ثُمَّ تَكَلَّفَ تَكَلُّفًا آخَرَ فَنَاسَبَ بَيْنَ الْخُطْبَةِ الَّتِي خَطَبَهَا فِي الْجِهَادِ،
kemudian ia memaksakan diri lagi dengan mencari munāsabah antara khutbah yang ia sampaikan tentang jihad
وَالْخُطْبَةِ الَّتِي خَطَبَهَا فِي الْحَجِّ، وَالْخُطْبَةِ الَّتِي خَطَبَهَا فِي النِّكَاحِ وَنَحْوِ ذَلِكَ،
dan khutbah yang ia sampaikan tentang haji, juga khutbah yang ia sampaikan tentang nikah, dan yang semisal itu,
وَنَاسَبَ بَيْنَ الْإِنْشَاءِ الْكَائِنِ فِي الْعَزَاءِ وَالْإِنْشَاءِ الْكَائِنِ فِي الْهَنَاءِ وَمَا يُشَابِهُ ذَلِكَ،
serta mencari munāsabah antara tulisan yang dibuat untuk takziah dan tulisan yang dibuat untuk ucapan selamat, dan hal-hal yang semisal,
لَعُدَّ هَذَا الْمُتَصَدِّي لِمِثْلِ هَذَا مُصَابًا فِي عَقْلِهِ، مُتَلَاعِبًا بِأَوْقَاتِهِ،
maka orang yang memberanikan diri melakukan hal semacam ini akan dianggap terkena gangguan akal, mempermainkan waktunya,
عَابِثًا بِعُمْرِهِ الَّذِي هُوَ رَأْسُ مَالِهِ.
dan bermain-main dengan umurnya, yang merupakan modal utamanya.
وَإِذَا كَانَ مِثْلُ هَذَا بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ، وَهُوَ رُكُوبُ الْأُحْمُوقَةِ فِي كَلَامِ الْبَشَرِ،
Jika hal seperti ini kedudukannya demikian, dan itu adalah tindakan bodoh dalam urusan ucapan manusia,
فَكَيْفَ نَرَاهُ يَكُونُ فِي كَلَامِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ الَّذِي أَعْجَزَتْ بَلَاغَتُهُ بُلَغَاءَ الْعَرَبِ،
maka bagaimana kita memandang hal itu dilakukan terhadap kalam Allah Mahasuci Dia, yang keelokan bahasanya telah melemahkan para ahli balaghah Arab,
وَأَبْكَمَتْ فَصَاحَتُهُ فُصَحَاءَ عَدْنَانَ وَقَحْطَانَ؟
dan kefasihannya telah membungkam orang-orang fasih dari keturunan ‘Adnān dan Qahtān?
وَقَدْ عَلِمَ كُلُّ مُقَصِّرٍ وَكَامِلٍ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَصَفَ هَذَا الْقُرْآنَ بِأَنَّهُ عَرَبِيٌّ،
Dan telah diketahui oleh setiap orang, baik yang kurang maupun yang sempurna ilmunya, bahwa Allah Mahasuci Dia telah menggambarkan Al-Qur’an ini sebagai (kitab) yang berbahasa Arab,
وَأَنْزَلَهُ بِلُغَةِ الْعَرَبِ، وَسَلَكَ فِيهِ مَسَالِكَهُمْ فِي الْكَلَامِ،
dan menurunkannya dengan bahasa orang Arab, dan menempuh di dalamnya cara-cara mereka dalam berbicara,
وَجَرَى بِهِ مَجَارِيَهُمْ فِي الْخِطَابِ.
serta mengalirkannya menurut jalur-jalur (gaya) khithāb mereka.
وَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّ خَطِيبَهُمْ كَانَ يَقُومُ الْمَقَامَ الْوَاحِدَ فَيَأْتِي بِفُنُونٍ مُتَخَالِفَةٍ، وَطَرَائِقَ مُتَبَايِنَةٍ، فَضْلًا عَنِ الْمَقَامَيْنِ، فَضْلًا عَنِ الْمَقَامَاتِ، فَضْلًا عَنْ جَمِيعِ مَا قَالَهُ مَا دَامَ حَيًّا، وَكَذَلِكَ شَاعِرُهُمْ.
Dan kita tahu bahwa orator mereka (orang Arab) kadang berdiri dalam satu kesempatan lalu menyampaikan beragam bentuk tutur kata dan berbagai cara yang berbeda-beda, apalagi dalam dua kesempatan, apalagi dalam banyak kesempatan, apalagi dalam seluruh yang ia ucapkan selama hidupnya—dan demikian pula halnya dengan para penyair mereka.
وَلْنَكْتَفِ بِهَذَا التَّنْبِيهِ عَلَى هَذِهِ الْمَفْسَدَةِ الَّتِي تَعَثَّرَ فِي سَاحَاتِهَا كَثِيرٌ مِنَ الْمُحَقِّقِينَ،
Cukuplah kita dengan penjelasan singkat ini untuk menunjukkan kerusakan (metode) ini, yang di dalam gelanggangnya banyak peneliti terjerembap.
وَإِنَّمَا ذَكَرْنَا هَذَا الْبَحْثَ فِي هَذَا الْمَوْطِنِ؛ لِأَنَّ الْكَلَامَ هُنَا قَدِ انْتَقَلَ مَعَ بَنِي إِسْرَائِيلَ، بَعْدَ أَنْ كَانَ قَبْلَهُ مَعَ أَبِي الْبَشَرِ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ،
Kami hanya menyebutkan pembahasan ini di tempat ini karena di sini pembicaraan (ayat) telah beralih kepada Bani Israil, setelah sebelumnya kepada bapak manusia, Adam ‘alaihissalām.
فَإِذَا قَالَ مُتَكَلِّفٌ: كَيْفَ نَاسَبَ هَذَا مَا قَبْلَهُ؟
Maka bila ada orang yang memaksakan diri berkata: “Bagaimana ayat ini serasi (munāsabah) dengan yang sebelumnya?”
قُلْنَا: لَا كَيْفَ.
Kami katakan: “Tidak ada ‘bagaimana’-nya (yakni: tidak perlu dicari-cari munāsabahnya).”
فَدَعْ عَنْكَ نَهْبًا صِيحَ فِي حُجُرَاتِهِ … وَهَاتِ حَدِيثًا مَا حَدِيثُ الرَّوَاحِلِ
“Maka tinggalkanlah pembicaraan tentang harta rampasan yang telah diteriakkan di dalam tenda-tendanya; dan bawakanlah sebuah kisah—seperti kisah tentang kendaraan-kendaraan (yang siap berangkat).” (Pantun Arab, maksudnya: tinggalkan bahasan yang tidak bermanfaat itu, dan bawalah pembicaraan yang lebih penting.)
قَوْلُهُ: يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ، اتَّفَقَ الْمُفَسِّرُونَ عَلَى أَنَّ إِسْرَائِيلَ هُوَ يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ،
Firman-Nya: “Yā Banī Isrā’īl” (Wahai Bani Israil). Para mufasir sepakat bahwa Israil adalah Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim ‘alaihimussalām.
وَمَعْنَاهُ: عَبْدُ اللَّهِ، لِأَنَّ «إِسْرَا» فِي لُغَتِهِمْ هُوَ الْعَبْدُ، وَ«إِيلُ» هُوَ اللَّهُ،
Maknanya adalah “hamba Allah”, karena “Isrā” dalam bahasa mereka berarti hamba, dan “Il” berarti Allah.
قِيلَ: إِنَّ لَهُ اسْمَيْنِ، وَقِيلَ: إِسْرَائِيلُ لَقَبٌ لَهُ،
Ada yang mengatakan bahwa ia memiliki dua nama, dan ada yang mengatakan bahwa Israil adalah gelar baginya.
وَهُوَ اسْمٌ عَجَمِيٌّ غَيْرُ مُنْصَرِفٍ،
Dan ia adalah nama asing (non-Arab) yang tidak menerima tanwīn (ghairu munsharif).
وَفِيهِ سَبْعُ لُغَاتٍ: «إِسْرَائِيلُ» بِزِنَةِ «إِبْرَاهِيمَ»،
Untuk lafaz ini ada tujuh bentuk bacaan (dialek): “Isrā’īl” dengan wazan “Ibrāhīm”,
وَ«إِسْرَائِيلُ» بِمَدَّةٍ مَهْمُوزَةٍ مُخْتَلَسَةٍ رَوَاهَا ابْنُ شَنَبُوذَ عَنْ وَرْشٍ،
dan “Isrā’īl” dengan mad dan hamzah yang dibaca ringan; bentuk ini diriwayatkan Ibnu Shanabūdz dari Warasy.
وَ«إِسْرَائِيلُ» بِمَدَّةٍ بَعْدَ الْيَاءِ مِنْ غَيْرِ هَمْزٍ، وَهِيَ قِرَاءَةُ الْأَعْمَشِ وَعِيسَى بْنِ عُمَرَ،
Dan “Isrāīl” dengan mad setelah ya’ tanpa hamzah; ini adalah bacaan al-A‘masy dan ‘Īsā bin ‘Umar.
وَقَرَأَ الْحَسَنُ مِنْ غَيْرِ هَمْزٍ وَلَا مَدٍّ،
Al-Hasan (al-Bashri) membaca tanpa hamzah dan tanpa mad (Isril).
وَ«إِسْرَائِلَ» بِهَمْزَةٍ مَكْسُورَةٍ،
Dan “Isrā’ila” dengan hamzah yang berharakat kasrah.
وَ«إِسْرَاءَلَ» بِهَمْزَةٍ مَفْتُوحَةٍ،
Dan “Isrā’ala” dengan hamzah yang berharakat fathah.
وَتَمِيمٌ يَقُولُونَ: «إِسْرَائِينُ».
Dan (suku) Tamim mengucapkannya “Isrā’īn”.
وَالذِّكْرُ هُوَ ضِدُّ الْإِنْسَاءِ،
“Dzikir” (mengingat) adalah lawan dari lupa.
وَجَعَلَهُ بَعْضُ أَهْلِ اللُّغَةِ مُشْتَرَكًا بَيْنَ ذِكْرِ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ،
Sebagian ahli bahasa menjadikannya sebagai lafaz musytarak (bermakna ganda), mencakup ingatan hati dan lisan.
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ: مَا كَانَ بِالْقَلْبِ فَهُوَ مَضْمُومُ الذَّالِ، وَمَا كَانَ بِاللِّسَانِ فَهُوَ مَكْسُورُ الذَّالِ.
Al-Kisā’ī berkata: yang berkaitan dengan hati, dzal-nya dibaca dhammah; dan yang berkaitan dengan lisan, dzal-nya dibaca kasrah.
قَالَ ابْنُ الْأَنْبَارِيِّ: وَالْمَعْنَى فِي الْآيَةِ: اذْكُرُوا شُكْرَ نِعْمَتِي،
Ibnu al-Anbārī berkata: Makna dalam ayat ini adalah: “Ingatlah syukur atas nikmat-Ku,”
فَحَذَفَ الشُّكْرَ اكْتِفَاءً بِذِكْرِ النِّعْمَةِ،
maka kata “syukur” dihilangkan, cukup dengan menyebut “nikmat”.
وَهِيَ اسْمُ جِنْسٍ،
“Keni‘matan” di sini adalah isim jenis.
وَمِنْ جُمْلَتِهَا أَنَّهُ جَعَلَ مِنْهُمْ أَنْبِيَاءَ، وَأَنْزَلَ عَلَيْهِمُ الْكُتُبَ، وَالْمَنَّ وَالسَّلْوَى،
Dan di antara kumpulan nikmat itu ialah bahwa Dia menjadikan sebagian mereka sebagai nabi, menurunkan kepada mereka kitab-kitab, juga (nikmat) manna dan salwa,
وَأَخْرَجَ لَهُمُ الْمَاءَ مِنَ الْحَجَرِ، وَنَجَّاهُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ، وَغَيْرُ ذَلِكَ.
mengeluarkan air untuk mereka dari batu, menyelamatkan mereka dari (siksa) keluarga Fir‘aun, dan nikmat-nikmat lainnya.
وَالْعَهْدُ قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ.
“Al-‘ahd” (perjanjian) telah dijelaskan penafsirannya sebelumnya.
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْعَهْدِ الْمَذْكُورِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ: مَا هُوَ؟
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “perjanjian” yang disebut dalam ayat ini: apakah yang dimaksud?
فَقِيلَ: هُوَ الْمَذْكُورُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ2،
Ada yang mengatakan: itulah yang disebut dalam firman-Nya Ta‘ālā: “Peganglah dengan teguh apa yang telah Kami berikan kepada kalian.”2
وَقِيلَ: هُوَ مَا فِي قَوْلِهِ: وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا3،
Ada yang mengatakan: ia adalah apa yang terdapat dalam firman-Nya: “Dan sungguh Allah telah mengambil perjanjian Bani Israil, dan Kami bangkitkan di antara mereka dua belas pemimpin.”3
وَقِيلَ: هُوَ قَوْلُهُ: وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ4،
Ada yang mengatakan: ia adalah firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari orang-orang yang telah diberi kitab.”4
وَقَالَ الزَّجَّاجُ: هُوَ مَا أُخِذَ عَلَيْهِمْ فِي التَّوْرَاةِ مِنِ اتِّبَاعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Az-Zajjāj berkata: Itu adalah apa yang diambil atas mereka dalam Taurat berupa kewajiban mengikuti Muhammad ﷺ.
وَقِيلَ: هُوَ أَدَاءُ الْفَرَائِضِ،
Ada pula yang berkata: ia adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban syariat.
وَلَا مَانِعَ مِنْ حَمْلِهِ عَلَى جَمِيعِ ذَلِكَ.
Dan tidak ada halangan untuk memahaminya mencakup semua makna tersebut.
وَمَعْنَى قَوْلِهِ: أُوفِ بِعَهْدِكُمْ، أَيْ بِمَا ضَمِنْتُ لَكُمْ مِنَ الْجَزَاءِ،
Makna firman-Nya: “Pasti Aku penuhi janji kalian,” yakni (Aku penuhi) apa yang telah Aku janjikan kepada kalian berupa balasan.
وَالرَّهَبُ وَالرَّهْبَةُ: الْخَوْفُ،
“Ar-rahab” dan “ar-rahbah” maknanya adalah rasa takut.
وَيَتَضَمَّنُ الْأَمْرُ بِهِ مَعْنَى التَّهْدِيدِ،
Dan perintah untuk takut itu mengandung makna ancaman.
وَتَقْدِيمُ مَعْمُولِ الْفِعْلِ يُفِيدُ الِاخْتِصَاصَ، كَمَا تَقَدَّمَ فِي: إِيَّاكَ نَعْبُدُ5،
Mendahulukan objek dari fi‘il memberi faedah pengkhususan, sebagaimana telah dijelaskan pada firman-Nya: “Iyyāka na‘budu” (Hanya kepada-Mu kami menyembah).5
وَإِذَا كَانَ التَّقْدِيمُ عَلَى طَرِيقَةِ الْإِضْمَارِ وَالتَّفْسِيرِ، مِثْلَ: «زَيْدًا ضَرَبْتُهُ»، وَ«إِيَّايَ فَارْهَبُونِ»، كَانَ أَوْكَدَ فِي إِفَادَةِ الِاخْتِصَاصِ،
Dan bila pendahuluan itu dalam bentuk dhamir yang dijelaskan, seperti ungkapan “Zaidan darabtuhu” (Zaid, akulah yang memukulnya) dan “Iyya-ya farhabūn” (hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut), maka itu lebih kuat dalam memberikan faedah pengkhususan.
وَلِهَذَا قَالَ صَاحِبُ «الْكَشَّافِ»: وَهُوَ أَوْكَدُ فِي إِفَادَةِ الِاخْتِصَاصِ مِنْ «إِيَّاكَ نَعْبُدُ»،
Karena itulah penulis al-Kasysyāf berkata: “Ia lebih kuat dalam memberikan faedah pengkhususan daripada ‘Iyyāka na‘budu’.”
وَسَقَطَتِ الْيَاءُ مِنْ قَوْلِهِ: «فَارْهَبُونِ» لِأَنَّهَا رَأْسُ آيَةٍ.
Huruf ya’ di akhir firman-Nya “farhabūn(i)” dihilangkan (tidak ditulis) karena ia berada di akhir ayat.
وَ«مُصَدِّقًا» حَالٌ مِنْ «مَا» فِي قَوْلِهِ: «بِمَا أَنْزَلْتُ»، أَوْ مِنْ ضَمِيرِهَا الْمُقَدَّرِ بَعْدَ الْفِعْلِ؛ أَيْ: أَنْزَلْتُهُ.
Kata “muṣaddiqan” adalah hal dari “mā” dalam firman-Nya: “bimā anzaltu”, atau dari dhamir yang diperkirakan setelah fi‘il tersebut, yakni: “anzaltuhu” (yang Aku turunkan itu).
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٨٨)
Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 88).
وَقَوْلُهُ: «أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ»، إِنَّمَا جَاءَ بِهِ مُفْرَدًا، لَمْ يَقُلْ: «كَافِرِينَ» حَتَّى يُطَابِقَ مَا قَبْلَهُ،
Firman-Nya: “awwala kāfirin bih” (orang yang pertama kafir kepadanya), datang dalam bentuk tunggal; tidak dikatakan “kāfirīn” (jamak) untuk menyesuaikan dengan sebelumnya.
لِأَنَّهُ وَصْفٌ لِمَوْصُوفٍ مَحْذُوفٍ مُفْرَدِ اللَّفْظِ، مُتَعَدِّدِ الْمَعْنَى، نَحْوَ: «فَرِيقٍ» أَوْ «فَوْجٍ».
Karena ia adalah sifat bagi suatu maushūf yang dihapuskan, yang lafaznya tunggal namun maknanya jamak, seperti “sekelompok (farīq)” atau “rombongan (fauj)”.
وَقَالَ الْأَخْفَشُ وَالْفَرَّاءُ: إِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَعْنَى الْفِعْلِ، لِأَنَّ الْمَعْنَى: أَوَّلُ مَنْ كَفَرَ.
Al-Akhfasy dan al-Farrā’ berkata: ia dibawa kepada makna fi‘il, karena maknanya: “orang yang pertama kali kafir”.
وَقَدْ يَكُونُ مِنْ بَابِ قَوْلِهِمْ: «هُوَ أَظْرَفُ الْفِتْيَانِ وَأَجْمَلُهُ»، كَمَا حَكَاهُ سِيبَوَيْهِ،
Bisa juga termasuk dalam bab ucapan mereka: “Dia adalah yang paling sopan dan paling tampan di antara para pemuda,” sebagaimana dikisahkan oleh Sibawaih,
فَيَكُونُ هَذَا الْمُفْرَدُ قَائِمًا مَقَامَ الْجَمْعِ.
maka bentuk tunggal ini berfungsi menggantikan bentuk jamak.
وَإِنَّمَا قَالَ: «أَوَّلَ» مَعَ أَنَّهُ تَقَدَّمَهُمْ إِلَى الْكُفْرِ بِهِ كُفَّارُ قُرَيْشٍ،
Dia berfirman “yang pertama (awwal)” padahal orang-orang kafir Quraisy telah mendahului mereka dalam kekafiran terhadapnya,
لِأَنَّ الْمُرَادَ: أَوَّلُ كَافِرٍ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ،
karena yang dimaksud adalah: orang yang pertama kafir kepadanya dari kalangan Ahli Kitab,
لِأَنَّهُمُ الْعَارِفُونَ بِمَا يَجِبُ لِلْأَنْبِيَاءِ، وَمَا يَلْزَمُ مِنَ التَّصْدِيقِ،
sebab merekalah yang mengetahui apa yang wajib bagi para nabi dan apa yang mesti menyertai pembenaran terhadap mereka.
وَالضَّمِيرُ فِي «بِهِ» عَائِدٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Dhamir “bih” kembali kepada Nabi ﷺ,
أَيْ: لَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهَذَا النَّبِيِّ،
yakni: janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepada nabi ini,
مَعَ كَوْنِكُمْ قَدْ وَجَدْتُمُوهُ مَكْتُوبًا عِنْدَكُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ، مُبَشَّرًا بِهِ فِي الْكُتُبِ الْمُنَزَّلَةِ عَلَيْكُمْ.
padahal kalian telah mendapatinya tertulis di sisi kalian dalam Taurat dan Injil, serta mendapatinya diberi kabar gembira dalam kitab-kitab yang diturunkan atas kalian.
وَقَدْ حَكَى الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مَا وَقَفَ عَلَيْهِ مِنَ الْبِشَارَاتِ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْكُتُبِ السَّالِفَةِ.
Ar-Rāzī dalam tafsirnya di tempat ini telah menyebutkan kabar-kabar gembira tentang Rasulullah ﷺ yang ia dapati dalam kitab-kitab terdahulu.
وَقِيلَ: إِنَّهُ عَائِدٌ إِلَى الْقُرْآنِ الْمَدْلُولِ عَلَيْهِ بِقَوْلِهِ: «بِمَا أَنْزَلْتُ»،
Ada yang mengatakan: dhamir itu kembali kepada Al-Qur’an yang ditunjukkan oleh firman-Nya: “bimā anzaltu”.
وَقِيلَ: عَائِدٌ إِلَى التَّوْرَاةِ الْمَدْلُولِ عَلَيْهَا بِقَوْلِهِ: «لِمَا مَعَكُمْ».
Ada pula yang mengatakan: ia kembali kepada Taurat yang ditunjukkan oleh firman-Nya: “limā ma‘akum” (yang ada pada kalian).
وَقَوْلُهُ: «وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي» أَيْ: بِأَوَامِرِي وَنَوَاهِيَّ «ثَمَنًا قَلِيلًا»،
Firman-Nya: “wa lā tasytarū bi āyātī tsamanan qalīlan” (jangan kalian tukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit), maksudnya: jangan kalian tukar perintah dan larangan-Ku dengan harga yang rendah.
أَيْ: عَيْشًا نَزْرًا، وَرِئَاسَةً لَا خَطَرَ لَهَا،
Yakni kehidupan yang sedikit, atau kedudukan yang tidak ada nilainya.
جَعَلَ مَا اعْتَاضُوهُ ثَمَنًا، وَأَوْقَعَ الِاشْتِرَاءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ الثَّمَنُ هُوَ الْمُشْتَرَى بِهِ،
Allah menjadikan apa yang mereka ambil sebagai “harga”, dan menempatkan perbuatan membeli atasnya, meskipun dalam istilah, harga itu adalah sesuatu yang dengannya pembelian dilakukan.
لِأَنَّ الِاشْتِرَاءَ هُنَا مُسْتَعَارٌ لِلِاسْتِبْدَالِ،
Karena istilah “membeli” di sini digunakan secara majazi untuk makna menukar.
أَيْ: لَا تَسْتَبْدِلُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا،
Yakni: janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.
وَكَثِيرًا مَا يَقَعُ مِثْلُ هَذَا فِي كَلَامِهِمْ.
Dan sering sekali gaya seperti ini muncul dalam ucapan orang-orang Arab.
وَقَدْ قَدَّمْنَا الْكَلَامَ عَلَيْهِ فِي تَفْسِيرِ قَوْلِهِ تَعَالَى: «اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى».
Kami telah memaparkan pembahasan tentang hal ini saat menafsirkan firman-Nya Ta‘ālā: “Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk.”
وَمِنْ إِطْلَاقِ اسْمِ «الثَّمَنِ» عَلَى نَيْلِ عَرَضٍ مِنْ أَعْرَاضِ الدُّنْيَا قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Di antara contoh penggunaan kata “tsaman” (harga) untuk meraih sesuatu dari perkara dunia adalah ucapan seorang penyair:
إِنْ كُنْتَ حَاوَلْتَ ذَنْبًا أَوْ ظَفِرْتَ بِهِ … فَمَا أَصَبْتَ بِتَرْكِ الْحَجِّ مِنْ ثَمَنِ
“Jika engkau telah mencoba suatu dosa atau berhasil mendapatkannya, maka (ketahuilah) tidak ada harga yang engkau peroleh dengan meninggalkan haji.”
وَهَذِهِ الْآيَةُ وَإِنْ كَانَتْ خِطَابًا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ وَنَهْيًا لَهُمْ،
Ayat ini meskipun berupa khithāb kepada Bani Israil dan larangan bagi mereka,
فَهِيَ مُتَنَاوِلَةٌ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ بِفَحْوَى الْخِطَابِ أَوْ بِلَحْنِهِ،
namun ia juga mencakup umat ini (umat Muhammad) berdasarkan mafhūm al-khithāb atau isyaratnya.
فَمَنْ أَخَذَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ رِشْوَةً عَلَى إِبْطَالِ حَقٍّ أَمَرَ اللَّهُ بِهِ، أَوْ إِثْبَاتِ بَاطِلٍ نَهَى اللَّهُ عَنْهُ،
Maka siapa saja dari kalangan kaum muslimin yang mengambil suap untuk melenyapkan suatu hak yang Allah perintahkan, atau untuk menetapkan kebatilan yang Allah larang,
أَوِ امْتَنَعَ مِنْ تَعْلِيمِ مَا عَلَّمَهُ اللَّهُ، وَكَتَمَ الْبَيَانَ الَّذِي أَخَذَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِيثَاقَهُ بِهِ،
atau enggan mengajarkan apa yang Allah ajarkan kepadanya, dan menyembunyikan penjelasan yang Allah telah mengambil perjanjian atasnya,
فَقَدِ اشْتَرَى بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا.
maka sungguh ia telah membeli dengan ayat-ayat Allah harga yang sedikit.
وَقَوْلُهُ: «وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ»؛ الْكَلَامُ فِيهِ كَالْكَلَامِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: «وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ»، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَرِيبًا.
Firman-Nya: “dan hanya kepada-Ku-lah kalian bertakwa,” pembahasannya sama dengan pembahasan firman-Nya Ta‘ālā: “dan hanya kepada-Ku-lah kalian takut,” yang telah dijelaskan sebelumnya.
وَاللَّبْسُ: الْخَلْطُ،
“Al-labs” berarti mencampuradukkan.
يُقَالُ: لَبَسْتُ عَلَيْهِ الْأَمْرَ أُلْبِسُهُ: إِذَا خَلَطْتُ حَقَّهُ بِبَاطِلِهِ، وَوَاضِحَهُ بِمُشْكِلِهِ،
Dikatakan: “Labastu ‘alaihi al-amr” (aku mengaburkan perkara atasnya) bila aku mencampuradukkan yang hak dengan yang batil, dan yang jelas dengan yang sulit.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: «وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِمْ مَا يَلْبِسُونَ».
Allah Ta‘ālā berfirman: “Dan benar-benar akan Kami buat mereka bingung (kami campuradukkan) sebagaimana mereka mengacaukan (kebenaran).”
قَالَتِ الْخَنْسَاءُ:
Al-Khansā’ berkata:
تَرَى الْجَلِيسَ يَقُولُ الْحَقَّ تَحْسَبُهُ … رُشْدًا وَهَيْهَاتَ فَانْظُرْ مَا بِهِ الْتَبَسَا
“Engkau melihat teman duduk berbicara benar, engkau menyangkanya petunjuk, jauh sekali, maka perhatikanlah apa yang telah bercampur padanya.”
صَدِّقْ مَقَالَتَهُ وَاحْذَرْ عَدَاوَتَهُ … وَالْبِسْ عَلَيْهِ أُمُورًا مِثْلَ مَا لَبِسَا
“Benarkan ucapannya namun waspadalah terhadap permusuhannya; dan camurkanlah atasnya berbagai perkara sebagaimana ia mencampurkannya.”
وَقَالَ الْعَجَّاجُ:
Al-‘Ajjāj berkata:
لَمَّا لَبَسْنَ الْحَقَّ بِالتَّجَنِّي … غَنِينَ فَاسْتَبْدَلْنَ زَيْدًا مِنِّي
“Ketika mereka mencampuradukkan kebenaran dengan kedzaliman, mereka merasa cukup lalu menukar Zaid dariku.”
وَمِنْهُ قَوْلُ عَنْتَرَةَ:
Dan termasuk (contoh)nya adalah ucapan ‘Antarah:
وَكَتِيبَةٍ لَبِسْتُهَا بِكَتِيبَةٍ … حَتَّى إِذَا الْتَبَسَتْ نَفَضْتُ لَهَا يَدِي
“Dan satu pasukan yang kusamarkan dengan pasukan lain, hingga ketika keduanya telah bercampur, aku melepaskan diri darinya.”
وَقِيلَ: هُوَ مَأْخُوذٌ مِنَ التَّغْطِيَةِ،
Ada yang mengatakan: kata itu diambil dari makna “menutupi”,
أَيْ: لَا تُغَطُّوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ،
yakni: jangan kalian tutupi yang hak dengan yang batil.
وَمِنْهُ قَوْلُ الْجَعْدِيِّ:
Di antara contohnya adalah ucapan al-Ja‘dī:
إِذَا مَا الضَّجِيعُ ثَنَى جِيدَهَا … تَثَنَّتْ عَلَيْهِ فَكَانَتْ لِبَاسَا
“Ketika teman tidurnya membengkokkan lehernya, ia pun membengkok di atasnya hingga menjadi pakaian baginya.”
وَقَوْلُ الْأَخْطَلِ:
Dan ucapan al-Akhtal:
وَقَدْ لَبِسْتُ لِهَذَا الْأَمْرِ أَعْصُرَهُ … حَتَّى تَجَلَّلَ رَأْسِي الشَّيْبُ فَاشْتَعَلَا
“Sungguh aku telah ‘memakai’ (mengalami) masa-masanya untuk urusan ini, hingga rambut putih menyelimuti kepalaku lalu menyala (penuh uban).”
وَالْأَوَّلُ أَوْلَى.
Pendapat pertama (makna mencampuradukkan) lebih kuat.
وَالْبَاطِلُ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ: الزَّائِلُ،
“Kebatilan” dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang lenyap (tidak kekal).
وَمِنْهُ قَوْلُ لَبِيدٍ: «أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ بَاطِلٌ»6
Di antaranya ucapan Labīd: “Ketahuilah, segala sesuatu selain Allah adalah batil (akan lenyap).”6
وَبَطَلَ الشَّيْءُ يَبْطُلُ بُطُولًا وَبُطْلَانًا، وَأَبْطَلَهُ غَيْرُهُ.
Sesuatu disebut “batala” (lenyap) – yabṭulu butūlan dan buṭlānan; dan bila orang lain yang melenyapkannya disebut “abṭalahu”.
وَيُقَالُ: ذَهَبَ دَمُهُ بَطَلًا؛ أَيْ: هَدَرًا،
Dikatakan: “dhahaba damuhu baṭalan,” artinya: darahnya hilang sia-sia (tanpa qishash).
وَالْبَاطِلُ: الشَّيْطَانُ،
“Al-bāṭil” juga digunakan untuk menyebut setan.
وَسُمِّيَ الشُّجَاعُ «بَطَلًا»؛ لِأَنَّهُ يُبْطِلُ شَجَاعَةَ صَاحِبِهِ،
Dan orang yang pemberani disebut “baṭal” (pahlawan) karena ia “membatalkan” (mengalahkan) keberanian lawannya.
وَالْمُرَادُ بِهِ هُنَا: خِلَافُ الْحَقِّ.
Yang dimaksud dengan kebatilan di sini adalah lawan dari kebenaran.
وَالْبَاءُ فِي قَوْلِهِ: «بِالْبَاطِلِ» يُحْتَمَلُ أَنْ تَكُونَ صِلَةً، وَأَنْ تَكُونَ لِلِاسْتِعَانَةِ،
Huruf “bā’” dalam firman-Nya “bil-bāṭil” bisa bermakna bā’ za’idah (sekadar penghubung), dan bisa juga bermakna bā’ isti‘ānah (dengan perantaraan).
ذَكَرَ مَعْنَاهُ فِي «الْكَشَّافِ»، وَرَجَّحَ الرَّازِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ الثَّانِيَ.
Makna ini disebutkan dalam al-Kasysyāf, dan ar-Rāzī dalam tafsirnya lebih menguatkan makna kedua.
وَقَوْلُهُ: «وَتَكْتُمُوا» يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ دَاخِلًا تَحْتَ حُكْمِ النَّهْيِ، أَوْ مَنْصُوبًا بِإِضْمَارِ «أَنْ»،
Firman-Nya: “wa taktumu” (dan kalian sembunyikan) boleh jadi masuk di bawah hukum larangan (sehingga dibaca jazm), atau dibaca manshūb karena diidmar-kan “an”.
وَعَلَى الْأَوَّلِ يَكُونُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنَ اللَّبْسِ وَالْكِتْمَانِ مَنْهِيًّا عَنْهُ،
Berdasarkan pendapat pertama, masing-masing dari mencampuradukkan dan menyembunyikan adalah perkara yang dilarang secara terpisah.
وَعَلَى الثَّانِي يَكُونُ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ هُوَ الْجَمْعُ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ،
Menurut pendapat kedua, yang dilarang adalah menggabungkan kedua perbuatan tersebut sekaligus.
وَمِنْ هَذَا يَلُوحُ رُجْحَانُ دُخُولِهِ تَحْتَ حُكْمِ النَّهْيِ،
Dari sini tampak lebih kuat bahwa kata tersebut masuk di bawah hukum larangan (sehingga masing-masingnya terlarang).
وَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا يَجُوزُ فِعْلُهُ عَلَى انْفِرَادِهِ،
Dan bahwa masing-masing dari keduanya tidak boleh dilakukan meski secara terpisah.
وَالْمُرَادُ: النَّهْيُ عَنْ كَتْمِ حُجَجِ اللَّهِ الَّتِي أَوْجَبَ عَلَيْهِمْ تَبْلِيغَهَا، وَأَخَذَ عَلَيْهِمْ بَيَانَهَا،
Yang dimaksud adalah larangan menyembunyikan hujjah-hujjah Allah yang telah Dia wajibkan atas mereka untuk menyampaikannya dan mengambil perjanjian dari mereka untuk menjelaskannya.
وَمَنْ فَسَّرَ اللَّبْسَ أَوِ الْكِتْمَانَ بِشَيْءٍ مُعَيَّنٍ وَمَعْنًى خَاصٍّ، فَلَمْ يُصِبْ إِنْ أَرَادَ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ الْمُرَادُ دُونَ غَيْرِهِ،
Siapa yang menafsirkan mencampuradukkan atau menyembunyikan hanya dengan sesuatu yang tertentu dan makna yang khusus, maka ia keliru bila ia maksudkan bahwa hanya itulah yang dimaksud tanpa yang lain,
لَا إِنْ أَرَادَ أَنَّهُ مِمَّا يَصْدُقُ عَلَيْهِ.
bukan bila ia bermaksud bahwa itu termasuk salah satu contoh yang tercakup.
وَقَوْلُهُ: «وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ» جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ،
Firman-Nya: “wa antum ta‘lamūn” (padahal kalian mengetahui) adalah kalimat hal.
وَفِيهِ أَنَّ كُفْرَهُمْ كُفْرُ عِنَادٍ لَا كُفْرُ جَهْلٍ،
Ini menunjukkan bahwa kekafiran mereka adalah kekafiran karena membangkang, bukan karena tidak tahu.
وَذَلِكَ أَغْلَظُ لِلذَّنْبِ وَأَوْجَبُ لِلْعُقُوبَةِ،
Dan itu lebih berat dosanya dan lebih wajib mendapat hukuman.
وَهَذَا التَّقْيِيدُ لَا يُفِيدُ جَوَازَ اللَّبْسِ وَالْكِتْمَانِ مَعَ الْجَهْلِ،
Pembatasan (dengan kalimat: padahal kalian mengetahui) ini tidak menunjukkan bolehnya mencampuradukkan dan menyembunyikan bila bersamaan dengan kebodohan.
لِأَنَّ الْجَاهِلَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ لَا يُقْدِمَ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى يَعْلَمَ بِحُكْمِهِ، خُصُوصًا فِي أُمُورِ الدِّينِ،
Sebab orang bodoh wajib untuk tidak memberanikan diri melakukan sesuatu hingga ia tahu hukumnya, khususnya dalam urusan agama.
فَإِنَّ التَّكَلُّمَ فِيهَا وَالتَّصَدِّيَ لِلْإِصْدَارِ وَالْإِيرَادِ فِي أَبْوَابِهَا إِنَّمَا أَذِنَ اللَّهُ بِهِ لِمَنْ كَانَ رَأْسًا فِي الْعِلْمِ، فَرْدًا فِي الْفَهْمِ،
Karena berbicara dalam masalah agama dan berani berfatwa memberi dan menerima dalam bab-babnya, hanyalah Allah izinkan bagi orang yang merupakan pemuka dalam ilmu dan unggul dalam pemahaman.
وَمَا لِلْجُهَّالِ وَالدُّخُولِ فِيمَا لَيْسَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَالْقُعُودِ فِي غَيْرِ مَقَاعِدِهِمْ؟!
Apa urusannya orang-orang bodoh mencampuri perkara yang bukan bidang mereka dan duduk di tempat yang bukan kedudukan mereka?!
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ» قَالَ: لِلْأَحْبَارِ مِنَ الْيَهُودِ:
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Yā Banī Isrā’īl,” beliau berkata: (Seruan ini ditujukan) kepada para pendeta Yahudi:
«اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ» أَيْ: بَلَائِي عِنْدَكُمْ وَعِنْدَ آبَائِكُمْ،
“‘Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian’ yaitu karunia-karunia-Ku terhadap kalian dan terhadap nenek moyang kalian,
لِمَا كَانَ نَجَّاهُمْ بِهِ مِنْ فِرْعَوْنَ وَقَوْمِهِ،
ketika Dia menyelamatkan mereka dari (siksaan) Fir‘aun dan kaumnya,
وَأَوْفُوا بِعَهْدِي الَّذِي أَخَذْتُ فِي أَعْنَاقِكُمْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَكُمْ،
dan ‘Penuhilah janji-Ku’ yaitu janji yang telah Aku ikat di leher kalian untuk (beriman kepada) Nabi ﷺ bila ia datang kepada kalian,
«أُوفِ بِعَهْدِكُمْ» أُنْجِزْ لَكُمْ مَا وَعَدْتُكُمْ عَلَيْهِ بِتَصْدِيقِهِ وَاتِّبَاعِهِ،
‘niscaya Aku penuhi janji kalian’—Aku tunaikan bagi kalian apa yang telah Aku janjikan kepada kalian bila kalian membenarkannya dan mengikutinya,
بِوَضْعِ مَا كَانَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْإِصْرِ وَالْأَغْلَالِ،
yaitu dengan melepaskan beban-beban berat dan belenggu-belenggu yang dahulu ada atas kalian,
وَ«إِيَّايَ فَارْهَبُونِ» أَنْ أُنْزِلَ بِكُمْ مَا أَنْزَلْتُ بِمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ مِنْ آبَائِكُمْ مِنَ النَّقِمَاتِ،
dan ‘hanya kepada-Ku-lah kalian takut’ yaitu agar Aku tidak menurunkan kepada kalian apa yang telah Aku turunkan kepada nenek moyang kalian berupa berbagai hukuman.
وَ«آمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ، وَعِنْدَكُمْ فِيهِ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَيْسَ عِنْدَ غَيْرِكُمْ»،
Dan ‘berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan yang membenarkan apa yang ada pada kalian, dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya; padahal kalian memiliki tentangnya pengetahuan yang tidak dimiliki orang lain.’
وَ«تَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ» أَيْ: لَا تَكْتُمُوا مَا عِنْدَكُمْ مِنَ الْمَعْرِفَةِ بِرَسُولِي وَبِمَا جَاءَكُمْ بِهِ،
Dan ‘janganlah kalian menyembunyikan kebenaran, padahal kalian mengetahui’ maksudnya: jangan kalian sembunyikan apa yang kalian miliki berupa pengetahuan tentang Rasul-Ku dan tentang apa yang ia bawa kepada kalian,
وَأَنْتُمْ تَجِدُونَهُ عِنْدَكُمْ فِيمَا تَعْلَمُونَ مِنَ الْكُتُبِ الَّتِي بِأَيْدِيكُمْ».
padahal kalian mendapati (sifat-sifatnya) itu ada pada kalian dalam apa yang kalian ketahui dari kitab-kitab yang ada di tangan kalian.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: «أَوْفُوا بِعَهْدِي» يَقُولُ: مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ مِنْ طَاعَتِي، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْهُ مِنْ مَعْصِيَتِي فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِ،
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbas) tentang firman-Nya: “Penuhilah janji-Ku” maksudnya: apa yang telah Aku perintahkan kepada kalian berupa ketaatan kepada-Ku, dan yang Aku larang kalian darinya berupa maksiat terhadap-Ku, baik terkait Nabi ﷺ maupun selainnya,
«أُوفِ بِعَهْدِكُمْ» يَقُولُ: أَرْضَ عَنْكُمْ وَأُدْخِلْكُمُ الْجَنَّةَ.
“niscaya Aku penuhi janji kalian”—Aku akan ridha kepada kalian dan memasukkan kalian ke surga.
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ مِثْلَهُ.
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud perkataan yang semisal.
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «أَوْفُوا بِعَهْدِي» قَالَ: هُوَ الْمِيثَاقُ الَّذِي أَخَذَهُ عَلَيْهِمْ فِي سُورَةِ الْمَائِدَةِ: «لَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ» إِلَى الْآيَةِ.
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Penuhilah janji-Ku,” ia berkata: itu adalah perjanjian yang Allah ambil atas mereka dalam surat al-Mā’idah: “Sungguh Allah telah mengambil perjanjian Bani Israil…” hingga akhir ayat.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ نَحْوَهُ.
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Qatādah perkataan yang serupa.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: «أَوْفُوا لِي بِمَا افْتَرَضْتُ عَلَيْكُمْ أُوفِ لَكُمْ بِمَا وَعَدْتُكُمْ».
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari al-Hasan, ia berkata: “Penuhilah untuk-Ku apa yang telah Aku wajibkan atas kalian, niscaya Aku penuhi untuk kalian apa yang telah Aku janjikan kepada kalian.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ، عَنِ الضَّحَّاكِ نَحْوَهُ.
‘Abd bin Humaid dan Abu Syaikh meriwayatkan dari adh-Dhahhāk perkataan yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «إِيَّايَ فَارْهَبُونِ» قَالَ: فَاخْشَوْنِ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “Hanya kepada-Ku-lah kalian takut,” ia berkata: “Maka takutlah kepada-Ku.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جُرَيْجٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ» قَالَ: الْقُرْآنُ، «مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ» قَالَ: التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jurayj meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan”, ia berkata: itu adalah Al-Qur’an. “Yang membenarkan apa yang ada pada kalian”, ia berkata: yaitu Taurat dan Injil.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ جَرِيرٍ فِي قَوْلِهِ: «أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ» قَالَ: بِالْقُرْآنِ.
Ibnu Jurayj meriwayatkan dari Ibnu Jarir tentang firman-Nya: “orang yang pertama kafir kepadanya”, ia berkata: maksudnya kepada Al-Qur’an.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي الْآيَةِ قَالَ: يَقُولُ: يَا مَعْشَرَ أَهْلِ الْكِتَابِ، آمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ عَلَى مُحَمَّدٍ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ،
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang ayat ini, ia berkata: Allah berfirman: “Wahai golongan Ahli Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan kepada Muhammad, yang membenarkan apa yang ada pada kalian,
لِأَنَّهُمْ يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ،
karena mereka mendapati (sifat-sifatnya) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil.
وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ» أَيْ: أَوَّلَ مَنْ كَفَرَ بِمُحَمَّدٍ،
“Dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya,” yakni: orang pertama yang kafir kepada Muhammad.
وَ«لَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي» يَقُولُ: لَا تَأْخُذُوا عَلَيْهِ أَجْرًا،
“Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit,” maksudnya: jangan kalian mengambil upah (materi) atas ayat-ayat itu.
قَالَ: وَهُوَ مَكْتُوبٌ عِنْدَهُمْ فِي الْكِتَابِ الْأَوَّلِ: «يَا ابْنَ آدَمَ، عَلِّمْ مَجَّانًا كَمَا عُلِّمْتَ مَجَّانًا».
Ia berkata: Dan telah tertulis di sisi mereka dalam kitab yang pertama: “Wahai anak Adam, ajarkanlah secara cuma-cuma sebagaimana engkau diajari secara cuma-cuma.”
وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنْهُ قَالَ: «لَا تَأْخُذْ عَلَى مَا عَلَّمْتَ أَجْرًا، إِنَّمَا أَجْرُ الْعُلَمَاءِ وَالْحُكَمَاءِ وَالْحُلَمَاءِ عَلَى اللَّهِ».
Abu Syaikh meriwayatkan darinya (Abu al-‘Āliyah), ia berkata: “Janganlah engkau mengambil upah atas apa yang engkau ajarkan. Sesungguhnya pahala para ulama, para hakim, dan para orang bijak adalah atas (tanggungan) Allah.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ» قَالَ: لَا تَخْلِطُوا الصِّدْقَ بِالْكَذِبِ،
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Dan janganlah kalian campuradukkan yang benar dengan yang batil,” ia berkata: jangan kalian campurkan kejujuran dengan kedustaan.
وَ«تَكْتُمُوا الْحَقَّ» قَالَ: لَا تَكْتُمُوا الْحَقَّ، وَأَنْتُمْ قَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ.
“Dan kalian sembunyikan kebenaran,” ia berkata: jangan kalian sembunyikan kebenaran, padahal kalian telah mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «وَلَا تَلْبِسُوا» الْآيَةَ، قَالَ: لَا تَلْبِسُوا الْيَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ بِالْإِسْلَامِ،
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: “janganlah kalian campuradukkan…” (ayat ini), ia berkata: jangan kalian campuradukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan Islam.
وَ«تَكْتُمُوا الْحَقَّ» قَالَ: كَتَمُوا مُحَمَّدًا، وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ، يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ.
“Dan kalian sembunyikan kebenaran,” ia berkata: mereka menyembunyikan (sifat) Muhammad, padahal mereka tahu bahwa ia adalah Rasulullah; mereka mendapatinya tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ قَالَ: «الْحَقُّ»: التَّوْرَاةُ، وَ«الْبَاطِلُ»: الَّذِي كَتَبُوهُ بِأَيْدِيهِمْ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ia berkata: “Yang hak” adalah Taurat, dan “yang batil” adalah apa yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٨٧–٩٠)
Fathul Qadīr karya asy-Syaukānī – jilid 1 (hal. 87–90).

Catatan kaki

1 الْأَعْرَافُ: 23. Surah al-A‘rāf: ayat 23.

2 الْبَقَرَةُ: 63. Surah al-Baqarah: ayat 63 (tentang firman: “خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ”).

3 الْمَائِدَةُ: 12. Surah al-Mā’idah: ayat 12 (“وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ…”).

4 آلُ عِمْرَانَ: 187. Surah Āli ‘Imrān: ayat 187 (“وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ…”).

5 Rujukan kepada penjelasan sebelumnya dalam kitab ini tentang firman “إِيَّاكَ نَعْبُدُ” (al-Fātiḥah: 5), lihat pembahasan di halaman yang disebutkan dalam teks asli.

6 «أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ بَاطِلٌ، وَكُلُّ نَعِيمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلٌ». Bait syair Labīd secara lengkap: “Ketahuilah, segala sesuatu selain Allah adalah batil, dan setiap kenikmatan pasti akan lenyap.”

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7