Al Baqarah Ayat 23-24
[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2) : الآيَاتُ ٢٤ إِلَى ٢٣]
Surat Al-Baqarah (2): ayat 23 sampai 24. ---
فِي رَيْبٍ أَيْ شَكٍّ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا أَيِ الْقُرْآنُ أَنْزَلَهُ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم.
“Dalam keraguan”, yakni dalam keraguan, terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami.
Yang dimaksud adalah al-Qur’an; Allah menurunkannya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَالْعَبْدُ: مَأْخُوذٌ مِنَ التَّعَبُّدِ، وَهُوَ التَّذَلُّلُ.
Kata “al-‘abd” (hamba) diambil dari kata “at-ta‘abbud”, yaitu ketundukan dan kerendahan diri.
وَالتَّنْزِيلُ: التَّدْرِيجُ وَالتَّنْجِيمُ.
“At-tanzīl” (penurunan) bermakna penurunan secara bertahap dan berangsur (sedikit demi sedikit).
وَقَوْلُهُ: فَأْتُوا، الْفَاءُ جَوَابُ الشَّرْطِ، وَهُوَ أَمْرٌ مَعْنَاهُ التَّعْجِيزُ.
Adapun firman-Nya: “Fa’tū (maka datangkanlah)”, huruf “fa” adalah jawab syarat,
dan bentuk perintah di sini bermakna untuk melemahkan (membuktikan ketidakmampuan mereka).
لِمَا احْتَجَّ عَلَيْهِمْ بِمَا يُثْبِتُ الْوَحْدَانِيَّةَ وَيُبْطِلُ الشِّرْكَ، عَقَّبَهُ بِمَا هُوَ الْحُجَّةُ عَلَى إِثْبَاتِ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، وَمَا يَدْفَعُ الشُّبْهَةَ فِي كَوْنِ الْقُرْآنِ مُعْجِزَةً،
Setelah sebelumnya Dia berhujah kepada mereka dengan dalil yang menetapkan keesaan (Allah) dan membatalkan syirik,
Dia menyusulinya dengan dalil yang menjadi hujjah atas penetapan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan yang menolak keraguan tentang kemukjizatan al-Qur’an.
فَتَحَدَّاهُمْ بِأَنْ يَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ سُوَرِهِ.
Maka Dia menantang mereka untuk mendatangkan satu surat saja dari surat-surat al-Qur’an.
وَالسُّورَةُ: الطَّائِفَةُ مِنَ الْقُرْآنِ الْمُسَمَّاةُ بِاسْمٍ خَاصٍّ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا مُشْتَمِلَةٌ عَلَى كَلِمَاتِهَا كَاشْتِمَالِ سُورِ الْبَلَدِ عَلَيْهَا.
Adapun “as-sūrah” adalah satu bagian dari al-Qur’an yang diberi nama khusus.
Ia dinamakan demikian karena ia mencakup kalimat-kalimatnya, sebagaimana tembok kota (sūr al-balad) mencakup seluruh bagian kota itu.
و «مِنْ» فِي قَوْلِهِ: مِنْ مِثْلِهِ زَائِدَةٌ، لِقَوْلِهِ: فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ،
Huruf “min” dalam firman-Nya: “min mithlihi” adalah huruf tambahan (zā’idah),
sebagaimana firman-Nya: “Fa’tū bisūratin mithlihī” (maka datangkanlah satu surat yang semisal dengannya).
وَالضَّمِيرُ فِي «مِثْلِهِ» عَائِدٌ عَلَى الْقُرْآنِ عِنْدَ جُمْهُورِ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Dhamir (kata ganti) pada “mithlihī” menurut jumhur ulama kembali kepada al-Qur’an.
وَقِيلَ: عَائِدٌ عَلَى التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ، لِأَنَّ الْمَعْنَى: فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ كِتَابٍ مِثْلِهِ، فَإِنَّهَا تُصَدِّقُ مَا فِيهِ.
Ada yang mengatakan: dhamir itu kembali kepada Taurat dan Injil,
karena maknanya: “Maka datangkanlah satu surat dari sebuah kitab yang serupa dengannya (al-Qur’an),
sebab kitab-kitab itu membenarkan apa yang ada di dalamnya (al-Qur’an).”
وَقِيلَ: يَعُودُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَالْمَعْنَى: مِنْ بَشَرٍ مِثْلِ مُحَمَّدٍ، أَيْ لَا يَكْتُبُ وَلَا يَقْرَأُ.
Ada pula yang mengatakan: dhamir itu kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam;
maknanya: “(Datangkanlah) dari seorang manusia yang semisal dengan Muhammad”, yakni yang tidak menulis dan tidak membaca.
وَالشُّهَدَاءُ: جَمْعُ شَهِيدٍ بِمَعْنَى الْحَاضِرِ، أَوِ الْقَائِمِ بِالشَّهَادَةِ، أَوِ الْمُعَاوِنِ، وَالْمُرَادُ هُنَا الْآلِهَةُ.
“asy-Syuhadā’” adalah bentuk jamak dari “syahīd”, dengan makna orang yang hadir,
atau yang menegakkan persaksian, atau yang menolong;
dan yang dimaksud di sini adalah sesembahan-sesembahan (tuhan-tuhan) mereka.
وَمَعْنَى «دُونِ»: أَدْنَى مَكَانٍ مِنَ الشَّيْءِ، وَاتَّسَعَ فِيهِ حَتَّى اسْتُعْمِلَ فِي تَخَطِّي الشَّيْءِ إِلَى شَيْءٍ آخَرَ، وَمِنْهُ مَا فِي هَذِهِ الْآيَةِ،
Makna kata “dūni” pada asalnya adalah: tempat yang paling dekat dengan sesuatu.
Kemudian penggunaannya meluas hingga dipakai untuk makna “meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lain”;
dan dari makna inilah penggunaan dalam ayat ini.
وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ1 وَلَهُ مَعَانٍ أُخَرُ، مِنْهَا التَّقْصِيرُ عَنِ الْغَايَةِ وَالْحَقَارَةُ، يُقَالُ: هَذَا الشَّيْءُ دُونٌ، أَيْ حَقِيرٌ،
Demikian pula firman-Nya Ta‘ala: “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, dengan meninggalkan orang-orang beriman.”1
Kata “dūn” juga memiliki makna-makna lain, di antaranya: kurang dari derajat sempurna dan kehinaan.
Dikatakan: “Hadza asy-syai’u dūn(un)” (benda ini “dūn”), artinya: hina, rendah.
وَمِنْهُ:
Dan di antaranya adalah bait syair:
إِذَا مَا عَلَا الْمَرْءُ رَامَ الْعَلَاءَ … وَيَقْنَعُ بِالدُّونِ مَنْ كَانَ دُونَا
“Apabila seseorang telah tinggi kedudukannya, ia meraih derajat yang tinggi,
sedangkan orang yang rendah akan puas dengan yang rendah.”
وَالْقُرْبُ، يُقَالُ: هَذَا دُونَ ذَاكَ، أَيْ أَقْرَبُ مِنْهُ،
Di antara maknanya juga adalah “kedekatan”; dikatakan: “Hadza dūna dzāk” — artinya: ini lebih dekat daripada itu.
وَيَكُونُ إِغْرَاءً، تَقُولُ: دُونَكَ زَيْدًا، أَيْ خُذْهُ مِنْ أَدْنَى مَكَانٍ.
Dan terkadang ia digunakan untuk makna “pemberian dorongan/perintah langsung (ighrā’)”;
engkau berkata: “Dūnaka Zaydan”, artinya: ambillah dia dari tempat terdekat.
مِنْ دُونِ اللَّهِ مُتَعَلِّقٌ بِـ «ادْعُوا»، أَيْ: ادْعُوا الَّذِينَ يَشْهَدُونَ لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ فِيمَا قُلْتُمْ مِنْ أَنَّكُمْ تَقْدِرُونَ عَلَى الْمُعَارَضَةِ،
Frasa “min dūni Allāh” berkaitan dengan (kata kerja) “ud‘ū” (panggillah),
yakni: “Panggillah siapa saja yang bersaksi untuk kalian selain Allah, jika kalian benar atas ucapan kalian bahwa kalian mampu menandingi (al-Qur’an).”
وَهَذَا تَعْجِيزٌ لَهُمْ وَبَيَانٌ لِانْقِطَاعِهِمْ.
Ini adalah upaya untuk melemahkan mereka dan penjelasan tentang terputusnya (argumentasi) mereka.
وَالصِّدْقُ: خِلَافُ الْكَذِبِ، وَهُوَ مُطَابَقَةُ الْخَبَرِ لِلْوَاقِعِ أَوْ لِلِاعْتِقَادِ أَوْ لَهُمَا، عَلَى الْخِلَافِ الْمَعْرُوفِ فِي عِلْمِ الْمَعَانِي.
Ash-shidq (kebenaran) adalah lawan dari kedustaan.
Ia adalah kesesuaian kabar dengan kenyataan, atau dengan keyakinan, atau dengan keduanya;
ini sesuai dengan perbedaan pendapat yang dikenal dalam ilmu al-Ma‘ānī.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا يَعْنِي فِيمَا مَضَى، وَلَنْ تَفْعَلُوا، أَيْ: تُطِيقُوا ذَلِكَ فِيمَا يَأْتِي،
“Maka jika kalian tidak melakukannya” — maksudnya pada masa lalu;
“dan kalian sekali-kali tidak akan bisa melakukannya” — maksudnya: tidak akan sanggup melakukannya di masa mendatang.
وَتَبَيَّنَ لَكُمْ عَجْزُكُمْ عَنِ الْمُعَارَضَةِ، فَاتَّقُوا النَّارَ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْقِيَامِ بِفَرَائِضِهِ وَاجْتِنَابِ مَنَاهِيهِ،
Dan ketika telah jelas bagi kalian ketidakmampuan kalian untuk menandingi (al-Qur’an),
maka jagalah diri kalian dari neraka dengan beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya,
serta dengan menegakkan kewajiban-kewajiban-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
وَعَبَّرَ عَنِ الْإِتْيَانِ بِالْفِعْلِ، لِأَنَّ الْإِتْيَانَ فِعْلٌ مِنَ الْأَفْعَالِ، لِقَصْدِ الِاخْتِصَارِ.
Allah mengungkapkannya dengan lafaz “melakukan (fi‘l)”,
karena “datang (i’tiyān)” termasuk dalam jenis perbuatan, dengan maksud untuk meringkas ungkapan.
وَجُمْلَةُ «لَنْ تَفْعَلُوا» لَا مَحَلَّ لَهَا مِنَ الْإِعْرَابِ، لِأَنَّهَا اعْتِرَاضِيَّةٌ،
Kalimat “lan taf‘alū” tidak memiliki tempat i‘rab (tidak mengisi fungsi gramatikal dalam struktur utama),
karena ia merupakan kalimat sisipan (i‘tirāḍiyyah).
وَ«لَنْ» لِلنَّفْيِ الْمُؤَكَّدِ لِمَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ،
Huruf “lan” berfungsi sebagai penafian yang menguatkan terhadap apa yang dimasukinya.
وَهَذَا مِنَ الْغُيُوبِ الَّتِي أَخْبَرَ بِهَا الْقُرْآنُ قَبْلَ وُقُوعِهَا، لِأَنَّهَا لَمْ تَقَعِ الْمُعَارَضَةُ مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْكَفَرَةِ فِي أَيَّامِ النُّبُوَّةِ وَفِيمَا بَعْدَهَا وَإِلَى الْآنِ.
Ini termasuk perkara-perkara gaib yang diberitakan al-Qur’an sebelum kejadiannya,
karena tidak pernah terjadi upaya tandingan dari seorang kafir pun di masa kenabian,
dan tidak pula sesudahnya hingga hari ini.
وَالْوَقُودُ بِالْفَتْحِ: الْحَطَبُ، وَبِالضَّمِّ: التَّوَقُّدُ، أَيْ الْمَصْدَرُ، وَقَدْ جَاءَ فِيهِ الْفَتْحُ.
“Al-waqūd” bila dibaca dengan fathah (waqūd) bermakna kayu bakar,
dan bila dibaca dengan dhammah (wuqūd) bermakna “pernyalaan api”, yaitu bentuk mashdar;
dan telah datang pula penggunaannya dengan fathah.
وَالْمُرَادُ بِالْحِجَارَةِ: الْأَصْنَامُ الَّتِي كَانُوا يَعْبُدُونَهَا، لِأَنَّهُمْ قَرَنُوا أَنْفُسَهُمْ بِهَا فِي الدُّنْيَا، فَجُعِلَتْ وَقُودًا لِلنَّارِ مَعَهُمْ.
Yang dimaksud dengan “al-ḥijārāh” (batu-batu) adalah berhala-berhala yang mereka sembah,
karena mereka telah menyertakan diri mereka dengan berhala-berhala itu di dunia,
maka berhala-berhala itu dijadikan sebagai bahan bakar neraka bersama mereka.
وَيَدُلُّ عَلَى هَذَا قَوْلُهُ تَعَالَى: إِنَّكُمْ وَما تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ2 أَيْ: حَطَبُ جَهَنَّمَ.
Yang menunjukkan hal ini adalah firman-Nya Ta‘ala:
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah bahan bakar Jahanam,”2
yakni: kayu bakar Jahanam.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِهَا حِجَارَةُ الْكِبْرِيتِ،
Ada pula yang mengatakan: yang dimaksud dengan batu-batu itu adalah batu-batu belerang.
وَفِي هَذَا مِنَ التَّهْوِيلِ مَا لَا يُقَدَّرُ قَدْرُهُ، مِنْ كَوْنِ هَذِهِ النَّارِ تَتَّقِدُ بِالنَّاسِ وَالْحِجَارَةِ، فَأُوقِدَتْ بِنَفْسِ مَا يُرَادُ إِحْرَاقُهُ بِهَا،
Dalam hal ini terdapat gambaran yang sangat dahsyat, yang tidak bisa diukur kedahsyatannya,
yaitu bahwa api neraka ini menyala dengan (membakar) manusia dan batu-batu;
ia dinyalakan dengan sesuatu yang justru ingin dibakar dengannya.
وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: «أُعِدَّتْ» جُعِلَتْ عُدَّةً لِعَذَابِهِمْ، وَهُيِّئَتْ لِذَلِكَ.
Dan yang dimaksud dengan firman-Nya: “U‘iddat” (telah disediakan) adalah:
neraka itu dijadikan sebagai perlengkapan untuk mengazab mereka dan dipersiapkan untuk tujuan tersebut.
وَقَدْ كَرَّرَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ تَحَدِّي الْكَفَّارِ بِهَذَا فِي مَوَاضِعَ فِي الْقُرْآنِ، مِنْهَا هَذَا، وَمِنْهَا قَوْلُهُ تَعَالَى فِي سُورَةِ الْقَصَصِ:
Allah Subhanahu telah berulang kali mengulang tantangan seperti ini kepada orang-orang kafir di beberapa tempat dalam al-Qur’an.
Di antaranya adalah (ayat) ini, dan di antaranya lagi adalah firman-Nya Ta‘ala dalam Surah al-Qashash:
قُلْ فَأْتُوا بِكِتابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدى مِنْهُما أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ3
“Katakanlah: Datangkanlah sebuah kitab dari sisi Allah yang lebih memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan al-Qur’an),
niscaya aku akan mengikutinya, jika kalian orang-orang yang benar.”3
وَقَالَ فِي سُورَةِ سُبْحَانَ:
Dan Dia berfirman dalam Surah Subḥān (yakni al-Isrā’):
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا4
“Katakanlah: Sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan al-Qur’an ini,
mereka tidak akan bisa mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka saling membantu sebagian yang lain.”4
وَقَالَ فِي سُورَةِ هُودٍ:
Dan Dia berfirman dalam Surah Hūd:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ5
“Bahkan mereka berkata: ‘Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya.’
Katakanlah: ‘(Kalau begitu) bawalah sepuluh surat seumpamanya yang dibuat-buat,
dan panggillah siapa saja yang kalian sanggupi selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.’”5
وَقَالَ فِي سُورَةِ يُونُسَ:
Dan Dia berfirman dalam Surah Yūnus:
وَما كانَ هذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ، وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ، وَتَفْصِيلَ الْكِتابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعالَمِينَ. أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ، وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ6.
“Dan tidaklah al-Qur’an ini dapat dibuat-buat selain oleh Allah,
akan tetapi (al-Qur’an itu) membenarkan (kitab-kitab) yang ada sebelumnya, dan menjelaskan Kitab (Allah) — tidak ada keraguan di dalamnya — (turun) dari Rabb semesta alam.
Bahkan mereka berkata: ‘Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya.’
Katakanlah: ‘(Kalau begitu) bawalah satu surat seumpamanya,
dan panggillah siapa saja yang kalian sanggupi selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.’”6
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٦٣)
Fathul Qadîr karya asy-Syaukani – Jilid 1 (hlm. 63).
وَقَدْ وَقَعَ الْخِلَافُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ: هَلْ وَجْهُ الْإِعْجَازِ فِي الْقُرْآنِ هُوَ كَوْنُهُ فِي الرُّتْبَةِ الْعَلِيَّةِ مِنَ الْبَلَاغَةِ الْخَارِجَةِ عَنْ طَوْقِ الْبَشَرِ، أَوْ كَانَ الْعَجْزُ عَنِ الْمُعَارَضَةِ لِلصِّرْفَةِ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ لَهُمْ عَنْ أَنْ يُعَارِضُوهُ؟
Telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama:
Apakah sisi kemukjizatan al-Qur’an itu terletak pada kedudukannya yang sangat tinggi dalam hal balaghah (retorika/keindahan bahasa) yang berada di luar kemampuan manusia,
atau bahwa ketidakmampuan untuk menandinginya itu disebabkan adanya “ash-sharfah” dari Allah Subhanahu (yakni Allah memalingkan mereka sehingga tidak mampu menandinginya)?
وَالْحَقُّ الْأَوَّلُ، وَالْكَلَامُ فِي هَذَا مَبْسُوطٌ فِي مَوَاطِنِهِ.
Pendapat yang benar adalah pendapat pertama,
dan pembahasan tentang hal ini telah diuraikan panjang lebar di tempat-tempatnya (dalam kitab-kitab khusus).
وَقَدْ أَخْرَجَ أَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الدَّلَائِلِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Ahmad, al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi dalam ad-Dalā’il meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَا مِنْ نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا أُعْطِيَ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إِلَيَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ».
“Tidaklah seorang nabi pun dari para nabi melainkan ia diberi (mu‘jizat) yang semisalnya manusia beriman kepadanya.
Dan sesungguhnya yang diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang Allah wahyukan kepadaku.
Maka aku berharap menjadi nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari Kiamat.”
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ الْحَسَنِ فِي قَوْلِهِ: وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ، قَالَ: هَذَا قَوْلُ اللَّهِ لِمَنْ شَكَّ مِنَ الْكَفَّارِ فِيمَا جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Hasan mengenai firman-Nya: “Dan jika kalian dalam keraguan,” ia berkata:
“Inilah firman Allah untuk siapa saja dari kalangan orang-orang kafir yang ragu terhadap apa yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ، قَالَ: فِي شَكٍّ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ، قَالَ: مِنْ مِثْلِ الْقُرْآنِ حَقًّا وَصِدْقًا، لَا بَاطِلَ فِيهِ وَلَا كَذِبَ.
‘Abdur Razzaq, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatadah, tentang firman-Nya: “Dan jika kalian dalam keraguan”, ia berkata:
“Dalam keraguan terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah satu surat yang semisal dengannya.”
Ia (Qatadah) berkata: “(Yang dimaksud adalah) yang serupa dengan al-Qur’an, dalam kebenaran dan kejujurannya; tidak ada kebatilan dan kedustaan di dalamnya.”
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٦٤)
Fathul Qadîr karya asy-Syaukani – Jilid 1 (hlm. 64).
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ: فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ، قَالَ: مِثْلِ الْقُرْآنِ، وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ، قَالَ: نَاسٌ يَشْهَدُونَ لَكُمْ إِذَا أَتَيْتُمْ بِهَا أَنَّهَا مِثْلُهُ.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid, tentang (firman-Nya): “Maka datangkanlah satu surat yang semisal dengannya”, ia berkata:
“Yang semisal dengan al-Qur’an.”
“Dan panggillah saksi-saksi kalian”, ia berkata: “Yakni orang-orang yang akan bersaksi bagi kalian, bila kalian mendatangkan surat itu, bahwa ia serupa dengannya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: شُهَدَاءَكُمْ، قَالَ: أَعْوَانَكُمْ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا، فَقَدْ بَيَّنَ لَكُمُ الْحَقَّ.
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, tentang firman-Nya: “syuhadā’akum (saksi-saksi kalian)”, ia berkata:
“Mereka adalah para pembantu kalian atas apa yang kalian pegang.”
“Jika kalian tidak melakukannya, dan tidak akan pernah melakukannya, maka sungguh Allah telah menjelaskan kebenaran kepada kalian.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ: فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا، يَقُولُ: لَنْ تَقْدِرُوا عَلَى ذَلِكَ، وَلَنْ تُطِيقُوهُ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, tentang (firman-Nya): “Maka jika kalian tidak melakukannya, dan kalian tidak akan pernah bisa melakukannya”, ia berkata:
“(Maknanya): Kalian tidak akan mampu melakukan itu, dan tidak akan sanggup.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ كُلَّ شَيْءٍ فِي الْقُرْآنِ «وُقُودُهَا» بِرَفْعِ الْوَاوِ الْأُولَى، إِلَّا الَّتِي فِي «السَّمَاءِ ذاتِ الْبُرُوجِ»: «النَّارِ ذاتِ الْوَقُودِ»7 بِنَصْبِ الْوَاوِ.
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Mujahid bahwa ia biasa membaca setiap kata “wuqūdihā” di dalam al-Qur’an dengan mengangkat (membaca dhammah) huruf wawu yang pertama,
kecuali yang terdapat dalam (firman Allah): “as-samā’i dzāti al-burūj (langit yang mempunyai gugusan bintang), an-nāri dzāti al-wuqūd (api yang mempunyai bahan bakar)”7,
ia membacanya dengan menashab (membaca fathah) huruf wawu.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي «الْكَبِيرِ» وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ:
‘Abdur Razzaq, Sa‘id bin Manshur, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, ath-Thabarani dalam al-Kabīr, dan al-Hakim — yang mensahihkannya — meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, ia berkata:
إِنَّ الْحِجَارَةَ الَّتِي ذَكَرَهَا اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ فِي قَوْلِهِ: «وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجارَةُ» حِجَارَةٌ مِنْ كِبْرِيتٍ خَلَقَهَا اللَّهُ عِنْدَهُ كَيْفَ شَاءَ.
“Sesungguhnya batu-batu yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an dalam firman-Nya: ‘Bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu’
adalah batu-batu dari belerang yang Allah ciptakan di sisi-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مِثْلَهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas sesuatu yang serupa dengan ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ أَيْضًا عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ مِثْلَهُ أَيْضًا.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari ‘Amr bin Maimun sesuatu yang serupa pula.
وَأَخْرَجَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «شُعَبِ الْإِيمَانِ» عَنْ أَنَسٍ قَالَ:
Ibnu Mardawaih dan al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān meriwayatkan dari Anas, ia berkata:
تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هذِهِ الْآيَةَ: «وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجارَةُ»، وَقَالَ: «أُوقِدَ عَلَيْهَا أَلْفَ عَامٍ حَتَّى احْمَرَّتْ، وَأَلْفَ عَامٍ حَتَّى ابْيَضَّتْ، وَأَلْفَ عَامٍ حَتَّى اسْوَدَّتْ، فَهِيَ سَوْدَاءُ مُظْلِمَةٌ لَا يُطْفَأُ لَهَبُهَا».
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu”, kemudian beliau bersabda:
“(Neraka) itu telah dinyalakan selama seribu tahun hingga memerah,
lalu seribu tahun hingga memutih,
lalu seribu tahun hingga menghitam.
Maka ia kini hitam legam, gelap, tidak pernah padam nyalanya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا مِثْلَهُ.
Ibnu Abi Syaibah, at-Tirmidzi, Ibnu Mardawaih, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah, marfū‘ (sampai kepada Nabi), dengan lafaz yang serupa.
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَمَالِكٌ وَالْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قالَ:
Ahmad, Malik, al-Bukhari, dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«نَارُ بَنِي آدَمَ الَّتِي تُوقِدُونَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ». قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةً! قَالَ: «فَإِنَّهَا قَدْ فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا، كُلُّهُنَّ مِثْلُ حَرِّهَا».
“Api milik Bani Adam yang kalian nyalakan hanyalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api Jahanam.”
Mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, (andai) yang ini saja sudah cukup (untuk menyiksa)!”
Beliau menjawab: “(Namun) api neraka itu dilebihkan darinya dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya sama panasnya dengan api (yang kalian lihat ini).”
وَأَخْرَجَ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ مَرْفُوعًا نَحْوَهُ.
At-Tirmidzi meriwayatkan — dan ia mensahihkannya — dari Abu Sa‘id, marfū‘, dengan lafaz yang semisal.
وَأَخْرَجَ ابْنُ مَاجَهْ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا نَحْوَهُ أَيْضًا.
Ibnu Majah dan al-Hakim — yang mensahihkannya — meriwayatkan dari Anas, marfū‘, dengan lafaz yang serupa pula.
وَأَخْرَجَ مَالِكٌ فِي «الْمُوَطَّإِ» وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الْبَعْثِ» عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: «أَتَرَوْنَهَا حَمْرَاءَ مِثْلَ نَارِكُمْ هَذِهِ الَّتِي تُوقِدُونَ؟ إِنَّهَا لَأَشَدُّ سَوَادًا مِنَ الْقَارِ».
Malik dalam al-Muwaṭṭa’, dan al-Baihaqi dalam al-Ba‘ts meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
“Apakah kalian menyangkanya (api neraka) merah seperti api kalian yang ini yang kalian nyalakan?
Sesungguhnya api neraka itu lebih hitam (pekat) dari ter.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ» قَالَ: أَيْ لِمَنْ كَانَ مِثْلَ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ مِنَ الْكُفْرِ.
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, tentang firman-Nya: “Yang disediakan bagi orang-orang kafir”, ia berkata:
“Yakni (disediakan) bagi orang-orang yang keadaannya seperti keadaan kalian dalam kekufuran.”
---
1 آلُ عِمْرَانَ: ٢٨ Ali ‘Imrân: 28.
2 ٱلْأَنْبِيَاءُ: ٩٨ Al-Anbiyâ’: 98.
3 ٱلْقَصَصُ: ٤٩ Al-Qaṣaṣ: 49.
4 ٱلْإِسْرَاءُ: ٨٨ Al-Isrâ’: 88.
5 هُودٌ: ١٣ Hûd: 13.
6 يُونُسُ: ٣٧‒٣٨ Yûnus: 37–38.
7 فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: ﴿ٱلسَّمَاءِ ذَاتِ ٱلْبُرُوجِ * وَٱلْيَوْمِ ٱلْمَوْعُودِ * وَشَاهِدٍ وَمَشْهُودٍ * قُتِلَ أَصْحَابُ ٱلْأُخْدُودِ … ٱلنَّارِ ذَاتِ ٱلْوَقُودِ﴾ Yang dimaksud adalah bacaan pada ayat “an-nâri dzâti al-wuqûd” dalam Surah Al-Burûj.