Al Baqarah Ayat 30

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2) : آيَةٌ ٣٠]

وَإِذْ قالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ ۖ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (٣٠)
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan berbuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” ---
إِذْ مِنَ الظُّرُوفِ الْمَوْضُوعَةِ لِلتَّوْقِيتِ، وَهِيَ لِلْمَاضِي، وَ«إِذَا» لِلْمُسْتَقْبَلِ، وَقَدْ تُوضَعُ إِحْدَاهُمَا مَوْضِعَ الْأُخْرَى.
“Kata ‘idz’ termasuk zharaf (keterangan) yang diletakkan untuk penunjuk waktu; ia untuk masa lampau, sedangkan ‘idzā’ untuk masa yang akan datang. Namun terkadang salah satunya dipakai pada posisi yang lain.
وَقَالَ الْمُبَرِّدُ: هِيَ مَعَ الْمُسْتَقْبَلِ لِلْمَضِيِّ، وَ«إِذَا» مَعَ الْمَاضِي لِلِاسْتِقْبَالِ.
Al-Mubarrid berkata: “(Kata) ‘idz’ bila digunakan bersama fi‘il mudhāri‘ (bentuk sekarang/akan datang) maknanya menjadi lampau, dan ‘idzā’ bila digunakan bersama fi‘il māḍi (lampau) maknanya menjadi masa depan.”
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: إِنَّهَا هُنَا زَائِدَةٌ.
Abu ‘Ubaidah berkata: “Kata ‘idz’ di sini adalah tambahan (zā’idah).”
وَحَكَاهُ الزَّجَّاجُ وَابْنُ النَّحَّاسِ، وَقَالَا: هِيَ ظَرْفُ زَمَانٍ لَيْسَتْ مِمَّا يُزَادُ،
Hal itu dinukil oleh az-Zajjāj dan Ibnu an-Nahhās, lalu mereka berdua berkata: “Ia adalah zharaf zaman (keterangan waktu), bukan termasuk yang bisa dianggap sebagai tambahan.”
وَهِيَ هُنَا فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ بِتَقْدِيرِ «اذْكُرْ» أَوْ بِـ «قالَ»، وَقِيلَ: هُوَ مُتَعَلِّقٌ بِـ «خَلَقَ لَكُمْ»، وَلَيْسَ بِظَاهِرٍ.
Kata “idz” di sini berada pada posisi manshub dengan takdir (kata yang dihapus): “Udzkur” (ingatlah), atau oleh fi‘il “qāla” (telah berfirman). Ada pula yang mengatakan ia terkait dengan “khalaqa lakum” (Dia menciptakan untuk kalian), namun ini tidak tampak kuat.
وَالْمَلَائِكَةُ جَمْعُ «مَلَكٍ» بِوَزْنِ «فَعَلٍ»، قَالَهُ ابْنُ كَيْسَانَ،
“Al-malā’ikah” adalah bentuk jamak dari “malak” dengan wazan “fa‘al”; demikian dikatakan oleh Ibnu Kaysān.
وَقِيلَ: جَمْعُ «مَلْأَكٍ» بِوَزْنِ «مَفْعَلٍ»، قَالَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ، مِنْ «لَأَكَ» إِذَا أَرْسَلَ، وَ«الْأَلُوكَةُ»: الرِّسَالَةُ.
Ada juga yang mengatakan: ia adalah bentuk jamak dari “mal‘ak” dengan wazan “maf‘al”; demikian dikatakan oleh Abu ‘Ubaidah, berasal dari kata “la’aka” jika mengutus (mengirim). Adapun “al-alūkah” berarti risalah (pesan/utusan).
قَالَ لَبِيدٌ:
Labid berkata:
وَغُلَامٍ أَرْسَلَتْهُ أُمُّهُ … بِأَلُوكٍ فَبَذَلْنَا مَا سَأَلْ
“Dan seorang pemuda yang diutus oleh ibunya dengan membawa pesan, lalu kami pun memberikan apa yang dimintanya.”
وَقَالَ عَدِيُّ بْنُ زَيْدٍ:
‘Adi bin Zaid berkata:
أَبْلِغِ النُّعْمَانَ عَنِّي مَأْلَكًا … أَنَّهُ قَدْ طَالَ حَبْسِي وَانْتِظَارِي «1»
“Sampaikanlah kepada an-Nu‘man dariku seorang utusan, bahwa penahananku dan penantianku telah begitu lama.”1
وَيُقَالُ: «أَلِكْنِي» أَيْ: أَرْسِلْنِي.
Dan dikatakan: “Aliknī”, artinya: utuslah aku.
وَقَالَ النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ: لَا اشْتِقَاقَ لِمَلَكٍ عِنْدَ الْعَرَبِ،
An-Nadhr bin Syumail berkata: “Kata ‘malak’ tidak memiliki asal-usul (derivasi) menurut orang Arab.”
وَالْهَاءُ فِي «الْمَلَائِكَةِ» تَأْكِيدٌ لِتَأْنِيثِ الْجَمْعِ، وَمِثْلُهُ «الصُّلَادِمَةُ»، وَ«الصُّلَادِمُ»: الْخَيْلُ الشِّدَادُ، وَاحِدُهَا «صَلْدَمٌ».
Huruf hā’ pada kata “al-malā’ikah” adalah penegas bagi bentuk jamak muannats (perempuan). Yang semisal dengannya adalah “aṣ-ṣulādimah”; “aṣ-ṣulādim” adalah kuda-kuda yang kuat; bentuk tunggalnya “ṣaldam”.
وَقِيلَ: هِيَ لِلْمُبَالَغَةِ كَـ «عَلَّامَةٍ» وَ«نَسَّابَةٍ».
Ada juga yang mengatakan: huruf itu untuk menunjukkan makna berlebihan (mubālaghah), seperti pada kata “‘allāmah” (sangat alim) dan “nassābah” (sangat ahli nasab).
وَ«جاعِلٌ» هُنَا مَنْ جَعَلَ الْمُتَعَدِّي إِلَى مَفْعُولَيْنِ.
Kata “jā‘il” di sini adalah bentuk “menjadikan” yang bertransitif kepada dua objek.
وَذَكَرَ الْمُطَرِّزِيُّ أَنَّهُ بِمَعْنَى «خَالِقٍ»، وَذَلِكَ يَقْتَضِي أَنَّهُ مُتَعَدٍّ إِلَى مَفْعُولٍ وَاحِدٍ.
Al-Muṭarrizi menyebutkan bahwa ia bermakna “khāliq” (pencipta), dan ini menuntut bahwa ia hanya bertransitif kepada satu objek.
وَالْأَرْضِ هُنَا: هِيَ هَذِهِ الْغَبْرَاءُ، وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِمَكَانٍ دُونَ مَكَانٍ.
Yang dimaksud “al-ardh” di sini adalah bumi yang kita pijak ini, dan hal itu tidak khusus pada satu tempat tertentu saja tanpa tempat lain.
وَقِيلَ: إِنَّهَا مَكَّةُ.
Ada yang mengatakan: yang dimaksud adalah Makkah.
وَالْخَلِيفَةُ هُنَا مَعْنَاهُ: الْخَالِفُ لِمَنْ كَانَ قَبْلَهُ مِنَ الْمَلَائِكَةِ،
Kata “khalīfah” di sini maknanya: yang menggantikan makhluk yang sebelumnya, yaitu para malaikat.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بِمَعْنَى «الْمَخْلُوفِ»: أَيْ يَخْلُفُهُ غَيْرُهُ.
Dan boleh pula bermakna “yang digantikan”, yakni yang akan digantikan oleh selainnya.
قِيلَ: هُوَ آدَمُ، وَقِيلَ: كُلُّ مَنْ لَهُ خِلَافَةٌ فِي الْأَرْضِ،
Ada yang berkata: yang dimaksud adalah Adam. Ada juga yang berkata: setiap yang memiliki kedudukan sebagai khalifah di bumi.
وَيُقَوِّي الْأَوَّلَ قَوْلُهُ «خَلِيفَةً» دُونَ «خَلَائِفَ»، وَاسْتَغْنَى بِآدَمَ عَنْ ذِكْرِ مَنْ بَعْدَهُ.
Yang menguatkan pendapat pertama adalah penggunaan kata tunggal “khalīfah”, bukan jamak “khalā’if”, dan Allah mencukupkan dengan menyebut Adam tanpa menyebut siapa yang datang setelahnya.
قِيلَ: خَاطَبَ اللَّهُ الْمَلَائِكَةَ بِهَذَا الْخِطَابِ لَا لِلْمَشُورَةِ، وَلَكِنْ لِاسْتِخْرَاجِ مَا عِنْدَهُمْ،
Ada yang berkata: Allah berbicara kepada para malaikat dengan khithab ini bukan untuk meminta saran, melainkan untuk mengeluarkan (menampakkan) apa yang ada pada mereka.
وَقِيلَ: خَاطَبَهُمْ بِذَلِكَ لِأَجْلِ أَنْ يَصْدُرَ مِنْهُمْ ذَلِكَ السُّؤَالُ فَيُجَابُوا بِذَلِكَ الْجَوَابِ،
Ada juga yang mengatakan: Allah menyapa mereka demikian agar pertanyaan itu keluar dari mereka, lalu mereka diberi jawaban seperti yang tersebut dalam ayat.
وَقِيلَ: لِأَجْلِ تَعْلِيمِ عِبَادِهِ مَشْرُوعِيَّةَ الْمُشَاوَرَةِ لَهُمْ.
Dan ada pula yang berkata: tujuannya untuk mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya disyariatkannya musyawarah bagi mereka.
وَأَمَّا قَوْلُهُمْ: ﴿أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا﴾ فَظَاهِرُهُ أَنَّهُمْ اسْتَنْكَرُوا اسْتِخْلَافَ بَنِي آدَمَ فِي الْأَرْضِ لِكَوْنِهِمْ مَظِنَّةً لِلْإِفْسَادِ فِي الْأَرْضِ،
Adapun ucapan mereka: “Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan berbuat kerusakan di dalamnya,” secara lahir menunjukkan bahwa mereka menganggap janggal pengangkatan Bani Adam sebagai khalifah di bumi, karena manusia berpotensi besar untuk membuat kerusakan di bumi.
وَإِنَّمَا قَالُوا هَذِهِ الْمَقَالَةَ قَبْلَ أَنْ يَتَقَدَّمَ لَهُمْ مَعْرِفَةٌ بِبَنِي آدَمَ، بَلْ قَبْلَ وُجُودِ آدَمَ فَضْلًا عَنْ ذُرِّيَّتِهِ،
Mereka mengucapkan hal ini sebelum mereka memiliki pengetahuan (langsung) tentang Bani Adam, bahkan sebelum Adam sendiri ada, apalagi keturunannya.
لِعِلْمٍ قَدْ عَلِمُوهُ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ، لِأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ، قَالَ بِهَذَا جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ.
Namun mereka mengetahui hal itu dari Allah Subhanahu wa Ta‘ala dengan suatu cara, karena malaikat tidak mengetahui perkara gaib. Pendapat ini dikatakan oleh sekelompok mufasir.
وَقَالَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ: إِنَّ فِي الْكَلَامِ حَذْفًا، وَالتَّقْدِيرُ: «إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً يَفْعَلُ كَذَا وَكَذَا»،
Sebagian mufasir berkata: Dalam kalimat ini terdapat kata yang dihapus; takdirnya: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah yang akan berbuat begini dan begitu,”
فَقَالُوا: ﴿أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا﴾.
maka para malaikat pun berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan di sana orang yang akan berbuat kerusakan di dalamnya ...”
وَقَوْلُهُ: ﴿يُفْسِدُ﴾ قَائِمٌ مَقَامَ الْمَفْعُولِ الثَّانِي.
Kata kerja “yufsid(u)” (berbuat kerusakan) menduduki posisi maf‘ūl kedua yang dihapus.
وَالْفَسَادُ: ضِدُّ الصَّلَاحِ،
Al-fasād (kerusakan) adalah lawan dari aṣ-ṣalāḥ (kebaikan/kelurusan).
وَسَفْكُ الدَّمِ: صَبُّهُ، قَالَهُ ابْنُ فَارِسٍ وَالْجَوْهَرِيُّ.
As-safk (menumpahkan) darah artinya mencurahkannya; demikian dikatakan oleh Ibnu Faris dan al-Jauhari.
وَلَا يُسْتَعْمَلُ «السَّفْكُ» إِلَّا فِي الدَّمِ،
Kata “safk” tidak digunakan kecuali untuk darah.
وَوَاحِدُ «الدِّمَاءِ» «دَمٌ»، وَأَصْلُهُ «دَمِيَ»، حُذِفَتْ لَامُهُ.
Bentuk tunggal “ad-dimā’” adalah “dam(un)”, asal katanya “damiy(a)” yang huruf lām fi‘il-nya (yā’) dihapus.
وَجُمْلَةُ: ﴿وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ﴾ حَالِيَّةٌ.
Kalimat: “Dan kami bertasbih dengan memuji-Mu” adalah kalimat ḥāl (menjelaskan keadaan mereka saat bertanya).
وَالتَّسْبِيحُ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ: «التَّنْزِيهُ وَالتَّبْعِيدُ مِنَ السُّوءِ عَلَى وَجْهِ التَّعْظِيمِ».
At-tasbīḥ dalam bahasa Arab adalah mensucikan dan menjauhkan (Allah) dari segala keburukan dengan cara pengagungan.
قَالَ الْأَعْشَى:
Al-A‘syā berkata:
أَقُولُ لَمَّا جَاءَنِي فَخْرُهُ … سُبْحَانَ مِنْ عَلْقَمَةَ الْفَاخِرِ
“Aku berkata ketika kesombongannya sampai kepadaku: ‘Mahasuci (jauh dari cela) si ‘Alqamah yang suka membanggakan diri itu.’”
وَ«بِحَمْدِكَ» فِي مَوْضِعِ الْحَالِ، أَيْ: حَامِدِينَ لَكَ، وَقَدْ تَقَدَّمَ مَعْنَى «الْحَمْدِ».
Frasa “biḥamdik(a)” berada pada posisi ḥāl, artinya: dalam keadaan memuji-Mu. Makna “al-ḥamd” telah dijelaskan sebelumnya.
وَالتَّقْدِيسُ: التَّطْهِيرُ، أَيْ: وَنُطَهِّرُكَ عَمَّا لَا يَلِيقُ بِكَ مِمَّا نَسَبَهُ إِلَيْكَ الْمُلْحِدُونَ وَافْتَرَاهُ الْجَاحِدُونَ.
At-taqdīs adalah pensucian, yakni: “Kami mensucikan-Mu dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Mu, dari apa yang dinisbatkan kepada-Mu oleh kaum mulhid dan yang diada-adakan oleh orang-orang yang mengingkari.”
وَذَكَرَ فِي «الْكَشَّافِ» أَنَّ مَعْنَى التَّسْبِيحِ وَالتَّقْدِيسِ وَاحِدٌ، وَهُوَ «تَبْعِيدُ اللَّهِ مِنَ السُّوءِ»،
Dalam al-Kasysyāf disebutkan bahwa makna tasbih dan taqdis adalah satu, yaitu menjauhkan (mensucikan) Allah dari segala keburukan.
وَأَنَّهُمَا مِنْ «سَبَحَ فِي الْأَرْضِ وَالْمَاءِ»، وَ«قَدَّسَ فِي الْأَرْضِ»: إِذَا ذَهَبَ فِيهَا وَأَبْعَدَ.
Dan keduanya (secara etimologi) berasal dari kata “sabaḥa fil-arḍi wal-mā’” (berenang/bergerak jauh di bumi dan air), dan “qaddasa fil-arḍi” bila seseorang pergi jauh di bumi.
وَفِي «الْقَامُوسِ» وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ اللُّغَةِ مَا يُرْشِدُ إِلَى مَا ذَكَرْنَاهُ،
Dalam al-Qāmūs dan kitab-kitab bahasa lainnya terdapat penjelasan yang mengarah kepada apa yang telah kami sebutkan.
وَالتَّأْسِيسُ خَيْرٌ مِنَ التَّأْكِيدِ، خُصُوصًا فِي كَلَامِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
Dan menjadikan (dua lafaz) itu sebagai landasan makna yang berbeda (ta’sīs) lebih utama daripada menganggapnya sekadar penguatan (ta’kīd), terutama dalam kalam Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
وَلَمَّا كَانَ سُؤَالُهُمْ وَاقِعًا عَلَى صِفَةٍ تَسْتَلْزِمُ إِثْبَاتَ شَيْءٍ مِنَ الْعِلْمِ لِأَنْفُسِهِمْ، أَجَابَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ: ﴿إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾،
Ketika pertanyaan mereka mengandung sifat yang mengisyaratkan seolah-olah mereka memiliki sebagian pengetahuan, Allah Subhanahu wa Ta‘ala menjawab mereka dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
وَفِي هَذَا الْإِجْمَالِ مَا يُغْنِي عَنِ التَّفْصِيلِ،
Dalam jawaban yang ringkas ini sudah cukup tanpa perlu penjelasan terperinci,
لِأَنَّ مَنْ عَلِمَ مَا لَا يَعْلَمُ الْمُخَاطَبُ لَهُ كَانَ حَقِيقًا بِأَنْ يُسَلِّمَ لَهُ مَا يَصْدُرُ عَنْهُ،
karena siapa yang mengetahui apa yang tidak diketahui oleh pihak yang diajak bicara, pantas untuk diserahi dan diterima segala ketetapan yang berasal darinya.
وَعَلَى مَنْ لَا يَعْلَمُ أَنْ يَعْتَرِفَ لِمَنْ يَعْلَمُ بِأَنَّ أَفْعَالَهُ صَادِرَةٌ عَلَى مَا يُوجِبُهُ الْعِلْمُ، وَتَقْتَضِيهِ الْمَصْلَحَةُ الرَّاجِحَةُ وَالْحِكْمَةُ الْبَالِغَةُ.
Dan bagi yang tidak tahu, wajib mengakui bahwa tindakan-tindakan Dzat yang Maha Tahu itu muncul sesuai dengan tuntutan ilmu-Nya, dan sesuai dengan kemaslahatan yang lebih kuat serta hikmah yang sempurna.
وَلَمْ يُذْكَرْ مُتَعَلِّقُ قَوْلِهِ: «تَعْلَمُونَ» لِيُفِيدَ التَّعْمِيمَ،
Tidak disebutkannya objek dari kata “ta‘lamūn(a)” (kalian ketahui) bertujuan memberi makna umum,
وَيَذْهَبَ السَّامِعُ عِنْدَ ذَلِكَ كُلَّ مَذْهَبٍ، وَيَعْتَرِفَ بِالْعَجْزِ وَيُقِرَّ بِالْقُصُورِ.
sehingga pendengar menganggap mencakup segala sesuatu, lalu mengakui ketidakmampuan dirinya dan mengakui kekurangannya.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٧٥)
Fathul Qadîr karya asy-Syaukani – Jilid 1 (hlm. 75).
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
‘Abdur Razzaq, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
إِنَّ اللَّهَ أَخْرَجَ آدَمَ مِنَ الْجَنَّةِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَهُ، ثُمَّ قَرَأَ: ﴿إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾.
“Sesungguhnya Allah telah mengeluarkan Adam dari surga sebelum Dia menciptakannya.” Lalu Ibnu ‘Abbas membaca (ayat): “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”
وَأَخْرَجَ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنْهُ أَيْضًا نَحْوَهُ، وَزَادَ:
Al-Hakim meriwayatkan dan mensahihkannya dari Ibnu ‘Abbas dengan makna yang serupa, dan ia menambahkan:
وَقَدْ كَانَ فِيهَا قَبْلَ أَنْ يُخْلَقَ بِأَلْفَيْ عَامٍ «الْجِنُّ بَنُو الْجَانِّ»، فَأَفْسَدُوا فِي الْأَرْضِ وَسَفَكُوا الدِّمَاءَ،
“Dan sungguh sebelum Adam diciptakan, selama dua ribu tahun di bumi telah ada para jin, keturunan al-Jān. Mereka membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah.”
فَلَمَّا أَفْسَدُوا فِي الْأَرْضِ بَعَثَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ جُنُودًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ، فَضَرَبُوهُمْ حَتَّى أَلْحَقُوهُمْ بِجَزَائِرِ الْبُحُورِ،
Ketika mereka membuat kerusakan di bumi, Allah mengutus pasukan dari para malaikat untuk (memerangi) mereka, sehingga para malaikat itu memukul mereka hingga mereka terusir ke pulau-pulau di lautan.
فَلَمَّا قَالَ اللَّهُ: ﴿إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾ قالُوا: ﴿أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ﴾ كَمَا فَعَلَ أُولَئِكَ الْجَانُّ؟
Maka ketika Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi,” para malaikat berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, seperti perbuatan para jin sebelumnya itu?”
فَقَالَ اللَّهُ: ﴿إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾.
Maka Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَمْرٍو مِثْلَهُ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Amr riwayat yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَطْوَلَ مِنْهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan riwayat yang lebih panjang daripada ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ عَسَاكِرَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَنَاسٍ مِنَ الصَّحَابَةِ قَالُوا:
Ibnu Jarir dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud dan sejumlah sahabat, mereka berkata:
لَمَّا فَرَغَ اللَّهُ مِنْ خَلْقِ مَا أَحَبَّ، اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ، فَجَعَلَ إِبْلِيسَ عَلَى مُلْكِ سَمَاءِ الدُّنْيَا،
“Ketika Allah telah selesai menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia beristiwa’ di atas Arsy, lalu Dia menjadikan Iblis sebagai penguasa kerajaan langit dunia.
وَكَانَ مِنْ قَبِيلَةٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ يُقَالُ لَهُمُ «الْجِنُّ»، وَإِنَّمَا سُمُّوا «الْجِنَّ» لِأَنَّهُمْ خُزَّانُ الْجَنَّةِ،
Ia termasuk satu kabilah dari malaikat yang disebut ‘al-jin’. Mereka dinamai ‘jin’ karena mereka adalah penjaga surga.
وَكَانَ إِبْلِيسُ مَعَ مُلْكِهِ خَازِنًا،
Iblis, di samping kekuasaannya, juga adalah seorang penjaga (khāzin).
فَوَقَعَ فِي صَدْرِهِ كِبْرٌ، وَقَالَ: مَا أَعْطَانِي اللَّهُ هَذَا إِلَّا لِمَزِيَّةٍ لِي،
Lalu timbul kesombongan di dalam dadanya, dan ia berkata: “Allah tidak memberiku kedudukan ini kecuali karena aku memiliki keistimewaan.”
فَاطَّلَعَ اللَّهُ عَلَى ذَلِكَ مِنْهُ، فَقَالَ لِلْمَلَائِكَةِ: ﴿إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾،
Maka Allah pun mengetahui (menyingkap) apa yang ada padanya, lalu Dia berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”
قَالُوا: رَبَّنَا! وَمَا يَكُونُ ذَلِكَ الْخَلِيفَةُ؟ قَالَ: يَكُونُ لَهُ ذُرِّيَّةٌ، يُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ، وَيَتَحَاسَدُونَ، وَيَقْتُلُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا،
Mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, seperti apakah khalifah itu?” Allah berfirman: “Ia akan memiliki keturunan yang akan membuat kerusakan di bumi, saling dengki, dan sebagian mereka akan membunuh sebagian yang lain.”
قَالُوا: رَبَّنَا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ؟ قالَ: ﴿إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾.
Mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan berbuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan riwayat yang serupa.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي الْآيَةِ قَالَ:
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, tentang ayat ini, ia berkata:
قَدْ عَلِمَتِ الْمَلَائِكَةُ وَعَلِمَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا شَيْءَ أَكْرَهُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ سَفْكِ الدِّمَاءِ وَالْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ.
“Para malaikat telah mengetahui — dan Allah pun mengetahui — bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih dibenci Allah selain penumpahan darah dan kerusakan di bumi.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالرَّأْيَ، فَإِنَّ اللَّهَ رَدَّ الرَّأْيَ عَلَى الْمَلَائِكَةِ،
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Waspadalah kalian terhadap (mendahulukan) pendapat (akal tanpa dalil), karena Allah telah menolak pendapat para malaikat.”
وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ قَالَ: ﴿إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: ﴿أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا﴾، قَالَ: ﴿إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾.
Hal itu karena Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” Para malaikat berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan berbuat kerusakan di dalamnya?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٧٦)
Fathul Qadîr karya asy-Syaukani – Jilid 1 (hlm. 76).
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ عَسَاكِرَ عَنْ أَبِي سَابِطٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari Abu Sabith bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«دُحِيَتِ الْأَرْضُ مِنْ مَكَّةَ، وَكَانَتِ الْمَلَائِكَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ، فَهِيَ أَوَّلُ مَنْ طَافَ بِهِ، وَهِيَ الْأَرْضُ الَّتِي قَالَ اللَّهُ: ﴿إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾».
“Bumi itu dihamparkan (disebarkan) dari Makkah, dan para malaikat dahulu thawaf mengelilingi Ka‘bah; mereka adalah yang pertama kali thawaf di sekelilingnya. Dan itulah bumi yang dimaksud Allah dalam firman-Nya: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.’”
قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ: وَهَذَا مُرْسَلٌ فِي سَنَدِهِ ضَعْفٌ، وَفِيهِ مُدْرَجٌ، وَهُوَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأَرْضِ مَكَّةُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأَرْضِ أَعَمُّ مِنْ ذَلِكَ. انْتَهَى.
Ibnu Katsir berkata: “Hadis ini mursal dan dalam sanadnya terdapat kelemahan, serta di dalamnya ada bagian yang disisipkan (mudraj), yaitu anggapan bahwa yang dimaksud dengan ‘bumi’ adalah Makkah. Yang tampak jelas, yang dimaksud dengan ‘bumi’ itu lebih umum dari sekadar Makkah.” Selesai.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: «التَّسْبِيحُ وَالتَّقْدِيسُ فِي الْآيَةِ هُوَ الصَّلَاةُ».
‘Abdur Razzaq, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata: “Yang dimaksud tasbih dan taqdis dalam ayat ini adalah salat.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي كِتَابِ «التَّوْبَةِ» عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab at-Taubah meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ أَوَّلَ مَنْ لَبَّى الْمَلَائِكَةُ؛ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿إِنِّي جاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً﴾، قالُوا: ﴿أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ﴾، قَالَ: فَرَدُّوهُ، فَأَعْرَضَ عَنْهُمْ، فَطَافُوا بِالْعَرْشِ سِتَّ سِنِينَ يَقُولُونَ: لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ اعْتِذَارًا إِلَيْكَ، لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوبُ إِلَيْكَ».
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya makhluk pertama yang bertalbiyah adalah para malaikat. Allah Ta‘ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.’ Mereka berkata: ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang berbuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah?’ Maka mereka ‘mengembalikan’ (ucapan itu kepada-Nya), lalu Allah berpaling dari mereka. Maka mereka thawaf mengelilingi Arsy selama enam tahun sambil berkata: ‘Labbaik, labbaik, sebagai bentuk permohonan maaf kepada-Mu; labbaik, labbaik, labbaik; kami memohon ampun kepada-Mu dan bertobat kepada-Mu.’”
وَثَبَتَ فِي «الصَّحِيحِ» مِنْ حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «أَحَبُّ الْكَلَامِ إِلَى اللَّهِ مَا اصْطَفَاهُ لِمَلَائِكَتِهِ: سُبْحَانَ رَبِّي وَبِحَمْدِهِ».
Dan telah tetap dalam Shahih dari hadis Abu Dzar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ucapan yang paling dicintai Allah adalah yang Dia pilih untuk para malaikat-Nya: ‘Subḥāna rabbī wa biḥamdih (Mahasuci Tuhanku dan dengan memuji-Nya).’”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَنَاسٍ مِنَ الصَّحَابَةِ فِي قَوْلِهِ: ﴿وَنُقَدِّسُ لَكَ﴾ قَالَ: نُصَلِّي لَكَ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud dan sejumlah sahabat, tentang firman-Nya: “wa nuqaddisu lak(a)” (dan kami mensucikan-Mu), ia berkata: “(Maksudnya) kami salat untuk-Mu.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «التَّقْدِيسُ: التَّطْهِيرُ».
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Taqdis adalah pensucian.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿وَنُقَدِّسُ لَكَ﴾ قَالَ: نُعَظِّمُكَ وَنُكَبِّرُكَ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, tentang firman-Nya: “wa nuqaddisu lak(a)”, ia berkata: “(Maksudnya) kami mengagungkan dan membesarkan-Mu.”
وَأَخْرَجَا عَنْ أَبِي صَالِحٍ قَالَ: نُعَظِّمُكَ وَنُمَجِّدُكَ.
Keduanya (Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir) juga meriwayatkan dari Abu Shalih, ia berkata: “(Maksudnya) kami mengagungkan dan memuliakan-Mu.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ﴾ قَالَ: عَلِمَ مِنْ إِبْلِيسَ الْمَعْصِيَةَ، وَخَلَقَهُ لَهَا.
‘Abdur Razzaq, Sa‘id bin Manshur, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, tentang firman-Nya: “A‘lamu mā lā ta‘lamūn(a) (Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui),” ia berkata: “Allah mengetahui adanya kemaksiatan pada diri Iblis, dan Dia menciptakannya untuk hal itu (yakni mengujinya dengan perintah).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي تَفْسِيرِهَا قَالَ: كَانَ فِي عِلْمِ اللَّهِ أَنَّهُ سَيَكُونُ مِنَ الْخَلِيفَةِ أَنْبِيَاءٌ وَرُسُلٌ وَقَوْمٌ صَالِحُونَ وَسَاكِنُو الْجَنَّةِ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, tentang tafsir ayat ini, ia berkata: “Dalam ilmu Allah telah diketahui bahwa dari (keturunan) khalifah itu akan ada para nabi, rasul, kaum yang saleh, dan para penghuni surga.”
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ حِبَّانَ فِي «صَحِيحِهِ» وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الشُّعَبِ» عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ:
Ahmad, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ آدَمَ لَمَّا أَهْبَطَهُ اللَّهُ إِلَى الْأَرْضِ، قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ: أَيْ رَبِّ! أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ؟» الْآيَةَ، «قَالُوا: رَبَّنَا نَحْنُ أَطْوَعُ لَكَ مِنْ بَنِي آدَمَ».
“Sesungguhnya ketika Allah menurunkan Adam ke bumi, para malaikat berkata: ‘Wahai Rabb kami, apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah?’” — hingga akhir ayat. “Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami, kami lebih taat kepada-Mu daripada Bani Adam.’”
قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ: «هَلُمُّوا مَلَكَيْنِ مِنَ الْمَلَائِكَةِ، حَتَّى يَهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ فَنَنْظُرَ كَيْفَ يَعْمَلَانِ؟»
Allah berfirman kepada para malaikat-Nya: “Bawalah dua malaikat dari kalangan malaikat, agar keduanya turun ke bumi, lalu kita perhatikan bagaimana mereka beramal.”
فَقَالُوا: «رَبَّنَا! هَارُوتُ وَمَارُوتُ»، قَالَ: «فَاهْبِطَا إِلَى الْأَرْضِ»، فَتَمَثَّلَتْ لَهُمَا الزُّهْرَةُ امْرَأَةً مِنْ أَحْسَنِ الْبَشَرِ …»
Mereka berkata: “Wahai Rabb kami, (pilihlah) Hārūt dan Mārūt.” Allah berfirman: “Maka turunlah kalian berdua ke bumi.” Lalu Zuhrah (planet Venus) menjelma bagi keduanya dalam rupa seorang wanita yang paling cantik dari kalangan manusia ...” — dan Nabi menyebutkan kelanjutan kisahnya.
وَقَدْ ثَبَتَ فِي كُتُبِ الْحَدِيثِ الْمُعْتَبَرَةِ أَحَادِيثُ مِنْ طَرِيقِ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ فِي صِفَةِ خَلْقِهِ سُبْحَانَهُ لِآدَمَ، وَهِيَ مَوْجُودَةٌ، فَلَا نُطَوِّلُ بِذِكْرِهَا.
Dalam kitab-kitab hadis yang diakui (keabsahannya) terdapat hadis-hadis dari berbagai sahabat tentang sifat penciptaan Adam oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Hadis-hadis itu sudah diketahui dan bisa ditemukan, maka kami tidak memperpanjang penjelasan dengan menyebutkannya di sini. ---

1 يُرْوَى أَيْضًا: «إِنَّنِي قَدْ طَالَ حَبْسِي وَانْتِظَارِي» Dalam riwayat lain bait syair itu berbunyi: “innani qad ṭāla ḥabsī wantiẓārī” sebagai ganti “annahu qad ṭāla ḥabsī wantiẓārī”.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7