Al Baqarah Ayat 197-198

 

سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٩٧ إِلَى ١٩٨

Surat Al-Baqarah (2): Ayat 197–198
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(Ibadah) haji (dilaksanakan pada) beberapa bulan yang telah diketahui. Maka siapa yang telah mewajibkan haji atas dirinya pada bulan-bulan itu, maka tidak boleh rafats (ucapan atau perbuatan seksual), tidak (pula) kefasikan, dan tidak (pula) perdebatan dalam (masa) haji. Dan apa pun kebaikan yang kalian kerjakan, Allah mengetahuinya. Dan berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۖ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian. Maka apabila kalian telah bertolak dari Arafat, maka berdzikirlah kepada Allah di Masy‘aril-Haram. Dan berdzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepada kalian, padahal sebelumnya kalian benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. ---
قَوْلُهُ: الْحَجُّ أَشْهُرٌ
Firman-Nya: “Al-ḥajju asyhurun…” (Haji itu beberapa bulan…)
فِيهِ حَذْفٌ، وَالتَّقْدِيرُ: وَقْتُ الْحَجِّ أَشْهُرٌ، أَيْ: وَقْتُ عَمَلِ الْحَجِّ.
Di dalamnya terdapat penghapusan (sebuah kata), dan makna tersiratnya adalah: “Waktu haji itu beberapa bulan”, yaitu waktu pelaksanaan ibadah haji.
وَقِيلَ: التَّقْدِيرُ: الْحَجُّ فِي أَشْهُرٍ،
Ada yang berkata: makna tersiratnya adalah: “Haji itu (dilaksanakan) pada beberapa bulan.”
وَفِيهِ أَنَّهُ يَلْزَمُ النَّصْبُ مَعَ حَذْفِ حَرْفِ الْجَرِّ لَا الرَّفْعُ.
Menurut susunan ini, secara kaidah, seharusnya kata setelahnya berbentuk manshub (nasab) karena huruf jar dihilangkan, bukan marfu‘ (raf‘).
قَالَ الْفَرَّاءُ: الْأَشْهُرُ رَفْعٌ لِأَنَّ مَعْنَاهُ: وَقْتُ الْحَجِّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ.
Al-Farra’ berkata: kata “al-asyhur” dibaca marfu‘ karena maknanya adalah: “Waktu haji itu beberapa bulan yang diketahui.”
وَقِيلَ: التَّقْدِيرُ: الْحَجُّ حَجُّ أَشْهُرٍ مَعْلُومَاتٍ.
Ada juga yang berpendapat: maknanya adalah: “Haji itu adalah haji pada bulan-bulan yang diketahui.”
وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي الْأَشْهُرِ الْمَعْلُومَاتِ،
Para ulama berbeda pendapat tentang (yang dimaksud) “bulan-bulan yang diketahui” itu.
فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عُمَرَ، وَعَطَاءٌ، وَالرَّبِيعُ، وَمُجَاهِدٌ، وَالزُّهْرِيُّ: هِيَ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ كُلُّهُ،
Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, Ar-Rabi‘, Mujahid, dan Az-Zuhri berkata: yang dimaksud adalah seluruh bulan Syawal, Dzulqa‘dah, dan Dzulhijjah.
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ.
Dan ini pendapat Malik.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَالسُّدِّيُّ، وَالشَّعْبِيُّ، وَالنَّخَعِيُّ: هِيَ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ،
Ibnu ‘Abbas, As-Suddi, Asy-Sya‘bi, dan An-Nakha‘i berkata: yang dimaksud adalah bulan Syawal, Dzulqa‘dah, dan sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah.
وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَغَيْرُهُمْ.
Pendapat ini dipegang oleh Abu Hanifah, Asy-Syafi‘i, Ahmad, dan selain mereka.
وَقَدْ رُوِيَ أَيْضًا عَن مَالِكٍ.
Dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Malik.
وَيَظْهَرُ فَائِدَةُ الْخِلَافِ فِيمَا وَقَعَ مِنْ أَعْمَالِ الْحَجِّ بَعْدَ يَوْمِ النَّحْرِ،
Manfaat perbedaan pendapat ini tampak pada amalan-amalan haji yang dilakukan setelah hari Nahr (Iduladha).
فَمَنْ قَالَ: إِنَّ ذَا الْحِجَّةِ كُلَّهُ مِنَ الْوَقْتِ لَمْ يَلْزَمْهُ دَمُ التَّأْخِيرِ،
Siapa yang berpendapat bahwa seluruh bulan Dzulhijjah termasuk waktu (pelaksanaan amalan haji), maka ia tidak terkena kewajiban menyembelih dam karena mengakhirkan (amalan).
وَمَنْ قَالَ: لَيْسَ إِلَّا الْعَشْرُ مِنْهُ قَالَ: يَلْزَمُهُ دَمُ التَّأْخِيرِ.
Dan siapa yang berpendapat bahwa yang termasuk (waktu) hanya sepuluh hari pertamanya, maka ia mengatakan: wajib atasnya dam karena mengakhirkan (amalan dari waktunya).
وَقَدِ اسْتُدِلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ لَا يَجُوزُ الْإِحْرَامُ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ،
Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa tidak boleh berihram haji sebelum masuk bulan-bulan haji.
وَهُوَ عَطَاءٌ، وَطَاوُسٌ، وَمُجَاهِدٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ،
Di antara mereka: ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Al-Awza‘i, Asy-Syafi‘i, dan Abu Tsaur.
قَالُوا: فَمَنْ أَحْرَمَ بِالْحَجِّ قَبْلَهَا أَحَلَّ بِعُمْرَةٍ، وَلَا يُجْزِيهِ عَنْ إِحْرَامِ الْحَجِّ،
Mereka berkata: siapa yang berihram haji sebelum (bulan-bulan itu), maka ihramnya menjadi ihram umrah, dan tidak sah sebagai ihram haji.
كَمَنْ دَخَلَ فِي صَلَاةٍ قَبْلَ وَقْتِهَا فَإِنَّهَا لَا تُجْزِيهِ.
Seperti orang yang masuk ke dalam salat sebelum waktunya; salat itu tidak sah baginya.
وَقَالَ أَحْمَدُ وَأَبُو حَنِيفَةَ: إِنَّهُ مَكْرُوهٌ فَقَطْ.
Ahmad dan Abu Hanifah berkata: hal itu hanya makruh saja.
وَرُوِيَ نَحْوُهُ عَنْ مَالِكٍ، وَالْمَشْهُورُ عَنْهُ جَوَازُ الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ.
Riwayat serupa juga ada dari Malik, namun yang masyhur darinya adalah bolehnya berihram haji sepanjang tahun tanpa makruh.
وَرُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ.
Dan pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari Abu Hanifah.
وَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ يَنْبَغِي أَنْ يُنْظَرَ فِي فَائِدَةِ تَوْقِيتِ الْحَجِّ بِالْأَشْهُرِ الْمَذْكُورَةِ فِي الْآيَةِ.
Menurut pendapat ini, perlu diperhatikan apa faedah penentuan waktu haji dengan bulan-bulan yang disebutkan dalam ayat.
وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ النَّصَّ عَلَيْهَا لِزِيَادَةِ فَضْلِهَا.
Ada yang berkata: penyebutan (bulan-bulan itu) secara khusus untuk menunjukkan keutamaan tambahannya.
وَقَدْ رُوِيَ الْقَوْلُ بِجَوَازِ الْإِحْرَامِ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ، وَإِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، وَالثَّوْرِيِّ، وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ،
Pendapat bolehnya berihram sepanjang tahun juga diriwayatkan dari Ishaq bin Rahawaih, Ibrahim An-Nakha‘i, Ats-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa‘d.
وَاحْتَجُّوا لَهُمْ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ1
Mereka berdalil dengan firman-Nya Ta‘ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal bulan. Katakanlah: itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”1
فَجَعَلَ الْأَهِلَّةَ كُلَّهَا مَوَاقِيتَ لِلْحَجِّ، وَلَمْ يَخُصَّ الثَّلَاثَةَ أَشْهُرًا.
Allah menjadikan seluruh hilal sebagai penentu waktu bagi haji, dan tidak mengkhususkannya hanya pada tiga bulan.
وَيُجَابُ بِأَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ عَامَّةٌ، وَتِلْكَ خَاصَّةٌ، وَالْخَاصُّ مُقَدَّمٌ عَلَى الْعَامِّ.
Jawabannya: ayat itu bersifat umum, sedangkan ayat “Al-ḥajju asyhur…” ini khusus; dan dalil yang khusus didahulukan atas yang umum.
وَمِنْ جُمْلَةِ مَا احْتَجُّوا بِهِ الْقِيَاسُ لِلْحَجِّ عَلَى الْعُمْرَةِ؛ فَكَمَا يَجُوزُ الْإِحْرَامُ لِلْعُمْرَةِ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ، كَذَلِكَ يَجُوزُ لِلْحَجِّ،
Di antara dalil mereka juga adalah qiyās: mereka mengqiyaskan haji kepada umrah; sebagaimana umrah boleh berihram sepanjang tahun, haji pun demikian (menurut mereka).
وَلَا يَخْفَى أَنَّ هَذَا الْقِيَاسَ مُصَادِمٌ لِلنَّصِّ الْقُرْآنِيِّ فَهُوَ بَاطِلٌ،
Tidak samar bahwa qiyās ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka ia batil.
فَالْحَقُّ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْأَوَّلُونَ إِنْ كَانَتِ الْأَشْهُرُ الْمَذْكُورَةُ فِي قَوْلِهِ: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مُخْتَصَّةً بِالثَّلَاثَةِ الْمَذْكُورَةِ بِنَصٍّ أَوْ إِجْمَاعٍ،
Maka yang benar adalah pendapat kelompok pertama, jika memang bulan-bulan yang dimaksud dalam firman-Nya “Haji itu beberapa bulan…” telah ditetapkan khusus pada tiga bulan tersebut dengan nash atau ijma‘.
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَالْأَشْهُرُ جَمْعُ شَهْرٍ، وَهُوَ مِنْ جُمُوعِ الْقِلَّةِ يَتَرَدَّدُ مَا بَيْنَ الثَّلَاثَةِ إِلَى الْعَشَرَةِ،
Jika tidak demikian, maka “asyhur” adalah jamak dari “syahr” dan termasuk jamak qillah (jamak untuk bilangan kecil) yang berkisar antara tiga sampai sepuluh.
وَالثَّلَاثَةُ هِيَ الْمُتَيَقَّنَةُ، فَيَجِبُ الْوُقُوفُ عِنْدَهَا.
Sedangkan yang pasti (minimal) adalah tiga, sehingga kita wajib berhenti pada batas itu (tiga bulan).
وَمَعْنَى قَوْلِهِ: مَعْلُومَاتٌ أَنَّ الْحَجَّ فِي السَّنَةِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ فِي أَشْهُرٍ مَعْلُومَاتٍ مِنْ شُهُورِهَا، لَيْسَ كَالْعُمْرَةِ،
Makna firman-Nya: “ma‘lūmāt(un)” (yang diketahui) adalah bahwa haji itu dalam setahun hanya sekali, pada beberapa bulan tertentu dari bulan-bulan tahun itu; tidak seperti umrah.
أَوِ الْمُرَادُ: مَعْلُومَاتٌ بِبَيَانِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، أَوْ مَعْلُومَاتٌ عِنْدَ الْمُخَاطَبِينَ، لَا يَجُوزُ التَّقَدُّمُ عَلَيْهَا وَلَا التَّأَخُّرُ عَنْهَا.
Atau yang dimaksud: diketahui melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau diketahui oleh orang-orang yang diajak bicara, yang tidak boleh didahului dan tidak boleh diakhirkan (dari waktu-waktu itu). ---
قَوْلُهُ: فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
Firman-Nya: “Maka siapa yang telah mewajibkan haji atas dirinya pada bulan-bulan itu…”
أَصْلُ «الْفَرْضِ» فِي اللُّغَةِ: الْحَزُّ وَالْقَطْعُ،
Asal kata “al-farḍ” secara bahasa adalah sayatan dan potongan.
وَمِنْهُ «فُرْضَةُ» الْقَوْسِ وَالنَّهْرِ وَالْجَبَلِ،
Di antaranya: “furḍah” pada busur, sungai, dan gunung (yakni bagian yang terpotong/terbuka).
فَفَرِيضَةُ الْحَجِّ لَازِمَةٌ لِلْعَبْدِ الْحُرِّ كَلُزُومِ الْحَزِّ لِلْقَوْسِ.
Maka kewajiban haji itu melekat pada seorang hamba yang merdeka, sebagaimana lekatan sayatan pada busur.
وَقِيلَ: مَعْنَى «فَرَضَ»: أَبَانَ، وَهُوَ أَيْضًا يَرْجِعُ إِلَى الْقَطْعِ، لِأَنَّ مَنْ قَطَعَ شَيْئًا فَقَدْ أَبَانَهُ عَنْ غَيْرِهِ.
Ada yang mengatakan: makna “faraḍa” adalah “memisahkan/menjelaskan”, dan itu juga kembali kepada makna pemotongan; karena siapa yang memotong sesuatu berarti ia memisahkannya dari yang lain.
وَالْمَعْنَى فِي الْآيَةِ: فَمَنْ أَلْزَمَ نَفْسَهُ فِيهِنَّ الْحَجَّ بِالشُّرُوعِ فِيهِ بِالنِّيَّةِ قَصْدًا بَاطِنًا، وَبِالْإِحْرَامِ فِعْلًا ظَاهِرًا، وَبِالتَّلْبِيَةِ نُطْقًا مَسْمُوعًا.
Makna ayat: siapa yang telah mewajibkan haji atas dirinya pada bulan-bulan itu dengan mulai masuk haji melalui niat sebagai tekad batin, dengan ihram sebagai perbuatan lahiriah, dan dengan talbiyah sebagai ucapan yang terdengar.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنَّ إِلْزَامَهُ نَفْسَهُ يَكُونُ بِالتَّلْبِيَةِ، أَوْ بِتَقْلِيدِ الْهَدْيِ وَسَوْقِهِ.
Abu Hanifah berkata: ia mewajibkan haji atas dirinya dengan bertalbiyah, atau dengan memasang kalung pada hadyu dan menggiringnya (ke Tanah Haram).
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: تَكْفِي النِّيَّةُ فِي الْإِحْرَامِ بِالْحَجِّ.
Asy-Syafi‘i berkata: cukup dengan niat dalam ihram haji.
وَ«الرَّفَثُ» قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ جُبَيْرٍ، وَالسُّدِّيُّ، وَقَتَادَةُ، وَالْحَسَنُ، وَعِكْرِمَةُ، وَالزُّهْرِيُّ، وَمُجَاهِدٌ، وَمَالِكٌ: هُوَ الْجِمَاعُ.
Adapun “ar-rafats”; Ibnu ‘Abbas, Ibnu Jubair, As-Suddi, Qatadah, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Az-Zuhri, Mujahid, dan Malik berkata: rafats adalah jima‘ (hubungan suami-istri).
وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَطَاوُسٌ، وَعَطَاءٌ، وَغَيْرُهُمْ: الرَّفَثُ: الْإِفْحَاشُ بِالْكَلَامِ.
Ibnu ‘Umar, Thawus, ‘Atha’, dan selain mereka berkata: rafats adalah ucapan kotor (jorok) dalam berbicara.
قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: الرَّفَثُ: اللَّغَا مِنَ الْكَلَامِ،
Abu ‘Ubaidah berkata: rafats adalah ucapan sia-sia dalam perkataan.
وَأَنْشَدَ: وَرُبَّ أَسْرَابِ حَجِيجٍ كُظَّمِ … عَنِ اللَّغَا وَرَفَثِ التَّكَلُّمِ
Lalu ia mengutip syair: “Betapa banyak rombongan para haji yang tertahan dari ucapan sia-sia dan dari rafats dalam berbicara.”
يُقَالُ: رَفَثَ يَرْفُثُ بِكَسْرِ الْفَاءِ وَضَمِّهَا.
Dikatakan: “rafatha – yarfuṯu” dengan kasrah atau dhammah pada huruf fa’.
وَالْفُسُوقُ: الْخُرُوجُ عَنْ حُدُودِ الشَّرْعِ،
“Al-fusūq” adalah keluar dari batas-batas syariat.
وَقِيلَ: هُوَ الذَّبْحُ لِلْأَصْنَامِ،
Ada yang berkata: ia adalah menyembelih untuk berhala.
وَقِيلَ: التَّنَابُزُ بِالْأَلْقَابِ،
Ada yang berkata: saling mencela dengan gelar-gelar yang buruk.
وَقِيلَ: السِّبَابُ.
Ada pula yang berkata: (yang dimaksud) adalah mencaci-maki.
وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَخْتَصُّ بِمَعْصِيَةٍ مُعَيَّنَةٍ،
Yang tampak (lebih kuat) adalah bahwa fusūq tidak khusus pada satu jenis maksiat tertentu.
وَإِنَّمَا خَصَّهُ مَنْ خَصَّهُ بِمَا ذُكِرَ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُ قَدْ أُطْلِقَ عَلَى ذَلِكَ الْفَرْدِ اسْمُ الْفُسُوقِ،
Orang-orang yang mengkhususkannya pada beberapa makna tadi, demikian karena kata fusūq pernah digunakan (dalam nash) untuk menunjuk sebagian bentuk maksiat tersebut.
كَمَا قَالَ سُبْحَانَهُ فِي الذَّبْحِ لِلْأَصْنَامِ: أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ2،
Sebagaimana Allah berfirman tentang menyembelih untuk berhala: “…atau (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, itu adalah suatu kefasikan.”2
وَقَالَ فِي التَّنَابُزِ: بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ3،
Dan Allah berfirman tentang saling memanggil dengan gelar-gelar buruk: “Seburuk-buruk nama adalah kefasikan…”3
وَقَالَ صلى الله عليه وسلم فِي السِّبَابِ: «سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ».
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mencaci-maki: “Memaki seorang muslim adalah kefasikan.”
وَلَا يَخْفَى عَلَى عَارِفٍ أَنَّ إِطْلَاقَ اسْمِ الْفُسُوقِ عَلَى فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمَعَاصِي لَا يُوجِبُ اخْتِصَاصَهُ بِهِ.
Tidak samar bagi orang yang berilmu bahwa diberikannya nama fusūq kepada satu jenis maksiat tertentu tidak mengharuskan kata itu khusus hanya untuk maksiat tersebut.
وَالْجِدَالُ: مُشْتَقٌّ مِنَ «الْجَدْلِ»، وَهُوَ: الْفَتْلُ،
“Al-jidāl” berasal dari kata “al-jadl”, yang bermakna memintir (memutar).
وَالْمُرَادُ بِهِ هُنَا: الْمُمَارَاةُ،
Yang dimaksud di sini adalah saling bantah (perdebatan).
وَقِيلَ: السِّبَابُ، وَقِيلَ: الْفَخْرُ بِالْآبَاءِ.
Ada yang berkata: (jidāl adalah) saling mencaci; dan ada yang berkata: berbangga diri dengan nenek moyang.
وَالظَّاهِرُ الْأَوَّلُ.
Yang tampak lebih kuat adalah makna pertama (saling bantah).
وَقَدْ قُرِئَ بِنَصْبِ الثَّلَاثَةِ وَرَفْعِهَا، وَرَفْعِ الْأَوَّلَيْنِ، وَنَصْبِ الثَّالِثِ، وَعَكْسِ ذَلِكَ،
Lafaz “rafats, fusūq, jidāl” dalam ayat ini dibaca dalam beberapa qira’ah: ketiganya dibaca manshub (nasab), atau ketiganya marfu‘, atau dua yang pertama marfu‘ dan yang ketiga manshub, dan kebalikannya.
وَمَعْنَى النَّفْيِ لِهَذِهِ الْأُمُورِ: النَّهْيُ عَنْهَا.
Makna penafian terhadap hal-hal ini (tidak ada rafats, tidak ada fusūq, tidak ada jidāl) adalah larangan darinya.
وَقَوْلُهُ: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
Firman-Nya: “Dan apa pun kebaikan yang kalian kerjakan, Allah mengetahuinya…”
حَثٌّ عَلَى الْخَيْرِ بَعْدَ ذِكْرِ الشَّرِّ، وَعَلَى الطَّاعَةِ بَعْدَ ذِكْرِ الْمَعْصِيَةِ،
Ini adalah dorongan untuk berbuat baik setelah menyebut keburukan, dan dorongan untuk taat setelah menyebut kemaksiatan.
وَفِيهِ أَنَّ كُلَّ مَا يَفْعَلُونَهُ مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مَعْلُومٌ عِنْدَ اللَّهِ لَا يَفُوتُ مِنْهُ شَيْءٌ.
Di dalamnya juga terdapat penegasan bahwa segala sesuatu yang mereka kerjakan dari kebaikan itu diketahui oleh Allah, tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
وَقَوْلُهُ: وَتَزَوَّدُوا
Firman-Nya: “Dan berbekallah kalian…”
فِيهِ الْأَمْرُ بِاتِّخَاذِ الزَّادِ،
Di dalamnya terdapat perintah untuk membawa bekal.
لِأَنَّ بَعْضَ الْعَرَبِ كَانُوا يَقُولُونَ: كَيْفَ نَحُجُّ بَيْتَ رَبِّنَا وَلَا يُطْعِمُنَا؟
Karena sebagian orang Arab dahulu berkata: “Bagaimana kami berhaji ke Bait Rabb kami, lalu Dia tidak memberi kami makan?”
فَكَانُوا يَحُجُّونَ بِلَا زَادٍ، وَيَقُولُونَ: نَحْنُ مُتَوَكِّلُونَ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
Mereka pun berhaji tanpa membawa bekal, sambil berkata: “Kami bertawakal kepada Allah Yang Mahasuci.”
وَقِيلَ: الْمَعْنَى: تَزَوَّدُوا لِمَعَادِكُمْ مِنَ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ، فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
Ada yang mengatakan: maknanya adalah: bawalah bekal untuk kembali (ke akhirat) berupa amal-amal saleh, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.
وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ، كَمَا يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ سَبَبُ نُزُولِ الْآيَةِ، وَسَيَأْتِي.
Pendapat pertama lebih kuat, sebagaimana ditunjukkan oleh sebab turunnya ayat ini, yang akan disebutkan kemudian.
وَقَوْلُهُ: فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Firman-Nya: “Karena sebaik-baik bekal adalah takwa…”
إِخْبَارٌ بِأَنَّ خَيْرَ الزَّادِ اتِّقَاءُ الْمَنْهِيَّاتِ،
Ini adalah pemberitahuan bahwa sebaik-baik bekal adalah menjauhi hal-hal yang dilarang.
فَكَأَنَّهُ قَالَ: اتَّقُوا اللَّهَ فِي إِتْيَانِ مَا أَمَرَكُمْ بِهِ مِنَ الْخُرُوجِ بِالزَّادِ، فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى.
Seakan-akan Allah berfirman: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam melaksanakan perintah-Nya untuk keluar membawa bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa.”
وَقِيلَ: الْمَعْنَى: فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ مَا اتَّقَى بِهِ الْمُسَافِرُ مِنَ الْهَلَكَةِ وَالْحَاجَةِ إِلَى السُّؤَالِ وَالتَّكَفُّفِ.
Ada yang mengatakan: maknanya adalah: sebaik-baik bekal adalah apa yang dengannya seorang musafir mencegah dirinya dari kebinasaan dan dari kebutuhan untuk meminta-minta dan mengemis.
وَقَوْلُهُ: وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Firman-Nya: “Dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal…”
فِيهِ التَّخْصِيصُ لِأُولِي الْأَلْبَابِ بِالْخِطَابِ بَعْدَ حَثِّ جَمِيعِ الْعِبَادِ عَلَى التَّقْوَى،
Di sini ada pengkhususan seruan kepada orang-orang yang berakal setelah memotivasi seluruh hamba untuk bertakwa.
لِأَنَّ أَرْبَابَ الْأَلْبَابِ هُمُ الْقَابِلُونَ لِأَوَامِرِ اللَّهِ، النَّاهِضُونَ بِهَا،
Karena pemilik akal-akal yang jernih itulah yang siap menerima perintah-perintah Allah dan menunaikannya.
وَلُبُّ كُلِّ شَيْءٍ: خَالِصُهُ.
Dan “lubbu” (inti) segala sesuatu adalah bagian yang paling murni darinya. ---
قَوْلُهُ: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
Firman-Nya: “Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian…”
فِيهِ التَّرْخِيصُ لِمَنْ حَجَّ فِي التِّجَارَةِ وَنَحْوِهَا مِنَ الْأَعْمَالِ الَّتِي يَحْصُلُ بِهَا شَيْءٌ مِنَ الرِّزْقِ،
Di dalamnya terdapat keringanan bagi orang yang berhaji sambil berdagang dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sejenis yang menghasilkan sebagian rezeki.
وَهُوَ الْمُرَادُ بِالْفَضْلِ هُنَا،
Itulah yang dimaksud dengan “karunia” (faḍl) di sini.
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ4
Di antara contohnya adalah firman-Nya Ta‘ala: “Maka bertebaranlah kalian di muka bumi dan carilah karunia Allah.”4
أَيْ: لَا إِثْمَ عَلَيْكُمْ فِي أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ مَعَ سَفَرِكُمْ لِتَأْدِيَةِ مَا افْتَرَضَهُ عَلَيْكُمْ مِنَ الْحَجِّ.
Yakni: tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian bersamaan dengan safar kalian untuk menunaikan kewajiban haji yang Allah tetapkan atas kalian.
قَوْلُهُ: فَإِذَا أَفَضْتُمْ
Firman-Nya: “Maka apabila kalian telah bertolak…”
أَيْ: دَفَعْتُمْ،
Yakni: kalian telah beranjak (bergerak meninggalkan tempat).
يُقَالُ: فَاضَ الْإِنَاءُ: إِذَا امْتَلَأَ مَاءً حَتَّى يَنْصَبَّ مِنْ نَوَاحِيهِ،
Dikatakan: “faḍa al-inā’u” apabila bejana penuh air sampai airnya mengalir keluar dari sisinya.
وَرَجُلٌ فَيَّاضٌ: أَيْ: مُتَدَفِّقَةٌ يَدَاهُ بِالْعَطَاءِ،
Dan “rajulun fayyāḍ” adalah orang yang tangan-tangannya deras dalam memberi.
وَمَعْنَاهُ: أَفَضْتُمْ أَنْفُسَكُمْ، فَتَرَكَ ذِكْرَ الْمَفْعُولِ، كَمَا تُرِكَ فِي قَوْلِهِمْ: دَفَعُوا مِنْ مَوْضِعِ كَذَا.
Makna ayat: kalian telah mengalirkan diri kalian (bergerak beramai-ramai). Penyebutan objek (diri kalian) dihilangkan, seperti dalam ucapan mereka: “Mereka berangkat dari tempat ini dan itu.”
وَعَرَفَاتٍ: اسْمٌ لِتِلْكَ الْبُقْعَةِ، أَيْ: مَوْضِعِ الْوُقُوفِ،
“‘Arafāt” adalah nama bagi kawasan itu, yaitu tempat berwukuf.
وَقَرَأَهُ الْجَمَاعَةُ بِالتَّنْوِينِ،
Para qari’ membacanya dengan tanwin.
وَلَيْسَ التَّنْوِينُ هُنَا لِلْفَرْقِ بَيْنَ مَا يَنْصَرِفُ وَمَا لَا يَنْصَرِفُ، وَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ النُّونِ فِي «مُسْلِمِينَ».
Tanwin di sini bukanlah untuk membedakan antara kata yang bisa atau tidak bisa ditanwin, namun kedudukannya seperti nun pada kata “muslimīn”.
قَالَ النَّحَّاسُ: هَذَا الْجَيِّدُ.
An-Nahhas berkata: inilah (penjelasan) yang baik.
وَحَكَى سِيبَوَيْهِ عَنِ الْعَرَبِ حَذْفَ التَّنْوِينِ مِنْ «عَرَفَاتٍ»، قَالَ: لَمَّا جَعَلُوهَا مَعْرِفَةً حَذَفُوا التَّنْوِينَ.
Siibawaih menukil dari orang-orang Arab bahwa mereka kadang menghilangkan tanwin dari “Arafāt”; ia berkata: ketika mereka menjadikannya sebagai nama ‘alam (kata benda khusus), mereka menghapus tanwinnya.
وَحَكَى الْأَخْفَشُ وَالْكُوفِيُّونَ فَتْحَ التَّاءِ تَشْبِيهًا بِتَاءِ «فَاطِمَةَ»، وَأَنْشَدُوا:
Al-Akhfasy dan para ahli nahwu Kufah menukil bacaan dengan fatḥah pada huruf ta’ (Arafāta), menyerupakannya dengan ta’ pada kata “Fāṭimah”, dan mereka mengutip syair:
تَنَوَّرْتُهَا مِنْ أَذْرِعَاتَ وَأَهْلُهَا … بِيَثْرِبَ أَدْنَى دَارِهَا نَظَرٌ عَالِ
“Aku memandangnya dari arah Adzri‘āt dan penduduknya… Di Yatsrib, rumah terdekatnya tampak menjulang dalam pandangan.”
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: فَإِنْ قُلْتَ: هَلَّا مُنِعَتِ الصَّرْفَ، وَفِيهَا السَّبَبَانِ: التَّعْرِيفُ وَالتَّأْنِيثُ؟
Dalam Al-Kasysyāf disebutkan: Jika engkau berkata: mengapa “Arafāt” tidak dilarang dari tanwin (ghairu munṣarif), padahal padanya ada dua sebab, yaitu ma‘rifah (kata khusus) dan mu’annats (feminin)?
قُلْتُ: لَا يَخْلُو التَّأْنِيثُ، إِمَّا أَنْ يَكُونَ بِالتَّاءِ الَّتِي فِي لَفْظِهَا، وَإِمَّا بِتَاءٍ مُقَدَّرَةٍ كَمَا فِي «سُعَادَ»،
Aku jawab: sifat feminin itu tidak lepas, apakah karena ta’ yang tampak dalam lafaznya, atau karena ta’ yang diperkirakan, seperti pada kata “Su‘ād”.
فَالَّتِي فِي لَفْظِهَا لَيْسَتْ لِلتَّأْنِيثِ، وَإِنَّمَا هِيَ مَعَ الْأَلِفِ الَّتِي قَبْلَهَا عَلَامَةُ جَمْعِ الْمُؤَنَّثِ،
Ta’ yang tampak dalam lafaz “Arafāt” bukan untuk penanda feminin, namun bersama alif sebelumnya adalah tanda jamak mu’annats (bentuk jamak perempuan).
وَلَا يَصِحُّ تَقْدِيرُ التَّاءِ فِيهَا، لِأَنَّ هَذِهِ التَّاءَ لِاخْتِصَاصِهَا بِجُمُوعِ الْمُؤَنَّثِ مَانِعَةٌ مِنْ تَقْدِيرِهَا،
Tidak sah memerkirakan adanya ta’ lain untuk feminin, karena ta’ ini khusus untuk jamak perempuan dan mencegah adanya ta’ yang diperkirakan.
كَمَا لَا تُقَدَّرُ تَاءُ التَّأْنِيثِ فِي «بِنْتٍ»، لِأَنَّ التَّاءَ الَّتِي هِيَ بَدَلٌ مِنَ الْوَاوِ لِاخْتِصَاصِهَا بِالْمُؤَنَّثِ كَتَاءِ التَّأْنِيثِ فَأَبَتْ تَقْدِيرَهَا. انْتَهَى.
Sebagaimana tidak diperkirakan adanya ta’ feminin dalam kata “bint(un)”, karena ta’ di situ adalah pengganti dari wawu yang khusus untuk perempuan seperti ta’ feminin, sehingga menolak pemerkiraan ta’ yang lain. Selesai (kutipan).
وَسُمِّيَتْ «عَرَفَاتٌ» لِأَنَّ النَّاسَ يَتَعَارَفُونَ فِيهَا،
Kawasan itu dinamakan “Arafāt” karena manusia saling berkenalan di sana.
وَقِيلَ: إِنَّ آدَمَ الْتَقَى هُوَ وَحَوَّاءُ فِيهَا فَتَعَارَفَا،
Ada yang berkata: karena Adam bertemu dengan Hawa di sana, lalu keduanya saling mengenal.
وَقِيلَ غَيْرُ ذَلِكَ.
Dan ada pula pendapat selain itu.
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ اسْمٌ مُرْتَجَلٌ كَسَائِرِ أَسْمَاءِ الْبِقَاعِ،
Ibnu ‘Athiyyah berkata: yang tampak (lebih kuat) adalah bahwa “Arafāt” merupakan nama murni (ism murtaǧal), seperti nama-nama tempat lainnya.
وَاسْتُدِلَّ بِالْآيَةِ عَلَى وُجُوبِ الْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، لِأَنَّ «الْإِفَاضَةَ» لَا تَكُونُ إِلَّا بَعْدَهُ،
Ayat ini dijadikan dalil wajibnya wukuf di Arafah, karena “bertolak” (al-ifāḍah) dari Arafah tidak terjadi kecuali setelah wukuf di sana.
وَالْمُرَادُ بِذِكْرِ اللَّهِ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ: دُعَاؤُهُ، وَمِنْهُ التَّلْبِيَةُ وَالتَّكْبِيرُ،
Yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah di Masy‘aril-Haram adalah berdoa kepada-Nya; di antaranya talbiyah dan takbir.
وَسُمِّيَ «الْمَشْعَرُ» مَشْعَرًا مِنَ «الشِّعَارِ»، وَهُوَ الْعَلَامَةُ،
“Al-Masy‘ar” dinamakan demikian dari kata “syi‘ār” yang berarti tanda.
وَالدُّعَاءُ عِنْدَهُ مِنْ شَعَائِرِ الْحَجِّ،
Dan doa di tempat itu termasuk syiar-syiar haji.
وَوُصِفَ بِالْحَرَامِ لِحُرْمَتِهِ.
Ia disifati dengan “al-ḥarām” karena kehormatannya.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِالذِّكْرِ: صَلَاةُ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمُزْدَلِفَةِ جَمْعًا.
Ada yang berkata: yang dimaksud dzikir di sini adalah salat Magrib dan Isya secara jamak di Muzdalifah.
وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يَجْمَعَ الْحَاجُّ بَيْنَهُمَا فِيهَا.
Para ulama telah berijma‘ bahwa sunnahnya seorang haji menjamak kedua salat itu di sana.
وَالْمَشْعَرُ: هُوَ جَبَلُ «قُزَحَ» الَّذِي يَقِفُ عَلَيْهِ الْإِمَامُ،
“Al-Masy‘ar” adalah Jabal Quzah, tempat imam (amirulhajj) berwukuf.
وَقِيلَ: هُوَ مَا بَيْنَ جَبَلَيِ الْمُزْدَلِفَةِ مِنْ مَأْزِمَيْ عَرَفَةَ إِلَى وَادِي «مُحَسِّرٍ».
Ada yang berkata: yang dimaksud adalah kawasan antara dua gunung Muzdalifah, dari dua celah Arafah sampai lembah Muhassir.
قَوْلُهُ: وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ
Firman-Nya: “Dan berdzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepada kalian…”
«الْكَافُ» نَعْتُ مَصْدَرٍ مَحْذُوفٍ، وَ«مَا» مَصْدَرِيَّةٌ أَوْ كَافَّةٌ،
Huruf “kāf” di sini adalah sifat bagi mashdar yang dihapus, dan “mā” di dalamnya adalah mashdariyyah atau kāffah.
أَيْ: اذْكُرُوهُ ذِكْرًا حَسَنًا، كَمَا هَدَاكُمْ هِدَايَةً حَسَنَةً،
Maknanya: berdzikirlah kepada-Nya dengan dzikir yang baik, sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepada kalian dengan petunjuk yang baik.
وَكَرَّرَ الْأَمْرَ بِالذِّكْرِ تَأْكِيدًا.
Allah mengulang perintah dzikir sebagai bentuk penegasan.
وَقِيلَ: الْأَوَّلُ: أَمْرٌ بِالذِّكْرِ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، وَالثَّانِي: أَمْرٌ بِالذِّكْرِ عَلَى حُكْمِ الْإِخْلَاصِ.
Ada pula yang berkata: perintah dzikir yang pertama adalah dzikir di Masy‘aril-Haram, dan yang kedua adalah perintah dzikir dengan ketentuan ikhlas.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِالثَّانِي: تَعْدِيدُ النِّعْمَةِ عَلَيْهِمْ.
Dan ada yang mengatakan: yang dimaksud dengan perintah kedua adalah menyebut-nyebut nikmat Allah atas mereka.
وَ«إِنْ» فِي قَوْلِهِ: وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ مُخَفَّفَةٌ، كَمَا يُفِيدُهُ دُخُولُ «اللَّامِ» فِي الْخَبَرِ،
Huruf “inna” pada firman-Nya: “wa in kuntum min qablihi…” di sini berbentuk ringan (takhfīf), sebagaimana ditunjukkan oleh adanya lam pada khabarnya (lam dalam “lami-naḍ-ḍāllīn”).
وَقِيلَ: هِيَ بِمَعْنَى «قَدْ»، أَيْ: قَدْ كُنْتُمْ.
Ada yang berkata: “in” di sini bermakna “qad”, yakni: “Sungguh dahulu kalian…”
وَالضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: مِنْ قَبْلِهِ عَائِدٌ إِلَى «الْهُدَى»،
Dhamir (kata ganti) pada firman-Nya “min qablihi” kembali kepada “al-hudā” (petunjuk).
وَقِيلَ: إِلَى «الْقُرْآنِ».
Ada yang berkata: kembali kepada Al-Qur’an. ---
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٢٣٠–٢٣٤)
Fathul Qadir karya Asy-Syaukani – Jilid 1 (hlm. 230–234) ---

1 البقرة: 189.

2 الأنعام: 145.

3 الحجرات: 11.

4 الجمعة: 10.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7