Al Baqarah Ayat 196

 

سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): آيَةٌ ١٩٦

Surat Al-Baqarah (2): Ayat 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian terhalang (tidak dapat menyempurnakannya), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat. Dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Maka siapa di antara kalian yang sakit, atau ada gangguan pada kepalanya, (maka wajib baginya membayar) fidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban (menyembelih). Apabila kalian telah aman, maka siapa yang melakukan tamattu‘ dengan mengerjakan umrah (di bulan-bulan haji) hingga (waktu) haji, maka (wajib baginya menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak mendapatkannya, maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah kalian kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban) bagi orang yang keluarganya tidak berada di (sekitar) Masjidilharam. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. ---
قَوْلُهُ: وَأَتِمُّوا الْحَجَّ
Firman-Nya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji…”
اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمَعْنَى الْمُرَادِ بِإِتْمَامِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ لِلَّهِ،
Para ulama berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud dengan “menyempurnakan haji dan umrah karena Allah”.
فَقِيلَ: أَدَاؤُهُمَا، وَالْإِتْيَانُ بِهِمَا مِنْ دُونِ أَنْ يَشُوبَهُمَا شَيْءٌ مِمَّا هُوَ مَحْظُورٌ، وَلَا يُخِلَّ بِشَرْطٍ، وَلَا فَرْضٍ،
Ada yang mengatakan: yang dimaksud adalah menunaikan keduanya dan melaksanakannya tanpa bercampur dengan sedikit pun hal yang terlarang, serta tidak merusak satu syarat pun dan tidak mengurangi satu kewajiban pun.
لِقَوْلِهِ تَعَالَى: فَأَتَمَّهُنَّ1 وَقَوْلِهِ: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ2.
Berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: “Maka dia menyempurnakan semuanya”1, dan firman-Nya: “Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.”2
وَقَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ: إِتْمَامُهُمَا: أَنْ تَخْرُجَ لَهُمَا، لَا لِغَيْرِهِمَا.
Sufyan Ats-Tsauri berkata: menyempurnakan keduanya adalah engkau keluar (safar) khusus untuk haji dan umrah, bukan untuk selainnya.
وَقِيلَ: إِتْمَامُهُمَا: أَنْ تُفْرِدَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ غَيْرِ تَمَتُّعٍ، وَلَا قِرَانٍ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ حَبِيبٍ.
Ada yang berpendapat: menyempurnakan keduanya adalah dengan meng-ihram-kan masing-masing secara tersendiri, tanpa tamattu‘ dan tanpa qirān. Ini adalah pendapat Ibnu Habib.
وَقَالَ مُقَاتِلٌ: إِتْمَامُهُمَا: أَنْ لَا يَسْتَحِلُّوا فِيهِمَا مَا لَا يَنْبَغِي لَهُمْ،
Muqatil berkata: menyempurnakan keduanya adalah tidak menghalalkan di dalamnya apa yang tidak layak mereka halalkan.
وَقِيلَ: إِتْمَامُهُمَا: أَنْ يُحْرِمَ لَهُمَا مِنْ دُوَيْرَةِ أَهْلِهِ،
Ada yang mengatakan: menyempurnakannya adalah dengan berihram untuk keduanya dari rumah tempat tinggalnya.
وَقِيلَ: أَنْ يُنْفِقَ فِي سَفَرِهِمَا الْحَلَالَ الطَّيِّبَ،
Dan ada yang mengatakan: yaitu menginfakkan harta yang halal lagi baik dalam perjalanan haji dan umrah.
وَسَيَأْتِي بَيَانُ سَبَبِ نُزُولِ الْآيَةِ، وَمَا هُوَ مَرْوِيٌّ عَنِ السَّلَفِ فِي مَعْنَى إِتْمَامِهِمَا.
Nanti akan dijelaskan sebab turunnya ayat ini dan riwayat dari salaf tentang makna menyempurnakan keduanya.
وَقَدِ اسْتُدِلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى وُجُوبِ الْعُمْرَةِ، لِأَنَّ الْأَمْرَ بِإِتْمَامِهِمَا أَمْرٌ بِهَا،
Ayat ini dijadikan dalil wajibnya umrah, karena perintah untuk menyempurnakan keduanya adalah perintah untuk menunaikan umrah juga.
وَبِذَلِكَ قَالَ عَلِيٌّ، وَابْنُ عُمَرَ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَعَطَاءٌ، وَطَاوُسٌ، وَمُجَاهِدٌ، وَالْحَسَنُ، وَابْنُ سِيرِينَ، وَالشَّعْبِيُّ، وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ، وَمَسْرُوقٌ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبُو عُبَيْدٍ، وَابْنُ الْجَهْمِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ.
Hal ini dikatakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Asy-Sya‘bi, Sa‘id bin Jubair, Masruq, ‘Abdullah bin Syaddad, Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Ibnu Al-Jahm dari kalangan Malikiyyah.
وَقَالَ مَالِكٌ وَالنَّخَعِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ – كَمَا حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْهُمْ –: أَنَّهَا سُنَّةٌ.
Malik, An-Nakha‘i, dan para ulama Ahlur-Ra’yi—sebagaimana dinukil Ibnu Al-Mundzir dari mereka—berpendapat bahwa umrah itu sunnah.
وَحُكِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ يَقُولُ بِالْوُجُوبِ.
Dan dinukil dari Abu Hanifah bahwa ia berpendapat wajib.
وَمِنَ الْقَائِلِينَ بِأَنَّهَا سُنَّةٌ: ابْنُ مَسْعُودٍ، وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ.
Di antara yang berpendapat bahwa umrah adalah sunnah: Ibnu Mas‘ud dan Jabir bin ‘Abdillah.
وَمِنْ جُمْلَةِ مَا اسْتَدَلَّ بِهِ الْأَوَّلُونَ: مَا ثَبَتَ عَنْهُ صلى الله عليه وسلم فِي الصَّحِيحِ أَنَّهُ قَالَ لِأَصْحَابِهِ: «مَنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيُهِلَّ بِحَجٍّ وَعُمْرَةٍ».
Di antara dalil yang digunakan kelompok pertama adalah apa yang sah secara sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda kepada para sahabatnya: “Siapa yang membawa hadyu bersamanya, hendaklah ia mengucapkan talbiyah untuk haji dan umrah sekaligus.”
وَثَبَتَ عَنْهُ أَيْضًا فِي الصَّحِيحِ أَنَّهُ قَالَ: «دَخَلَتِ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ».
Dan juga sahih dari beliau bahwa beliau bersabda: “Umrah telah masuk ke dalam haji hingga hari Kiamat.”
وَأَخْرَجَ الدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ مِنْ حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَرِيضَتَانِ، لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِمَا بَدَأْتَ».
Ad-Daraquthni dan Al-Hakim meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya haji dan umrah adalah dua kewajiban; tidak mengapa dengan mana di antara keduanya engkau memulai.”
وَاسْتَدَلَّ الْآخَرُونَ بِمَا أَخْرَجَهُ الشَّافِعِيُّ فِي «الْأُمِّ»، وَعَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ الْحَنَفِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «الْحَجُّ جِهَادٌ، وَالْعُمْرَةُ تَطَوُّعٌ».
Kelompok yang lain berdalil dengan apa yang diriwayatkan Asy-Syafi‘i dalam Al-Umm, dan oleh ‘Abdur-Razzaq, Ibnu Abi Syaibah, serta ‘Abd bin Humaid, dari Abu Shalih Al-Hanafi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Haji adalah jihad, dan umrah adalah ibadah sunnah (tathawwu‘).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ مَاجَهْ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ مَرْفُوعًا مِثْلَهُ.
Ibnu Majah meriwayatkan yang semisalnya secara marfu‘ dari Thalhah bin ‘Ubaidillah.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ، عَنْ جَابِرٍ: «أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْعُمْرَةِ: أَوَاجِبَةٌ هِيَ؟ قَالَ: لَا، وَأَنْ تَعْتَمِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ».
Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, dan At-Tirmidzi (yang mensahihkannya) meriwayatkan dari Jabir, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang umrah: “Apakah ia wajib?” Beliau menjawab: “Tidak. Tetapi jika kalian berumrah, itu lebih baik bagi kalian.”
وَأَجَابُوا عَنِ الْآيَةِ، وَعَنِ الْأَحَادِيثِ الْمُصَرِّحَةِ بِأَنَّهَا فَرِيضَةٌ: بِحَمْلِ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ قَدْ وَقَعَ الدُّخُولُ فِيهَا، وَهِيَ بَعْدَ الشُّرُوعِ فِيهَا وَاجِبَةٌ بِلَا خِلَافٍ،
Mereka menjawab (membantah) ayat ini dan hadis-hadis yang tegas menyatakan bahwa umrah itu fardhu dengan menakwilkannya bahwa yang dimaksud adalah setelah seseorang sudah masuk ke dalam ibadah umrah; setelah seseorang memulai umrah, ia memang menjadi wajib tanpa khilaf.
وَهَذَا وَإِنْ كَانَ فِيهِ بُعْدٌ، لَكِنَّهُ يَجِبُ الْمَصِيرُ إِلَيْهِ جَمْعًا بَيْنَ الْأَدِلَّةِ،
Penakwilan ini meskipun agak jauh, tetapi harus ditempuh demi mengompromikan dalil-dalil.
وَلَا سِيَّمَا بَعْدَ تَصْرِيحِهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا تَقَدَّمَ فِي حَدِيثِ جَابِرٍ مِنْ عَدَمِ الْوُجُوبِ،
Terutama setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan dalam hadis Jabir yang telah disebutkan bahwa umrah tidak wajib.
وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ مَا وَرَدَ مِمَّا فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى وُجُوبِهَا،
Atas dasar ini pula semua dalil yang menunjukkan kewajiban umrah ditakwil seperti itu.
كَمَا أَخْرَجَهُ الشَّافِعِيُّ فِي «الْأُمِّ» أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ: «إِنَّ الْعُمْرَةَ هِيَ الْحَجُّ الْأَصْغَرُ».
Seperti yang diriwayatkan Asy-Syafi‘i dalam Al-Umm, bahwa dalam surat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tulis untuk ‘Amr bin Hazm terdapat: “Sesungguhnya umrah itu adalah haji kecil.”
وَكَحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ عِنْدَ الْبَيْهَقِيِّ فِي «الشُّعَبِ»، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَوْصِنِي، فَقَالَ: «تَعْبُدُ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُومُ شَهْرَ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ وَتَعْتَمِرُ، وَتَسْمَعُ وَتُطِيعُ، وَعَلَيْكَ بِالْعَلَانِيَةِ، وَإِيَّاكَ وَالسِّرَّ».
Dan seperti hadis Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu‘ab (Al-Iman), ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Berilah aku wasiat.” Beliau bersabda: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, berhaji dan berumrah, mendengar dan taat (kepada pemimpin), hendaklah engkau menampakkan (amal) di hadapan umum, dan jauhilah (amal) secara sembunyi-sembunyi (yang mengundang tuduhan).”
وَهَكَذَا يَنْبَغِي حَمْلُ مَا وَرَدَ مِنَ الْأَحَادِيثِ الَّتِي قُرِنَ فِيهَا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فِي أَنَّهُمَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ، وَأَنَّهُمَا كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَأَنَّهُمَا يَهْدِمَانِ مَا كَانَ قَبْلَهُمَا، وَنَحْوِ ذَلِكَ.
Demikian pula hendaknya ditakwil berbagai hadis yang menggabungkan haji dan umrah, bahwa keduanya termasuk amal paling utama, bahwa keduanya menghapus dosa di antara pelaksanaannya, dan bahwa keduanya meruntuhkan dosa-dosa sebelumnya, dan semacamnya.
قَوْلُهُ: فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ
Firman-Nya: “Jika kalian terhalang (dari menyempurnakan haji/umrah)…”
الْحَصْرُ: الْحَبْسُ.
Al-ḥashr adalah penahanan.
قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ وَالْكِسَائِيُّ وَالْخَلِيلُ: إِنَّهُ يُقَالُ: أُحْصِرَ بِالْمَرَضِ، وَحُصِرَ بِالْعَدُوِّ.
Abu ‘Ubaidah, Al-Kisa’i, dan Al-Khalil berkata: dikatakan “uḥṣira” karena sakit, dan “ḥuṣira” karena musuh.
وَفِي «الْمُجْمَلِ» لِابْنِ فَارِسٍ الْعَكْسُ، يُقَالُ: أُحْصِرَ بِالْعَدُوِّ، وَحُصِرَ بِالْمَرَضِ.
Sedangkan dalam Al-Mujmal karya Ibnu Faris disebutkan kebalikannya: dikatakan “uḥṣira” karena musuh, dan “ḥuṣira” karena sakit.
وَرَجَّحَ الْأَوَّلَ ابْنُ الْعَرَبِيِّ، وَقَالَ: هُوَ رَأْيُ أَكْثَرِ أَهْلِ اللُّغَةِ.
Ibnu Al-‘Arabi menguatkan pendapat pertama dan berkata: “Itu adalah pendapat kebanyakan ahli bahasa.”
وَقَالَ الزَّجَّاجُ: إِنَّهُ كَذَلِكَ عِنْدَ جَمِيعِ أَهْلِ اللُّغَةِ.
Az-Zajjaj berkata: “Demikianlah menurut seluruh ahli bahasa.”
وَقَالَ الْفَرَّاءُ: هُمَا بِمَعْنًى وَاحِدٍ فِي الْمَرَضِ وَالْعَدُوِّ.
Al-Farra’ berkata: “Keduanya (uḥṣira dan ḥuṣira) sama maknanya, baik karena sakit maupun musuh.”
وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ أَبُو عَمْرٍو الشَّيْبَانِيُّ، فَقَالَ: حَصَرَنِي الشَّيْءُ وَأَحْصَرَنِي، أَيْ: حَبَسَنِي.
Abu ‘Amr Asy-Syaibani menyetujuinya; ia berkata: “Hasharanī asy-syai’u wa aḥṣaranī” artinya: sesuatu itu menahan (menghalangi)ku.
وَبِسَبَبِ هَذَا الِاخْتِلَافِ بَيْنَ أَهْلِ اللُّغَةِ اخْتَلَفَ أَئِمَّةُ الْفِقْهِ فِي مَعْنَى الْآيَةِ،
Karena perbedaan di kalangan ahli bahasa ini, para imam fikih pun berbeda pendapat tentang makna ayat ini.
فَقَالَتِ الْحَنَفِيَّةُ: الْمُحْصَرُ مَنْ يَصِيرُ مَمْنُوعًا مِنْ مَكَّةَ بَعْدَ الْإِحْرَامِ بِمَرَضٍ أَوْ عَدُوٍّ أَوْ غَيْرِهِ.
Hanafiyyah berkata: orang yang muḥṣar adalah yang terhalang menuju Makkah setelah berihram karena sakit, musuh, atau sebab lainnya.
وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ وَأَهْلُ الْمَدِينَةِ: الْمُرَادُ بِالْآيَةِ: حَصْرُ الْعَدُوِّ.
Syafi‘iyyah dan ulama Madinah berkata: yang dimaksud ayat ini adalah terhalang karena musuh.
وَقَدْ ذَهَبَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ الْمُحْصَرَ بِعَدُوٍّ يَحِلُّ حَيْثُ أُحْصِرَ، وَيَنْحَرُ هَدْيَهُ إِنْ كَانَ ثَمَّ هَدْيٌ، وَيَحْلِقُ رَأْسَهُ، كَمَا فَعَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم هُوَ وَأَصْحَابُهُ فِي الْحُدَيْبِيَةِ.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang terhalang oleh musuh boleh bertahallul di tempat ia terhalang; ia menyembelih hadyunya jika ia membawa hadyu, dan mencukur kepalanya, sebagaimana dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau di Hudaibiyah.
وَقَوْلُهُ: فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
Firman-Nya: “Maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat…”
«مَا» فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ عَلَى الِابْتِدَاءِ أَوِ الْخَبَرِ، أَيْ: فَالْوَاجِبُ، أَوْ فَعَلَيْكُمْ،
Kata “mā” di sini berposisi sebagai mubtada’ atau khabar; yakni, yang wajib (atas kalian) adalah hadyu yang mudah didapat, atau: wajib atas kalian (demikian).
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ، أَيْ: فَانْحَرُوا، أَوْ فَاهْدُوا مَا اسْتَيْسَرَ،
Kemungkinan juga ia berposisi nasab, yakni maknanya: sembelihlah, atau hadyukanlah apa yang mudah didapat.
أَيْ: مَا تَيَسَّرَ، يُقَالُ: يَسَّرَ الْأَمْرَ وَاسْتَيْسَرَ، كَمَا يُقَالُ: صَعَّبَ وَاسْتَصْعَبَ،
Yaitu: apa yang mudah didapat. Dikatakan: “yassara al-amra” dan “istaysara”, sebagaimana dikatakan: “sha‘aba” dan “istash‘aba”.
وَالْهَدْيُ وَالْهَدِيُّ لُغَتَانِ، وَهُمَا جَمْعُ هَدِيَّةٍ، وَهِيَ: مَا يُهْدَى إِلَى الْبَيْتِ مِنْ بَدَنَةٍ أَوْ غَيْرِهَا.
“Hady” dan “hadī” adalah dua dialek; keduanya bentuk jamak dari “hadiyyah”, yakni hewan yang dihadiahkan ke Baitullah, baik berupa unta maupun selainnya.
قَالَ الْفَرَّاءُ: أَهْلُ الْحِجَازِ وَبَنُو أَسَدٍ يُخَفِّفُونَ الْهَدْيَ، وَتَمِيمٌ وَسُفْلَى قَيْسٍ يُثَقِّلُونَ.
Al-Farra’ berkata: penduduk Hijaz dan Bani Asad melafazkan “al-hady” dengan ringan, sedangkan Tamim dan penduduk dataran rendah Qais melafazkannya dengan berat (tasydid).
قَالَ الشَّاعِرُ: حَلَفْتُ بِرَبِّ مَكَّةَ وَالْمُصَلَّى … وَأَعْنَاقِ الْهَدْيِ مُقَلَّدَاتِ
Seorang penyair berkata: “Aku bersumpah demi Rabb Makkah dan tempat salat, dan demi leher-leher hewan hadyu yang terkalungi (tanda).”
قَالَ: وَوَاحِدُ الْهَدْيِ هَدِيَّةٌ، وَيُقَالُ فِي جَمْعِ الْهَدْيِ: أَهْدَاءٌ.
Ia berkata: bentuk tunggal “al-hady” adalah “hadiyyah”, dan jamak dari “hady” juga dikatakan “ahdā’”.
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْمُرَادِ بِقَوْلِهِ: فَمَا اسْتَيْسَرَ، فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ شَاةٌ.
Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan firman-Nya: “mā istaysara” (yang mudah didapat). Mayoritas berpendapat: yang dimaksud adalah seekor kambing.
وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ: جَمَلٌ أَوْ بَقَرَةٌ.
Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, dan Ibnu Az-Zubair berkata: (yang dimaksud adalah) unta atau sapi.
وَقَالَ الْحَسَنُ: أَعْلَى الْهَدْيِ بَدَنَةٌ، وَأَوْسَطُهُ بَقَرَةٌ، وَأَدْنَاهُ شَاةٌ.
Al-Hasan berkata: tingkatan tertinggi hadyu adalah unta, pertengahannya sapi, dan yang paling rendah kambing.
وَقَوْلُهُ: وَلَا تَحْلِقُوا رُؤُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Firman-Nya: “Dan janganlah kalian mencukur kepala kalian sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya…”
هُوَ خِطَابٌ لِجَمِيعِ الْأُمَّةِ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ مُحْصَرٍ وَغَيْرِ مُحْصَرٍ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمْعٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ،
Ini adalah seruan kepada seluruh umat, tanpa membedakan antara orang yang terhalang (muḥṣar) dan yang tidak. Pendapat ini dianut oleh sekelompok ulama.
وَذَهَبَتْ طَائِفَةٌ إِلَى أَنَّهُ خِطَابٌ لِلْمُحْصَرِينَ خَاصَّةً، أَيْ: لَا تَحِلُّوا مِنَ الْإِحْرَامِ حَتَّى تَعْلَمُوا أَنَّ الْهَدْيَ الَّذِي بَعَثْتُمُوهُ إِلَى الْحَرَمِ قَدْ بَلَغَ مَحِلَّهُ، وَهُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي يَحِلُّ فِيهِ ذَبْحُهُ.
Dan sekelompok lain berpendapat bahwa seruan ini khusus bagi orang-orang yang terhalang (muḥṣar), yakni: janganlah kalian bertahallul dari ihram sampai kalian mengetahui bahwa hadyu yang kalian kirim ke Tanah Haram telah sampai di tempat penyembelihannya, yaitu tempat yang halal untuk menyembelihnya.
وَاخْتَلَفُوا فِي تَعْيِينِهِ، فَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ: هُوَ مَوْضِعُ الْحَصْرِ، اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَيْثُ أُحْصِرَ فِي عَامِ الْحُدَيْبِيَةِ.
Mereka berbeda pendapat tentang penentuannya. Malik dan Asy-Syafi‘i berkata: tempat penyembelihannya adalah lokasi terjadinya hambatan, mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau terhalang pada tahun Hudaibiyah.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هُوَ الْحَرَمُ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ3.
Abu Hanifah berkata: tempat penyembelihannya adalah Tanah Haram, berdasarkan firman-Nya Ta‘ala: “Kemudian tempat penyembelihannya adalah di Baitul-‘Atiq (Ka‘bah).”3
وَأُجِيبَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ الْمُخَاطَبَ بِهِ هُوَ الْآمِنُ الَّذِي يُمْكِنُهُ الْوُصُولُ إِلَى الْبَيْتِ.
Jawaban atas dalil ini: bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang yang dalam keadaan aman dan memungkinkan baginya untuk sampai ke Baitullah.
وَأَجَابَ الْحَنَفِيَّةُ عَنْ نَحْرِهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْحُدَيْبِيَةِ بِأَنَّ طَرَفَ الْحُدَيْبِيَةِ الَّذِي إِلَى أَسْفَلَ مَكَّةَ هُوَ مِنَ الْحَرَمِ،
Hanafiyyah menjawab peristiwa penyembelihan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah dengan mengatakan bahwa bagian Hudaibiyah yang menghadap ke bawah (arah) Makkah termasuk wilayah Tanah Haram.
وَرُدَّ بِأَنَّ الْمَكَانَ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ النَّحْرُ لَيْسَ هُوَ مِنَ الْحَرَمِ.
Namun pendapat ini dibantah, karena tempat di mana beliau menyembelih (hadyu) bukan termasuk wilayah Tanah Haram.
قَوْلُهُ: فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا الْآيَةَ،
Firman-Nya: “Maka siapa di antara kalian yang sakit…” (hingga akhir ayat).
الْمُرَادُ بِالْمَرَضِ هُنَا: مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ مُسَمَّى الْمَرَضِ لُغَةً.
Yang dimaksud dengan sakit di sini adalah segala sesuatu yang secara bahasa layak disebut sakit.
وَالْمُرَادُ بِالْأَذَى مِنَ الرَّأْسِ: مَا فِيهِ مِنْ قَمْلٍ أَوْ جِرَاحٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ،
Dan yang dimaksud dengan “gangguan pada kepala” adalah adanya kutu, luka, dan semacamnya di kepala.
وَمَعْنَى الْآيَةِ: أَنَّ مَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَحَلَقَ فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ.
Makna ayat: siapa yang sakit atau memiliki gangguan pada kepalanya lalu ia mencukur rambut, maka wajib atasnya membayar fidyah.
وَقَدْ بَيَّنَتِ السُّنَّةُ مَا أُطْلِقَ هُنَا مِنَ الصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالنُّسُكِ،
Sunnah telah menjelaskan rincian yang disebutkan secara umum di sini tentang puasa, sedekah, dan kurban.
فَثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأَى كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَقَمْلُهُ يَتَسَاقَطُ عَلَى وَجْهِهِ،
Telah sahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ka‘b bin ‘Ujrah sedang dalam ihram, dan kutu kepalanya berjatuhan ke wajahnya.
فَقَالَ: «أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ؟» قَالَ: نَعَمْ، فَأَمَرَهُ أَنْ يَحْلِقَ، وَيُطْعِمَ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوْ يُهْدِيَ شَاةً، أَوْ يَصُومَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ».
Beliau bersabda: “Apakah binatang-binatang kecil di kepalamu itu menyakitimu?” Ia menjawab: “Ya.” Maka beliau memerintahkannya mencukur rambut, serta memberi makan enam orang miskin, atau menyembelih seekor kambing, atau berpuasa tiga hari.
وَقَدْ ذَكَرَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ أَنَّهُ لَا خِلَافَ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ النُّسُكَ هُنَا شَاةٌ.
Ibnu ‘Abdil-Barr menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa yang dimaksud “nusuk” (kurban) di sini adalah seekor kambing.
وَحُكِيَ عَنِ الْجُمْهُورِ: أَنَّ الصَّوْمَ الْمَذْكُورَ فِي الْآيَةِ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ، وَالْإِطْعَامَ لِسِتَّةِ مَسَاكِينَ.
Dinukil dari mayoritas ulama bahwa puasa yang disebutkan dalam ayat ini adalah tiga hari, dan pemberian makan untuk enam orang miskin.
وَرُوِيَ عَنِ الْحَسَنِ وَعِكْرِمَةَ وَنَافِعٍ أَنَّهُمْ قَالُوا: الصَّوْمُ فِي فِدْيَةِ الْأَذَى عَشَرَةُ أَيَّامٍ، وَالْإِطْعَامُ عَشَرَةُ مَسَاكِينَ.
Diriwayatkan dari Al-Hasan, ‘Ikrimah, dan Nafi‘ bahwa mereka berkata: puasa dalam fidyah gangguan (pada kepala) adalah sepuluh hari, dan pemberian makan untuk sepuluh orang miskin.
وَالْحَدِيثُ الصَّحِيحُ الْمُتَقَدِّمُ يَرُدُّ عَلَيْهِمْ وَيُبْطِلُ قَوْلَهُمْ.
Hadis sahih yang telah disebutkan tadi membantah dan membatalkan pendapat mereka.
وَقَدْ ذَهَبَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُمْ، وَدَاوُدُ: إِلَى أَنَّ الْإِطْعَامَ فِي ذَلِكَ مُدَّانِ بِمُدِّ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، أَيْ: لِكُلِّ مِسْكِينٍ.
Malik, Asy-Syafi‘i, Abu Hanifah dan para pengikut mereka, serta Dawud Adh-Dhahiri berpendapat: ukuran makanan dalam fidyah ini adalah dua mud dengan mud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk setiap miskin.
وَقَالَ الثَّوْرِيُّ: نِصْفُ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ، أَوْ صَاعٌ مِنْ غَيْرِهِ. وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ.
Ats-Tsauri berkata: setengah sha‘ gandum, atau satu sha‘ dari selain gandum. Riwayat seperti ini juga dinukil dari Abu Hanifah.
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: وَهَذَا غَلَطٌ، لِأَنَّ فِي بَعْضِ أَخْبَارِ كَعْبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهُ: «تَصَدَّقْ بِثَلَاثَةِ أَصْوُعٍ مِنْ تَمْرٍ عَلَى سِتَّةِ مَسَاكِينَ».
Ibnu Al-Mundzir berkata: pendapat ini keliru, karena dalam sebagian riwayat tentang Ka‘b disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bersedekahlah dengan tiga sha‘ kurma kepada enam orang miskin.”
وَاخْتَلَفَتِ الرِّوَايَةُ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، فَرُوِيَ عَنْهُ مِثْلُ قَوْلِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ، وَرُوِيَ عَنْهُ: أَنَّهُ إِنْ أَطْعَمَ بُرًّا فَمُدٌّ لِكُلِّ مِسْكِينٍ، وَإِنْ أَطْعَمَ تَمْرًا فَنِصْفُ صَاعٍ.
Riwayat dari Ahmad bin Hanbal berbeda-beda: sebagian riwayat sesuai dengan pendapat Malik dan Asy-Syafi‘i; dan ada riwayat darinya bahwa jika makanan yang diberikan berupa gandum, maka satu mud untuk setiap orang miskin, dan jika berupa kurma, maka setengah sha‘.
وَاخْتَلَفُوا فِي مَكَانِ هَذِهِ الْفِدْيَةِ،
Mereka juga berbeda pendapat tentang tempat pelaksanaan fidyah ini.
فَقَالَ عَطَاءٌ: مَا كَانَ مِنْ دَمٍ فَبِمَكَّةَ، وَمَا كَانَ مِنْ طَعَامٍ أَوْ صِيَامٍ فَحَيْثُ شَاءَ. وَبِهِ قَالَ أَصْحَابُ الرَّأْيِ.
‘Atha’ berkata: fidyah berupa darah (sembelihan) dilaksanakan di Makkah, sedangkan fidyah berupa makanan atau puasa boleh di mana saja; ini juga pendapat Ahlur-Ra’yi (Hanafiyyah).
وَقَالَ طَاوُسٌ، وَالشَّافِعِيُّ: الْإِطْعَامُ وَالدَّمُ لَا يَكُونَانِ إِلَّا بِمَكَّةَ، وَالصَّوْمُ حَيْثُ شَاءَ.
Thawus dan Asy-Syafi‘i berkata: fidyah berupa makanan dan darah (sembelihan) hanya (sah) di Makkah, sedangkan puasa boleh di mana saja.
وَقَالَ مَالِكٌ، وَمُجَاهِدٌ: حَيْثُ شَاءَ فِي الْجَمِيعِ، وَهُوَ الْحَقُّ لِعَدَمِ الدَّلِيلِ عَلَى تَعْيِينِ الْمَكَانِ.
Malik dan Mujahid berkata: (fidyah) boleh di mana saja untuk seluruh bentuk (darah, makanan, puasa); dan inilah yang benar karena tidak ada dalil yang menetapkan tempat tertentu.
قَوْلُهُ: فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
Firman-Nya: “Apabila kalian telah aman, maka siapa yang melakukan tamattu‘ dengan mengerjakan umrah sampai (waktu) haji, maka (wajib baginya) hadyu yang mudah didapat…”
أَيْ: بَرِئْتُمْ مِنَ الْمَرَضِ – وَقِيلَ: مِنْ خَوْفِكُمْ مِنَ الْعَدُوِّ عَلَى الْخِلَافِ السَّابِقِ –
Yakni: kalian telah sembuh dari sakit; dan ada yang mengatakan: kalian telah aman dari rasa takut terhadap musuh, sesuai khilaf yang telah disebutkan.
وَلَكِنَّ الْأَمْنَ مِنَ الْعَدُوِّ أَظْهَرُ مِنِ اسْتِعْمَالِ «أَمِنْتُمْ» فِي ذَهَابِ الْمَرَضِ،
Namun makna aman dari musuh lebih tampak, karena kata “amin-tum” lebih lazim digunakan untuk keselamatan dari rasa takut daripada hilangnya penyakit.
فَيَكُونُ مُقَوِّيًا لِقَوْلِ مَنْ قَالَ: إِنَّ قَوْلَهُ: فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ الْمُرَادُ بِهِ: الْإِحْصَارُ مِنَ الْعَدُوِّ،
Ini menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: “Jika kalian terhalang” yang dimaksud adalah terhalang oleh musuh.
كَمَا أَنَّ قَوْلَهُ: فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا يُقَوِّي قَوْلَ مَنْ قَالَ بِذَلِكَ، لِإِفْرَادِ عُذْرِ الْمَرَضِ بِالذِّكْرِ.
Sebagaimana firman-Nya: “Maka siapa di antara kalian yang sakit…” menguatkan pendapat ini karena alasan sakit telah disebutkan secara tersendiri.
وَقَدْ وَقَعَ الْخِلَافُ: هَلِ الْمُخَاطَبُ بِهَذَا هُمُ الْمُحْصَرُونَ خَاصَّةً أَمْ جَمِيعُ الْأُمَّةِ؟ عَلَى حَسَبِ مَا سَلَفَ،
Telah terjadi perbedaan pendapat apakah ayat ini khusus ditujukan kepada orang-orang yang terhalang (muḥṣar) saja atau kepada seluruh umat, sebagaimana rincian yang telah disebutkan tadi.
وَالْمُرَادُ بِالتَّمَتُّعِ الْمَذْكُورِ فِي الْآيَةِ: أَنْ يُحْرِمَ الرَّجُلُ بِعُمْرَةٍ، ثُمَّ يُقِيمَ حَلَالًا بِمَكَّةَ إِلَى أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ.
Yang dimaksud dengan tamattu‘ dalam ayat ini adalah: seorang laki-laki berihram untuk umrah, kemudian ia tinggal dalam keadaan halal di Makkah hingga ia berihram untuk haji.
فَقَدِ اسْتَبَاحَ بِذَلِكَ مَا لَا يَحِلُّ لِلْمُحْرِمِ اسْتِبَاحَتُهُ، وَهُوَ مَعْنَى: «تَمَتَّعَ وَاسْتَمْتَعَ».
Dengan demikian ia telah memperbolehkan bagi dirinya hal-hal yang tidak halal bagi orang yang sedang ihram; itulah makna “tamatta‘a” dan “istamta‘a”.
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي جَوَازِ التَّمَتُّعِ، بَلْ هُوَ عِنْدِي أَفْضَلُ أَنْوَاعِ الْحَجِّ، كَمَا حَرَّرْتُهُ فِي شَرْحِي عَلَى «الْمُنْتَقَى».
Tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang bolehnya haji tamattu‘; bahkan menurutku tamattu‘ adalah jenis haji yang paling utama, sebagaimana telah aku jelaskan dalam syarahku atas Al-Muntaqā.
وَقَدْ تَقَدَّمَ الْخِلَافُ فِي مَعْنَى قَوْلِهِ: فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ.
Telah berlalu penjelasan khilaf tentang makna firman-Nya: “mā istaysara mina al-hadyi.”
قَوْلُهُ: فَمَنْ لَمْ يَجِدْ الْآيَةَ، أَيْ: فَمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ، إِمَّا لِعَدَمِ الْمَالِ أَوْ لِعَدَمِ الْحَيَوَانِ،
Firman-Nya: “Maka jika ia tidak mendapatkannya…” maksudnya: siapa yang tidak mendapatkan hadyu, baik karena tidak punya harta maupun tidak mendapati hewan (untuk disembelih).
صَامَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ، أَيْ: فِي أَيَّامِ الْحَجِّ، وَهِيَ مِنْ عِنْدِ شُرُوعِهِ فِي الْإِحْرَامِ إِلَى يَوْمِ النَّحْرِ.
Maka ia berpuasa tiga hari dalam masa haji, yaitu pada hari-hari haji, yakni sejak ia mulai berihram hingga hari Nahr (Iduladha).
وَقِيلَ: يَصُومُ قَبْلَ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ يَوْمًا، وَيَوْمَ التَّرْوِيَةِ، وَيَوْمَ عَرَفَةَ.
Ada yang berkata: ia berpuasa sehari sebelum hari Tarwiyah, lalu hari Tarwiyah, dan hari Arafah.
وَقِيلَ: مَا بَيْنَ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إِلَى يَوْمِ عَرَفَةَ.
Ada juga yang berkata: (tiga hari itu) antara ia berihram haji sampai hari Arafah.
وَقِيلَ: يَصُومُهُنَّ مِنْ أَوَّلِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ.
Ada pula yang berkata: ia berpuasa tiga hari itu pada awal sepuluh hari pertama Dzulhijjah.
وَقِيلَ: مَا دَامَ بِمَكَّةَ،
Ada yang berkata: selama ia masih berada di Makkah.
وَقِيلَ: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَصُومَ الثَّلَاثَ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ.
Ada pula yang mengatakan: boleh ia berpuasa tiga hari itu sebelum berihram.
وَقَدْ جَوَّزَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ صِيَامَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْيَ، وَمَنَعَهُ آخَرُونَ.
Sebagian ulama membolehkan puasa pada hari-hari Tasyriq bagi orang yang tidak mendapatkan hadyu, sementara yang lain melarangnya.
قَوْلُهُ: وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ
Firman-Nya: “dan tujuh (hari) setelah kalian kembali…”
قَرَأَهُ الْجُمْهُورُ بِخَفْضِ «سَبْعَةٍ»، وَقَرَأَ زَيْدُ بْنُ عَلِيٍّ، وَابْنُ أَبِي عَبْلَةَ بِالنَّصْبِ عَلَى أَنَّهُ مَعْمُولٌ لِفِعْلٍ مُقَدَّرٍ، أَيْ: وَصُومُوا سَبْعَةً،
Mayoritas qari’ membaca “sab‘atin” dengan harakat jar (kasrah), sedangkan Zaid bin ‘Ali dan Ibnu Abi ‘Ablah membacanya dengan nasab (fathah), yakni sebagai objek dari fi‘l yang diperkirakan, maknanya: “dan berpuasalah tujuh (hari).”
وَقِيلَ: عَلَى أَنَّهُ مَعْطُوفٌ عَلَى «ثَلَاثَةٍ»، لِأَنَّهَا وَإِنْ كَانَتْ مَجْرُورَةً لَفْظًا فَهِيَ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ، كَأَنَّهُ قِيلَ: «فَصِيَامُ ثَلَاثَةٍ».
Ada juga yang berkata: ia di-‘athaf-kan kepada “tsalātsatin”, karena meski “tsalātsatin” secara lafaz majrur, namun posisinya nasab, seakan-akan dikatakan: “maka (wajib baginya) puasa tiga (hari).”
وَالْمُرَادُ بِالرُّجُوعِ هُنَا: الرُّجُوعُ إِلَى الْأَوْطَانِ.
Yang dimaksud dengan “kembali” di sini adalah kembali ke negeri (kampung halaman).
قَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ: يَجْزِيهِ الصَّوْمُ فِي الطَّرِيقِ، وَلَا يَتَضَيَّقُ عَلَيْهِ الْوُجُوبُ إِلَّا إِذَا وَصَلَ وَطَنَهُ،
Ahmad dan Ishaq berkata: sah baginya berpuasa (tujuh hari) di perjalanan, dan kewajiban itu tidak menjadi mendesak kecuali ketika ia telah sampai ke negerinya.
وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَقَتَادَةُ، وَالرَّبِيعُ، وَمُجَاهِدٌ، وَعَطَاءٌ، وَعِكْرِمَةُ، وَالْحَسَنُ وَغَيْرُهُمْ.
Pendapat ini juga dianut oleh Asy-Syafi‘i, Qatadah, Ar-Rabi‘, Mujahid, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Al-Hasan, dan selain mereka.
وَقَالَ مَالِكٌ: إِذَا رَجَعَ مِنْ مِنًى فَلَا بَأْسَ أَنْ يَصُومَ، وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ.
Malik berkata: jika ia telah kembali dari Mina, tidak mengapa ia berpuasa. Namun pendapat pertama lebih kuat.
وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ صلى الله عليه وسلم: «فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَصُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ، وَسَبْعَةً إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ».
Telah sahih dari hadis Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa tidak mendapatkan (hadyu), hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam (masa) haji, dan tujuh (hari) ketika ia kembali kepada keluarganya.”
فَبَيَّنَ صلى الله عليه وسلم أَنَّ الرُّجُوعَ الْمَذْكُورَ فِي الْآيَةِ هُوَ الرُّجُوعُ إِلَى الْأَهْلِ.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa “kembali” yang disebut dalam ayat adalah kembali kepada keluarga.
وَثَبَتَ أَيْضًا فِي الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ إِلَى أَمْصَارِكُمْ».
Dan telah sahih pula dari hadis Ibnu ‘Abbas dengan lafaz: “Dan tujuh (hari) ketika kalian telah kembali ke negeri-negeri kalian.”
وَإِنَّمَا قَالَ سُبْحَانَهُ: تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ، مَعَ أَنَّ كُلَّ أَحَدٍ يَعْلَمُ أَنَّ الثَّلَاثَةَ وَالسَّبْعَةَ عَشَرَةٌ،
Allah Yang Mahasuci berfirman: “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”, padahal setiap orang tahu bahwa tiga dan tujuh berjumlah sepuluh,
لِدَفْعِ أَنْ يَتَوَهَّمَ مُتَوَهِّمٌ التَّخْيِيرَ بَيْنَ الثَّلَاثَةِ الْأَيَّامِ فِي الْحَجِّ وَالسَّبْعَةِ إِذَا رَجَعَ. قَالَ الزَّجَّاجُ.
untuk menolak kemungkinan ada yang menyangka bahwa terdapat pilihan antara tiga hari dalam haji dan tujuh hari setelah kembali. Demikian penjelasan Az-Zajjaj.
وَقَالَ الْمُبَرِّدُ: ذُكِرَ ذَلِكَ لِيَدُلَّ عَلَى انْقِضَاءِ الْعَدَدِ، لِئَلَّا يَتَوَهَّمَ مُتَوَهِّمٌ أَنَّهُ قَدْ بَقِيَ مِنْهُ شَيْءٌ بَعْدَ ذِكْرِ السَّبْعَةِ،
Al-Mubarrid berkata: hal itu disebutkan untuk menunjukkan bahwa bilangan (puasa) telah sempurna, agar tidak ada yang menyangka masih tersisa sesuatu setelah penyebutan tujuh hari.
وَقِيلَ: هُوَ تَوْكِيدٌ، كَمَا تَقُولُ: كَتَبْتُ بِيَدِي.
Ada juga yang berkata: itu sekadar penegasan, seperti ucapanmu: “Aku menulis dengan tanganku sendiri.”
وَقَدْ كَانَتِ الْعَرَبُ تَأْتِي بِمِثْلِ هَذِهِ الْفَذْلَكَةِ فِيمَا دُونَ هَذَا الْعَدَدِ، كَقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Orang-orang Arab biasa menggunakan bentuk “fadzlakah”4 seperti ini bahkan untuk bilangan yang lebih sedikit, seperti perkataan penyair:
ثَلَاثٌ وَاثْنَانِ فَهُنَّ خَمْسٌ … وَسَادِسَةٌ تَمِيلُ إِلَى شِمَامِي
“Tiga dan dua, maka jadilah lima, dan yang keenam condong ke sisi kiriku.”
وَكَذَا قَوْلُ الْآخَرِ: ثَلَاثٌ بِالْغَدَاةِ وَذَاكَ حَسْبِي … وَسِتٌّ حِينَ يُدْرِكُنِي الْعِشَاءُ فَذَلِكَ تِسْعَةٌ فِي الْيَوْمِ رِيِّي … وَشُرْبُ الْمَرْءِ فَوْقَ الرِّيِّ دَاءُ
Demikian pula syair yang lain: “Tiga kali di pagi hari, dan itu sudah cukup bagiku, dan enam (kali) ketika senja menyapaku. Maka sembilan kali minumlah aku dalam sehari, dan minum lebih dari sekadar menghilangkan dahaga adalah penyakit.”
وَقَوْلُهُ: «كَامِلَةٌ» تَوْكِيدٌ آخَرُ بَعْدَ الْفَذْلَكَةِ لِزِيَادَةِ التَّوْصِيَةِ بِصِيَامِهَا، وَأَنْ لَا يُنْقَصَ مِنْ عَدَدِهَا.
Firman-Nya: “kāmilah” (yang sempurna) adalah penegasan lain setelah “fadzlakah”, untuk lebih menekankan agar puasa itu ditunaikan seluruhnya dan tidak dikurangi jumlahnya.
وَقَوْلُهُ: ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Firman-Nya: “Demikian itu (kewajiban) bagi orang yang keluarganya tidak berada di (sekitar) Masjidilharam…”
الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: «ذَٰلِكَ» قِيلَ: هِيَ رَاجِعَةٌ إِلَى التَّمَتُّعِ،
Isyarat dengan kata “dzālik(a)” dikatakan kembali kepada (hukum) tamattu‘.
فَتَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا مُتْعَةَ لِحَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، كَمَا يَقُولُهُ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَصْحَابُهُ،
Maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada (hukum) tamattu‘ bagi orang yang berada di sekitar Masjidilharam, sebagaimana dikatakan Abu Hanifah dan para pengikutnya.
قَالُوا: وَمَنْ تَمَتَّعَ مِنْهُمْ كَانَ عَلَيْهِ دَمٌ، وَهُوَ دَمُ جِنَايَةٍ لَا يَأْكُلُ مِنْهُ.
Mereka berkata: siapa yang bertamattu‘ dari kalangan mereka wajib menunaikan darah (sembelihan) karena pelanggaran, dan ia tidak boleh memakan dagingnya.
وَقِيلَ: إِنَّهَا رَاجِعَةٌ إِلَى الْحُكْمِ، وَهُوَ وُجُوبُ الْهَدْيِ وَالصِّيَامِ، فَلَا يَجِبُ ذَلِكَ عَلَى مَنْ كَانَ مِنْ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، كَمَا يَقُولُهُ الشَّافِعِيُّ وَمَنْ وَافَقَهُ.
Ada pula yang berkata: kata isyarat itu kembali kepada hukum, yaitu wajibnya hadyu dan puasa. Maka kewajiban tersebut tidak berlaku bagi orang yang berada di sekitar Masjidilharam, sebagaimana pendapat Asy-Syafi‘i dan yang sependapat dengannya.
وَالْمُرَادُ بِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ: مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاكِنًا فِي الْحَرَمِ، أَوْ مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاكِنًا فِي الْمَوَاقِيتِ فَمَا دُونَهَا، عَلَى الْخِلَافِ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الْأَئِمَّةِ.
Yang dimaksud dengan “orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidilharam” adalah: orang yang tidak tinggal di dalam wilayah Tanah Haram, atau orang yang tidak tinggal di dalam batas miqat dan yang lebih dekat ke Baitullah, sesuai khilaf yang ada di antara para imam.
وَقَوْلُهُ: وَاتَّقُوا اللَّهَ أَيْ: فِيمَا فَرَضَهُ عَلَيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ،
Firman-Nya: “Dan bertakwalah kepada Allah” maksudnya: dalam melaksanakan segala hukum yang telah Dia wajibkan atas kalian ini.
وَقِيلَ: هُوَ أَمْرٌ بِالتَّقْوَى عَلَى الْعُمُومِ، وَتَحْذِيرٌ مِنْ شِدَّةِ عِقَابِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
Ada juga yang berkata: ini adalah perintah bertakwa secara umum, serta peringatan dari kerasnya siksaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
(١) البقرة: ١٢٤.
(٢) البقرة: ١٨٧.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٢٢٥–٢٢٩)
Fathul Qadir karya Asy-Syaukani – Jilid 1 (hlm. 225–229) ---

1 البقرة: 124.

2 البقرة: 187.

3 الحجّ: 33.

4 الفذلكة: مجمل ما فُصِّل وخلاصته.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7