Al Baqarah Ayat 188
سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): آيَةٌ ١٨٨
Surat Al-Baqarah (2): Ayat 188
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan cara yang batil, dan (jangan pula) kalian membawa (urusan) harta itu kepada para hakim, agar kalian dapat memakan sebagian dari harta manusia dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.
---
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - ج ١ (ص: ٢١٧)
Fathul Qadir karya Asy-Syaukani – Jilid 1 (hal. 217)
هَذَا يَعُمُّ جَمِيعَ الْأُمَّةِ وَجَمِيعَ الْأَمْوَالِ،
Ayat ini mencakup seluruh umat dan semua jenis harta.
لَا يَخْرُجُ عَنْ ذَلِكَ إِلَّا مَا وَرَدَ دَلِيلُ الشَّرْعِ بِأَنَّهُ يَجُوزُ أَخْذُهُ،
Tidak ada yang keluar dari cakupan itu, kecuali apa yang ada dalil syariat bahwa boleh diambil.
فَإِنَّهُ مَأْخُوذٌ بِالْحَقِّ لَا بِالْبَاطِلِ،
Karena harta yang seperti itu diambil dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang batil.
وَمَأْكُولٌ بِالْحِلِّ لَا بِالْإِثْمِ،
Dan dimakan secara halal, bukan dengan cara berdosa.
وَإِنْ كَانَ صَاحِبُهُ كَارِهًا كَقَضَاءِ الدَّيْنِ إِذَا امْتَنَعَ مِنْهُ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ،
Meskipun pemilik harta itu tidak menyukainya, seperti pelunasan utang ketika orang yang berutang enggan membayarnya.
وَتَسْلِيمُ مَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ مِنَ الزَّكَاةِ وَنَحْوِهَا،
Dan penyerahan kewajiban yang Allah wajibkan berupa zakat dan semacamnya.
وَنَفَقَةُ مَنْ أَوْجَبَ الشَّرْعُ نَفَقَتَهُ.
Serta nafkah kepada orang yang diwajibkan syariat untuk dinafkahi.
وَالْحَاصِلُ: أَنَّ مَا لَمْ يُبِحِ الشَّرْعُ أَخْذَهُ مِنْ مَالِكِهِ فَهُوَ مَأْكُولٌ بِالْبَاطِلِ،
Ringkasnya: segala sesuatu yang tidak dibolehkan syariat untuk diambil dari pemiliknya, maka itu termasuk memakan (harta) dengan cara yang batil.
وَإِنْ طَابَتْ بِهِ نَفْسُ مَالِكِهِ،
Walaupun pemilik hartanya sendiri rela dengannya.
كَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ، وَثَمَنِ الْخَمْرِ.
Seperti mahar bagi wanita pezina/pelacur, upah bagi tukang ramal (dukun), dan harga minuman keras (khamar).
وَالْبَاطِلُ فِي اللُّغَةِ: الذَّاهِبُ الزَّائِلُ.
Secara bahasa, “bāṭil” adalah sesuatu yang sirna dan lenyap.
وَقَوْلُهُ: ﴿وَتُدْلُوا﴾ مَجْزُومٌ عَطْفًا عَلَى ﴿تَأْكُلُوا﴾، فَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ،
Firman-Nya “wa tudlū” (dan kalian lontarkan/ajukan) ber-i‘rab jazm karena di-‘athaf-kan kepada “ta’kulū” (kalian makan), maka ia termasuk bagian dari hal-hal yang dilarang.
يُقَالُ: أَدْلَى الرَّجُلُ بِحُجَّتِهِ أَوْ بِالْأَمْرِ الَّذِي يَرْجُو النَّجَاحَ بِهِ تَشْبِيهًا بِالَّذِي يُرْسِلُ الدَّلْوَ فِي الْبِئْرِ،
Dikatakan: “adlَى ar-rajulu biḥujjatih” (seseorang mengajukan hujjahnya), atau (adlَى) dengan sesuatu yang ia berharap dapat meraih keberhasilan dengannya, sebagai perumpamaan dengan orang yang menurunkan timba ke dalam sumur.
يُقَالُ: أَدْلَى دَلْوَهُ: أَرْسَلَهَا،
Dikatakan: “adlَى dalwahu” artinya: ia menurunkan/melontarkan timbanya.
وَالْمَعْنَى: أَنَّكُمْ لَا تَجْمَعُوا بَيْنَ أَكْلِ الْأَمْوَالِ بِالْبَاطِلِ وَبَيْنَ الْإِدْلَاءِ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ بِالْحُجَجِ الْبَاطِلَةِ،
Maknanya: bahwa kalian jangan menggabungkan antara memakan harta dengan cara yang batil dan mengajukannya kepada para hakim dengan hujjah-hujjah yang batil.
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ لَا يُحَلِّلُ الْحَرَامَ، وَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ، مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الْأَمْوَالِ وَالْفُرُوجِ،
Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa keputusan seorang hakim tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, tanpa pembedaan antara masalah harta dan masalah kehormatan (kemaluan).
فَمَنْ حَكَمَ لَهُ الْقَاضِي بِشَيْءٍ مُسْتَنِدًا فِي حُكْمِهِ إِلَى شَهَادَةِ زُورٍ أَوْ يَمِينِ فُجُورٍ فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَكْلُهُ،
Maka siapa pun yang diputuskan oleh seorang qadhi mendapatkan sesuatu, sedangkan putusan itu bersandar pada kesaksian palsu atau sumpah dusta, tidak halal baginya memakan (memanfaatkan) harta itu.
فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أَكْلِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ،
Karena hal itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.
وَهَكَذَا إِذَا رَشَا الْحَاكِمَ فَحَكَمَ لَهُ بِغَيْرِ الْحَقِّ فَإِنَّهُ مِنْ أَكْلِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ.
Demikian pula jika seseorang menyuap hakim lalu hakim memutuskan perkara untuknya bukan dengan kebenaran, maka itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil.
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ حُكْمَ الْحَاكِمِ لَا يُحَلِّلُ الْحَرَامَ وَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa keputusan hakim tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ مَا يُخَالِفُ ذَلِكَ، وَهُوَ مَرْدُودٌ، لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah suatu pendapat yang menyelisihi hal ini, namun pendapat itu tertolak, karena bertentangan dengan Kitab Allah Ta‘ala dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
كَمَا فِي حَدِيثِ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
Sebagaimana terdapat dalam hadis Ummu Salamah; ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ، فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ بِشَيْءٍ فَلَا يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ».
“Sesungguhnya kalian bersengketa (membawa perkara) kepadaku.
Boleh jadi sebagian dari kalian lebih fasih dalam mengemukakan hujjahnya daripada sebagian yang lain, lalu aku memutuskan perkara untuknya berdasarkan apa yang aku dengar.
Maka siapa saja yang aku putuskan untuknya (menerima) sesuatu dari hak saudaranya, janganlah ia mengambilnya, karena sesungguhnya aku hanya memotongkan untuknya sebidang bagian dari api neraka.”
وَهُوَ فِي الصَّحِيحَيْنِ وَغَيْرِهِمَا.
Hadis ini terdapat dalam Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) dan selain keduanya.
وَقَوْلُهُ: ﴿فَرِيقًا﴾ أَيْ: قِطْعَةً أَوْ جُزْءًا أَوْ طَائِفَةً، فَعَبَّرَ بِالْفَرِيقِ عَنْ ذَلِكَ،
Firman-Nya “farīqan” (sebagian) maksudnya: satu potong, satu bagian, atau satu kelompok; maka Allah mengungkapkan hal itu dengan kata “farīq”.
وَأَصْلُ الْفَرِيقِ: الْقِطْعَةُ مِنَ الْغَنَمِ تَشِذُّ عَنْ مُعْظَمِهَا.
Asal kata “farīq” adalah sekelompok kecil dari kumpulan domba yang terpisah dari sebagian besarnya.
وَقِيلَ: فِي الْكَلَامِ تَقْدِيمٌ وَتَأْخِيرٌ، وَالتَّقْدِيرُ: لِتَأْكُلُوا أَمْوَالَ فَرِيقٍ مِنَ النَّاسِ بِالْإِثْمِ،
Ada yang berpendapat bahwa dalam susunan kalimat ayat ini terdapat taqdim dan ta’khir (mendahulukan dan mengakhirkan), dan takdir (susunan maknanya) adalah: “agar kalian memakan harta milik suatu kelompok manusia dengan (jalan) dosa”.
وَسُمِّيَ الظُّلْمُ وَالْعُدْوَانُ إِثْمًا، بِاعْتِبَارِ تَعَلُّقِهِ بِفَاعِلِهِ.
Kezaliman dan permusuhan itu dinamakan “itsm” (dosa), ditinjau dari kaitannya dengan pelakunya.
وَقَوْلُهُ: ﴿وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾ أَيْ: حَالَ كَوْنِكُمْ عَالِمِينَ أَنَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ لَيْسَ مِنَ الْحَقِّ فِي شَيْءٍ،
Firman-Nya “wa antum ta‘lamūn” (sedang kalian mengetahui) maksudnya: dalam keadaan kalian mengetahui bahwa hal itu (cara tersebut) adalah batil, sama sekali bukan kebenaran.
وَهَذَا أَشَدُّ لِعِقَابِهِمْ وَأَعْظَمُ لِجُرْمِهِمْ.
Dan keadaan seperti ini lebih keras (berat) sanksinya bagi mereka dan lebih besar dosanya.
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ﴾ الْآيَةَ،
Telah meriwayatkan Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas, tentang firman-Nya: “wa lā ta’kulū amwālakum …” (dan janganlah kalian memakan harta kalian …) ayat ini.
قَالَ: هَذَا فِي الرَّجُلِ يَكُونُ عَلَيْهِ مَالٌ وَلَيْسَ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ، فَيَجْحَدُ الْمَالَ، وَيُخَاصِمُ إِلَى الْحُكَّامِ، وَهُوَ يَعْرِفُ أَنَّ الْحَقَّ عَلَيْهِ.
Ia berkata: “Ayat ini (berkaitan) dengan seorang lelaki yang mempunyai kewajiban harta (utang) atasnya, sedangkan tidak ada bukti (tertulis/saksi) terhadapnya.
Lalu ia mengingkari harta itu dan membawa perkara ke para hakim, padahal ia mengetahui bahwa kebenaran (hak) itu ada pada pihak lawannya.”
وَرَوَى سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: مَعْنَاهَا: لَا تُخَاصِمْ وَأَنْتَ تَعْلَمُ أَنَّكَ ظَالِمٌ.
Sa‘id bin Manshur dan ‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Mujahid; ia berkata: “Maknanya adalah: janganlah engkau bersengketa, sementara engkau tahu bahwa engkaulah yang berbuat zalim.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ قَتَادَةَ نَحْوَهُ.
Dan Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Qatadah dengan makna yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ أَنَّ امْرَأَ الْقَيْسِ بْنَ عَابِسٍ، وَعَبْدَانَ بْنَ أَشْوَعَ الْحَضْرَمِيَّ اخْتَصَمَا فِي أَرْضٍ،
Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa‘id bin Jubair bahwa Imru’ul-Qais bin ‘Abis dan ‘Abdan bin Asywa‘ Al-Hadhrami bersengketa mengenai sebidang tanah.
وَأَرَادَ امْرُؤُ الْقَيْسِ أَنْ يَحْلِفَ، فَنَزَلَتْ: ﴿وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ﴾ الْآيَةُ.
Lalu Imru’ul-Qais hendak bersumpah, maka turunlah firman Allah: “wa lā ta’kulū amwālakum …” (dan janganlah kalian memakan harta kalian …), yaitu ayat ini.