Al Baqarah Ayat 2

[سُورَةُ البَقَرَةِ (2) : آيَةٌ 2]

[Surat Al-Baqarah (2): Ayat 2] ---

ذٰلِكَ الْكِتٰابُ لَا رَيْبَ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (2)

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (2) ---

الإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ ذٰلِكَ إِلَى الْكِتَابِ الْمَذْكُورِ بَعْدَهُ.

Isyarat dengan firman-Nya “ذٰلِكَ” diarahkan kepada kitab yang disebut setelahnya. ---

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ذٰلِكَ الْكِتَابُ، هٰذَا الْكِتَابُ.

Ibnu Jarīr berkata: Ibnu ‘Abbās berkata: “ذٰلِكَ الْكِتَابُ” maksudnya “هٰذَا الْكِتَابُ”. ---

وَبِهِ قَالَ مُجَاهِدٌ، وَعِكْرِمَةُ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَالسُّدِّيُّ، وَمُقَاتِلٌ، وَزَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ، وَابْنُ جُرَيْجٍ،

Pendapat ini juga dikatakan oleh Mujāhid, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair, As-Suddī, Muqātil, Zaid bin Aslam, dan Ibnu Jurayj. ---

وَحَكَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ.

Al-Bukhārī juga menukilkannya dari Abū ‘Ubaidah. ---

وَالْعَرَبُ قَدْ تَسْتَعْمِلُ الإِشَارَةَ إِلَى الْبَعِيدِ الْغَائِبِ مَكَانَ الإِشَارَةِ إِلَى الْقَرِيبِ الْحَاضِرِ،

Orang-orang Arab terkadang menggunakan kata tunjuk untuk yang jauh dan gaib sebagai ganti kata tunjuk untuk yang dekat dan hadir, ---

كَمَا قَالَ خُفَافٌ:

sebagaimana dikatakan oleh Khuffāf: ---

أَقُولُ لَهُ وَالرُّمْحُ يَأْطُرُ مَتْنَهُ … تَأَمَّلْ خُفَافًا أَنَّنِي أَنَا ذٰلِكَا

“Aku berkata kepadanya, sementara tombak menekuk punggungnya: ‘Renungkanlah, wahai Khuffāf, bahwa akulah orang itu.’” ---

أَيْ أَنَا هٰذَا.

Yakni: “Akulah orang ini.” ---

وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ذٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ «1» -

Dan termasuk dalam hal ini firman Allah Ta‘ālā: “ذٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ” (1) – ---

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ «2» -

“وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ” (2) – ---

تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ «3» -

“تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ” (3) – ---

ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ «4».

“ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ.” (4) ---

وَقِيلَ: إِنَّ الإِشَارَةَ إِلَى غَائِبٍ، وَاخْتُلِفَ فِي ذٰلِكَ الْغَائِبِ،

Ada yang berpendapat: Isyarat (ذٰلِكَ) ditujukan kepada sesuatu yang gaib, dan terjadi perbedaan pendapat tentang “yang gaib” ini. ---

فَقِيلَ: هُوَ الْكِتَابُ الَّذِي كُتِبَ عَلَى الْخَلَائِقِ بِالسَّعَادَةِ وَالشَّقَاوَةِ وَالأَجَلِ وَالرِّزْقِ، لَا رَيْبَ فِيهِ، أَيْ: لَا مُبَدِّلَ لَهُ.

Ada yang berkata: Yaitu kitab yang telah ditetapkan atas seluruh makhluk tentang kebahagiaan dan kesengsaraan, ajal, dan rezeki; “tidak ada keraguan di dalamnya” maksudnya: tidak ada yang dapat mengubahnya. ---

وَقِيلَ: ذٰلِكَ الْكِتَابُ الَّذِي كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الأَزَلِ أَنَّ رَحْمَتَهُ سَبَقَتْ غَضَبَهُ،

Ada juga yang berkata: “ذٰلِكَ الْكِتَابُ” adalah kitab yang Allah tetapkan atas diri-Nya sejak azali bahwa rahmat-Nya mendahului murka-Nya, ---

كَمَا فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:

sebagaimana dalam Shahih Muslim, dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: ---

«لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ، كَتَبَ فِي كِتَابٍ عَلَى نَفْسِهِ، فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ: إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي».

“Tatkala Allah menyelesaikan penciptaan makhluk, Dia menulis di dalam kitab pada diri-Nya – dan kitab itu berada di sisi-Nya: ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.’” ---

وَفِي رِوَايَةٍ: «سَبَقَتْ».

Dan dalam satu riwayat: “(Rahmat-Ku) mendahului (mendahului murka-Ku).” ---

وَقِيلَ: الإِشَارَةُ إِلَى مَا قَدْ نَزَلَ بِمَكَّةَ.

Ada pula yang berpendapat: Isyarat itu ditujukan kepada Al-Qur’an yang telah turun di Mekah. ---

وَقِيلَ: إِلَى مَا فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ.

Ada yang mengatakan: Kepada apa yang terdapat dalam Taurat dan Injil. ---

وَقِيلَ: إِشَارَةٌ إِلَى قَوْلِهِ قَبْلَهُ: الم.

Ada pula yang mengatakan: Isyarat itu merujuk kepada firman-Nya sebelumnya: “الٓمّ”. ---

وَرَجَّحَهُ الزَّمَخْشَرِيُّ.

Pendapat ini dikuatkan oleh Az-Zamakhsyarī. ---

وَقَدْ وَقَعَ الِاخْتِلَافُ فِي ذٰلِكَ إِلَى تَمَامِ عَشْرَةِ أَقْوَالٍ حَسْبَمَا حَكَاهُ الْقُرْطُبِيُّ،

Perbedaan pendapat dalam masalah ini mencapai sepuluh pendapat, sebagaimana dinukil oleh Al-Qurṭubī. ---

وَأَرْجَحُهَا مَا صَدَّرْنَاهُ.

Dan yang paling kuat di antaranya adalah pendapat yang kami kemukakan di awal (bahwa isyaratnya kepada Al-Qur’an ini). ---

وَاسْمُ الإِشَارَةِ مُبْتَدَأٌ، وَالْكِتَابُ صِفَتُهُ، وَالْخَبَرُ: لَا رَيْبَ فِيهِ.

Isim isyarah (ذٰلِكَ) berfungsi sebagai mubtada (subjek), “الْكِتَابُ” adalah sifatnya, dan khabarnya adalah “لَا رَيْبَ فِيهِ”. ---

وَمَنْ جَوَّزَ الِابْتِدَاءَ بِـ «الم»، جَعَلَ ذٰلِكَ مُبْتَدَأً ثَانِيًا، وَخَبَرُهُ: الْكِتَابُ، أَوْ هُوَ صِفَتُهُ، وَالْخَبَرُ: لَا رَيْبَ فِيهِ، وَالْجُمْلَةُ خَبَرُ الْمُبْتَدَإِ.

Orang yang membolehkan memulai kalimat dengan “الٓمّ” menjadikan “ذٰلِكَ” sebagai mubtada kedua, dan khabarnya “الْكِتَابُ” – atau “الْكِتَابُ” adalah sifatnya dan khabarnya tetap “لَا رَيْبَ فِيهِ”; sedangkan jumlah kalimat itu secara keseluruhan menjadi khabar mubtada yang pertama. ---

وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُبْتَدَأُ مُقَدَّرًا، وَخَبَرُهُ: «الم» وَمَا بَعْدَهُ.

Dan boleh juga mubtadanya diperkirakan (tidak disebut), sedangkan khabarnya adalah “الٓمّ” dan apa yang sesudahnya. ---

وَالرَّيْبُ مَصْدَرٌ، وَهُوَ قَلَقُ النَّفْسِ وَاضْطِرَابُهَا.

“Ar-rayb” adalah mashdar (kata benda verbal), maknanya adalah kegelisahan dan kegoncangan jiwa. ---

وَقِيلَ: إِنَّ الرَّيْبَ: الشَّكُّ.

Ada juga yang mengatakan: “Ar-rayb” adalah keraguan. ---

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: لَا أَعْلَمُ فِي هٰذَا خِلَافًا.

Ibnu Abī Ḥātim berkata: Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. ---

وَقَدْ يُسْتَعْمَلُ الرَّيْبُ فِي التُّهْمَةِ وَالْحَاجَةِ، حَكَى ذٰلِكَ الْقُرْطُبِيُّ.

Dan “rayb” terkadang digunakan dalam arti tuduhan dan kebutuhan; hal ini dinukil oleh Al-Qurṭubī. ---

وَمَعْنَى هٰذَا النَّفْيِ الْعَامِّ: أَنَّ الْكِتَابَ لَيْسَ بِمَظِنَّةٍ لِلرَّيْبِ، لِوُضُوحِ دَلَالَتِهِ وُضُوحًا يَقُومُ مَقَامَ الْبُرْهَانِ الْمُقْتَضِي،

Makna penafian secara umum ini (لَا رَيْبَ فِيهِ) adalah bahwa kitab ini bukanlah sesuatu yang layak dijadikan tempat munculnya keraguan, karena kejelasan petunjuknya begitu terang, hingga menempati posisi sebagai dalil yang pasti, ---

لِكَوْنِهِ لَا يَنْبَغِي الِارْتِيَابُ فِيهِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوهِ.

karena tidak sepantasnya ada keraguan terhadapnya dari sisi mana pun. ---

وَالْوَقْفُ عَلَى «فِيهِ» هُوَ الْمَشْهُورُ.

Waqaf (berhenti membaca) pada kata “فِيهِ” adalah yang masyhur. ---

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ نَافِعٍ وَعَاصِمٍ الْوَقْفُ عَلَى «لَا رَيْبَ».

Dan telah diriwayatkan dari Nāfi‘ dan ‘Āṣim bahwa mereka berhenti pada kata “لَا رَيْبَ”. ---

قَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: وَلَا بُدَّ لِلْوَاقِفِ مِنْ أَنْ يَنْوِيَ خَبَرًا،

Dalam Al-Kasysyāf disebutkan: Orang yang berhenti (pada “لَا رَيْبَ”) harus berniat adanya khabar yang terhapus (diperkirakan). ---

وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: قالُوا لَا ضَيْرَ «5»، وَقَوْلُ الْعَرَبِ: لَا بَأْسَ،

Contohnya adalah firman Allah Ta‘ālā: “قَالُوا لَا ضَيْرَ” (5), dan ucapan orang Arab: “لَا بَأْسَ.” ---

وَهِيَ كَثِيرَةٌ فِي لِسَانِ أَهْلِ الْحِجَازِ.

Ungkapan-ungkapan semacam ini banyak dipakai dalam bahasa penduduk Hijaz. ---

وَالتَّقْدِيرُ: لَا رَيْبَ فِيهِ، فِيهِ هُدًى.

Takdir (susunan yang diperkirakan) adalah: “لَا رَيْبَ فِيهِ، فِيهِ هُدًى” (tidak ada keraguan di dalamnya, di dalamnya terdapat petunjuk). ---

وَالْهُدَى مَصْدَرٌ.

“Al-hudā” adalah mashdar (kata benda verbal). ---

قَالَ الزَّمَخْشَرِيُّ: وَهُوَ الدَّلَالَةُ الْمُوصِلَةُ إِلَى الْبُغْيَةِ، بِدَلِيلِ وُقُوعِ الضَّلَالِ فِي مُقَابَلَتِهِ. انْتَهَى.

Az-Zamakhsyarī berkata: Hudā adalah petunjuk yang menyampaikan kepada tujuan, dengan dalil adanya “ḍalāl” (kesesatan) yang menjadi lawannya. Selesai (ucapannya). ---

وَمَحَلُّهُ الرَّفْعُ عَلَى الِابْتِدَاءِ، وَخَبَرُهُ الظَّرْفُ الْمَذْكُورُ قَبْلَهُ عَلَى مَا سَبَقَ.

Kata “هُدًى” berposisi marfū‘ sebagai mubtada, dan khabarnya adalah zharaf (keterangan tempat) yang telah disebut sebelumnya (yaitu “فِيهِ”), seperti yang telah berlalu penjelasannya. ---

قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: الْهُدَى هُدَيَانِ: هُدَى دَلَالَةٍ، وَهُوَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَيْهِ الرُّسُلُ وَأَتْبَاعُهُمْ،

Al-Qurṭubī berkata: Hudā itu ada dua macam: petunjuk berupa bimbingan/penjelasan, dan inilah yang mampu dilakukan oleh para rasul dan para pengikut mereka. ---

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ «6»،

Allah Ta‘ālā berfirman: “وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ” (6), ---

وَقَالَ: وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ «7».

dan Dia berfirman: “وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ” (7). ---

فَأَثْبَتَ لَهُمُ الْهُدَى الَّذِي مَعْنَاهُ الدَّلَالَةُ وَالدَّعْوَةُ وَالتَّنْبِيهُ،

Maka Allah menetapkan bagi mereka (para rasul) jenis hudā yang maknanya adalah bimbingan, ajakan, dan peringatan. ---

وَتَفَرَّدَ سُبْحَانَهُ بِالْهُدَى الَّذِي مَعْنَاهُ التَّأْيِيدُ وَالتَّوْفِيقُ،

Sedangkan Allah semata yang khusus memiliki hudā yang maknanya adalah penguatan dan taufik (penciptaan keimanan). ---

فَقَالَ لِنَبِيِّهِ ﷺ: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ «8».

Karena itu Dia berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: “إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ” (8). ---

فَالْهُدَى عَلَى هٰذَا يَجِيءُ بِمَعْنَى خَلْقِ الْإِيمَانِ فِي الْقَلْبِ،

Maka hudā dalam makna kedua ini datang dalam arti menciptakan iman di dalam hati. ---

وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: أُولٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ «9»،

Dan termasuk dalam makna ini firman Allah Ta‘ālā: “أُولٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ” (9), ---

وَقَوْلُهُ: وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ «10». انْتَهَى.

dan firman-Nya: “وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ” (10). Selesai (ucapan Al-Qurṭubī). ---

وَالْمُتَّقِينَ: مَنْ ثَبَتَتْ لَهُمُ التَّقْوَى.

“Al-muttaqīn” adalah orang-orang yang benar-benar memiliki (telah menetap pada diri mereka) sifat takwa. ---

قَالَ ابْنُ فَارِسٍ: وَأَصْلُهَا فِي اللُّغَةِ: قِلَّةُ الْكَلَامِ.

Ibnu Fāris berkata: Asal kata “taqwā” dalam bahasa adalah sedikitnya berbicara. ---

وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: الْمُتَّقِي فِي اللُّغَةِ: اسْمُ فَاعِلٍ مِنْ قَوْلِهِمْ: وَقَاهُ فَاتَّقَى،

Dan dalam Al-Kasysyāf disebutkan: “Al-muttaqī” secara bahasa adalah isim fā‘il (pelaku) dari ucapan mereka: “waqāhu fattuqā” (dia melindunginya, maka ia pun melindungi diri). ---

وَالْوِقَايَةُ: الصِّيَانَةُ.

“Al-wiqāyah” adalah penjagaan/pemeliharaan. ---

وَمِنْهُ: فَرَسٌ وَاقٍ، وَهٰذِهِ الدَّابَّةُ تَقِي مِنْ وِجَاهَا:

Dan darinya (akar kata yang sama) adalah ungkapan: “farasun wāqin” (kuda yang menjaga dirinya), dan ucapan: “dābbatun taqī min wijāhā”, ---

إِذَا أَصَابَهَا ضَلَعٌ مِنْ غِلَظِ الأَرْضِ وَرِقَّةِ الْحَافِرِ، فَهُوَ يَقِي حَافِرَهَا أَنْ يُصِيبَهُ أَدْنَى شَيْءٍ يُؤْلِمُهُ.

yakni bila hewan itu terkena pincang karena kerasnya tanah dan tipisnya kuku kakinya, maka ia menjaga kukunya agar tidak terkena sedikit pun sesuatu yang menyakitinya. ---

وَهُوَ فِي الشَّرِيعَةِ: الَّذِي يَقِي نَفْسَهُ تَعَاطِيَ مَا يَسْتَحِقُّ بِهِ الْعُقُوبَةَ مِنْ فِعْلٍ أَوْ تَرْكٍ. انْتَهَى.

Sedangkan dalam syariat, al-muttaqī adalah orang yang menjaga dirinya dari melakukan hal-hal yang dengannya ia berhak mendapat hukuman, baik berupa perbuatan ataupun meninggalkan (kewajiban). Selesai (ucapannya). ---

وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: أَنَّ الْكِتَابَ: الْقُرْآنُ، لَا رَيْبَ فِيهِ: لَا شَكَّ فِيهِ.

Ibnu Jarīr dan Al-Ḥākim (dan ia mensahihkannya) meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd bahwa: “Al-kitāb” adalah Al-Qur’an; “لا رَيْبَ فِيهِ” maksudnya “tidak ada keraguan di dalamnya.” ---

وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي قَوْلِهِ: لَا رَيْبَ فِيهِ، قَالَ: لَا شَكَّ فِيهِ.

Ibnu Isḥāq, Ibnu Jarīr, dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “لَا رَيْبَ فِيهِ”; ia berkata: “Tidak ada keraguan di dalamnya.” ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ فِي «الزُّهْدِ» وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ: الرَّيْبُ: الشَّكُّ.

Ahmad dalam kitab Az-Zuhd dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Abū Dardā’, ia berkata: “Ar-rayb adalah keraguan.” ---

وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ قَتَادَةَ مِثْلَهُ، وَكَذَا ابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ.

‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Qatādah hal yang serupa, demikian pula Ibnu Jarīr dari Mujāhid. ---

فِي قَوْلِهِ: هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ، قَالَ: نُورٌ لِلْمُتَّقِينَ، وَهُمُ الْمُؤْمِنُونَ.

Tentang firman-Nya: “هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ”, Ibnu Mas‘ūd berkata: “(Ia adalah) cahaya bagi orang-orang yang bertakwa, dan mereka adalah orang-orang beriman.” ---

وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ وَابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي قَوْلِهِ: هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ، أَيْ: الَّذِينَ يَحْذَرُونَ مِنَ اللَّهِ عُقُوبَتَهُ فِي تَرْكِ مَا يَعْرِفُونَ مِنَ الْهُدَى،

Ibnu Isḥāq, Ibnu Jarīr, dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ”: yakni orang-orang yang takut terhadap hukuman Allah karena meninggalkan apa yang mereka ketahui sebagai petunjuk (kebenaran), ---

وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ فِي التَّصْدِيقِ مِمَّا جَاءَ مِنْهُ.

dan mereka mengharapkan rahmat-Nya dengan membenarkan (beriman kepada) apa yang datang dari-Nya. ---

وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ: أَنَّهُ قِيلَ لَهُ: مَنِ الْمُتَّقُونَ؟

Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Mu‘āż bin Jabal, bahwa pernah dikatakan kepadanya: “Siapakah orang-orang yang bertakwa itu?” ---

فَقَالَ: قَوْمٌ اتَّقَوُا الشِّرْكَ وَعِبَادَةَ الأَوْثَانِ، وَأَخْلَصُوا لِلَّهِ الْعِبَادَةَ.

Ia menjawab: “Suatu kaum yang menjauhi syirik dan penyembahan berhala, dan memurnikan ibadah hanya untuk Allah.” ---

وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَجُلًا قَالَ لَهُ: مَا التَّقْوَى؟

Ibnu Abī Ad-Dunyā meriwayatkan dari Abū Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepadanya: “Apa itu takwa?” ---

قَالَ: هَلْ وَجَدْتَ طَرِيقًا ذَا شَوْكٍ؟

Ia (Abu Hurairah) berkata: “Pernahkah engkau mendapati suatu jalan yang penuh duri?” ---

قَالَ: نَعَمْ.

Laki-laki itu menjawab: “Ya.” ---

قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعْتَ؟

Abu Hurairah bertanya: “Lalu apa yang engkau lakukan?” ---

قَالَ: إِذَا رَأَيْتُ الشَّوْكَ عَدَلْتُ عَنْهُ، أَوْ جَاوَزْتُهُ، أَوْ قَصَّرْتُ عَنْهُ.

Ia menjawab: “Jika aku melihat duri, aku menghindarinya, atau melewatinya, atau aku melangkah lebih pendek (berhati-hati) darinya.” ---

قَالَ: ذَاكَ التَّقْوَى.

Abu Hurairah berkata: “Itulah takwa.” ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ فِي «الزُّهْدِ»، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، قَالَ:

Ahmad dalam Az-Zuhd meriwayatkan dari Abū Dardā’, ia berkata: ---

تَمَامُ التَّقْوَى: أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ الْعَبْدُ حَتَّى يَتَّقِيَهُ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ،

“Sempurnanya takwa adalah ketika seorang hamba bertakwa kepada Allah hingga ia menjaga diri dari (dosa) seberat zarrah (sangat kecil), ---

حَيْثُ يَتْرُكُ بَعْضَ مَا يَرَى أَنَّهُ حَلَالٌ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُونَ حَرَامًا؛

yaitu ia meninggalkan sebagian perkara yang ia pandang halal karena khawatir ternyata perkara itu haram, ---

يَكُونُ حِجَابًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَرَامِ.

sehingga hal itu menjadi penghalang antara dirinya dan perkara yang haram.” ---

وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ مَا قَالَهُ أَبُو الدَّرْدَاءِ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ التَّابِعِينَ.

Dan telah diriwayatkan ucapan yang serupa dengan perkataan Abū Dardā’ ini dari sejumlah tābi‘īn. ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَالْبُخَارِيُّ فِي «تَارِيخِهِ»، وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الشُّعَبِ»،

Ahmad, ‘Abd bin Ḥumayd, Al-Bukhārī dalam Tārīkh-nya, At-Tirmiżī (dan ia menghasankannya), Ibnu Mājah, Ibnu Abī Ḥātim, Al-Ḥākim (dan ia mensahihkannya), dan Al-Baihaqī dalam Syu‘ab Al-Īmān, ---

عَنْ عَطِيَّةَ السَّعْدِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:

meriwayatkan dari ‘Aṭiyyah As-Sa‘dī, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: ---

«لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ، حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ».

“Seorang hamba tidak akan mencapai derajat termasuk golongan orang-orang bertakwa, sampai ia meninggalkan sesuatu yang tidak mengapa (mubah), karena khawatir terjerumus ke dalam sesuatu yang mengandung bahaya (dosa).” ---

فَالْمَصِيرُ إِلَى مَا أَفَادَهُ هٰذَا الْحَدِيثُ وَاجِبٌ،

Maka berpegang kepada makna yang ditunjukkan oleh hadis ini adalah wajib. ---

وَيَكُونُ هٰذَا مَعْنًى شَرْعِيًّا لِلْمُتَّقِي أَخَصَّ مِنَ الْمَعْنَى الَّذِي قَدَّمْنَاهُ عَنْ صَاحِبِ «الْكَشَّافِ» زَاعِمًا أَنَّهُ الْمَعْنَى الشَّرْعِيُّ.

Dan makna ini menjadi definisi syar‘ī bagi al-muttaqī yang lebih khusus daripada makna yang telah kami nukil sebelumnya dari penulis Al-Kasysyāf, sementara ia mengira bahwa itulah makna syar‘ī. ---

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman kepada yang gaib…” ---

وَهُوَ وَصْفٌ لِلْمُتَّقِينَ كَاشِفٌ.

Ini adalah sifat bagi orang-orang yang bertakwa yang bersifat penjelas (memperinci mereka). ---

وَالْإِيمَانُ فِي اللُّغَةِ: التَّصْدِيقُ، وَفِي الشَّرْعِ مَا سَيَأْتِي.

Secara bahasa, iman berarti “pembenaran”; sedangkan secara syar‘i akan dijelaskan kemudian. ---

وَالْغَيْبُ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ: كُلُّ مَا غَابَ عَنْكَ.

Adapun “ghayb” dalam ucapan orang-orang Arab adalah: setiap hal yang tersembunyi dari (penglihatan)mu. ---

قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَاخْتَلَفَ الْمُفَسِّرُونَ فِي تَأْوِيلِ «الْغَيْبِ» هُنَا،

Al-Qurṭubī berkata: Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan “al-ghayb” di sini. ---

فَقَالَتْ فِرْقَةٌ: الْغَيْبُ فِي هٰذِهِ الْآيَةِ هُوَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ، وَضَعَّفَهُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ.

Satu kelompok berpendapat: Ghayb dalam ayat ini adalah Allah سبحانه, namun pendapat ini dilemahkan oleh Ibnu Al-‘Arabī. ---

وَقَالَ آخَرُونَ: الْقَضَاءُ وَالْقَدَرُ.

Kelompok lain berkata: (yang dimaksud ghayb adalah) qadha dan qadar. ---

وَقَالَ آخَرُونَ: الْقُرْآنُ وَمَا فِيهِ مِنَ الْغُيُوبِ.

Kelompok lain berkata: Al-Qur’an dan segala perkara ghaib yang terdapat di dalamnya. ---

وَقَالَ آخَرُونَ: الْغَيْبُ كُلُّ مَا أَخْبَرَ بِهِ الرَّسُولُ مِمَّا لَا تَهْتَدِي إِلَيْهِ الْعُقُولُ،

Kelompok lain berkata: Ghayb adalah segala sesuatu yang diberitakan Rasul, yang akal tidak bisa sampai kepadanya, ---

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ، وَالْحَشْرِ، وَالنَّشْرِ، وَالصِّرَاطِ، وَالْمِيزَانِ، وَالْجَنَّةِ، وَالنَّارِ.

seperti tanda-tanda kiamat, azab kubur, pengumpulan (di padang mahsyar), kebangkitan, shirāṭ, mīzān, surga dan neraka. ---

قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: وَهٰذِهِ الْأَقْوَالُ لَا تَتَعَارَضُ، بَلْ يَقَعُ الْغَيْبُ عَلَى جَمِيعِهَا.

Ibnu ‘Aṭiyyah berkata: Pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan, bahkan istilah “ghayb” itu mencakup semuanya. ---

قَالَ: وَهٰذَا هُوَ الْإِيمَانُ الشَّرْعِيُّ، الْمُشَارُ إِلَيْهِ فِي حَدِيثِ جِبْرِيلَ،

Ia berkata: Inilah iman secara syar‘i yang ditunjuk dalam hadis Jibrīl, ---

حِينَ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ؟»

ketika Nabi ﷺ ditanya: “Maka beritahukanlah kepadaku tentang iman?” ---

قَالَ: «أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ».

Beliau menjawab: “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” ---

قَالَ: «صَدَقْتَ». انْتَهَى.

Lalu ia (Jibrīl) berkata: “Engkau benar.” Selesai (ucapan Ibnu ‘Aṭiyyah). ---

وَهٰذَا الْحَدِيثُ هُوَ ثَابِتٌ فِي «الصَّحِيحِ» بِلَفْظِ:

Hadis ini terdapat secara sahih dalam Shahih (Al-Bukhārī dan Muslim) dengan lafaz: ---

«أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ».

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan takdir yang baik maupun yang buruk.” ---

وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ مَنْدَهْ، وَأَبُو نُعَيْمٍ كِلَاهُمَا فِي «مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ»،

Ibnu Abī Ḥātim, Aṭ-Ṭabarānī, Ibnu Mandah, dan Abū Nu‘aim – keduanya dalam kitab Ma‘rifat aṣ-Ṣaḥābah – ---

عَنْ تَوِيلَةَ بِنْتِ أَسْلَمَ، قَالَتْ:

meriwayatkan dari Tuwailah binti Aslam, ia berkata: ---

«صَلَّيْتُ الظُّهْرَ أَوِ الْعَصْرَ فِي مَسْجِدِ بَنِي حَارِثَةَ، فَاسْتَقْبَلْنَا مَسْجِدَ إِيلِيَا، فَصَلَّيْنَا سَجْدَتَيْنِ،

“Aku shalat Zuhur atau Ashar di masjid Bani Ḥārithah; kami menghadap ke masjid Īliyā (Baitul Maqdis), lalu kami shalat dua rakaat (dengan menghadap ke sana). ---

ثُمَّ جَاءَنَا مَنْ يُخْبِرُنَا بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَدِ اسْتَقْبَلَ الْبَيْتَ،

Kemudian datang kepada kami seseorang yang memberi tahu bahwa Rasulullah ﷺ telah menghadap Ka‘bah, ---

فَتَحَوَّلَ الرِّجَالُ مَكَانَ النِّسَاءِ، وَالنِّسَاءُ مَكَانَ الرِّجَالِ،

maka kaum lelaki berpindah ke tempat kaum wanita, dan kaum wanita berpindah ke tempat kaum lelaki, ---

فَصَلَّيْنَا السَّجْدَتَيْنِ الْبَاقِيَتَيْنِ، وَنَحْنُ مُسْتَقْبِلُونَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ،

sehingga kami menyempurnakan dua rakaat shalat yang tersisa dengan menghadap ke Baitullah Al-Harām. ---

فَبَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ: أُولٰئِكَ قَوْمٌ آمَنُوا بِالْغَيْبِ».

Berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda: “Mereka itu adalah suatu kaum yang beriman kepada yang gaib.” ---

وَأَخْرَجَ الْبَزَّارُ وَأَبُو يَعْلَى وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ:

Al-Bazzār, Abū Ya‘lā, dan Al-Ḥākim (serta ia mensahihkannya) meriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb, ia berkata: ---

«كُنْتُ جَالِسًا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ: أَنْبِئُونِي بِأَفْضَلِ أَهْلِ الْإِيمَانِ إِيمَانًا؟

“Aku sedang duduk bersama Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Beritahukan kepadaku, siapakah orang yang paling utama imannya di antara orang-orang beriman?’ ---

فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! الْمَلَائِكَةُ.

Mereka menjawab: ‘Wahai Rasulullah, (mereka adalah) para malaikat.’ ---

قَالَ: هُمْ كَذٰلِكَ، وَيَحِقُّ لَهُمْ، وَمَا يَمْنَعُهُمْ، وَقَدْ أَنْزَلَهُمُ اللَّهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي أَنْزَلَهُمْ بِهَا؟

Beliau bersabda: ‘Memang demikian, dan itu wajar bagi mereka. Apa yang menghalangi mereka (untuk beriman), sedangkan Allah telah menempatkan mereka pada kedudukan yang Dia tetapkan untuk mereka?’ ---

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! الأَنْبِيَاءُ الَّذِينَ أَكْرَمَهُمُ اللَّهُ بِرِسَالَتِهِ وَالنُّبُوَّةِ.

Mereka berkata: “(Kalau begitu) wahai Rasulullah, (tentulah) para nabi yang Allah muliakan dengan risalah dan kenabian.” ---

قَالَ: هُمْ كَذٰلِكَ، وَيَحِقُّ لَهُمْ، وَمَا يَمْنَعُهُمْ، وَقَدْ أَنْزَلَهُمُ اللَّهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي أَنْزَلَهُمْ بِهَا؟

Beliau bersabda: “Memang demikian, dan itu wajar bagi mereka. Apa yang menghalangi mereka, sedangkan Allah telah menempatkan mereka pada kedudukan yang Dia tetapkan untuk mereka?” ---

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! الشُّهَدَاءُ الَّذِينَ اسْتُشْهِدُوا مَعَ الأَنْبِيَاءِ.

Mereka berkata: “(Kalau begitu) wahai Rasulullah, para syuhadā’ yang gugur bersama para nabi.” ---

قَالَ: هُمْ كَذٰلِكَ، وَمَا يَمْنَعُهُمْ، وَقَدْ أَكْرَمَهُمُ اللَّهُ بِالشَّهَادَةِ؟

Beliau bersabda: “Memang demikian. Apa yang menghalangi mereka, sedangkan Allah telah memuliakan mereka dengan kesyahidan?” ---

قَالُوا: فَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟

Mereka berkata: “Lalu siapakah mereka itu, wahai Rasulullah?” ---

قَالَ: أَقْوَامٌ فِي أَصْلَابِ الرِّجَالِ، يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِي، يُؤْمِنُونَ بِي وَلَمْ يَرَوْنِي، وَيُصَدِّقُونِي وَلَمْ يَرَوْنِي،

Beliau menjawab: “Segolongan orang yang masih berada di sulbi (tulang punggung) para lelaki, yang akan datang setelahku; mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku, dan mereka membenarkanku padahal mereka tidak pernah melihatku. ---

يَجِدُونَ الْوَرَقَ الْمُعَلَّقَ، فَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ؛ فَهٰؤُلَاءِ أَفْضَلُ أَهْلِ الْإِيمَانِ إِيمَانًا».

Mereka menjumpai lembaran-lembaran tertulis (Al-Qur’an), lalu mereka mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Mereka itulah orang-orang yang paling utama imannya di antara orang-orang beriman.” ---

فِي إِسْنَادِهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ، وَفِيهِ ضَعْفٌ.

Dalam sanad hadis ini terdapat Muhammad bin Abī Ḥumaid, dan pada dirinya ada kelemahan. ---

وَأَخْرَجَ الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ فِي جُزْئِهِ الْمَشْهُورِ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الدَّلَائِلِ»،

Al-Ḥasan bin ‘Arafah dalam juz-nya yang masyhur dan Al-Baihaqī dalam Ad-Dalā’il meriwayatkan, ---

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ،

dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, ---

فَذَكَرَ نَحْوَ الْحَدِيثِ الأَوَّلِ؛

lalu ia menyebutkan hadis yang semakna dengan hadis yang pertama tadi, ---

وَفِي إِسْنَادِهِ الْمُغِيرَةُ بْنُ قَيْسٍ الْبَصَرِيُّ، وَهُوَ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ.

dan dalam sanadnya terdapat Al-Mughīrah bin Qais Al-Baṣrī; ia adalah perawi yang munkar hadisnya. ---

وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ الطَّبَرَانِيُّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا،

Aṭ-Ṭabarānī juga meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu ‘Abbās secara marfū‘, ---

وَالْإِسْمَاعِيلِيُّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا أَيْضًا،

dan Al-Ismā‘īlī meriwayatkan dari Abū Hurairah secara marfū‘ juga, ---

وَالْبَزَّارُ، عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا.

dan Al-Bazzār meriwayatkan dari Anas secara marfū‘. ---

وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي «مُسْنَدِهِ»، عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ:

Ibnu Abī Syaibah dalam Musnad-nya meriwayatkan dari ‘Auf bin Mālik, ia berkata: ---

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «يَا لَيْتَنِي قَدْ لَقِيتُ إِخْوَانِي».

Rasulullah ﷺ bersabda: “Alangkah ingin aku seandainya telah bertemu dengan saudara-saudaraku.” ---

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَلَسْنَا إِخْوَانَكَ؟

Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, bukankah kami adalah saudara-saudaramu?” ---

قَالَ: «بَلَى، وَلٰكِنْ قَوْمٌ يَجِيئُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ، يُؤْمِنُونَ بِي إِيمَانَكُمْ، وَيُصَدِّقُونِي تَصْدِيقَكُمْ، وَيَنْصُرُونِي نَصْرَكُمْ؛

Beliau bersabda: “Benar. Tetapi (yang aku maksud adalah) suatu kaum yang akan datang setelah kalian; mereka beriman kepadaku seperti iman kalian, membenarkanku seperti kalian membenarkanku, dan menolongku seperti kalian menolongku. ---

فَيَا لَيْتَنِي قَدْ لَقِيتُ إِخْوَانِي».

Maka alangkah ingin aku seandainya telah bertemu dengan saudara-saudaraku itu.” ---

وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ ابْنُ عَسَاكِرَ فِي «الأَرْبَعِينَ السُّبَاعِيَّةِ» مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ،

Ibnu ‘Asākir meriwayatkan hadis yang semakna dalam kitab Al-Arba‘īn As-Subā‘iyyah dari Anas, ---

وَفِي إِسْنَادِهِ أَبُو هُدْبَةَ، وَهُوَ كَذَّابٌ،

dan dalam sanadnya terdapat Abū Hudbah, ia adalah pendusta. ---

وَزَادَ فِيهِ: «ثُمَّ قَرَأَ النَّبِيُّ ﷺ: الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ «1» الآيَةَ».

Ia menambahkan dalam riwayat tersebut: “Kemudian Nabi ﷺ membaca: ‘الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ…’ (1) hingga akhir ayat.” ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَالدَّارِمِيُّ وَالْبَاوَرْدِيُّ وَابْنُ قَانِعٍ مَعًا فِي «مُعْجَمِ الصَّحَابَةِ»،

Ahmad, Ad-Dārimī, Al-Bāwardī, dan Ibnu Qāni‘ secara bersamaan dalam Mu‘jam aṣ-Ṣaḥābah, ---

وَالْبُخَارِيُّ فِي «تَارِيخِهِ»، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَالْحَاكِمُ،

serta Al-Bukhārī dalam Tārīkh-nya, Ath-Ṭabarānī, dan Al-Ḥākim, ---

عَنْ أَبِي جُمُعَةَ الأَنْصَارِيِّ، قَالَ:

meriwayatkan dari Abū Jum‘ah Al-Anṣārī, ia berkata: ---

«قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! هَلْ مِنْ قَوْمٍ أَعْظَمَ مِنَّا أَجْرًا، آمَنَّا بِكَ وَاتَّبَعْنَاكَ؟

“Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, adakah suatu kaum yang pahalanya lebih besar dari kami, padahal kami telah beriman kepadamu dan mengikutimu?’” ---

قَالَ: «مَا يَمْنَعُكُمْ مِنْ ذٰلِكَ، وَرَسُولُ اللَّهِ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ، يَأْتِيكُمْ بِالْوَحْيِ مِنَ السَّمَاءِ؟

Beliau bersabda: “Apa yang menghalangi kalian (untuk beriman), sementara Rasulullah berada di tengah-tengah kalian, dan wahyu datang kepada kalian dari langit?” ---

بَلْ قَوْمٌ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِكُمْ، يَأْتِيهِمْ كِتَابُ اللَّهِ بَيْنَ لَوْحَيْنِ، فَيُؤْمِنُونَ بِي وَيَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ؛ أُولٰئِكَ أَعْظَمُ مِنْكُمْ أَجْرًا».

“Akan tetapi (ada) suatu kaum yang datang setelah kalian; Kitab Allah datang kepada mereka dalam bentuk antara dua lembaran (mushaf), lalu mereka beriman kepadaku dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya. Mereka itulah yang pahalanya lebih besar daripada kalian.” ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَالْحَاكِمُ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْجُهَنِيِّ، قَالَ:

Ahmad, Ibnu Abī Syaibah, dan Al-Ḥākim meriwayatkan dari Abū ‘Abdir-Raḥmān Al-Juhanī, ia berkata: ---

«بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، إِذْ طَلَعَ رَاكِبَانِ،

“Ketika kami sedang berada di sisi Rasulullah ﷺ, tiba-tiba muncul dua orang penunggang (hewan). ---

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: كِنْدِيَّانِ أَوْ مَذْحَجِيَّانِ.

Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘(Mereka adalah) dari (kabilah) Kindah atau Mażḥij.’” ---

حَتَّى أَتَيَا، فَإِذَا رَجُلَانِ مِنْ مَذْحِجٍ، فَدَنَا أَحَدُهُمَا لِيُبَايِعَهُ،

Hingga keduanya datang; rupanya dua orang dari Mażḥij. Salah satu dari keduanya mendekat untuk membaiat beliau. ---

فَلَمَّا أَخَذَ بِيَدِهِ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَنْ جَاءَكَ فَآمَنَ بِكَ وَاتَّبَعَكَ وَصَدَّقَكَ، فَمَاذَا لَهُ؟

Ketika Rasulullah menggenggam tangannya, ia berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang orang yang datang kepadamu, lalu ia beriman kepadamu, mengikutimu, dan membenarkanmu; apa balasan baginya?” ---

قَالَ: «طُوبَىٰ لَهُ».

Beliau menjawab: “Ṭūbā baginya (kebahagiaan besar).” ---

فَمَسَحَ عَلَىٰ زِنْدِهِ وَانْصَرَفَ،

Lalu Nabi mengusap lengan bawahnya dan ia pun berlalu. ---

ثُمَّ جَاءَ الآخَرُ حَتَّىٰ أَخَذَ بِيَدِهِ لِيُبَايِعَهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ مَنْ آمَنَ بِكَ وَصَدَّقَكَ وَاتَّبَعَكَ وَلَمْ يَرَكَ؟

Kemudian datang yang satunya lagi hingga ia memegang tangan Nabi untuk membaiat beliau, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang orang yang beriman kepadamu, membenarkanmu, dan mengikutimu, sedangkan ia belum pernah melihatmu?” ---

قَالَ: «طُوبَىٰ لَهُ، ثُمَّ طُوبَىٰ لَهُ»، ثُمَّ مَسَحَ عَلَىٰ زِنْدِهِ وَانْصَرَفَ».

Beliau menjawab: “Ṭūbā baginya, lalu Ṭūbā baginya,” kemudian beliau mengusap lengan bawahnya dan ia pun berlalu. ---

وَأَخْرَجَ الطَّيَالِسِيُّ وَأَحْمَدُ وَالْبُخَارِيُّ فِي «تَارِيخِهِ» وَالطَّبَرَانِيُّ وَالْحَاكِمُ،

Ath-Ṭayālisī, Ahmad, Al-Bukhārī dalam Tārīkh-nya, Aṭ-Ṭabarānī, dan Al-Ḥākim, ---

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:

meriwayatkan dari Abū Umāmah Al-Bāhilī, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: ---

«طُوبَىٰ لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي، وَطُوبَىٰ لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي، سَبْعَ مَرَّاتٍ».

“Ṭūbā bagi orang yang melihatku lalu beriman kepadaku, dan Ṭūbā bagi orang yang beriman kepadaku walau tidak melihatku – tujuh kali lipat.” ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَابْنُ حِبَّانَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ:

Ahmad dan Ibnu Ḥibbān meriwayatkan dari Abū Sa‘īd, ---

«أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! طُوبَىٰ لِمَنْ رَآكَ وَآمَنَ بِكَ؟

bahwa seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, betapa bahagianya orang yang melihatmu lalu beriman kepadamu?” ---

قَالَ: «طُوبَىٰ لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي، وَطُوبَىٰ ثُمَّ طُوبَىٰ ثُمَّ طُوبَىٰ لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي».

Beliau menjawab: “Ṭūbā bagi orang yang melihatku lalu beriman kepadaku; dan Ṭūbā, kemudian Ṭūbā, kemudian Ṭūbā bagi orang yang beriman kepadaku walaupun tidak melihatku.” ---

وَأَخْرَجَ الطَّيَالِسِيُّ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ نَحْوَهُ.

Ath-Ṭayālisī dan ‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu ‘Umar. ---

وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ وَأَبُو يَعْلَى وَالطَّبَرَانِيُّ، مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ نَحْوَ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ الْمُتَقَدِّمِ.

Ahmad, Abū Ya‘lā, dan Aṭ-Ṭabarānī meriwayatkan dari Anas hadis yang semakna dengan hadis Abū Umāmah Al-Bāhilī yang telah lalu. ---

وَأَخْرَجَ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ فِي «مُسْنَدِهِ»، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ الضُّبَارِيِّ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ،

Sufyān bin ‘Uyainah, Sa‘īd bin Manṣūr, Ahmad bin Mani‘ dalam Musnad-nya, Ibnu Abī Ḥātim, Ibnu Aḍ-Ḍubārī, dan Al-Ḥākim (dan ia mensahihkannya) ---

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ قَالَ:

meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd, bahwa ia berkata: ---

وَالَّذِي لَا إِلٰهَ غَيْرُهُ، مَا آمَنَ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْ إِيمَانٍ بِغَيْبٍ؛

“Demi Dzat yang tiada ilah selain Dia, tidaklah seorang pun beriman dengan iman yang lebih utama daripada iman kepada yang gaib.” ---

ثُمَّ قَرَأَ: الٓمّ ۝ ذٰلِكَ الْكِتٰابُ لَا رَيْبَ فِيهِ… إِلَىٰ قَوْلِهِ: الْمُفْلِحُونَ «2».

Lalu ia membaca: “الٓمّ، ذٰلِكَ الْكِتٰابُ لَا رَيْبَ فِيهِ…” hingga firman-Nya: “…الْمُفْلِحُونَ.” (2) ---

وَلِلتَّابِعِينَ أَقْوَالٌ، وَالرَّاجِحُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ أَنَّ الْإِيمَانَ الشَّرْعِيَّ يَصْدُقُ عَلَىٰ جَمِيعِ مَا ذُكِرَ هُنَا.

Dan dari kalangan tābi‘īn terdapat berbagai pendapat; namun yang rajih (lebih kuat) adalah apa yang telah lalu, yaitu bahwa iman secara syar‘i mencakup seluruh perkara yang disebutkan di sini. ---

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: وَالأَوْلَىٰ أَنْ تَكُونُوا مَوْصُوفِينَ بِالْإِيمَانِ بِالْغَيْبِ قَوْلًا وَاعْتِقَادًا وَعَمَلًا.

Ibnu Jarīr berkata: Yang lebih utama adalah bahwa kalian disifati sebagai orang-orang yang beriman kepada yang gaib dalam ucapan, keyakinan, dan amal. ---

قَالَ: وَتَدْخُلُ الْخَشْيَةُ لِلَّهِ فِي مَعْنَى الْإِيمَانِ الَّذِي هُوَ تَصْدِيقُ الْقَوْلِ بِالْعَمَلِ.

Ia berkata: Dan rasa takut kepada Allah termasuk ke dalam makna iman yang merupakan pembenaran ucapan dengan amal. ---

وَالْإِيمَانُ كَلِمَةٌ جَامِعَةٌ لِلإِقْرَارِ بِاللَّهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَتَصْدِيقِ الْإِقْرَارِ بِالْفِعْلِ.

Iman adalah kata yang mencakup pengakuan terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya, serta membenarkan pengakuan itu dengan perbuatan. ---

وَقَالَ ابْنُ كَثِيرٍ: إِنَّ الْإِيمَانَ الشَّرْعِيَّ الْمَطْلُوبَ لَا يَكُونُ إِلَّا اعْتِقَادًا وَقَوْلًا وَعَمَلًا،

Ibnu Kathīr berkata: Sesungguhnya iman secara syar‘i yang dituntut (oleh agama) tidaklah terwujud kecuali berupa keyakinan, ucapan, dan amal. ---

هَكَذَا ذَهَبَ إِلَيْهِ أَكْثَرُ الأَئِمَّةِ.

Demikianlah pendapat mayoritas para imam. ---

بَلْ قَدْ حَكَاهُ الشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَأَبُو عُبَيْدٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ إِجْمَاعًا:

Bahkan Asy-Syāfi‘ī, Ahmad bin Ḥanbal, Abū ‘Ubaid, dan selain mereka menukilkannya sebagai ijma‘ (kesepakatan), ---

أَنَّ الْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، وَيَزِيدُ وَيَنْقُصُ.

bahwa iman itu adalah ucapan dan amal, serta bertambah dan berkurang. ---

وَقَدْ وَرَدَ فِيهِ آيَاتٌ كَثِيرَةٌ. انْتَهَى.

Dan tentang hal ini telah datang banyak ayat Al-Qur’an. Selesai (ucapan Ibnu Kathīr).

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7