Al Baqarah Ayat 219-220

[سورة البقرة (2) : الآيات 219 الى 220]
يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ ۖ قُلِ الْعَفْوَ ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ (٢١٩)
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi; katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka infakkan; katakanlah: “(infakkanlah) yang lebih (dari kebutuhan).” Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepada kalian agar kalian berpikir.
فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۗ وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ ۖ قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ ۖ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٢٠)
(Tentang) dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim; katakanlah: “Memperbaiki (urusan) mereka adalah lebih baik.” Dan jika kalian bergaul (mencampuri urusan mereka), maka mereka adalah saudara-saudara kalian. Dan Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dari orang yang berbuat perbaikan. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia akan menyusahkan kalian. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
السَّائِلُونَ فِي قَوْلِهِ: يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ، كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ عِنْدَ ذِكْرِ سَبَبِ نُزُولِ الْآيَةِ، وَالْخَمْرُ: مَأْخُوذَةٌ مِنْ خَمَرَ إِذَا سَتَرَ، وَمِنْهُ: خِمَارُ الْمَرْأَةِ، وَكُلُّ شَيْءٍ غَطَّى شَيْئًا فَقَدْ خَمَرَهُ، وَمِنْهُ «خَمِّرُوا آنِيَتَكُمْ» وَسُمِّيَ خَمْرًا: لِأَنَّهُ يَخْمُرُ الْعَقْلَ، أَيْ: يُغَطِّيهِ وَيَسْتُرُهُ، وَمِنْ ذَلِكَ الشَّجَرُ الْمُلْتَفُّ يُقَالُ لَهُ: الْخَمْرُ بِفَتْحِ الْمِيمِ، لِأَنَّهُ يُغَطِّي مَا تَحْتَهُ وَيَسْتُرُهُ، يُقَالُ مِنْهُ: أَخْمَرَتِ الْأَرْضُ: كَثُرَ خَمْرُهَا، قَالَ الشَّاعِرُ:
Orang-orang yang bertanya dalam firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar” adalah kaum mukminin, sebagaimana akan datang penjelasannya ketika menyebut sebab turunnya ayat. Khamar diambil dari kata *khamara* apabila bermakna “menutupi”; darinya juga kata *khimār* (kerudung) perempuan. Setiap sesuatu yang menutupi sesuatu yang lain, berarti ia telah “menutupinya” (*khamarahū*). Termasuk pula ungkapan: “Tutuplah bejana-bejana kalian.” Ia dinamai *khamr* karena ia “menutupi akal”, yakni menutupinya dan menyelubunginya. Di antaranya juga: pepohonan yang rimbun saling bertaut disebut *al-khamr* (dengan فتح pada mim), karena ia menutupi apa yang di bawahnya dan menyelubunginya. Dikatakan pula: “Tanah itu menjadi rimbun” (*akhmarati al-arḍ*), yakni kerimbunannya banyak. Seorang penyair berkata:
أَلَا يَا زَيْدُ وَالضَّحَّاكُ سِيرَا … فَقَدْ جَاوَزْتُمَا خَمْرَ الطَّرِيقِ
“Wahai Zaid dan Adh-Dhahhak, berjalanlah kalian berdua… sungguh kalian berdua telah melewati *khamr* (bagian tertutup/berlekuk) jalan.”
أَيْ: جَاوَزْتُمَا الْوَهْدَ وَقِيلَ: إِنَّمَا سُمِّيَتِ الْخَمْرُ خَمْرًا: لِأَنَّهَا تُرِكَتْ حَتَّى أُدْرِكَتْ، كَمَا يُقَالُ: قَدِ اخْتَمَرَ الْعَجِينُ، أَيْ: بَلَغَ إِدْرَاكُهُ، وَخُمِّرَ الرَّأْيُ: أَيْ: تُرِكَ حَتَّى تَبَيَّنَ فِيهِ الْوَجْهُ وَقِيلَ: إِنَّمَا سُمِّيَتِ الْخَمْرُ خَمْرًا:
Maksudnya: kalian berdua telah melewati tempat rendah (lekukan). Dikatakan pula: khamar dinamai *khamr* karena ia dibiarkan sampai “matang/sempurna”, sebagaimana dikatakan: “adonan itu telah *ikhtamara*”, yakni telah mencapai kematangannya. Dan “pendapat itu di-*khummira*”, yakni dibiarkan sampai menjadi jelas seginya. Dan dikatakan pula: khamar dinamai *khamr* karena:
لِأَنَّهَا تُخَالِطُ الْعَقْلَ، مِنَ الْمُخَامَرَةِ وَهِيَ الْمُخَالَطَةُ. وَهَذِهِ الْمَعَانِي الثَّلَاثَةُ مُتَقَارِبَةٌ مَوْجُودَةٌ فِي الْخَمْرِ، لِأَنَّهَا تُرِكَتْ حَتَّى أُدْرِكَتْ ثُمَّ خَالَطَتِ الْعَقْلَ فَخَمَّرَتْهُ، أَيْ: سَتَرَتْهُ، وَالْخَمْرُ: مَاءُ الْعِنَبِ الَّذِي غَلَا وَاشْتَدَّ وَقَذَفَ بِالزَّبَدِ، وَمَا خَامَرَ الْعَقْلَ مِنْ غَيْرِهِ فَهُوَ فِي حُكْمِهِ كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُورُ.
Karena ia bercampur dengan akal, dari kata *mukhāmarah* yang berarti “pencampuran/percampuran.” Tiga makna ini saling berdekatan dan terdapat pada khamar: karena ia dibiarkan sampai matang, lalu bercampur dengan akal sehingga menutupinya, yakni menyelubunginya. Khamar adalah air anggur yang mendidih, menguat (fermentasinya), dan memuntahkan buih. Apa pun selainnya yang menutupi akal, maka hukumnya seperti khamar menurut pendapat jumhur.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَالثَّوْرِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَابْنُ عِكْرِمَةَ، وَجَمَاعَةٌ مِنْ فُقَهَاءِ الْكُوفَةِ: مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ مِنْ غَيْرِ خَمْرِ الْعِنَبِ فَهُوَ حَلَالٌ، أَيْ: مَا دُونُ الْمُسْكِرِ فِيهِ، وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَى حَلِّ مَا ذَهَبَ ثُلُثَاهُ بِالطَّبْخِ، وَالْخِلَافُ فِي ذَلِكَ مَشْهُورٌ. وَقَدْ أَطَلْتُ الْكَلَامَ عَلَى الْخَمْرِ فِي شَرْحِي لِلْمُنْتَقَى فَلْيُرْجَعْ إِلَيْهِ.
Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu ‘Ikrimah, dan sekelompok fuqaha Kufah berpendapat: sesuatu yang jika banyaknya memabukkan namun bukan khamar anggur, maka ia halal; yakni kadar yang tidak memabukkan darinya. Abu Hanifah juga berpendapat halal sesuatu yang tersisa sepertiganya setelah dua pertiganya hilang karena dimasak. Perbedaan pendapat dalam masalah ini terkenal. Penulis berkata: aku telah memanjangkan pembahasan tentang khamar dalam syarahku atas *Al-Muntaqā*, maka hendaklah dirujuk ke sana.
وَالْمَيْسِرُ مَأْخُوذٌ مِنَ الْيُسْرِ، وَهُوَ وُجُوبُ الشَّيْءِ لِصَاحِبِهِ، يُقَالُ يَسُرَ لِي كَذَا: إِذَا وَجَبَ فَهُوَ يَيْسِرُ يُسْرًا وَمَيْسَرًا، وَالْيَاسِرُ اللَّاعِبُ بِالْقِدَاحِ. وَقَدْ يَسُرَ يَيْسُرُ. قَالَ الشَّاعِرُ:
*Maisir* berasal dari *yusr* (kemudahan), yaitu tetap/menjadinya sesuatu wajib bagi pemiliknya. Dikatakan: “*yasura lī kadzā*” apabila telah menjadi pasti/wajib; maka ia “*yaysiru*” dengan makna *yusran* dan *maysaran*. *Al-yāsir* adalah orang yang bermain dengan anak-panah undian (*qidāḥ*). Kata itu juga dapat dibaca: *yasura yaysuru*. Seorang penyair berkata:
فَأَعِنْهُمُ وَايْسُرْ كَمَا يَسَرُوا بِهِ … وَإِذَا هُمُ نَزَلُوا بِضَنْكٍ فَانْزِلِ
“Maka bantulah mereka dan mudahkanlah sebagaimana mereka memudahkannya… dan bila mereka singgah dalam kesempitan, singgahlah (bersama mereka).”
وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ: الْمَيْسِرُ: الْجَزُورُ الَّتِي كَانُوا يَتَقَامَرُونَ عَلَيْهِ، سُمِّيَ مَيْسِرًا: لِأَنَّهُ يُجَزَّأُ أَجْزَاءً، فَكَأَنَّهُ مَوْضِعُ التَّجْزِئَةِ، وَكُلُّ شَيْءٍ جَزَّأْتُهُ فَقَدْ يَسَّرْتُهُ، وَالْيَاسِرُ: الْجَازِرُ. قَالَ: وَهَذَا الْأَصْلُ فِي الْيَاسِرِ، ثُمَّ يُقَالُ لِلضَّارِبِينَ بِالْقِدَاحِ وَالْمُتَقَامِرِينَ عَلَى الْجَزُورِ: يَاسِرُونَ، لِأَنَّهُمْ جَازِرُونَ، إِذْ كَانُوا سَبَبًا لِذَلِكَ.
Al-Azhari berkata: *maisir* adalah unta sembelihan (*jazūr*) yang dahulu mereka jadikan objek perjudian; dinamai *maisir* karena ia dibagi menjadi bagian-bagian, seakan-akan ia tempat pembagian. Setiap sesuatu yang aku bagi-bagi, berarti aku telah “memudahkannya/membaginya” (*yassartuh*). *Al-yāsir* adalah penyembelih. Ia berkata: inilah asal kata *yāsir*; kemudian orang-orang yang mengundi dengan anak-panah dan berjudi atas unta sembelihan disebut “*yāsirūn*”, karena mereka (berkaitan dengan) penyembelihan, sebab merekalah penyebab terjadinya itu.
وَقَالَ فِي الصِّحَاحِ: وَيَسَرَ الْقَوْمُ الْجَزُورَ: إِذَا اجْتَزَرُوهَا، وَاقْتَسَمُوا أَعْضَاءَهَا ثُمَّ قَالَ: وَيُقَالُ يَسَرَ الْقَوْمُ: إِذَا قَامَرُوا، وَرَجُلٌ مَيْسِرٌ وَيَاسِرٌ بِمَعْنًى، وَالْجَمْعُ أَيْسَارٌ. قَالَ النَّابِغَةُ:
Dalam *Ash-Shihāh* disebutkan: “kaum itu *yasarū* unta sembelihan”, yaitu bila mereka menyembelihnya dan membagi-bagi anggota badannya. Kemudian disebutkan pula: “kaum itu *yasarū*” apabila mereka berjudi. Seseorang disebut *maysir* dan *yāsir* dengan satu makna. Bentuk jamaknya: *aysār*. An-Nābighah berkata:
إِنِّي أُتَمِّمُ أَيْسَارِي وَأَمْنَحُهُمْ … مِثْنَى الْأَيَادِي وَأَكْسُو الْجَفْنَةَ الْأُدُمَا
“Aku menyempurnakan *aysār*-ku dan aku memberi mereka… pemberian tangan demi tangan, dan aku mengenakan pada bejana besar kulit (sebagai penutup).”
وَالْمُرَادُ بِالْمَيْسِرِ فِي الْآيَةِ: قِمَارُ الْعَرَبِ بِالْأَزْلَامِ. قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ:
Yang dimaksud *maisir* dalam ayat adalah perjudian orang Arab dengan *azlām* (anak-panah undian). Segolongan salaf dari sahabat, tabi‘in, dan sesudah mereka berkata:
كُلُّ شَيْءٍ فِيهِ قِمَارٌ مِنْ نَرْدٍ أَوْ شِطْرَنْجٍ أَوْ غَيْرِهِمَا فَهُوَ الْمَيْسِرُ، حَتَّى لَعِبِ الصِّبْيَانِ بِالْجَوْزِ وَالْكِعَابِ، إِلَّا مَا أُبِيحَ مِنَ الرِّهَانِ فِي الْخَيْلِ وَالْقُرْعَةِ فِي إِفْرَازِ الْحُقُوقِ.
Setiap sesuatu yang mengandung perjudian, baik dengan dadu, catur, atau selain keduanya, maka itu termasuk *maisir*; bahkan permainan anak-anak dengan biji (kacang) dan dadu kecil, kecuali yang dibolehkan berupa taruhan pada kuda dan undian untuk memisahkan/menentukan hak-hak.
وَقَالَ مَالِكٌ: الْمَيْسِرُ مَيْسِرَانِ: مَيْسِرُ اللَّهْوِ، وَمَيْسِرُ الْقِمَارِ، فَمِنْ مَيْسِرِ اللَّهْوِ: النَّرْدُ وَالشِّطْرَنْجُ وَالْمَلَاهِي كُلُّهَا، وَمَيْسِرُ الْقِمَارِ: مَا يَتَخَاطَرُ النَّاسُ عَلَيْهِ، وَكُلُّ مَا قُومِرَ بِهِ فَهُوَ مَيْسِرٌ، وَسَيَأْتِي الْبَحْثُ مُطُوَّلًا فِي هَذَا فِي سُورَةِ الْمَائِدَةِ عِنْدَ قَوْلِهِ: إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ.
Malik berkata: *maisir* itu ada dua: *maisir* hiburan dan *maisir* perjudian. Termasuk *maisir* hiburan: dadu, catur, dan seluruh permainan melalaikan. Adapun *maisir* perjudian: segala sesuatu yang dipertaruhkan orang-orang. Setiap yang dijadikan objek perjudian maka itu *maisir*. Dan pembahasan panjang tentang ini akan datang dalam Surah Al-Mā’idah pada firman-Nya: “Sesungguhnya khamar dan maisir…”
قَوْلُهُ: قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ يَعْنِي: الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ، فَإِثْمُ الْخَمْرِ: أَيْ: إِثْمُ تَعَاطِيهَا، يَنْشَأُ مِنْ فَسَادِ عَقْلِ مُسْتَعْمِلِهَا، فَيَصْدُرُ عَنْهُ مَا يَصْدُرُ عَنْ فَاسِدِ الْعَقْلِ مِنَ الْمُخَاصَمَةِ وَالْمُشَاتَمَةِ، وَقَوْلِ الْفُحْشِ وَالزُّورِ، وَتَعْطِيلِ الصَّلَوَاتِ، وَسَائِرِ مَا يَجِبُ عَلَيْهِ.
Firman-Nya: “Katakanlah: pada keduanya ada dosa besar” maksudnya khamar dan maisir. Dosa khamar, yaitu dosa mengonsumsinya, timbul dari rusaknya akal pemakainya; sehingga keluar darinya apa yang biasa keluar dari orang yang rusak akalnya: perselisihan, saling mencaci, ucapan keji dan dusta, melalaikan salat, dan berbagai kewajiban lain yang semestinya ia tunaikan.
وَأَمَّا إِثْمُ الْمَيْسِرِ: أَيْ: إِثْمُ تَعَاطِيهِ، فَمَا يَنْشَأُ عَنْ ذَلِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَذَهَابِ الْمَالِ فِي غَيْرِ طَائِلٍ، وَالْعَدَاوَةِ وَإِيحَاشِ الصُّدُورِ.
Adapun dosa *maisir*, yaitu dosa melakukannya, maka yang timbul darinya adalah kemiskinan, hilangnya harta tanpa manfaat, permusuhan, dan timbulnya kebencian di dalam dada.
وَأَمَّا مَنَافِعُ الْخَمْرِ: فَرِبْحُ التِّجَارَةِ فِيهَا وَقِيلَ: مَا يَصْدُرُ عَنْهَا مِنَ الطَّرَبِ وَالنَّشَاطِ وَقُوَّةِ الْقَلْبِ وَثَبَاتِ الْجَنَانِ، وَإِصْلَاحِ الْمَعِدَةِ، وَقُوَّةِ الْبَاءَةِ وَقَدْ أَشَارَ شُعَرَاءُ الْعَرَبِ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ قَالَ:
Adapun manfaat khamar: keuntungan perdagangan dengannya. Dikatakan pula: yang timbul darinya berupa kegembiraan, semangat, kuatnya hati, keteguhan jiwa, memperbaiki lambung, dan kuatnya syahwat. Penyair-penyair Arab telah menyinggung sebagian hal itu, salah satunya berkata:
فَإِذَا شَرِبْتُ فَإِنَّنِي … رَبُّ الْخَوَرْنَقِ وَالسَّدِيرِ
“Jika aku minum, maka sesungguhnya aku… tuan Khawarnaq dan Sadīr.”
وَإِذَا صَحَوْتُ فَإِنَّنِي … رَبُّ الشُّوَيْهَةِ وَالْبَعِيرِ
“Dan jika aku sadar, maka sesungguhnya aku… tuan kambing kecil dan unta.”
وَقَالَ آخَرُ:
Dan yang lain berkata:
وَنَشْرَبُهَا فَتَتْرُكُنَا مُلُوكًا … وَأُسْدًا مَا يُنَهْنِهُنَا اللِّقَاءُ
“Kami meminumnya, lalu ia meninggalkan kami bagaikan raja-raja… dan singa-singa yang tidak dilemahkan oleh pertemuan (dengan musuh).”
وَقَالَ مَنْ أَشَارَ إِلَى مَا فِيهَا مِنَ الْمَفَاسِدِ وَالْمَصَالِحِ:
Dan ada pula yang menyinggung kerusakan dan kemaslahatan yang ada padanya:
رَأَيْتُ الْخَمْرَ صَالِحَةً وَفِيهَا … خِصَالٌ تُفْسِدُ الرَّجُلَ الْحَلِيمَا
Aku melihat khamar tampak “baik”, namun di dalamnya… ada sifat-sifat yang merusak orang yang penyantun.
فَلَا وَاللَّهِ أَشْرَبُهَا صَحِيحًا … وَلَا أَشْفِي بِهَا أَبَدًا سَقِيمَا
Maka demi Allah, aku tidak akan meminumnya saat sehat… dan tidak pula aku akan berobat dengannya ketika sakit.
وَلَا أُعْطِي بِهَا ثَمَنًا حَيَاتِي … وَلَا أَدْعُو لَهَا أَبَدًا نَدِيمَا
Dan aku tidak akan menukar harga hidupku dengannya… dan aku tidak akan mengajak siapa pun menjadi teman minum karenanya.
وَمَنَافِعُ الْمَيْسِرِ: مَصِيرُ الشَّيْءِ إِلَى الْإِنْسَانِ بِغَيْرِ تَعَبٍ وَلَا كَدٍّ، وَمَا يَحْصُلُ مِنَ السُّرُورِ وَالْأَرْيَحِيَّةِ عِنْدَ أَنْ يَصِيرَ لَهُ مِنْهَا سَهْمٌ صَالِحٌ.
Manfaat *maisir*: berpindahnya sesuatu kepada seseorang tanpa susah payah dan tanpa jerih. Juga kegembiraan dan kelapangan dada yang didapat ketika ia memperoleh “jatah” yang baik darinya.
وَسِهَامُ الْمَيْسِرِ أَحَدَ عَشَرَ، مِنْهَا سَبْعَةٌ لَهَا فَرُوضٌ عَلَى عَدَدِ مَا فِيهَا مِنَ الْحُظُوظِ. الْأَوَّلُ: الْفَذُّ، بِفَتْحِ الْفَاءِ بَعْدَهَا مُعْجَمَةٌ، وَفِيهِ عَلَامَةٌ وَاحِدَةٌ، وَلَهُ نَصِيبٌ، وَعَلَيْهِ نَصِيبٌ.
Anak-panah undian *maisir* ada sebelas. Tujuh di antaranya memiliki bagian-bagian pasti sesuai jumlah “porsi/keuntungan” di dalamnya. Yang pertama: *al-fadzdz* (dengan فتح pada fa’, setelahnya huruf bertitik), padanya satu tanda; baginya satu bagian dan atasnya (tanggungan) satu bagian.
الثَّانِي: التَّوْأَمُ، بِفَتْحِ الْمُثَنَّاةِ الْفَوْقِيَّةِ وَسُكُونِ الْوَاوِ وَفَتْحِ الْهَمْزَةِ، وَفِيهِ عَلَامَتَانِ، وَلَهُ وَعَلَيْهِ نَصِيبَانِ.
Yang kedua: *at-taw’am* (dengan فتح pada ta’, sukun pada waw, dan فتح pada hamzah), padanya dua tanda; baginya dan atasnya dua bagian.
الثَّالِثُ: الرَّقِيبُ، وَفِيهِ ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ، وَلَهُ وَعَلَيْهِ ثَلَاثَةُ أَنْصِبَاءَ.
Yang ketiga: *ar-raqīb*, padanya tiga tanda; baginya dan atasnya tiga bagian.
الرَّابِعُ: الْحِلْسُ بِمُهْمَلَتَيْنِ، الْأُولَى مَكْسُورَةٌ وَاللَّامُ سَاكِنَةٌ، وَفِيهِ أَرْبَعُ عَلَامَاتٍ، وَلَهُ وَعَلَيْهِ أَرْبَعَةُ أَنْصِبَاءَ.
Yang keempat: *al-ḥils* (dengan dua huruf tidak bertitik; yang pertama kasrah dan lam sukun), padanya empat tanda; baginya dan atasnya empat bagian.
الْخَامِسُ: النَّافِرُ، بِالنُّونِ وَالْفَاءِ وَالْمُهْمَلَةِ، وَيُقَالُ: النَّافِسُ، بِالسِّينِ الْمُهْمَلَةِ مَكَانَ الرَّاءِ، وَفِيهِ خَمْسُ عَلَامَاتٍ، وَلَهُ وَعَلَيْهِ خَمْسَةُ أَنْصِبَاءَ.
Yang kelima: *an-nāfir* (dengan nun, fa’, dan huruf tidak bertitik), dan dikatakan juga: *an-nāfis* (dengan sin tidak bertitik menggantikan ra’), padanya lima tanda; baginya dan atasnya lima bagian.
السَّادِسُ: الْمُسْبَلُ، بِضَمِّ الْمِيمِ، وَسُكُونِ الْمُهْمِلَةِ، وَفَتْحِ الْبَاءِ الْمُوَحَّدَةِ، وَفِيهِ سِتُّ عَلَامَاتٍ، وَلَهُ وَعَلَيْهِ سِتَّةُ أَنْصِبَاءَ.
Yang keenam: *al-musbal* (dengan mim dhammah, sukun pada huruf tidak bertitik, dan ba’ فتح), padanya enam tanda; baginya dan atasnya enam bagian.
السَّابِعُ: الْمُعَلَّى، بِضَمِّ الْمِيمِ، وَفَتْحِ الْمُهْمِلَةِ، وَتَشْدِيدِ اللَّامِ الْمَفْتُوحَةِ، وَفِيهِ سَبْعُ عَلَامَاتٍ، وَلَهُ وَعَلَيْهِ سَبْعَةُ أَنْصِبَاءَ، وَهُوَ أَكْثَرُ السِّهَامِ حَظًّا، وَأَعْلَاهَا قَدْرًا، فَجُمْلَةُ ذَلِكَ ثَمَانِيَةٌ وَعِشْرُونَ فَرْدًا.
Yang ketujuh: *al-mu‘allā* (dengan mim dhammah, فتح pada huruf tidak bertitik, dan lam ditasydid serta berharakat فتح), padanya tujuh tanda; baginya dan atasnya tujuh bagian. Ia adalah anak-panah yang paling besar “porsinya” dan paling tinggi nilainya; maka jumlah keseluruhannya menjadi dua puluh delapan bagian.
وَالْجَزُورُ تُجْعَلُ ثَمَانِيَةً وَعِشْرِينَ جُزْءًا، هَكَذَا قَالَ الْأَصْمَعِيُّ، وَبَقِيَ مِنَ السِّهَامِ أَرْبَعَةٌ أَغْفَالًا لَا فُرُوضَ لَهَا، وَهِيَ: الْمَنِيحُ، بِفَتْحِ الْمِيمِ، وَكَسْرِ النُّونِ، وَسُكُونِ الْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ، وَبَعْدَهَا مُهْمَلَةٌ.
Unta sembelihan dijadikan dua puluh delapan bagian; demikian kata Al-Ashma‘i. Dan tersisa dari anak-panah itu empat yang “kosong” tanpa bagian pasti, yaitu: *al-manīḥ* (mim فتح, nun kasrah, ya’ sukun, dan setelahnya huruf tidak bertitik).
وَالسَّفِيحُ، بِفَتْحِ الْمُهْمَلَةِ، وَكَسْرِ الْفَاءِ، وَسُكُونِ الْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ، بَعْدَهَا مُهْمَلَةٌ. وَالْوَغْدُ، بِفَتْحِ الْوَاوِ، وَسُكُونِ الْمُعْجَمَةِ، بَعْدَهَا مُهْمَلَةٌ، وَالضَّعْفُ بِالْمُعْجَمَةِ بَعْدَهَا مُهْمَلَةٌ ثُمَّ فَاءٌ، وَإِنَّمَا أَدْخَلُوا هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ الَّتِي لَا فُرُوضَ لَهَا بَيْنَ ذَوَاتِ الْفُرُوضِ لِتَكْثُرَ السِّهَامُ عَلَى الَّذِي يُجِيلُهَا وَيَضْرِبُ بِهَا فَلَا يَجِدُ إِلَى الْمَيْلِ مَعَ أَحَدٍ سَبِيلًا.
Dan *as-safīḥ* (huruf tidak bertitik berharakat فتح, fa’ kasrah, ya’ sukun, setelahnya huruf tidak bertitik). Dan *al-waghd* (waw فتح, huruf bertitik sukun, setelahnya huruf tidak bertitik). Dan *aḍ-ḍa‘f* (dengan huruf bertitik, setelahnya huruf tidak bertitik lalu fa’). Empat anak-panah yang tidak punya bagian pasti ini dimasukkan di antara yang punya bagian pasti agar anak-panah menjadi lebih banyak bagi orang yang mengocokkannya dan mengundi dengannya, sehingga ia tidak memiliki jalan untuk condong kepada salah seorang (peserta).
وَقَدْ كَانَ الْمُجِيلُ لِلسِّهَامِ يَلْتَحِفُ بِثَوْبٍ، وَيَحْثُو عَلَى رُكْبَتَيْهِ، وَيُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ يُدْخِلُ يَدَهُ فِي الرِّبَابَةِ، بِكَسْرِ الْمُهْمِلَةِ، وَبَعْدَهَا بَاءٌ مُوَحَّدَةٌ، وَبَعْدَ الْأَلِفِ بَاءٌ مُوَحَّدَةٌ أَيْضًا، وَهِيَ الْخَرِيطَةُ الَّتِي يُجْعَلُ فِيهَا السِّهَامُ، فَيُخْرِجُ مِنْهَا بِاسْمِ كُلِّ رَجُلٍ سَهْمًا، فَمَنْ خَرَجَ لَهُ سَهْمٌ لَهُ فَرْضٌ أَخَذَ فَرْضَهُ، وَمَنْ خَرَجَ لَهُ سَهْمٌ لَا فَرْضَ لَهُ، لَمْ يَأْخُذْ شَيْئًا وَغُرِّمَ قِيمَةَ الْجَزُورِ، وَكَانُوا يَدْفَعُونَ تِلْكَ الْأَنْصِبَاءَ إِلَى الْفُقَرَاءِ.
Orang yang mengocok anak-panah undian biasanya menyelimuti diri dengan kain, bertumpu pada kedua lututnya, dan mengeluarkan kepalanya dari kain itu. Kemudian ia memasukkan tangannya ke dalam *ar-ribābah* (dengan kasrah pada huruf tidak bertitik, setelahnya ba’, dan setelah alif juga ba’), yaitu kantong tempat anak-panah diletakkan. Lalu ia mengeluarkan dari sana satu anak-panah atas nama tiap lelaki. Siapa yang keluar baginya anak-panah yang punya bagian pasti, ia mengambil bagiannya. Dan siapa yang keluar baginya anak-panah yang tidak punya bagian pasti, ia tidak mengambil apa pun dan dibebani membayar nilai unta sembelihan. Dan mereka dahulu menyerahkan bagian-bagian itu kepada orang-orang fakir.
وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: إِنَّ الْأَصْمَعِيَّ أَخْطَأَ فِي قَوْلِهِ إِنَّ الْجَزُورَ تُقَسَّمُ عَلَى ثَمَانِيَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا، وَقَالَ: إِنَّمَا تُقَسَّمُ عَلَى عَشَرَةِ أَجْزَاءٍ.
Ibnu ‘Athiyyah berkata: sesungguhnya Al-Ashma‘i keliru dalam ucapannya bahwa unta sembelihan dibagi menjadi dua puluh delapan bagian; ia berkata: sesungguhnya ia dibagi menjadi sepuluh bagian.
قَوْلُهُ تَعَالَى: وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا أَخْبَرَ سُبْحَانَهُ: بِأَنَّ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَإِنْ كَانَ فِيهِمَا نَفْعٌ فَالْإِثْمُ الَّذِي يَلْحَقُ مُتَعَاطِيَهُمَا أَكْثَرُ مِنْ هَذَا النَّفْعِ، لِأَنَّهُ لَا خَيْرَ يُسَاوِي فَسَادَ الْعَقْلِ الْحَاصِلَ بِالْخَمْرِ، فَإِنَّهُ يَنْشَأُ عَنْهُ مِنَ الشُّرُورِ مَا لَا يَأْتِي عَلَيْهِ الْحَصْرُ.
Firman-Nya: “Dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya” Allah mengabarkan bahwa khamar dan maisir walaupun ada manfaatnya, namun dosa yang menimpa pelakunya lebih banyak daripada manfaat itu. Karena tidak ada kebaikan yang sebanding dengan rusaknya akal akibat khamar; sebab darinya timbul keburukan yang tidak mungkin dibatasi.
وَكَذَلِكَ لَا خَيْرَ فِي الْمَيْسِرِ يُسَاوِي مَا فِيهَا مِنَ الْمُخَاطَرَةِ بِالْمَالِ وَالتَّعَرُّضِ لِلْفَقْرِ، وَاسْتِجْلَابِ الْعَدَاوَاتِ الْمُفْضِيَةِ إِلَى سَفْكِ الدِّمَاءِ وَهَتْكِ الْحُرَمِ.
Demikian pula, tidak ada kebaikan dalam maisir yang sebanding dengan risiko mempertaruhkan harta, terpapar kemiskinan, dan menarik permusuhan yang dapat berujung pada pertumpahan darah serta pelanggaran kehormatan.
وَقَرَأَ حَمْزَةُ وَالْكِسَائِيُّ: كَثِيرٌ بِالْمُثَلَّثَةِ. وَقَرَأَ الْبَاقُونَ بِالْبَاءِ الْمُوَحَّدَةِ. وَقَرَأَ أُبَيٌّ: وَإِثْمُهُمَا أَقْرَبُ مِنْ نَفْعِهِمَا.
Hamzah dan Al-Kisā’ī membaca “*katsīr*” dengan tsa’ (ث). Yang lain membacanya dengan ba’ (ب). Ubayy membaca: “Dan dosa keduanya lebih dekat daripada manfaatnya.”
قَوْلُهُ: قُلِ الْعَفْوَ قَرَأَهُ الْجُمْهُورُ بِالنَّصْبِ. وَقَرَأَ أَبُو عَمْرَةَ وَحْدَهُ: بِالرَّفْعِ. وَاخْتُلِفَ فِيهِ عَنْ ابْنِ كَثِيرٍ، وَبِالرَّفْعِ قَرَأَهُ الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ.
Firman-Nya: “Katakanlah: *al-‘afw*” dibaca oleh jumhur dengan bentuk نصب. Abu ‘Amrah sendiri membacanya dengan رفع. Tentang bacaan Ibnu Katsir terjadi perbedaan riwayat. Dengan رفع pula Al-Hasan dan Qatādah membacanya.
قَالَ النَّحَّاسُ: إِنْ جُعِلَتْ ذَا بِمَعْنَى: الَّذِي، كَانَ الِاخْتِيَارُ الرَّفْعَ عَلَى مَعْنَى الَّذِي يُنْفِقُونَ هُوَ الْعَفْوُ، وَإِنْ جُعِلَتْ مَا وَذَا شَيْئًا وَاحِدًا كَانَ الِاخْتِيَارُ النَّصْبَ عَلَى الْمَعْنَى: قُلْ يُنْفِقُونَ الْعَفْوَ.
An-Nahhās berkata: jika “dzā” dianggap bermakna “alladzī (yang)”, maka pilihan yang tepat adalah رفع dengan makna: “yang mereka infakkan adalah *al-‘afw*.” Namun jika “mā” dan “dzā” dianggap satu kesatuan, maka pilihan yang tepat adalah نصب dengan makna: “Katakanlah: mereka menginfakkan *al-‘afw*.”
وَالْعَفْوُ: مَا سَهُلَ وَتَيَسَّرَ وَلَمْ يَشُقَّ عَلَى الْقَلْبِ، وَالْمَعْنَى: أَنْفِقُوا مَا فَضَلَ عَنْ حَوَائِجِكُمْ وَلَمْ تُجْهِدُوا فِيهِ أَنْفُسَكُمْ. وَقِيلَ: هُوَ مَا فَضُلَ عَنْ نَفَقَةِ الْعِيَالِ.
*Al-‘afw* adalah sesuatu yang mudah dan lapang, serta tidak memberatkan hati. Maknanya: infakkanlah apa yang lebih dari kebutuhan kalian dan jangan kalian memayahkan diri dalam hal itu. Dikatakan pula: ia adalah yang lebih dari nafkah keluarga.
وَقَالَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ: هُوَ نَفَقَاتُ التَّطَوُّعِ. وَقِيلَ: إِنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مَنْسُوخَةٌ بِآيَةِ الزَّكَاةِ الْمَفْرُوضَةِ. وَقِيلَ: هِيَ مُحْكَمَةٌ، وَفِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ.
Jumhur ulama berkata: yang dimaksud adalah nafkah-nafkah sunnah (infak sukarela). Dikatakan pula: ayat ini telah dinasakh oleh ayat zakat yang diwajibkan. Dikatakan pula: ayat ini muhkam; dan pada harta ada hak selain zakat.
قَوْلُهُ: كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ أَيْ: فِي أَمْرِ النَّفَقَةِ.
Firman-Nya: “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepada kalian” maksudnya: dalam urusan infak.
وَقَوْلُهُ: فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ مُتَعَلِّقٌ بِقَوْلِهِ: تَتَفَكَّرُونَ أَيْ: تَتَفَكَّرُونَ فِي أَمْرِهِمَا، فَتَحْسِبُونَ مِنْ أَمْوَالِكُمْ مَا تُصْلِحُونَ بِهِ مَعَايِشَ دُنْيَاكُمْ، وَتُنْفِقُونَ الْبَاقِيَ فِي الْوُجُوهِ الْمُقَرِّبَةِ إِلَى الْآخِرَةِ.
Firman-Nya: “di dunia dan akhirat” terkait dengan firman-Nya: “kalian berpikir”, yakni kalian merenungkan urusan keduanya; sehingga kalian menghitung dari harta kalian apa yang dapat memperbaiki penghidupan dunia kalian, dan kalian menginfakkan sisanya pada jalan-jalan yang mendekatkan kepada akhirat.
وَقِيلَ: فِي الْكَلَامِ تَقْدِيمٌ وَتَأْخِيرٌ، أَيْ: كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ فِي الدُّنْيَا وَزَوَالِهَا، وَفِي الْآخِرَةِ وَبَقَائِهَا، فَتَرْغَبُونَ عَنِ الْعَاجِلَةِ إِلَى الْآجِلَةِ.
Dikatakan: dalam susunan kalimat terdapat pendahuluan dan pengakhiran; maksudnya: “Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepada kalian tentang dunia dan akhirat agar kalian berpikir tentang dunia dan lenyapnya, serta tentang akhirat dan kekalnya; maka kalian pun lebih memilih yang akhir (kekal) daripada yang segera (sementara).”
وَقِيلَ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ إِشَارَةً إِلَى قَوْلِهِ: وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا أَيْ: لِتَتَفَكَّرُوا فِي أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَلَيْسَ هَذَا بِجَيِّدٍ.
Dikatakan pula: boleh jadi itu isyarat kepada firman-Nya “dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya”, yakni agar kalian berpikir tentang urusan dunia dan akhirat; namun ini tidak bagus.
قَوْلُهُ: وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ هَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ بَعْدَ نُزُولِ قَوْلِهِ تَعَالَى: وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ1 وَقَوْلِهِ: إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ2.
Firman-Nya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim.” Ayat ini turun setelah turunnya firman Allah Ta‘ala: “Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim…”1 dan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim…”2
وَقَدْ كَانَ ضَاقَ عَلَى الْأَوْلِيَاءِ الْأَمْرُ كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ.
Sebelumnya perkara ini terasa sempit bagi para wali (pengurus), sebagaimana akan datang penjelasannya, insya Allah; maka turunlah ayat ini.
وَالْمُرَادُ بِالْإِصْلَاحِ هُنَا: مُخَالَطَتُهُمْ عَلَى وَجْهِ الْإِصْلَاحِ لِأَمْوَالِهِمْ، فَإِنَّ ذَلِكَ أَصْلَحُ مِنْ مُجَانَبَتِهِمْ.
Yang dimaksud “perbaikan” di sini adalah bergaul dengan mereka dengan cara yang bertujuan memperbaiki harta mereka, karena itu lebih baik daripada menjauhi mereka.
وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ التَّصَرُّفِ فِي أَمْوَالِ الْأَيْتَامِ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ وَالْأَوْصِيَاءِ بِالْبَيْعِ، وَالْمُضَارَبَةِ، وَالْإِجَارَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Di dalamnya terdapat dalil bolehnya para wali dan washi (pelaksana wasiat) mengelola harta anak yatim dengan jual beli, mudharabah, sewa-menyewa, dan semisalnya.
وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ اخْتُلِفَ فِي تَفْسِيرِ الْمُخَالَطَةِ لَهُمْ، فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: مُخَالَطَةُ الْيَتَامَىٰ: أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمُ الْمَالُ وَيَشُقَّ عَلَى كَافِلِهِ أَنْ يُفْرِدَ طَعَامَهُ عَنْهُ، وَلَا يَجِدُ بُدًّا مِنْ خَلْطِهِ بِعِيَالِهِ، فَيَأْخُذُ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ مَا يَرَى أَنَّهُ كَافِيهِ بِالتَّحَرِّي، فَيَجْعَلُهُ مَعَ نَفَقَةِ أَهْلِهِ، وَهَذَا قَدْ تَقَعُ فِيهِ الزِّيَادَةُ وَالنُّقْصَانُ، فَدَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى الرُّخْصَةِ، وَهِيَ نَاسِخَةٌ لِمَا قَبْلَهَا.
“Jika kalian bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kalian.” Terjadi perbedaan dalam menafsirkan makna “bergaul/mencampur” dengan mereka. Abu ‘Ubaidah berkata: yang dimaksud “mencampur” anak yatim adalah ketika salah seorang dari mereka memiliki harta, dan berat bagi pengasuhnya untuk memisahkan makanan si yatim darinya, sehingga ia tidak punya pilihan selain mencampurnya dengan (makanan) keluarganya. Lalu ia mengambil dari harta si yatim apa yang ia pandang mencukupi dengan kehati-hatian, lalu ia gabungkan dengan nafkah keluarganya. Dalam praktik ini bisa terjadi kelebihan atau kekurangan; maka ayat ini menunjukkan adanya keringanan, dan ayat ini menasakh yang sebelumnya.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِالْمُخَالَطَةِ: الْمُعَاشَرَةُ لِلْأَيْتَامِ، وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِهَا: الْمُصَاهَرَةُ لَهُمْ.
Dikatakan: yang dimaksud “mukhalathah” adalah bergaul hidup dengan anak-anak yatim. Dan dikatakan: yang dimaksud adalah menikah/berbesanan dengan mereka.
وَالْأَوْلَى: عَدَمُ قَصْرِ الْمُخَالَطَةِ عَلَى نَوْعٍ خَاصٍّ، بَلْ تَشْمَلُ كُلَّ مُخَالَطَةٍ، كَمَا يُسْتَفَادُ مِنَ الْجُمْلَةِ الشَّرْطِيَّةِ.
Yang lebih tepat: jangan membatasi “mukhalathah” pada satu jenis tertentu, bahkan ia mencakup setiap bentuk pergaulan/pencampuran, sebagaimana dipahami dari kalimat bersyarat.
وَقَوْلُهُ: فَإِخْوَانُكُمْ خَبَرٌ لِمُبْتَدَإٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ: فَهُمْ إِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ.
Firman-Nya “maka mereka adalah saudara-saudara kalian” merupakan khabar bagi mubtada yang dihapus, yakni: “maka mereka itu saudara kalian dalam agama.”
وَفِي قَوْلِهِ: وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ تَحْذِيرٌ لِلْأَوْلِيَاءِ، أَيْ: لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ، فَهُوَ يُجَازِي كُلَّ أَحَدٍ بِعِلْمِهِ، وَمَنْ أَصْلَحَ فَلِنَفْسِهِ، وَمَنْ أَفْسَدَ فَعَلَى نَفْسِهِ.
Dalam firman-Nya “Dan Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang memperbaiki” terdapat peringatan bagi para wali: tidak ada sesuatu pun dari itu yang tersembunyi bagi Allah. Dia membalas setiap orang sesuai ilmu-Nya; siapa yang memperbaiki, maka (manfaatnya) untuk dirinya; dan siapa yang merusak, maka (dampaknya) atas dirinya.
وَقَوْلُهُ: لَأَعْنَتَكُمْ أَيْ: وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَ ذَلِكَ شَاقًّا عَلَيْكُمْ، وَمُتْعِبًا لَكُمْ، وَأَوْقَعَكُمْ فِيمَا فِيهِ الْحَرَجُ وَالْمَشَقَّةُ، وَقِيلَ: الْعَنَتُ هُنَا: مَعْنَاهُ الْهَلَاكُ. قَالَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ، وَأَصْلُ الْعَنَتِ: الْمَشَقَّةُ.
Firman-Nya “niscaya Dia akan menyusahkan kalian” maksudnya: kalau Dia menghendaki, Dia akan menjadikan hal itu berat bagi kalian, melelahkan kalian, dan menjatuhkan kalian pada kesempitan dan kesukaran. Dikatakan: *al-‘anat* di sini bermakna kebinasaan; demikian kata Abu ‘Ubaidah. Asal makna *al-‘anat* adalah kesukaran.
وَقَالَ ابْنُ الْأَنْبَارِيِّ: أَصْلُ الْعَنَتِ: التَّشْدِيدُ، ثُمَّ نُقِلَ إِلَى مَعْنَى الْهَلَاكِ.
Ibnu Al-Anbari berkata: asal *al-‘anat* adalah “pengetatan/pemberatan”, kemudian dipindahkan maknanya kepada “kebinasaan.”
وَقَوْلُهُ: عَزِيزٌ أَيْ: لَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِ شَيْءٌ، لِأَنَّهُ غَالِبٌ لَا يُغَالَبُ، حَكِيمٌ يَتَصَرَّفُ فِي مِلْكِهِ بِمَا تَقْتَضِيهِ مَشِيئَتُهُ وَحِكْمَتُهُ، وَلَيْسَ لَكُمْ أَنْ تَخْتَارُوا لِأَنْفُسِكُمْ.
Firman-Nya “Mahaperkasa” maksudnya: tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalahkan-Nya, karena Dia Maha menang dan tidak dapat dikalahkan. “Mahabijaksana” yakni Dia bertindak pada ملك-Nya sesuai kehendak dan hikmah-Nya; dan bukanlah hak kalian memilih untuk diri kalian sendiri (melawan ketetapan-Nya).
وَقَدْ أَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ، وَالنَّسَائِيُّ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَالضِّيَاءُ فِي الْمُخْتَارَةِ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا فَإِنَّهَا تُذْهِبُ بِالْمَالِ وَالْعَقْلِ، فَنَزَلَتْ: يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ يَعْنِي هَذِهِ الْآيَةَ، فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا، فَنَزَلَتِ الَّتِي فِي سُورَةِ النِّسَاءِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ3.
Telah diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, Abu Dawud, At-Tirmidzi (dan ia mensahihkannya), An-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Al-Hakim (dan ia mensahihkannya), dan Adh-Dhiya’ dalam *Al-Mukhtārah* dari ‘Umar bahwa ia berkata: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang memadai, karena ia menghilangkan harta dan akal.” Maka turunlah: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maisir,” yakni ayat ini. Lalu ‘Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya; ia berkata: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang memadai.” Maka turunlah ayat yang ada dalam Surah An-Nisā’: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati salat sedang kalian mabuk…”3
فَكَانَ يُنَادِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ: أَنْ لَا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سَكْرَانُ، فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ بَيِّنْ لَنَا فِي الْخَمْرِ بَيَانًا شَافِيًا، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ الَّتِي فِي الْمَائِدَةِ، فَدُعِيَ عُمَرُ فَقُرِئَتْ عَلَيْهِ، فَلَمَّا بَلَغَ: فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ4 قَالَ عُمَرُ: انْتَهَيْنَا انْتَهَيْنَا.
Maka Rasulullah ﷺ biasa menyeru ketika hendak salat: “Jangan sekali-kali orang mabuk mendekati salat.” Lalu ‘Umar dipanggil dan dibacakan ayat itu kepadanya, ia berkata: “Ya Allah, jelaskanlah kepada kami tentang khamar dengan penjelasan yang memadai.” Maka turunlah ayat yang ada dalam Surah Al-Mā’idah; lalu ‘Umar dipanggil dan dibacakan kepadanya. Ketika sampai pada firman-Nya: “Maka apakah kalian berhenti?”4 ‘Umar berkata: “Kami berhenti, kami berhenti.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كُنَّا نَشْرَبُ الْخَمْرَ فَأَنْزَلَتْ: يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ الْآيَةَ، فَقُلْنَا نَشْرَبُ مِنْهَا مَا يَنْفَعُنَا، فَنَزَلَتْ فِي الْمَائِدَةِ: إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ5 الْآيَةَ، فَقَالُوا: اللَّهُمَّ انْتَهَيْنَا.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Anas, ia berkata: “Kami dahulu meminum khamar, lalu turun ayat: ‘Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan maisir’; maka kami berkata: ‘Kami minum darinya yang bermanfaat bagi kami.’ Lalu turun dalam Surah Al-Mā’idah: ‘Sesungguhnya khamar dan maisir…’5 Maka mereka berkata: ‘Ya Allah, kami berhenti.’”
وَأَخْرَجَ أَبُو عُبَيْدٍ، وَالْبُخَارِيُّ فِي الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: الْمَيْسِرُ: الْقِمَارُ.
Abu ‘Ubaid, Al-Bukhari dalam *Al-Adab Al-Mufrad*, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: *maisir* adalah perjudian.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ مِثْلَهُ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujāhid semisal itu.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ الرَّجُلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يُخَاطِرُ عَنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ، فَأَيُّهُمَا قَمَرَ صَاحِبَهُ ذَهَبَ بِأَهْلِهِ وَمَالِهِ.
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Pada masa jahiliah, seseorang mempertaruhkan keluarganya dan hartanya; siapa yang menang atas temannya, ia membawa pergi keluarga dan harta temannya.”
وَقَوْلُهُ: قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ يَعْنِي: مَا يَنْقُصُ مِنَ الدِّينِ عِنْدَ شُرْبِهَا، وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ يَقُولُ: فِيمَا يُصِيبُونَ مِنْ لَذَّتِهَا، وَفَرَحِهَا إِذَا شَرِبُوا.
Firman-Nya: “Katakanlah: pada keduanya ada dosa besar” maksudnya: apa yang mengurangi agama ketika meminumnya. “Dan beberapa manfaat bagi manusia” maksudnya: kenikmatan dan kegembiraan yang mereka peroleh ketika meminumnya.
وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا يَقُولُ: مَا يَذْهَبُ مِنَ الدِّينِ، فَالْإِثْمُ فِيهِ أَكْبَرُ مِمَّا يُصِيبُونَ مِنْ لَذَّتِهَا وَفَرَحِهَا إِذَا شَرِبُوهَا.
“Dan dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya” maksudnya: apa yang hilang dari agama; maka dosa di dalamnya lebih besar daripada kenikmatan dan kegembiraan yang mereka dapatkan ketika meminumnya.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدَ ذَلِكَ: لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ الْآيَةَ، فَكَانُوا لَا يَشْرَبُونَهَا عِنْدَ الصَّلَاةِ، فَإِذَا صَلَّوُا الْعِشَاءَ شَرِبُوهَا.
Lalu setelah itu Allah menurunkan ayat: “Janganlah kalian mendekati salat sedang kalian mabuk.” Maka mereka tidak meminumnya menjelang salat; namun ketika telah salat Isya mereka meminumnya.
ثُمَّ إِنَّ نَاسًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ شَرِبُوهَا فَقَاتَلَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا، وَتَكَلَّمُوا بِمَا لَمْ يَرْضَ اللَّهُ مِنَ الْقَوْلِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ6 الْآيَةَ، فَحَرَّمَ الْخَمْرَ وَنَهَى عَنْهَا.
Kemudian ada sekelompok kaum muslimin yang meminumnya, lalu sebagian mereka memerangi sebagian yang lain, dan mereka mengucapkan perkataan yang tidak diridai Allah. Maka Allah menurunkan: “Sesungguhnya khamar, maisir, dan berhala-berhala…”6 lalu Allah mengharamkan khamar dan melarangnya.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ قَالَ: مَنَافِعُهُمَا قَبْلَ التَّحْرِيمِ، وَإِثْمُهُمَا بَعْدَ مَا حَرَّمَهُمَا.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya: “Manfaat keduanya sebelum pengharaman, dan dosa keduanya setelah Allah mengharamkannya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ: أَنَّ نَفَرًا مِنَ الصَّحَابَةِ حِينَ أُمِرُوا بِالنَّفَقَةِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَتَوُا النَّبِيَّ ﷺ فَقَالُوا: إِنَّا لَا نَدْرِي مَا هَذِهِ النَّفَقَةُ الَّتِي أُمِرْنَا بِهَا فِي أَمْوَالِنَا، فَمَا نُنْفِقُ مِنْهَا؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَيَسْـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ.
Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya: bahwa sekelompok sahabat ketika diperintah berinfak di jalan Allah, mereka mendatangi Nabi ﷺ dan berkata: “Kami tidak tahu apa infak yang diperintahkan pada harta kami ini; lalu apa yang harus kami infakkan?” Maka Allah menurunkan: “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang harus mereka infakkan; katakanlah: *al-‘afw*.”
وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ يُنْفِقُ مَالَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ مَا يَتَصَدَّقُ بِهِ، وَلَا مَا يَأْكُلُ حَتَّى يُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ.
Sebelum itu, ada yang menginfakkan hartanya sampai ia tidak mendapatkan lagi apa yang bisa disedekahkan dan tidak pula apa yang dimakan, sampai akhirnya ia harus diberi sedekah.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ قَالَ: الْعَفْوُ: هُوَ مَا لَا يَتَبَيَّنُ فِي أَمْوَالِكُمْ، وَكَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تُفْرَضَ الصَّدَقَةُ.
Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya, ia berkata: “*Al-‘afw* adalah sesuatu yang tidak tampak (berbekas/memberatkan) dalam harta kalian.” Dan hal ini terjadi sebelum sedekah (zakat) diwajibkan.
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَالطَّبَرَانِيُّ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ عَنْهُ فِي الْآيَةِ قَالَ: الْعَفْوَ مَا يَفْضُلُ عَنْ أَهْلِكَ، وَفِي لَفْظٍ قَالَ: الْفَضْلُ عَنِ الْعِيَالِ.
Sa‘id bin Manshur, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabrani, dan Al-Baihaqi dalam *Asy-Syu‘ab* meriwayatkan darinya tentang ayat ini, ia berkata: “*Al-‘afw* ialah apa yang lebih dari kebutuhan keluargamu.” Dalam lafaz lain: “kelebihan dari (nafkah) tanggungan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: قُلِ الْعَفْوَ قَالَ: لَمْ تُفْرَضْ فِيهِ فَرِيضَةٌ مَعْلُومَةٌ، ثُمَّ قَالَ: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ، ثُمَّ نَزَلَتْ فِي الْفَرَائِضِ بَعْدَ ذَلِكَ مُسَمَّاةً.
Ibnu Jarir meriwayatkan darinya tentang firman-Nya “Katakanlah: *al-‘afw*”, ia berkata: “Belum ditetapkan di dalamnya kewajiban tertentu yang jelas.” Kemudian ia berkata: “Ambillah yang mudah dan perintahkan yang makruf,” lalu setelah itu turun ketetapan-ketetapan faraidh (kewajiban) dengan penamaan yang jelas.
وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ».
Dalam hadis sahih dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebaik-baik sedekah adalah yang diberikan dari kelebihan (kecukupan), dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”
وَثَبَتَ نَحْوُهُ فِي الصَّحِيحِ مَرْفُوعًا مِنْ حَدِيثِ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ. وَفِي الْبَابِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ.
Semisalnya juga sahih secara marfu‘ dari hadis Hakim bin Hizam. Dan dalam bab ini terdapat banyak hadis.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ قَالَ: يَعْنِي فِي زَوَالِ الدُّنْيَا، وَفَنَائِهَا، وَإِقْبَالِ الْآخِرَةِ، وَبَقَائِهَا.
Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “agar kalian berpikir tentang dunia dan akhirat”, ia berkata: maksudnya tentang lenyapnya dunia dan kefanaannya, serta datangnya akhirat dan kekalnya.
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَالْحَاكِمُ، وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ: وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ وَإِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ الْآيَةَ، انْطَلَقَ مَنْ كَانَ عِنْدَهُ يَتِيمٌ يَعْزِلُ طَعَامَهُ عَنْ طَعَامِهِ، وَشَرَابَهُ عَنْ شَرَابِهِ...
Abu Dawud dan An-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, Al-Hakim (dan ia mensahihkannya), dan Al-Baihaqi dalam *Sunan*-nya meriwayatkan darinya, ia berkata: ketika Allah menurunkan ayat “Dan janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik” dan ayat “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim…”, maka orang yang memiliki anak yatim mulai memisahkan makanannya dari makanan si yatim dan minumannya dari minuman si yatim…
فَجَعَلَ يَفْصِلُ لَهُ الشَّيْءَ مِنْ طَعَامِهِ، فَيُحْبَسُ لَهُ حَتَّى يَأْكُلَهُ، أَوْ يَفْسُدَ فَيَرْمِيَ بِهِ، فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَىٰ الْآيَةَ، فَخَلَطُوا طَعَامَهُمْ بِطَعَامِهِمْ وَشَرَابَهُمْ بِشَرَابِهِمْ.
Ia pun memisahkan untuk si yatim sebagian makanan, lalu disimpan untuknya sampai ia memakannya, atau makanan itu rusak sehingga dibuang. Hal itu memberatkan mereka, lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka Allah menurunkan ayat: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim,” lalu mereka mencampur makanan mereka dengan makanan si yatim dan minuman mereka dengan minumannya.
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ ذَلِكَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ التَّابِعِينَ.
Riwayat semisal itu juga diriwayatkan dari sekelompok tabi‘in.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ قَالَ: الْمُخَالَطَةُ: أَنْ يَشْرَبَ مِنْ لَبَنِكَ، وَتَشْرَبَ مِنْ لَبَنِهِ، وَيَأْكُلَ مِنْ قَصْعَتِكَ، وَتَأْكُلَ مِنْ قَصْعَتِهِ، وَيَأْكُلَ مِنْ ثَمَرَتِكَ، وَتَأْكُلَ مِنْ ثَمَرَتِهِ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya “dan jika kalian bergaul dengan mereka”, ia berkata: “Mukhalathah” adalah: ia minum dari susumu dan engkau minum dari susunya; ia makan dari bejanamu dan engkau makan dari bejannya; ia makan dari buahmu dan engkau makan dari buahnya.
وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ قَالَ: يَعْلَمُ مَنْ يَتَعَمَّدُ أَكْلَ مَالِ الْيَتِيمِ، وَمَنْ يَتَحَرَّجُ مِنْهُ، وَلَا يَأْلُو عَنْ إِصْلَاحِهِ.
Tentang firman-Nya “Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang memperbaiki”, ia berkata: Allah mengetahui siapa yang sengaja memakan harta anak yatim, dan siapa yang merasa takut/berhati-hati darinya serta tidak lalai dalam memperbaikinya.
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ يَقُولُ: لَوْ شَاءَ مَا أَحَلَّ لَكُمْ مَا أَعَنْتُكُمْ مِمَّا لَا تَتَعَمَّدُونَ.
Tentang firman-Nya “dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia akan menyusahkan kalian”, ia berkata: kalau Allah menghendaki, Dia tidak akan menghalalkan bagi kalian apa yang kalian lakukan tanpa sengaja.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: لَأَعْنَتَكُمْ يَقُولُ: لَأَحْرَجَكُمْ وَضَيَّقَ عَلَيْكُمْ، وَلَكِنَّهُ وَسَّعَ وَيَسَّرَ.
Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya tentang firman-Nya “niscaya Dia akan menyusahkan kalian”, ia berkata: maksudnya Dia akan menyempitkan dan memperberat kalian, tetapi Allah melapangkan dan memudahkan.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَأَعْنَتَكُمْ قَالَ: وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَ مَا أَصَبْتُمْ مِنْ أَمْوَالِ الْيَتَامَىٰ مُوبِقًا.
‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya tentang firman-Nya “dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia akan menyusahkan kalian”, ia berkata: kalau Dia menghendaki, Dia akan menjadikan apa yang kalian peroleh dari harta anak yatim sebagai sesuatu yang membinasakan. ---
1 الأنعام: ١٥٢.
2 النساء: ١٠.
3 النساء: ٤٣.
4 المائدة: ٩١-٩٢.
5 المائدة: ٩٠.
6 المائدة: ٩٠.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7