Al Baqarah Ayat 199-203

[سورةُ البَقَرَةِ (٢): الآياتُ ١٩٩ إِلى ٢٠٣]

ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٩٩)
Kemudian bertolaklah kalian dari tempat orang-orang banyak bertolak, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا وَما لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ (٢٠٠)
Maka apabila kalian telah menyelesaikan manasik kalian, berdzikirlah kepada Allah sebagaimana kalian menyebut-nyebut bapak-bapak kalian, atau (bahkan) dengan dzikir yang lebih kuat lagi. Maka di antara manusia ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, sedang dia tidak memperoleh bagian apa pun di akhirat.
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنا عَذابَ النَّارِ (٢٠١)
Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan (berilah kami) kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”
أُولئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسابِ (٢٠٢)
Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka usahakan; dan Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُوداتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقى وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (٢٠٣)
Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang berbilang. Maka barang siapa yang bersegera (meninggalkan Mina) dalam dua hari, maka tidak ada dosa atasnya; dan barang siapa yang mengakhirkan (hingga hari ketiga), maka tidak ada dosa atasnya (pula) bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian pasti akan dikumpulkan kepada-Nya. ---
قِيلَ: الْخِطابُ فِي قَوْلِهِ: ثُمَّ أَفِيضُوا لِلْحُمْسِ مِنْ قُرَيْشٍ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَقِفُونَ مَعَ النَّاسِ بِعَرَفَاتٍ، بَلْ كَانُوا يَقِفُونَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، وَهِيَ مِنَ الْحَرَمِ، فَأُمِرُوا بِذَلِكَ - وَعَلَى هَذَا تَكُونُ ثُمَّ لِعَطْفِ جُمْلَةٍ عَلَى جُمْلَةٍ لَا لِلتَّرْتِيبِ -
Dikatakan: Khithab (seruan) dalam firman-Nya: “Kemudian bertolaklah kalian” ditujukan kepada al-Hums dari (kalangan) Quraisy. Karena mereka dahulu tidak berdiri bersama manusia di Arafah, tetapi mereka berdiri di Muzdalifah yang termasuk wilayah Haram. Maka mereka diperintahkan demikian. Dan menurut pendapat ini, kata “ثُمَّ” digunakan untuk menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lain, bukan untuk menunjukkan urutan (waktu).
وَقِيلَ: الْخِطابُ لِجَمِيعِ الْأُمَّةِ، وَالْمُرادُ بِالنَّاسِ: إِبْراهِيمُ، أَيْ: ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفاضَ إِبْراهِيمُ،
Dan dikatakan (pendapat lain): Seruan itu ditujukan kepada seluruh umat. Dan yang dimaksud dengan “manusia” adalah Ibrahim, yaitu: “Kemudian bertolaklah kalian dari tempat Ibrahim bertolak.”
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَمْراً لَهُمْ بِالْإِفاضَةِ مِنْ عَرَفَةَ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ إِفاضَةً أُخْرَى وَهِيَ الَّتِي مِنَ الْمُزْدَلِفَةِ، وَعَلَى هَذَا تَكُونُ ثُمَّ عَلَى بَابِهَا، أَيْ: لِلتَّرْتِيبِ.
Maka mungkin (ayat ini) merupakan perintah kepada mereka untuk melakukan ifadhah dari Arafah. Dan mungkin juga yang dimaksud adalah ifadhah yang lain, yaitu yang dari Muzdalifah. Menurut kemungkinan kedua ini, kata “ثُمَّ” tetap pada makna asalnya, yaitu untuk menunjukkan urutan.
وَقَدْ رَجَّحَ هَذَا الِاحْتِمالَ الْأَخِيرَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ،
Kemungkinan terakhir ini telah dikuatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.
وَإِنَّما أُمِرُوا بِالِاسْتِغْفارِ لِأَنَّهُمْ فِي مَساقِطِ الرَّحْمَةِ، وَمُواطِنِ الْقَبُولِ، وَمَظِنَّاتِ الْإِجابَةِ -
Dan mereka diperintahkan untuk beristigfar karena mereka berada di tempat-tempat turunnya rahmat, di lokasi-lokasi diterimanya (amal), dan di tempat-tempat yang diharapkan adanya pengabulan doa.
وَقِيلَ: إِنَّ الْمَعْنى: اسْتَغْفِرُوا لِلَّذِي كانَ مُخالِفاً لِسُنَّةِ إِبْراهِيمَ، وَهُوَ وُقُوفُكُمْ بِالْمُزْدَلِفَةِ دُونَ عَرَفَةَ.
Dan dikatakan: Maknanya adalah: mohonlah ampun atas (perbuatan) yang dulu menyelisihi sunnah Ibrahim, yaitu kalian dahulu berdiri di Muzdalifah tanpa (berwukuf di) Arafah.
وَالْمُرادُ بِالْمَناسِكِ: أَعْمالُ الْحَجِّ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم: «خُذُوا عَنِّي مَناسِكَكُمْ»
Yang dimaksud dengan “manasik” adalah amalan-amalan haji. Di antaranya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Ambillah dari aku manasik (tata cara ibadah haji) kalian.”
أَيْ: فَإِذا فَرَغْتُمْ مِنْ أَعْمالِ الْحَجِّ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
Maksudnya: apabila kalian telah selesai dari amalan-amalan haji, maka berdzikirlah kepada Allah.
وَقِيلَ: الْمُرادُ بِالْمَناسِكِ: الذَّبائِحُ،
Dan dikatakan: Yang dimaksud dengan “manasik” adalah hewan-hewan sembelihan.
وَإِنَّما قالَ سُبْحانَهُ: كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ لِأَنَّ الْعَرَبَ كانُوا إِذا فَرَغُوا مِنْ حَجِّهِمْ يَقِفُونَ عِنْدَ الْجَمْرَةِ
Allah سبحانه mengatakan: “sebagaimana kalian menyebut-nyebut bapak kalian” karena orang-orang Arab, apabila telah selesai dari haji mereka, berdiri di sisi jamrah.
فَيَذْكُرُونَ مَفاخِرَ آبائِهِمْ وَمَناقِبَ أَسْلافِهِمْ،
Lalu mereka menyebut-nyebut kebanggaan bapak-bapak mereka dan keutamaan para leluhur mereka.
فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ بِذِكْرِهِ مَكانَ ذلِكَ الذِّكْرِ،
Maka Allah memerintahkan mereka untuk berdzikir kepada-Nya sebagai pengganti dari dzikir (kepada leluhur) tersebut.
وَيَجْعَلُونَهُ ذِكْراً مِثْلَ ذِكْرِهِمْ لِآبائِهِمْ، أَوْ أَشَدَّ مِنْ ذِكْرِهِمْ لِآبائِهِمْ.
Dan agar mereka menjadikan dzikir kepada-Nya seperti dzikir mereka kepada bapak-bapak mereka, atau bahkan lebih kuat daripada dzikir mereka kepada bapak-bapak mereka.
قالَ الزَّجَّاجُ: إِنَّ قَوْلَهُ: أَوْ أَشَدَّ فِي مَوْضِعِ خَفْضٍ عَطْفاً عَلى ذِكْرِكُمْ، وَالْمَعْنى: أَوْ كَأَشَدَّ ذِكْراً،
Az-Zajjāj berkata: Sesungguhnya firman-Nya “أَوْ أَشَدَّ” berada pada posisi majrur, di-‘athaf-kan kepada “ذِكْرِكُمْ”; maknanya: “atau seperti dzikir yang lebih kuat.”
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ، أَيْ: اذْكُرُوهُ أَشَدَّ ذِكْراً.
Dan boleh juga ia berada pada posisi manshub, yakni: “ingatlah (sebutlah) Dia dengan dzikir yang lebih kuat.”
وَقالَ فِي الْكَشَّافِ: إِنَّهُ عَطْفٌ عَلى ما أُضِيفَ إِلَيْهِ الذِّكْرُ فِي قَوْلِهِ: كَذِكْرِكُمْ، كَما تَقُولُ: كَذِكْرِ قُرَيْشٍ آباءَهُمْ، أَوْ قَوْمٍ أَشَدَّ مِنْهُمْ ذِكْراً.
Dan dalam Al-Kasysyāf disebutkan: “أَوْ أَشَدَّ” adalah ‘athaf kepada sesuatu yang menjadi tempat idhafah dzikir pada firman-Nya “كَذِكْرِكُمْ”. Seperti engkau berkata: “Seperti dzikirnya Quraisy kepada bapak-bapak mereka, atau (dzikir) suatu kaum yang lebih kuat dzikirnya daripada mereka.”
قَوْلُهُ: فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ الْآيَةَ،
Firman-Nya: “Maka di antara manusia ada yang berdoa … (ayat).”
لَمّا أَرْشَدَ سُبْحانَهُ عِبادَهُ إِلى ذِكْرِهِ، وَكانَ الدُّعاءُ نَوْعاً مِنْ أَنْواعِ الذِّكْرِ جَعَلَ مَنْ يَدْعُوهُ مُنْقَسِماً إِلى قِسْمَيْنِ:
Setelah Allah سبحانه membimbing hamba-hamba-Nya untuk berdzikir kepada-Nya, dan doa adalah salah satu jenis dzikir, Dia menjadikan orang-orang yang berdoa kepada-Nya terpecah menjadi dua golongan:
أَحَدُهُما يَطْلُبُ حَظَّ الدُّنْيا وَلا يَلْتَفِتُ إِلى حَظِّ الْآخِرَةِ،
Pertama, yang meminta bagian dunia dan tidak menoleh kepada bagian akhirat.
وَالْقِسْمُ الآخَرُ يَطْلُبُ الْأَمْرَيْنِ جَمِيعاً،
Dan golongan yang lain, yang meminta keduanya sekaligus (dunia dan akhirat).
وَمَفْعُولُ الْفِعْلِ، أَعْنِي قَوْلَهُ: آتِنا مَحْذُوفٌ، أَيْ: ما نُرِيدُ أَوْ ما نَطْلُبُ،
Objek dari fi’il, yakni pada ucapannya “آتِنا”, dihilangkan (mahzuf), yaitu (maknanya): “(berikanlah kepada kami) apa yang kami kehendaki” atau “apa yang kami minta”.
وَالْواوُ فِي قَوْلِهِ: وَما لَهُ وَاوُ الْحالِ، وَالْجُمْلَةُ بَعْدَها حاليَّةٌ.
Dan huruf wawu pada firman-Nya “وَما لَهُ” adalah wawu hal; kalimat setelahnya berfungsi sebagai jumlah haliyah.
وَالْخَلاقُ: النَّصيبُ، أَيْ: وَما لِهَذا الدّاعِي فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ،
“Al-Khalāq” adalah bagian (porsi), yakni: tidak ada bagi orang yang berdoa seperti itu, bagian apa pun di akhirat.
لِأَنَّ هَمَّهُ مَقْصورٌ عَلى الدُّنْيا، لا يُرِيدُ غَيْرَها، وَلا يَطْلُبُ سِواهَا.
Karena ambisinya terbatas hanya pada dunia; dia tidak menginginkan selainnya dan tidak mencari selainnya.
وَفِي هَذا الْخَبَرِ مَعْنَى النَّهْيِ عَنِ الِاقْتِصارِ عَلى طَلَبِ الدُّنْيا، وَالذَّمِّ لِمَنْ جَعَلَها غايَةَ رَغْبَتِهِ، وَمُعْظَمَ مَقْصُودِهِ.
Dan dalam pemberitaan ini terkandung makna larangan untuk membatasi diri pada permintaan (urusan) dunia, serta celaan bagi orang yang menjadikan dunia sebagai puncak keinginan dan tujuan terbesarnya.
وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي تَفْسِيرِ الْحَسَنَتَيْنِ الْمَذْكُورَتَيْنِ فِي الْآيَةِ،
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan dua “kebaikan” yang disebutkan dalam ayat ini.
فَقِيلَ: هُما ما يَطْلُبُهُ الصّالِحُونَ فِي الدُّنْيا مِنَ الْعافِيَةِ، وَما لا بُدَّ مِنْهُ مِنَ الرِّزْقِ، وَما يَطْلُبُونَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَعِيمِ الْجَنَّةِ وَالرِّضا
Ada yang mengatakan: Keduanya adalah apa yang diminta oleh orang-orang saleh di dunia berupa keselamatan (kesehatan, keamanan) dan rezeki yang tak terelakkan, dan apa yang mereka minta di akhirat berupa kenikmatan surga dan keridaan (Allah).
وَقِيلَ: الْمُرادُ بِحَسَنَةِ الدُّنْيا: الزَّوْجَةُ الْحَسْناءُ، وَحَسَنَةِ الآخِرَةِ: الْحُورُ الْعِينُ
Dan ada yang mengatakan: Yang dimaksud dengan kebaikan di dunia adalah istri yang baik (menyenangkan), dan kebaikan di akhirat adalah bidadari-bidadari bermata jeli.
وَقِيلَ: حَسَنَةُ الدُّنْيا: الْعِلْمُ وَالْعِبادَةُ،
Dan ada pula yang mengatakan: Kebaikan di dunia adalah ilmu dan ibadah.
وَقِيلَ: غَيْرُ ذلِكَ.
Dan dikatakan pula pendapat-pendapat lain selain itu.
قالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ الْمُرادَ بِالْحَسَنَتَيْنِ نَعِيمُ الدُّنْيا وَالْآخِرَةِ.
Al-Qurthubi berkata: Pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama adalah bahwa yang dimaksud dengan dua kebaikan tersebut adalah kenikmatan dunia dan akhirat.
قالَ: وَهَذا هُوَ الصَّحِيحُ، فَإِنَّ اللَّفْظَ يَقْتَضِي هَذا كُلَّهُ، فَإِنَّ حَسَنَةً نَكِرَةٌ فِي سِياقِ الدُّعاءِ، فَهُوَ مُحْتَمِلٌ لِكُلِّ حَسَنَةٍ مِنَ الْحَسَناتِ عَلى الْبَدَلِ،
Ia berkata: Inilah yang benar, karena lafaz (ayat) menuntut makna yang menyeluruh itu; sebab kata “حَسَنَةً” berbentuk nakirah dalam konteks doa, sehingga mencakup setiap jenis kebaikan secara bergantian.
وَحَسَنَةُ الآخِرَةِ: الْجَنَّةُ بِإِجْماعٍ. انْتَهى.
Sedangkan kebaikan di akhirat adalah surga, berdasarkan ijmak. Selesai (ucapan beliau).
قَوْلُهُ: وَقِنا أَصْلُهُ: أَوْقِنا، حُذِفَتِ الْواوُ كَما حُذِفَتْ فِي يَقِي، لِأَنَّها بَيْنَ ياءٍ وَكَسْرَةٍ مِثْلُ يَعِدُ، هَذا قَوْلُ الْبَصْرِيِّينَ.
Firman-Nya “وَقِنا”, asalnya adalah “أَوْقِنا”; huruf wawu dihapus sebagaimana dihapus pada kata “يَقِي”, karena ia berada di antara ya’ dan kasrah, seperti “يَعِدُ”. Ini menurut pendapat ulama Bashrah.
وَقالَ الْكُوفِيُّونَ: حُذِفَتْ فَرْقاً بَيْنَ اللازِمِ وَالْمُتَعَدِّي.
Sedangkan ulama Kufah berkata: Huruf wawu dihapus untuk membedakan antara fi’il lazim dan fi’il muta’addi.
وَقَوْلُهُ: أُولئِكَ إِشارَةٌ إِلَى الْفَرِيقِ الثّانِي،
Firman-Nya “أُولئِكَ” adalah isyarat kepada golongan kedua (orang yang berdoa untuk dunia dan akhirat).
لَهُمْ نَصِيبٌ مِنْ جِنْسِ ما كَسَبُوا مِنَ الْأَعْمالِ، أَيْ: مِنْ ثَوابِها، وَمِنْ جُمْلَةِ أَعْمالِهِمُ الدُّعاءُ،
Bagi mereka ada bagian dari jenis apa yang telah mereka usahakan berupa amal, yakni dari pahala amal tersebut. Dan termasuk dari amal mereka adalah doa.
فَما أَعْطاهُمُ اللَّهُ بِسَبَبِهِ مِنَ الْخَيْرِ فَهُوَ مِمّا كَسَبُوا.
Maka apa yang Allah berikan kepada mereka berupa kebaikan karena doa itu, termasuk dari apa yang mereka usahakan.
وَقِيلَ: إِنَّ مَعْنَى قَوْلِهِ: مِمّا كَسَبُوا التَّعْليلُ، أَيْ: مِنْ أَجْلِ ما كَسَبُوا، وَهُوَ بَعِيدٌ.
Dan dikatakan: Makna firman-Nya “مِمّا كَسَبُوا” adalah untuk ta’lil (penyebab), yaitu “karena apa yang mereka usahakan”; namun ini pendapat yang jauh (lemah).
وَقِيلَ: إِنَّ قَوْلَهُ: أُولئِكَ إِشارَةٌ إِلَى الْفَرِيقَيْنِ جَمِيعاً،
Ada pula yang mengatakan: Firman-Nya “أُولئِكَ” merupakan isyarat kepada kedua golongan sekaligus.
أَيْ: لِلْأَوَّلِينَ نَصِيبٌ مِنَ الدُّنْيا وَلا نَصِيبَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ، وَلِلْآخِرِينَ نَصِيبٌ مِمّا كَسَبُوا فِي الدُّنْيا وَفِي الْآخِرَةِ.
Yaitu: bagi golongan pertama ada bagian di dunia dan tidak ada bagian bagi mereka di akhirat; dan bagi golongan kedua ada bagian dari apa yang mereka usahakan di dunia dan di akhirat.
وَسَرِيعٌ: مِنْ سَرُعَ يَسْرُعُ، كَعَظُمَ يَعْظُمُ، سَرَعاً وَسُرْعَةً،
Kata “سَرِيعٌ” berasal dari fi’il “سَرُعَ يَسْرُعُ” sebagaimana “عَظُمَ يَعْظُمُ”, dengan mashdar “سَرَعاً” dan “سُرْعَةً”.
وَالْحِسابُ: مَصْدَرٌ كَالْمُحاسَبَةِ، وَأَصْلُهُ الْعَدَدُ، يُقالُ: حَسَبَ يَحْسُبُ حِساباً، وَحِسابَةً، وَحُسْباناً، وَحَسْباً.
“Al-Hisāb” adalah masdar seperti “al-muhāsabah”, dan asalnya adalah “bilangan”. Dikatakan: “حَسَبَ يَحْسُبُ حِساباً، وَحِسابَةً، وَحُسْباناً، وَحَسْباً.”
وَالْمُرادُ هاهُنا: الْمَحْسُوبُ، سُمِّيَ حِساباً تَسْمِيَةً لِلْمَفْعُولِ بِالْمَصْدَرِ،
Yang dimaksud di sini adalah “sesuatu yang diperhitungkan”; ia dinamai “hisab” sebagai penamaan maf’ul dengan lafaz masdar.
وَالْمَعْنى: أَنَّ حِسابَهُ لِعِبادِهِ فِي يَوْمِ الْقِيامَةِ سَرِيعٌ مَجِيئُهُ، فَبادِرُوا ذلِكَ بِأَعْمالِ الْخَيْرِ،
Dan maknanya: bahwa perhitungan Allah terhadap hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat cepat datangnya; maka segeralah menyambut hal itu dengan amal-amal kebaikan.
أَوْ أَنَّهُ وَصَفَ نَفْسَهُ بِسُرْعَةِ حِسابِ الْخَلائِقِ عَلى كَثْرَةِ عَدَدِهِمْ، وَأَنَّهُ لا يَشْغَلُهُ شَأْنٌ عَنْ شَأْنٍ، فَيُحاسِبُهُمْ فِي حالَةٍ واحِدَةٍ،
Atau bahwa Dia mensifati diri-Nya dengan cepatnya perhitungan seluruh makhluk, betapapun banyak jumlah mereka, dan bahwa satu urusan tidak menyibukkan-Nya dari urusan yang lain; Dia menghisab mereka dalam satu keadaan sekaligus.
كَما قالَ تَعالى: ما خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ واحِدَةٍ.
Sebagaimana firman-Nya Ta‘ala: “Tidaklah penciptaan dan kebangkitan kalian itu melainkan seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa.”1
قَوْلُهُ: فِي أَيّامٍ مَعْدُوداتٍ قالَ الْقُرْطُبِيُّ: لا خِلافَ بَيْنَ الْعُلَماءِ أَنَّ الْأَيّامَ الْمَعْدُوداتِ فِي هذِهِ الْآيَةِ: هِيَ أَيّامُ مِنًى، وَهِيَ أَيّامُ التَّشْرِيقِ، وَهِيَ أَيّامُ رَمْيِ الْجِمارِ.
Firman-Nya: “pada hari-hari yang berbilang.” Al-Qurthubi berkata: Tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa yang dimaksud dengan “hari-hari yang berbilang” pada ayat ini adalah hari-hari di Mina, yaitu hari-hari tasyriq, yaitu hari-hari melempar jumrah.
وَقالَ الثَّعْلَبِيُّ: قالَ إِبْراهِيمُ: الْأَيّامُ الْمَعْدُوداتُ أَيّامُ الْعَشْرِ، وَالْأَيّامُ الْمَعْلُوماتُ أَيّامُ النَّحْرِ. وَكَذا رُوِيَ عَنْ مَكِّيٍّ وَالْمَهْدَوِيِّ.
Ts-Tsa’labī berkata: Ibrahim (an-Nakha’i) mengatakan: Hari-hari yang berbilang adalah sepuluh hari (awal Dzulhijjah), dan hari-hari yang diketahui adalah hari-hari penyembelihan. Demikian juga diriwayatkan dari Makki dan al-Mahdawi.
قالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَلا يَصِحُّ، لِما ذَكَرْناهُ مِنَ الْإِجْماعِ عَلى ما نَقَلَهُ أَبُو عُمَرَ بْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَغَيْرُهُ.
Al-Qurthubi berkata: Pendapat itu tidak sahih, karena adanya ijmak yang telah kami sebutkan, sebagaimana dinukil oleh Abu ‘Umar bin ‘Abdil Barr dan yang lainnya.
وَرَوى الطَّحاوِيُّ عَنْ أَبِي يُوسُفَ: أَنَّ الْأَيّامَ الْمَعْلُوماتِ: أَيّامُ النَّحْرِ،
Ath-Thahawi meriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa hari-hari yang diketahui adalah hari-hari penyembelihan (nahr).
قالَ: لِقَوْلِهِ تَعالى: وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيّامٍ مَعْلُوماتٍ عَلى ما رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعامِ.
Ia berkata: Berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: “Dan agar mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang diketahui atas (hewan) ternak yang telah Dia rezekikan kepada mereka.”2
وَحَكى الْكَرْخِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّ الْأَيّامَ الْمَعْلُوماتِ: أَيّامُ النَّحْرِ الثَّلاثَةُ، يَوْمُ الْأَضْحى، وَيَوْمانِ بَعْدَهُ.
Al-Karkhi menukil dari Muhammad bin al-Hasan bahwa hari-hari yang diketahui adalah tiga hari penyembelihan: hari Idul Adha dan dua hari sesudahnya.
قالَ إِلْكِيّا الطَّبَرِيُّ: فَعَلى قَوْلِ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ لا فَرْقَ بَيْنَ الْمَعْلُوماتِ وَالْمَعْدُوداتِ، لِأَنَّ الْمَعْدُوداتِ الْمَذْكُورَةَ فِي الْقُرْآنِ أَيّامُ التَّشْرِيقِ بِلا خِلافٍ.
Al-Kiya ath-Thabari berkata: Berdasarkan pendapat Abu Yusuf dan Muhammad, tidak ada perbedaan antara “hari-hari yang diketahui” dan “hari-hari yang berbilang”, karena hari-hari yang berbilang yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah hari-hari tasyriq, tanpa ada perbedaan pendapat.
وَرُوِيَ عَنْ مالِكٍ أَنَّ الْأَيّامَ الْمَعْدُوداتِ وَالْأَيّامَ الْمَعْلُوماتِ يَجْمَعُهَا أَرْبَعَةُ أَيّامٍ: يَوْمُ النَّحْرِ، وَثَلاثَةُ أَيّامٍ بَعْدَهُ،
Dan diriwayatkan dari Malik bahwa hari-hari yang berbilang dan hari-hari yang diketahui itu terkumpul dalam empat hari: hari nahr (Idul Adha) dan tiga hari setelahnya.
فَيَوْمُ النَّحْرِ: مَعْلُومٌ غَيْرُ مَعْدُودٍ، وَالْيَوْمانِ بَعْدَهُ: مَعْلُومانِ مَعْدُودانِ، وَالْيَوْمُ الرّابِعُ: مَعْدُودٌ لا مَعْلُومٌ، وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ.
Maka hari nahr adalah “diketahui” tetapi bukan “berbilang”; dua hari setelahnya adalah diketahui sekaligus berbilang; sedangkan hari keempat adalah berbilang tetapi bukan “diketahui”. Ini diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar.
وَقالَ ابْنُ زَيْدٍ: الْأَيّامُ الْمَعْلُوماتُ: عَشْرُ ذِي الْحِجَّةِ، وَأَيّامُ التَّشْرِيقِ.
Ibnu Zaid berkata: Hari-hari yang diketahui adalah sepuluh hari Dzulhijjah dan hari-hari tasyriq.
وَالْمُخاطَبُ بِهذَا الْخِطابِ الْمَذْكُورِ فِي الْآيَةِ، أَعْنِي: قَوْلَهُ تَعالى: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيّامٍ مَعْدُوداتٍ هُوَ الْحاجُّ وَغَيْرُهُ، كَما ذَهَبَ إِلَيْهِ الْجُمْهُورُ،
Pihak yang diajak bicara dengan seruan dalam ayat ini, yakni firman-Nya Ta‘ala “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang berbilang” adalah jamaah haji dan selain mereka; demikian pendapat jumhur.
وَقِيلَ: هُوَ خاصٌّ بِالْحاجِّ.
Dan dikatakan pula: Seruan itu khusus bagi orang-orang yang berhaji.
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي وَقْتِهِ،
Para ulama berbeda pendapat tentang waktunya (dzikir/takbir tersebut).
فَقِيلَ: مِنْ صَلاةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلى الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيّامِ التَّشْرِيقِ،
Ada yang mengatakan: Dimulai dari shalat Subuh hari Arafah sampai shalat Asar pada akhir hari tasyriq.
وَقِيلَ: مِنْ غَداةِ عَرَفَةَ إِلى صَلاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ النَّحْرِ، وَبِهِ قالَ أَبُو حَنِيفَةَ،
Dan ada yang mengatakan: Dari pagi hari Arafah hingga shalat Asar pada akhir hari nahr; ini pendapat Abu Hanifah.
وَقِيلَ: مِنْ صَلاةِ الظُّهْرِ يَوْمَ النَّحْرِ إِلى صَلاةِ الصُّبْحِ مِنْ آخِرِ أَيّامِ التَّشْرِيقِ، وَبِهِ قالَ مالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ.
Ada pula yang mengatakan: Dari shalat Zuhur hari nahr hingga shalat Subuh pada akhir hari-hari tasyriq; ini pendapat Malik dan asy-Syafi’i.
قَوْلُهُ: فَمَنْ تَعَجَّلَ الْآيَةَ، الْيَوْمانِ هُما: يَوْمُ ثانِي النَّحْرِ وَيَوْمُ ثالِثِهِ.
Firman-Nya: “Maka siapa yang bersegera … (ayat).” Dua hari yang dimaksud adalah hari kedua dari hari nahr dan hari ketiganya.
وَقالَ ابْنُ عَبّاسٍ، وَالْحَسَنُ، وَعِكْرِمَةُ، وَمُجاهِدٌ، وَقَتادَةُ، وَالنَّخَعِيُّ: مَنْ رَمى فِي الْيَوْمِ الثّانِي مِنَ الْأَيّامِ الْمَعْدُوداتِ فَلا حَرَجَ، وَمَنْ تَأَخَّرَ إِلى الثّالِثِ فَلا حَرَجَ.
Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, ‘Ikrimah, Mujahid, Qatadah, dan an-Nakha’i berkata: Barang siapa melempar jumrah pada hari kedua dari hari-hari yang berbilang, maka tidak mengapa; dan barang siapa mengakhirkan sampai hari ketiga, juga tidak mengapa.
فَمَعْنَى الْآيَةِ: كُلُّ ذلِكَ مُباحٌ، وَعَبَّرَ عَنْهُ بِهذَا التَّقْسيمِ اهْتِماماً وَتَأْكيداً،
Maka makna ayat tersebut adalah: Semua itu boleh. Ayat itu mengungkapkannya dengan pembagian seperti ini sebagai bentuk perhatian dan penegasan.
لِأَنَّ مِنَ الْعَرَبِ مَنْ كانَ يَذُمُّ التَّأَخُّرَ، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ رافِعَةً لِلْجُناحِ فِي كُلِّ ذلِكَ.
Karena di antara orang Arab ada yang mencela keterlambatan (meninggalkan Mina pada hari ketiga), maka turunlah ayat ini yang menghapus dosa dalam semua keadaan tersebut.
وَقالَ عَلِيٌّ، وَابْنُ مَسْعُودٍ: مَعْنَى الْآيَةِ: مَنْ تَعَجَّلَ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ،
Ali dan Ibnu Mas’ud berkata: Makna ayat ini adalah: barang siapa bersegera maka sungguh telah diampuni; dan barang siapa mengakhirkan maka sungguh telah diampuni.
وَالْآيَةُ قَدْ دَلَّتْ عَلى أَنَّ التَّعَجُّلَ وَالتَّأَخُّرَ مُباحانِ.
Ayat ini telah menunjukkan bahwa bersegera maupun mengakhirkan, keduanya diperbolehkan.
وَقَوْلُهُ: لِمَنِ اتَّقى مَعْناهُ أَنَّ التَّخْيِيرَ وَرَفْعَ الْإِثْمِ ثابِتٌ لِمَنِ اتَّقى،
Firman-Nya: “bagi orang yang bertakwa” bermakna bahwa kebolehan memilih dan penghapusan dosa itu tetap berlaku bagi orang yang bertakwa.
لِأَنَّ صاحِبَ التَّقْوى يَتَحَرَّزُ عَنْ كُلِّ ما يُرِيبُهُ، فَكانَ أَحَقَّ بِتَخْصِيصِهِ بِهذَا الْحُكْمِ.
Karena orang yang bertakwa itu menjaga diri dari segala sesuatu yang meragukannya, maka ia lebih layak untuk dikhususkan dengan hukum ini.
قالَ الْأَخْفَشُ: التَّقْديرُ: ذلِكَ لِمَنِ اتَّقى،
Al-Akhfasy berkata: Takdir (susunan) kalimatnya adalah: “demikian itu bagi orang yang bertakwa.”
وَقِيلَ: لِمَنِ اتَّقى بَعْدَ انْصِرافِهِ مِنَ الْحَجِّ عَنْ جَمِيعِ الْمَعاصِي،
Dan dikatakan: “bagi orang yang bertakwa” maksudnya: orang yang bertakwa setelah pulangnya dari haji dari seluruh kemaksiatan.
وَقِيلَ: لِمَنِ اتَّقى قَتْلَ الصَّيْدِ،
Dan ada yang mengatakan: maksudnya bagi orang yang bertakwa (menjauhi) membunuh binatang buruan.
وَقِيلَ: مَعْناهُ: السَّلامَةُ لِمَنِ اتَّقى،
Dan dikatakan: Maknanya adalah keselamatan (dari dosa) bagi orang yang bertakwa.
وَقِيلَ: هُوَ مُتَعَلِّقٌ بِالذِّكْرِ، أَيْ: الذِّكْرُ لِمَنِ اتَّقى.
Dan dikatakan pula: Lafaz ini berkaitan dengan dzikir; artinya: (yang dimaksud) dzikir itu adalah bagi orang yang bertakwa.
وَقَدْ أَخْرَجَ الْبُخارِيُّ، وَمُسْلِمٌ، وَغَيْرُهُما عَنْ عائِشَةَ قالَتْ: كانَتْ قُرَيْشٌ وَمَنْ دانَ بِدِينِها يَقِفُونَ بِالْمُزْدَلِفَةِ، وَكانُوا يُسَمَّوْنَ: الْحُمْسَ،
Al-Bukhari, Muslim, dan selain keduanya meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Dahulu Quraisy dan orang-orang yang menganut agama mereka berdiri (wukuf) di Muzdalifah, dan mereka disebut al-Hums.
وَكانَتْ سائِرُ الْعَرَبِ يَقِفُونَ بِعَرَفاتٍ، فَلَمّا جاءَ الْإِسْلامُ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ أَنْ يَأْتِيَ عَرَفاتٍ ثُمَّ يَقِفَ بِها ثُمَّ يُفِيضَ مِنْها،
Sementara selain mereka dari kalangan Arab berdiri di Arafat. Ketika Islam datang, Allah memerintahkan Nabi-Nya agar mendatangi Arafat, kemudian berwukuf di sana, lalu bertolak darinya.
فَذلِكَ قَوْلُهُ تَعالى: ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفاضَ النَّاسُ.
Itulah makna firman-Nya Ta‘ala: “Kemudian bertolaklah kalian dari tempat orang-orang banyak bertolak.”
وَأَخْرَجا أَيْضاً عَنْها مَوْقوفاً نَحْوَهُ.
Keduanya (al-Bukhari dan Muslim) juga meriwayatkan darinya secara mauquf dengan lafaz yang semakna.
وَقَدْ وَرَدَ فِي هذَا الْمَعْنى رِواياتٌ عَنِ الصَّحابَةِ وَالتّابِعينَ.
Telah datang riwayat-riwayat dalam makna ini dari para sahabat dan tabi’in.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجاهِدٍ قالَ: إِذا كانَ يَوْمُ عَرَفَةَ هَبَطَ اللَّهُ إِلى سَماءِ الدُّنْيا فِي الْمَلائِكَةِ، فَيَقولُ لَهُمْ: عِبادِي آمَنُوا بِوَعْدِي، وَصَدَّقُوا بِرُسُلي، ما جَزاؤُهُمْ؟ فَيُقالُ: أَنْ تَغْفِرَ لَهُمْ،
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: Apabila hari Arafah tiba, Allah turun ke langit dunia bersama para malaikat, lalu berfirman kepada mereka: “Hamba-hamba-Ku beriman kepada janji-Ku dan membenarkan rasul-rasul-Ku; apa balasan mereka?” Maka dikatakan (oleh para malaikat): “(Balasan mereka adalah) Engkau mengampuni mereka.”
فَذلِكَ قَوْلُهُ: ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفاضَ النّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Itulah makna firman-Nya: “Kemudian bertolaklah kalian dari tempat orang-orang banyak bertolak, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
وَقَدْ وَرَدَتْ أَحادِيثُ كَثِيرَةٌ فِي الْمَغْفِرَةِ لِأَهْلِ عَرَفَةَ، وَنُزُولِ الرَّحْمَةِ عَلَيْهِمْ، وَإِجابَةِ دُعائِهِمْ.
Telah datang banyak hadis tentang ampunan bagi ahli Arafah, turunnya rahmat atas mereka, dan dikabulkannya doa-doa mereka.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْ عَطاءٍ فِي قَوْلِهِ تَعالى: فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ قالَ: حَجَّكُمْ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Atha’ tentang firman-Nya Ta‘ala: “Maka apabila kalian telah menyelesaikan manasik kalian”, ia berkata: Maksudnya haji kalian.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ قالَ: إِهْراقَ الدِّماءِ،
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Maka apabila kalian telah menyelesaikan manasik kalian”, ia berkata: Yaitu menumpahkan darah (menyembelih hewan kurban/hadyu).
فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ قالَ: تَفاخُرُ الْعَرَبِ بَيْنَها بِفِعالِ آبائِها يَوْمَ النَّحْرِ حينَ يَفْرُغُونَ، فَأُمِرُوا بِذِكْرِ اللَّهِ مَكانَ ذلِكَ.
Firman-Nya: “Maka berdzikirlah kalian kepada Allah sebagaimana kalian menyebut-nyebut bapak-bapak kalian”; Mujahid berkata: Itu adalah kebanggaan orang-orang Arab di antara mereka dengan perbuatan bapak-bapak mereka, pada hari nahr ketika mereka selesai (dari manasik). Maka mereka diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah sebagai pengganti dari (kebiasaan) itu.
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قالَ: كانَ الْمُشْرِكُونَ يَجْلِسُونَ فِي الْحَجِّ فَيَذْكُرُونَ أَيّامَ آبائِهِمْ، وَما يَعُدُّونَ مِنْ أَنْسابِهِمْ يَوْمَهُمْ أَجْمَعَ،
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Dahulu orang-orang musyrik duduk pada musim haji, lalu mereka menyebut-nyebut hari-hari (kejayaan) bapak-bapak mereka dan membangga-banggakan nasab mereka sepanjang hari.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلى رَسُولِهِ: فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً.
Maka Allah menurunkan kepada Rasul-Nya: “Maka berdzikirlah kalian kepada Allah sebagaimana kalian menyebut-nyebut bapak-bapak kalian, atau (bahkan) dengan dzikir yang lebih kuat lagi.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ، وَالطَّبَرانيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ نَحْوَهُ.
Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabrani meriwayatkan hal yang serupa dari Abdullah bin az-Zubair.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ مُجاهِدٍ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan hal yang serupa dari Mujahid.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَعِكْرِمَةَ نَحْوَهُ أَيْضاً.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan hal yang serupa dari Sa’id bin Jubair dan ‘Ikrimah.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ فِي قَوْلِهِ: كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ يَقولُ: كَما يَذْكُرُ الْأَبْناءُ الْآباءَ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “sebagaimana kalian menyebut-nyebut bapak-bapak kalian”; ia berkata: Yakni sebagaimana anak-anak menyebut-nyebut bapak-bapak mereka.
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ أَيْضاً أَنَّهُ قِيلَ لَهُ فِي قَوْلِهِ: كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِي عَلَيْهِ الْيَوْمُ وَما يَذْكُرُ أَباهُ، فَقالَ: إِنَّهُ لَيْسَ بِذلِكَ، وَلَكِنْ يَقولُ: تَغْضَبُ لِلَّهِ إِذا عُصِيَ أَشَدَّ مِنْ غَضَبِكَ إِذا ذُكِرَ والِدُكَ بِسُوءٍ.
Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas: Ada yang berkata kepadanya tentang firman-Nya: “sebagaimana kalian menyebut-nyebut bapak-bapak kalian”: “Sesungguhnya seorang laki-laki, bisa berlalu satu hari tanpa ia menyebut bapaknya sama sekali.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Bukan seperti itu maksud ayatnya, tetapi (maknanya): engkau marah karena Allah ketika Dia didurhakai, lebih kuat daripada marahmu ketika bapakmu disebut dengan keburukan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قالَ: كانَ قَوْمٌ مِنَ الْأَعْرابِ يَجِيئُونَ إِلَى الْمَوْقِفِ فَيَقولُونَ: اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ عاماً غَيْثاً، وَعامَ خِصْبٍ، وَعامَ وِلادٍ حَسَناً، وَلا يَذْكُرُونَ مِنْ أَمْرِ الْآخِرَةِ شَيْئاً،
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Ada satu kaum dari kalangan Arab badui yang datang ke tempat wukuf, lalu mereka berdoa: “Ya Allah, jadikanlah tahun ini tahun hujan, tahun subur, dan tahun kelahiran yang baik.” Mereka tidak menyebut sedikit pun perkara akhirat.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا وَما لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ.
Maka Allah menurunkan tentang mereka: “Maka di antara manusia ada yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia’, dan dia tidak memperoleh bagian apa pun di akhirat.”
وَيَجِيءُ بَعْدَهُمْ آخَرُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَيَقولُونَ: رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنا عَذابَ النّارِ،
Kemudian datang sesudah mereka orang-orang lain dari kalangan kaum mukmin, lalu mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”
فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: أُولئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسابِ.
Maka Allah menurunkan tentang mereka: “Merekalah orang-orang yang mendapatkan bagian dari apa yang mereka usahakan, dan Allah Maha Cepat perhitungan-Nya.”
وَأَخْرَجَ الطَّبَرانيُّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قالَ: كانَ النّاسُ فِي الْجاهِلِيَّةِ إِذا وَقَفُوا عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرامِ دَعَوْا، فَقالَ أَحَدُهُمُ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي إِبِلاً، وَقالَ الآخَرُ: اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي غَنَماً، فَأَنْزَلَ اللَّهُ الْآيَةَ.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair, ia berkata: Dahulu manusia pada masa Jahiliah apabila mereka berdiri di Masy’aril Haram, mereka berdoa; salah seorang dari mereka berkata: “Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku unta,” dan yang lain berkata: “Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku kambing.” Maka Allah menurunkan ayat ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُمْ كانُوا يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُراةً فَيَدْعُونَ: اللَّهُمَّ اسْقِنا الْمَطَرَ، وَأَعْطِنا عَلى عَدُوِّنا الظَّفَرَ، وَرُدَّنا صالِحِينَ إِلى صالِحِينَ، فَنَزَلَتِ الْآيَةُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Anas bahwa mereka dahulu bertawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang, lalu mereka berdoa: “Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, berikanlah kemenangan kepada kami atas musuh kami, dan kembalikanlah kami dalam keadaan saleh kepada orang-orang saleh.” Maka turunlah ayat ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْ عَطاءٍ فِي قَوْلِهِ: أُولئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمّا كَسَبُوا قالَ: مِمّا عَمِلُوا مِنَ الْخَيْرِ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Atha’ tentang firman-Nya: “Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka usahakan”; ia berkata: Yakni dari apa yang mereka kerjakan berupa kebaikan.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْ مُجاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: سَرِيعُ الْحِسابِ قالَ: سَرِيعُ الْإِحْصاءِ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Maha Cepat perhitungan-Nya”; ia berkata: Cepat dalam menghitung (mencatat) amal.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي الدُّنْيا، وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْ عَلِيٍّ قالَ: الْأَيّامُ الْمَعْدُوداتُ: ثَلاثَةُ أَيّامٍ: يَوْمُ الْأَضْحى، وَيَوْمانِ بَعْدَهُ، اذْبَحْ فِي أَيِّها شِئْتَ، وَأَفْضَلُها أَوَّلُها.
‘Abd bin Humaid, Ibnu Abi ad-Dunya, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ali, ia berkata: Hari-hari yang berbilang adalah tiga hari: hari Idul Adha dan dua hari setelahnya. Sembelihlah (hewan hadyu/kurban) pada hari mana saja yang engkau kehendaki, dan yang paling utama adalah hari pertama.
وَأَخْرَجَ الْفِرْياِبيُّ، وَابْنُ أَبِي الدُّنْيا، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّها: أَيّامُ التَّشْرِيقِ الثَّلاثَةُ. وَفِي لَفْظٍ: هذِهِ الْأَيّامُ الثَّلاثَةُ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ.
Al-Firyabi, Ibnu Abi ad-Dunya, dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa hari-hari yang berbilang adalah tiga hari tasyriq. Dalam satu lafaz: “Tiga hari setelah hari nahr ini.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ، وَالضِّياءُ فِي الْمُخْتارَةِ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قالَ: الْأَيّامُ الْمَعْلُوماتُ: أَيّامُ الْعَشْرِ، وَالْأَيّامُ الْمَعْدُوداتُ: أَيّامُ التَّشْرِيقِ.
Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih, al-Baihaqi dalam Syu’ab, dan adl-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Hari-hari yang diketahui adalah sepuluh hari (awal Dzulhijjah), dan hari-hari yang berbilang adalah hari-hari tasyriq.
وَأَخْرَجَ الطَّبَرانيُّ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ قالَ فِي قَوْلِهِ: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيّامٍ مَعْدُوداتٍ قالَ: هُنَّ أَيّامُ التَّشْرِيقِ، يُذْكَرُ فِيهِنَّ بِتَسْبِيحٍ وَتَهْلِيلٍ وَتَكْبِيرٍ وَتَحْميدٍ.
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu az-Zubair tentang firman-Nya: “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang berbilang”; ia berkata: Hari-hari itu adalah hari-hari tasyriq, di mana Allah disebut (dengan) tasbih, tahlil, takbir, dan tahmid di dalamnya.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ قالَ: الْأَيّامُ الْمَعْدُوداتُ: أَرْبَعَةُ أَيّامٍ: يَوْمُ النَّحْرِ، وَالثَّلاثَةُ أَيّامٍ بَعْدَهُ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Hari-hari yang berbilang adalah empat hari: hari nahr dan tiga hari setelahnya.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كانَ يُكَبِّرُ تِلْكَ الْأَيّامَ بِمِنًى، وَيَقولُ: التَّكْبيرُ واجِبٌ، وَيَتَأَوَّلُ هذِهِ الْآيَةَ: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيّامٍ مَعْدُوداتٍ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia bertakbir pada hari-hari itu di Mina, dan ia berkata: “Takbir itu wajib”, serta menafsirkan firman Allah: “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang berbilang.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ أَنَّهُ كانَ يُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ وَيَتْلُو هذِهِ الْآيَةَ.
Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia bertakbir pada hari nahr dan membaca ayat ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْ عِكْرِمَةَ فِي قَوْلِهِ: وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيّامٍ مَعْدُوداتٍ قالَ: التَّكْبيرُ أَيّامَ التَّشْرِيقِ، يَقولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya: “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang berbilang”; ia berkata: Yang dimaksud adalah takbir pada hari-hari tasyriq; seseorang mengucapkan di akhir setiap shalat: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كانَ يُكَبِّرُ ثَلاثاً ثَلاثاً وَراءَ الصَّلَواتِ، وَيَقولُ: لا إِلهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia bertakbir tiga kali-tiga kali setelah shalat-shalat, dan ia mengucapkan: “Lā ilāha illallāhu wahdahu lā syarīka lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alā kulli syai’in qadīr.”
وَأَخْرَجَ الْمَرْوَزِيُّ عَنِ الزُّهْرِيِّ قالَ: كانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُكَبِّرُ أَيّامَ التَّشْرِيقِ كُلَّها.
Al-Marwazi meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertakbir pada seluruh hari tasyriq.
وَأَخْرَجَ مالِكٌ عَنْ يَحْيى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطّابِ خَرَجَ الْغَدَ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ بِمِنًى حِينَ ارْتَفَعَ النَّهارُ شَيْئاً، فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النّاسُ بِتَكْبيرِهِ،
Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id bahwa sampai kepadanya berita bahwa Umar bin al-Khaththab keluar pada pagi hari setelah hari nahr di Mina, ketika siang telah sedikit meninggi, maka ia bertakbir dan orang-orang pun bertakbir mengikuti takbirnya.
ثُمَّ خَرَجَ الثّانِيَةَ فِي يَوْمِهِ ذلِكَ بَعْدَ ارْتِفاعِ النَّهارِ، فَكَبَّرَ، وَكَبَّرَ النّاسُ بِتَكْبيرِهِ حَتّى بَلَغَ تَكْبيرُهُمُ الْبَيْتَ،
Kemudian ia keluar untuk kedua kalinya pada hari itu juga setelah siang bertambah tinggi, lalu ia bertakbir dan orang-orang pun bertakbir mengikuti takbirnya sampai takbir mereka terdengar hingga ke (Masjidil) Harām.
ثُمَّ خَرَجَ الثّالِثَةَ مِنْ يَوْمِهِ ذلِكَ حِينَ زاغَتِ الشَّمْسُ، فَكَبَّرَ، وَكَبَّرَ النّاسُ بِتَكْبيرِهِ.
Kemudian ia keluar untuk ketiga kalinya pada hari yang sama ketika matahari tergelincir, lalu ia bertakbir dan orang-orang pun bertakbir mengikuti takbirnya.
وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كانَ يَرْمِي الْجِمارَ، وَيُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصاةٍ.
Telah tetap (sahih) dalam Shahih (al-Bukhari) dari hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم melempar jumrah dan bertakbir bersama setiap lemparan batu kecil.
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ ذلِكَ مِنْ حَدِيثِ عائِشَةَ عِنْدَ الْحاكِمِ وَصَحَّحَهُ.
Dan telah diriwayatkan hal yang serupa dari Aisyah dalam riwayat al-Hakim dan ia mensahihkannya.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ قالَ: فِي تَعْجِيلِهِ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ قالَ: فِي تَأْخِيرِهِ.
Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Maka barang siapa bersegera dalam dua hari maka tidak ada dosa atasnya, dan barang siapa mengakhirkan maka tidak ada dosa atasnya”; ia berkata: “Tidak ada dosa dalam bersegera, dan tidak ada dosa dalam mengakhirkan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قالَ: النَّفْرُ فِي يَوْمَيْنِ لِمَنِ اتَّقى.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Nafar (turun meninggalkan Mina) dalam dua hari adalah bagi orang yang bertakwa.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْهُ قالَ: مَنْ غابَتْ لَهُ الشَّمْسُ فِي الْيَوْمِ الَّذِي قالَ اللَّهُ فِيهِ: فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ وَهُوَ بِمِنًى فَلا يَنْفِرَنَّ حَتّى يَرْمِيَ الْجِمارَ مِنَ الْغَدِ.
‘Abdur Razzaq, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Barang siapa mataharinya telah terbenam pada hari yang Allah berfirman padanya: ‘Maka barang siapa bersegera dalam dua hari’, sedangkan ia masih berada di Mina, maka janganlah ia berangkat (keluar dari Mina) sampai ia melempar jumrah pada hari esoknya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ فِي قَوْلِهِ: لِمَنِ اتَّقى قالَ: لِمَنِ اتَّقى الصَّيْدَ وَهُوَ مُحْرِمٌ.
Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “bagi orang yang bertakwa”; ia berkata: “Yakni bagi orang yang bertakwa (menjauhi) membunuh binatang buruan dalam keadaan ihram.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَحْمَدُ، وَأَهْلُ السُّنَنِ، وَالْحاكِمُ وَصَحَّحَهُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ يَعْمَرَ الدِّيلِيِّ قالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقولُ وَهُوَ واقِفٌ بِعَرَفَةَ، وَأَتاهُ النّاسُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ فَقالُوا: يا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ الْحَجُّ؟ قالَ: «الْحَجُّ عَرَفاتٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ فَقَدْ أَدْرَكَ» أَيّامُ مِنًى ثَلاثَةُ أَيّامٍ، فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ قالَ: مَغْفُوراً لَهُ، وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ قالَ: مَغْفُوراً لَهُ.
Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, para penulis Sunan, dan al-Hakim—ia mensahihkannya—meriwayatkan dari Abdurrahman bin Ya’mar ad-Dili, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda ketika beliau berdiri di Arafah, lalu datanglah orang-orang dari penduduk Makkah kepada beliau dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana (pokok) ibadah haji itu?” Beliau menjawab: “Haji itu (intinya adalah) Arafah. Barang siapa mendapati malam Jamh (Muzdalifah) sebelum terbit fajar, sungguh ia telah mendapatkan (haji).” Beliau melanjutkan: “Hari-hari Mina adalah tiga hari; maka siapa yang bersegera (meninggalkan Mina) dalam dua hari, tidak ada dosa atasnya—beliau bersabda: dalam keadaan diampuni—dan siapa yang mengakhirkan (hingga hari ketiga), tidak ada dosa atasnya—beliau bersabda: dalam keadaan diampuni.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتادَةَ فِي قَوْلِهِ: لِمَنِ اتَّقى قالَ: لِمَنِ اتَّقى فِي حَجِّهِ. قالَ قَتادَةُ: وَذُكِرَ لَنا أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كانَ يَقولُ: مَنِ اتَّقى فِي حَجِّهِ غُفِرَ لَهُ ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: “bagi orang yang bertakwa”; ia berkata: “Yakni bagi orang yang bertakwa dalam hajinya.” Qatadah berkata: Telah disebutkan kepada kami bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Barang siapa bertakwa dalam hajinya, diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقى قالَ: ذَهَبَ إِثْمُهُ كُلُّهُ إِنِ اتَّقى فِيما بَقِيَ مِنْ عُمُرِهِ.
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Aliyah tentang firman-Nya: “Maka tidak ada dosa atasnya, bagi orang yang bertakwa”; ia berkata: “Dosa-dosanya semuanya telah hilang, jika ia bertakwa pada sisa umurnya.” ---
  1. 1 QS. Luqman: 28.
  2. 2 QS. Al-Hajj: 28.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7