Al Baqarah Ayat 189

سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): آيَةٌ ١٨٩

Surat Al-Baqarah (2): Ayat 189

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal (bulan sabit). Katakanlah, “Itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan bahwa kalian memasuki rumah-rumah dari belakangnya. Akan tetapi kebajikan itu adalah (milik) orang yang bertakwa. Maka masukilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya. Dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung. ---
قَوْلُهُ: يَسْأَلُونَكَ سَيَأْتِي بَيَانُ مَنْ هُمُ السَّائِلُونَ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Tentang firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu…”, akan datang penjelasan siapa orang-orang yang bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam itu.
وَالْأَهِلَّةُ: جَمْعُ هِلَالٍ، وَجَمْعُهَا بِاعْتِبَارِ هِلَالِ كُلِّ شَهْرٍ، أَوْ كُلِّ شَهْرٍ،
Adapun “al-ahillah” adalah bentuk jamak dari “hilāl”. Dan bentuk jamaknya dilihat berdasarkan hilal setiap bulan, atau (permulaan) setiap bulan.
قَالَ الْأَصْمَعِيُّ: هُوَ هِلَالٌ حَتَّى يَسْتَدِيرَ،
Al-Aṣma‘i berkata: “Ia disebut hilal sampai (bentuknya) menjadi bulat sempurna.”
وَقِيلَ: هُوَ هِلَالٌ حَتَّى يُنِيرَ
Dan ada yang berkata: “Ia disebut hilal sampai ia menerangi…
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٢١٨)
Fathul Qadir karya Asy-Syaukani – Jilid 1 (hal. 218)
بِضَوْئِهِ السَّمَاءَ وَذَلِكَ لَيْلَةَ السَّابِعِ.
…langit dengan cahayanya, dan itu (terjadi) pada malam ketujuh.
وَإِنَّمَا قِيلَ لَهُ: هِلَالٌ لِأَنَّ النَّاسَ يَرْفَعُونَ أَصْوَاتَهُمْ بِالْإِخْبَارِ عَنْهُ عِنْدَ رُؤْيَتِهِ،
Ia dinamai “hilal” karena orang-orang mengeraskan suara mereka ketika mengabarkan tentang kemunculannya saat mereka melihatnya.
وَمِنْهُ اسْتَهَلَّ الصَّبِيُّ إِذَا صَاحَ، وَاسْتَهَلَّ وَجْهُهُ وَتَهَلَّلَ إِذَا ظَهَرَ فِيهِ السُّرُورُ.
Dan dari kata itu pula (berasal ungkapan): “istahalla ash-shabiyyu” (bayi itu mengeluarkan suara) ketika ia menangis, dan “istahalla wajhuhu” serta “tahallala” ketika tampak padanya rasa gembira (wajahnya berseri-seri).
قَوْلُهُ: قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ فِيهِ بَيَانُ وَجْهِ الْحِكْمَةِ فِي زِيَادَةِ الْهِلَالِ وَنُقْصَانِهِ،
Firman-Nya: “Katakanlah: itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi) haji” di dalamnya terdapat penjelasan sisi hikmah dari membesar dan mengecilnya hilal.
وَأَنَّ ذَلِكَ لِأَجْلِ بَيَانِ الْمَوَاقِيتِ الَّتِي يُوَقِّتُ النَّاسُ عِبَادَاتِهِمْ وَمُعَامَلَاتِهِمْ بِهَا،
Dan bahwa hal itu bertujuan untuk menjelaskan waktu-waktu yang dengannya manusia menentukan ibadah dan muamalah mereka.
كَالصَّوْمِ، وَالْفِطْرِ، وَالْحَجِّ، وَمُدَّةِ الْحَمْلِ، وَالْعِدَّةِ، وَالْإِجَارَاتِ، وَالْأَيْمَانِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ،
Seperti puasa, hari raya berbuka (Idulfitri), haji, masa kehamilan, masa idah, masa sewa-menyewa, sumpah, dan selain itu.
وَمِثْلُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ﴾1
Yang semakna dengannya adalah firman-Nya Ta‘ala: “(…agar kalian mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan (waktu)…).”1
وَالْمَوَاقِيتُ: جَمْعُ الْمِيقَاتِ، وَهُوَ الْوَقْتُ.
Al-mawāqīt adalah bentuk jamak dari “mīqāt”, dan itu berarti “waktu”.
وَقِرَاءَةُ الْجُمْهُورِ: وَالْحَجِّ بِفَتْحِ الْحَاءِ.
Bacaan mayoritas (qari’) adalah “wal-ḥajj(i)” dengan harakat fathah pada huruf ḥa’-nya.
وَقَرَأَ ابْنُ أَبِي إِسْحَاقَ بِكَسْرِهَا فِي جَمِيعِ الْقُرْآنِ.
Ibnu Abi Ishaq membacanya dengan kasrah pada huruf ḥa’ di seluruh (tempat kata) “hajj” dalam Al-Qur’an.
قَالَ سِيبَوَيْهِ: الْحَجُّ بِالْفَتْحِ كَالرَّدِّ وَالشَّدِّ، وَبِالْكَسْرِ كَالذِّكْرِ: مَصْدَرَانِ بِمَعْنًى،
Siibawaih berkata: “‘Al-ḥajju’ dengan fathah (ḥajj) seperti (wazan) ‘ar-radd’ dan ‘asy-syadd’, dan dengan kasrah seperti ‘adz-dzikr’; keduanya adalah dua bentuk masdar dengan satu makna.
وَقِيلَ: بِالْفَتْحِ مَصْدَرٌ، وَبِالْكَسْرِ الِاسْمُ.
Dan ada yang berpendapat: yang dengan fathah adalah masdar, dan yang dengan kasrah adalah isim (kata benda).
وَإِنَّمَا أَفْرَدَ سُبْحَانَهُ الْحَجَّ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ مِمَّا يُحْتَاجُ فِيهِ إِلَى مَعْرِفَةِ الْوَقْتِ،
Allah Yang Maha Suci mengkhususkan penyebutan haji karena ia termasuk perkara yang sangat membutuhkan pengetahuan tentang waktu.
وَلَا يَجُوزُ فِيهِ النَّسِيءَ عَنْ وَقْتِهِ،
Dan tidak boleh di dalamnya ada penundaan (an-nasī’) dari waktunya.
وَلِعِظَمِ الْمَشَقَّةِ عَلَى مَنِ الْتَبَسَ عَلَيْهِ وَقْتُ مَنَاسِكِهِ أَوْ أَخْطَأَ وَقْتَهَا أَوْ وَقْتَ بَعْضِهَا.
Serta karena besarnya kesulitan bagi orang yang rancu baginya waktu pelaksanaan manasiknya, atau ia keliru menentukan waktunya, atau waktu sebagian manasiknya.
وَقَدْ جَعَلَ بَعْضُ عُلَمَاءِ الْمَعَانِي هَذَا الْجَوَابَ، أَعْنِي قَوْلَهُ: قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ، مِنَ الْأُسْلُوبِ الْحَكِيمِ،
Sebagian ulama ilmu ma‘ani memandang jawaban ini—yakni firman-Nya: “Katakanlah: itu adalah penentu waktu…”—sebagai contoh “al-uslūb al-ḥakīm”.
وَهُوَ تَلَقِّي الْمُخَاطَبِ بِغَيْرِ مَا يَتَرَقَّبُ، تَنْبِيهًا عَلَى أَنَّهُ الْأَوْلَى بِالْقَصْدِ،
Yaitu menyambut pihak yang diajak bicara dengan (jawaban) yang bukan sedang ia tunggu-tunggu, sebagai penegasan bahwa hal itulah yang lebih utama dijadikan tujuan.
وَوَجْهُ ذَلِكَ: أَنَّهُمْ سَأَلُوا عَنْ أَجْرَامِ الْأَهِلَّةِ بِاعْتِبَارِ زِيَادَتِهَا وَنُقْصَانِهَا،
Penjelasan hal itu adalah: mereka bertanya tentang benda-benda hilal dengan meninjau sisi membesar dan mengecilnya.
فَأُجِيبُوا بِالْحِكْمَةِ الَّتِي كَانَتْ تِلْكَ الزِّيَادَةُ وَالنُّقْصَانُ لِأَجْلِهَا،
Maka mereka dijawab dengan (penjelasan) hikmah yang karenanya terjadi pembesaran dan pengecilan tersebut.
لِكَوْنِ ذَلِكَ أَوْلَى بِأَنْ يَقْصِدَ السَّائِلُ، وَأَحَقُّ بِأَنْ يَتَطَلَّعَ لِعِلْمِهِ.
Karena hal itu lebih pantas dijadikan tujuan oleh orang yang bertanya dan lebih berhak untuk ia upayakan pengetahuannya.
وَقَوْلُهُ: ﴿وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا﴾ وَجْهُ اتِّصَالِ هَذَا بِالسُّؤَالِ عَنِ الْأَهِلَّةِ وَالْجَوَابِ بِأَنَّهَا مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ:
Adapun firman-Nya: “Dan bukanlah kebajikan bahwa kalian memasuki rumah-rumah dari belakangnya”, hubungan kalimat ini dengan pertanyaan tentang hilal-hilal dan jawaban bahwa ia adalah penentu waktu bagi manusia dan haji adalah:
أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا إِذَا حَجُّوا لَا يَدْخُلُونَ مِنْ أَبْوَابِ بُيُوتِهِمْ إِذَا رَجَعَ أَحَدُهُمْ إِلَى بَيْتِهِ بَعْدَ إِحْرَامِهِ قَبْلَ تَمَامِ حَجِّهِ،
Bahwa orang-orang Anshar apabila berhaji, mereka tidak memasuki rumah-rumah mereka dari pintu. Apabila salah seorang dari mereka kembali ke rumahnya setelah berihram, sebelum sempurnanya hajinya,
لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّ الْمُحْرِمَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَحُولَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ حَائِلٌ،
karena mereka meyakini bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh ada penghalang antara dia dengan langit.
وَكَانُوا يَتَسَنَّمُونَ ظُهُورَ بُيُوتِهِمْ.
Dan mereka menaiki (dari) atap-atap rumah mereka.
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: إِنَّ هَذَا مِنْ ضَرْبِ الْمَثَلِ،
Abu ‘Ubaidah berkata: “Sesungguhnya ini termasuk bentuk perumpamaan.”
وَالْمَعْنَى: لَيْسَ الْبِرُّ أَنْ تَسْأَلُوا الْجُهَّالَ، وَلَكِنَّ الْبِرَّ التَّقْوَى، وَاسْأَلُوا الْعُلَمَاءَ،
Maknanya: bukanlah kebajikan itu bahwa kalian bertanya kepada orang-orang bodoh, tetapi kebajikan itu adalah ketakwaan; dan bertanyalah kalian kepada para ulama.
كَمَا تَقُولُ: أَتَيْتُ هَذَا الْأَمْرَ مِنْ بَابِهِ،
Sebagaimana engkau berkata: “Aku datang kepada perkara ini dari pintunya (dengan cara yang tepat).”
وَقِيلَ: هُوَ مَثَلٌ فِي جِمَاعِ النِّسَاءِ، وَأَنَّهُمْ أُمِرُوا بِإِتْيَانِهِنَّ فِي الْقُبُلِ لَا فِي الدُّبُرِ
Dan ada yang berkata: itu adalah perumpamaan dalam masalah hubungan suami-istri; bahwa mereka diperintahkan untuk mendatangi istri-istri mereka pada (bagian) depan, bukan pada (bagian) belakang.
وَقِيلَ غَيْرُ ذَلِكَ.
Dan ada pula pendapat selain itu.
وَالْبُيُوتُ: جَمْعُ بَيْتٍ، وَقُرِئَ بِضَمِّ الْبَاءِ وَكَسْرِهَا.
“Al-buyūt” adalah bentuk jamak dari “bayt”, dan ada qira’ah (bacaan) dengan dhammah pada huruf ba’-nya dan ada dengan kasrah.
وَقَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُ التَّقْوَى وَالْفَلَاحِ،
Telah berlalu penafsiran tentang takwa dan falah.
وَسَبَقَ أَيْضًا أَنَّ التَّقْدِيرَ فِي مِثْلِ قَوْلِهِ: وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى: وَلَكِنَّ الْبِرَّ بِرُّ مَنِ اتَّقَى.
Dan telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa takdir (susunan makna) pada ucapan seperti firman-Nya: “Akan tetapi kebajikan itu (milik) orang yang bertakwa” adalah: “Akan tetapi kebajikan itu adalah kebajikan orang yang bertakwa.”
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ عَسَاكِرَ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قَالَ:
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya Ta‘ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal”, ia berkata:
نَزَلَتْ فِي مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَثَعْلَبَةَ بْنِ غُنْمَةَ.
“Ayat ini turun berkenaan dengan Mu‘adz bin Jabal dan Ts‘alabah bin Ghunnamah.
وَهُمَا رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! مَا بَالُ الْهِلَالِ يَبْدُو وَيَطْلُعُ دَقِيقًا مِثْلَ الْخَيْطِ،
Keduanya adalah dua orang dari kalangan Anshar; mereka berdua berkata, ‘Wahai Rasulullah, mengapa hilal itu tampak dan terbit tipis seperti benang,
ثُمَّ يَزِيدُ حَتَّى يَعْظُمَ وَيَسْتَوِيَ وَيَسْتَدِيرَ،
kemudian ia bertambah besar sampai menjadi agung, rata, dan bulat,
ثُمَّ لَا يَزَالُ يَنْقُصُ وَيَدِقُّ حَتَّى يَعُودَ كَمَا كَانَ، لَا يَكُونُ عَلَى حَالٍ وَاحِدٍ؟
kemudian terus-menerus berkurang dan menipis hingga kembali seperti semula; tidak tetap pada satu keadaan?’”
فَنَزَلَتْ: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ فِي حِلِّ دَيْنِهِمْ، وَلِصَوْمِهِمْ، وَلِفِطْرِهِمْ، وَعِدَدِ نِسَائِهِمْ، وَالشُّرُوطِ الَّتِي إِلَى أَجَلٍ.
Maka turunlah (firman Allah): “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah: itu adalah penentu waktu bagi manusia” untuk (menentukan) masa pelunasan utang mereka, puasa mereka, hari berbuka mereka, bilangan (iddah) istri-istri mereka, dan persyaratan-persyaratan yang diberi batas waktu.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ:
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah; ia berkata:
سَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْأَهِلَّةِ لِمَ جُعِلَتْ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ الْآيَةَ،
“Mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hilal-hilal: untuk apa ia dijadikan? Maka Allah menurunkan: ‘Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal…’ (hingga) ayat itu.”
فَجَعَلَهَا لِصَوْمِ الْمُسْلِمِينَ، وَلِإِفْطَارِهِمْ، وَلِمَنَاسِكِهِمْ، وَحَجِّهِمْ، وَعِدَدِ نِسَائِهِمْ، وَمَحَلِّ دَيْنِهِمْ.
“Lalu Allah menjadikan (hilal-hilal itu) untuk (menentukan) puasa kaum muslimin, hari berbuka mereka, manasik mereka, haji mereka, bilangan (iddah) istri-istri mereka, dan masa jatuh tempo utang mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ نَحْوَهُ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abi Al-‘Aliyah dengan makna yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ نَحْوَهُ، وَقَدْ رَوَى ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ar-Rabi‘ bin Anas dengan makna yang serupa, dan Ibnu Jarir serta Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan makna yang serupa.
وَأَخْرَجَ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Al-Hakim meriwayatkan—dan ia mensahihkannya—dan Al-Baihaqi dalam Sunan-nya, dari Ibnu ‘Umar; ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«جَعَلَ اللَّهُ الْأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ، فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا».
“Allah telah menjadikan hilal-hilal sebagai penentu waktu bagi manusia. Maka berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah (akhiri puasa) kalian karena melihatnya. Jika ia tertutup (mendung) atas kalian, maka hitunglah (sempurnakan) menjadi tiga puluh hari.”
فَذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ.
Maka ia menyebutkan hadis yang semakna dengan hadis Ibnu ‘Umar ini.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٢١٩)
Fathul Qadir karya Asy-Syaukani – Jilid 1 (hal. 219)
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: كَانُوا إِذَا أَحْرَمُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَتَوُا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا، فَنَزَلَتْ: وَلَيْسَ الْبِرُّ الْآيَةَ.
Al-Bukhari dan selainnya meriwayatkan dari Al-Bara’; ia berkata: “Dahulu mereka, apabila berihram di masa jahiliyah, datang ke rumah-rumah dari belakangnya. Maka turunlah: ‘Dan bukanlah kebajikan…’ yaitu ayat ini.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَتْ قُرَيْشٌ تُدْعَى الْحُمْسَ،
Ibnu Abi Hatim dan Al-Hakim—yang mensahihkannya—meriwayatkan dari Jabir; ia berkata: “Kabilah Quraisy dahulu dijuluki Al-Ḥums.
وَكَانُوا يَدْخُلُونَ مِنَ الْأَبْوَابِ فِي الْإِحْرَامِ، وَكَانَتِ الْأَنْصَارُ وَسَائِرُ الْعَرَبِ لَا يَدْخُلُونَ مِنْ بَابٍ فِي الْإِحْرَامِ،
Dan mereka memasuki (rumah) dari pintu-pintunya ketika ihram, sedangkan orang-orang Anshar dan selain mereka dari kalangan Arab tidak memasuki (rumah) dari pintu ketika ihram.
فَبَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بُسْتَانٍ، إِذْ خَرَجَ مِنْ بَابِهِ، وَخَرَجَ مَعَهُ قُطْبَةُ بْنُ عَامِرٍ الْأَنْصَارِيُّ،
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di sebuah kebun, beliau keluar dari pintunya; dan Quthbah bin ‘Amir Al-Anshari keluar bersama beliau.
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ قُطْبَةَ بْنَ عَامِرٍ رَجُلٌ فَاجِرٌ، وَإِنَّهُ خَرَجَ مَعَكَ مِنَ الْبَابِ،
Maka mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Quthbah bin ‘Amir adalah seorang yang fasik, dan dia telah keluar bersamamu dari pintu.”
فَقَالَ لَهُ: مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ؟
Lalu beliau berkata kepadanya: “Apa yang mendorongmu melakukan apa yang telah engkau lakukan ini?”
قَالَ: رَأَيْتُكَ فَعَلْتَهُ فَفَعَلْتُ كَمَا فَعَلْتَ،
Ia menjawab: “Aku melihat engkau melakukannya, maka aku pun melakukan sebagaimana engkau lakukan.”
فَقَالَ: إِنِّي رَجُلٌ أَحْمَسِيٌّ،
Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku adalah seorang Hamsi (termasuk kelompok Al-Ḥums).”
قَالَ: فَإِنَّ دِينِي دِينُكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ الْآيَةَ.
Ia berkata: “Kalau begitu agamaku adalah agamamu.” Maka Allah menurunkan ayat ini.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dengan makna yang serupa.
وَقَدْ وَرَدَ هَذَا الْمَعْنَى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ.
Dan makna ini telah datang (riwayatnya) dari sekelompok sahabat dan tabi‘in.

1 الإسراء: 12.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7