Al Baqarah Ayat 3
[سُورَةُ البَقَرَةِ (2) : آيَةٌ 3]
[Surat Al-Baqarah (2): Ayat 3] ---
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلٰاةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ (3)
(Yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (3) ---هُوَ مَعْطُوفٌ عَلَى «يُؤْمِنُونَ»، وَالإِقَامَةُ فِي الأَصْلِ: الدَّوَامُ وَالثَّبَاتُ.
Frasa ini di-‘athaf-kan (dikoordinasikan) kepada “yu’minūn”, dan makna dasar “al-iqāmah” adalah kesinambungan dan keteguhan. ---يُقَالُ: قَامَ الشَّيْءُ، أَيْ دَامَ وَثَبَتَ.
Dikatakan: “qāma asy-syay’u”, artinya: terus-menerus dan tetap (kokoh). ---وَلَيْسَ مِنَ الْقِيَامِ عَلَى الرِّجْلِ، وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ قَوْلِكَ: قَامَ الْحَقُّ، أَيْ ظَهَرَ وَثَبَتَ،
Dan ia bukan dari makna “berdiri di atas kaki”, tetapi dari ucapanmu: “qāma al-ḥaqqu”, artinya: kebenaran itu tampak dan tegak (kokoh). ---قَالَ الشَّاعِرُ:
Seorang penyair berkata: ---وَقَامَتِ الْحَرْبُ بِنَا عَلَىٰ سَاقٍ
“Perang berdiri menimpa kami di atas betis (yakni berkobar hebat).” ---وَقَالَ آخَرُ:
Dan penyair lain berkata: ---وَإِذَا يُقَالُ أَتَيْتُمْ لَمْ يَبْرَحُوا … حَتَّىٰ تُقِيمَ الْخَيْلُ سُوقَ طِعَانِ
“Dan ketika dikatakan: ‘Kalian telah datang’, mereka tak beranjak, hingga kuda-kuda mendirikan pasar tikam-menikam (yakni hingga pertempuran memuncak).” ---وَإِقَامَةُ الصَّلٰاةِ: أَدَاؤُهَا بِأَرْكَانِهَا وَسُنَنِهَا وَهَيْئَاتِهَا فِي أَوْقَاتِهَا.
Adapun mendirikan salat adalah menunaikannya dengan rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya, dan tata caranya pada waktu-waktu yang telah ditentukan. ---وَالصَّلٰاةُ أَصْلُهَا فِي اللُّغَةِ: الدُّعَاءُ، مِنْ «صَلَّىٰ يُصَلِّي» إِذَا دَعَا.
Sedangkan “ṣalāh” asal maknanya dalam bahasa adalah doa, dari fi’il “ṣallā – yuṣallī” apabila seseorang berdoa. ---وَقَدْ ذَكَرَ هٰذَا الْجَوْهَرِيُّ وَغَيْرُهُ.
Hal ini disebutkan oleh Al-Jauharī dan selainnya. ---وَقَالَ قَوْمٌ: هِيَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الصَّلَا، وَهُوَ عِرْقٌ فِي وَسَطِ الظَّهْرِ، وَيَفْتَرِقُ عِنْدَ الْعَجْبِ.
Sebagian ulama berkata: Kata ṣalāh diambil dari “aṣ-ṣalā”, yaitu sebuah urat di tengah punggung yang bercabang di dekat tulang ekor. ---وَمِنْهُ أُخِذَ «الْمُصَلِّي» فِي سَبْقِ الْخَيْلِ، لِأَنَّهُ يَأْتِي فِي الْحَلْبَةِ وَرَأْسُهُ عِنْدَ صَلَا السَّابِقِ،
Dari kata itu diambil istilah “al-muṣallī” dalam perlombaan kuda, karena ia (kuda kedua) datang di arena sedangkan kepalanya sejajar dengan “aṣ-ṣalā” (punggung belakang) kuda yang juara pertama. ---فَاشْتُقَّتْ مِنْهُ الصَّلٰاةُ لِأَنَّهَا ثَانِيَةٌ لِلْإِيمَانِ، فَشُبِّهَتْ بِالْمُصَلِّي مِنَ الْخَيْلِ.
Maka dari sinilah ṣalāh diturunkan (diambil), karena ia menempati urutan kedua setelah iman; sehingga diserupakan dengan “al-muṣallī” dari kuda (yang menempati posisi kedua). ---وَإِمَّا لِأَنَّ الرَّاكِعَ يُثْنِي صَلْوَيْهِ، وَالصَّلَا: مَغْرِزُ الذَّنَبِ مِنَ الْفَرَسِ، وَالاِثْنَانِ صَلْوَانِ،
Atau karena orang yang rukuk melipat kedua “ṣalway”-nya; sedangkan “aṣ-ṣalā” adalah tempat tumbuhnya ekor pada kuda, dan dua di antaranya disebut “ṣalwān”. ---وَالْمُصَلِّي: تَالِي السَّابِقِ، لِأَنَّ رَأْسَهُ عِنْدَ صَلْوِهِ.
Dan “al-muṣallī” adalah kuda yang berada tepat di belakang pemenang, karena kepalanya sejajar dengan “ṣalā”-nya (punggung belakang) kuda pemenang. ---ذَكَرَ هٰذَا الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ.
Penjelasan ini disebutkan oleh Al-Qurṭubī dalam tafsirnya. ---وَقَدْ ذُكِرَ الْمَعْنَى الثَّانِي فِي «الْكَشَّافِ»، هٰذَا الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ.
Makna kedua ini juga disebutkan dalam Al-Kasysyāf; inilah makna secara kebahasaan. ---وَأَمَّا الْمَعْنَى الشَّرْعِيُّ: فَهُوَ هٰذِهِ الصَّلٰاةُ الَّتِي هِيَ ذَاتُ الأَرْكَانِ وَالأَذْكَارِ.
Adapun makna syar‘inya adalah salat ini, yang memiliki rukun-rukun dan zikir-zikir tertentu. ---وَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ: هَلْ هِيَ مُبْقَاةٌ عَلَىٰ أَصْلِهَا اللُّغَوِيِّ، أَوْ مَوْضُوعَةٌ وَضْعًا شَرْعِيًّا ابْتِدَائِيًّا؟
Para ulama berbeda pendapat: apakah kata salat itu masih dipertahankan pada makna bahasa asalnya, ataukah ia dijadikan sebagai istilah syar‘i yang baru sama sekali? ---فَقِيلَ بِالأَوَّلِ، وَإِنَّمَا جَاءَ الشَّرْعُ بِزِيَادَاتٍ، هِيَ الشُّرُوطُ وَالْفُرُوضُ الثَّابِتَةُ فِيهَا.
Sebagian berpendapat dengan yang pertama; hanya saja syariat datang dengan tambahan-tambahan, yaitu syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang tetap di dalamnya. ---وَقَالَ قَوْمٌ بِالثَّانِي.
Dan sekelompok ulama lain berpendapat dengan yang kedua (yakni bahwa ia istilah syar‘i baru). ---وَالرِّزْقُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ: مَا صَلَحَ لِلانْتِفَاعِ بِهِ، حَلَالًا كَانَ أَوْ حَرَامًا، خِلَافًا لِلْمُعْتَزِلَةِ.
Adapun “rizq” menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah segala sesuatu yang layak dimanfaatkan, baik halal maupun haram; berbeda dengan pandangan golongan Mu‘tazilah. ---فَقَالُوا: إِنَّ الْحَرَامَ لَيْسَ بِرِزْقٍ،
Mereka (Mu‘tazilah) berkata: “Sesungguhnya yang haram itu bukanlah rizki.” ---وَلِلْبَحْثِ فِي هٰذِهِ الْمَسْأَلَةِ مَوْضِعٌ غَيْرُ هٰذَا.
Pembahasan rinci tentang masalah ini memiliki tempat tersendiri, bukan di sini. ---وَالإِنْفَاقُ: إِخْرَاجُ الْمَالِ مِنَ الْيَدِ،
“Infaq” adalah mengeluarkan harta dari tangan (yakni membelanjakannya). ---وَفِي الْمَجِيءِ بِمِنَ التَّبْعِيضِيَّةِ هٰهُنَا نُكْتَةٌ سَرِيَّةٌ، هِيَ الإِرْشَادُ إِلَىٰ تَرْكِ الإِسْرَافِ.
Dan penggunaan kata “min” yang bersifat tab‘īḍiyyah (menunjukkan “sebagian”) di sini mengandung isyarat halus, yaitu bimbingan untuk meninggalkan sikap berlebih-lebihan (isrāf). ---وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ:
Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Ḥātim, dan Ibnu Isḥāq meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: ---يُقِيمُونَ الصَّلٰاةَ، قَالَ: الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ.
“يُقِيمُونَ الصَّلٰاةَ”: ia berkata: “(Maksudnya) salat lima waktu.” ---وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ، قَالَ: زَكَاةُ أَمْوَالِهِمْ.
“وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ”: ia berkata: “(Maksudnya) zakat harta mereka.” ---وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ إِقَامَةَ الصَّلٰاةِ: الْمُحَافَظَةُ عَلَىٰ مَوَاقِيتِهَا وَوُضُوئِهَا وَرُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا،
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Qatādah bahwa mendirikan salat adalah menjaga waktu-waktu salat, wudhunya, rukuknya, dan sujudnya. ---وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ، قَالَ: أَنْفَقُوا فِي فَرَائِضِ اللَّهِ الَّتِي افْتَرَضَهَا عَلَيْهِمْ فِي طَاعَتِهِ وَسَبِيلِهِ.
Tentang “وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ” ia berkata: “(Maksudnya) mereka membelanjakan (harta) dalam kewajiban-kewajiban Allah yang Dia wajibkan atas mereka dalam ketaatan kepada-Nya dan di jalan-Nya.” ---وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ نَحْوَهُ.
Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair hal yang serupa. ---وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ فِي قَوْلِهِ: وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ، قَالَ: هِيَ نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَىٰ أَهْلِهِ.
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd tentang firman-Nya: “وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُونَ”; ia berkata: “Itu adalah nafkah seorang laki-laki kepada keluarganya.” ---وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، قَالَ:
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ad-Ḍaḥḥāk, ia berkata: ---كَانَتِ النَّفَقَاتُ قُرُبَاتٍ يَتَقَرَّبُونَ بِهَا إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، عَلَىٰ قَدْرِ مَيْسُورِهِمْ وَجُهْدِهِمْ،
“Dahulu nafkah-nafkah (infaq) itu berupa bentuk-bentuk pendekatan diri yang mereka pakai untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sesuai kadar kelapangan dan kemampuan mereka, ---حَتَّىٰ نَزَلَتْ فَرَائِضُ الصَّدَقَاتِ فِي سُورَةِ بَرَاءَةَ، هُنَّ النَّاسِخَاتُ الْمُبَيِّنَاتُ.
hingga turun kewajiban-kewajiban sedekah dalam surat Barā’ah (At-Taubah); ayat-ayat itulah yang menghapus (hukum sebelumnya) lagi menjelaskannya.” ---فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - جـ ١ (ص: ٤٣)
Fath al-Qadīr karya Asy-Syaukānī – Jilid 1 (hlm. 43). ---وَاخْتَارَ ابْنُ جَرِيرٍ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ فِي الزَّكَاةِ وَالنَّفَقَاتِ، وَهُوَ الْحَقُّ،
Ibnu Jarīr memilih pendapat bahwa ayat ini bersifat umum mencakup zakat dan semua bentuk nafkah, dan itulah yang benar, ---مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ النَّفَقَةِ عَلَى الْأَقَارِبِ وَغَيْرِهِمْ، وَصَدَقَةِ الْفَرْضِ وَالنَّفْلِ،
tanpa perbedaan antara nafkah kepada kerabat dan selain mereka, maupun antara sedekah wajib dan sedekah sunnah. ---وَعَدَمُ التَّصْرِيحِ بِنَوْعٍ مِنَ الأَنْوَاعِ الَّتِي يَصْدُقُ عَلَيْهَا مُسَمَّى الإِنْفَاقِ، يُشْعِرُ أَتَمَّ إِشْعَارٍ بِالتَّعْمِيمِ.
Dan tidak disebutkannya secara tegas satu jenis tertentu dari jenis-jenis yang termasuk di bawah nama “infaq” mengisyaratkan – dengan sejelas-jelasnya – bahwa makna ayat ini bersifat umum (mencakup semua bentuk infaq).