Al Baqarah Ayat 185
[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): آيَةُ 185]
شَهْرُ رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّناتٍ مِنَ الْهُدى وَالْفُرْقانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كانَ مَرِيضاً أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى مَا هَداكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185)
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan yang nyata mengenai petunjuk dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan (hadir pada) bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian, dan agar kalian menyempurnakan bilangan (puasa), dan agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya kepada kalian, dan agar kalian bersyukur.
---
رَمَضانَ مَأْخُوذٌ مِنْ: رَمِضَ الصَّائِمُ يَرْمَضُ: إِذَا احْتَرَقَ جَوْفُهُ مِنْ شِدَّةِ الْعَطَشِ،
Kata *Ramadhān* diambil dari: *ra-miḍa ash-shā’imu yarmaḍu* yaitu apabila rongga perut orang yang berpuasa terasa terbakar karena sangat haus.
وَالرَّمْضَاءُ مَمْدُودٌ: شِدَّةُ الْحَرِّ،
Dan *ar-ramdā’* (dengan alif panjang) artinya: sangatnya panas.
وَمِنْهُ: الْحَدِيثُ الثَّابِتُ فِي الصَّحِيحِ: «صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ»
Dan darinya adalah hadis yang sahih: “Salat al-awwabīn itu (dikerjakan) ketika anak-anak unta kepanasan (terbakar) telapak kakinya.”
أَيْ أَحْرَقَتِ الرَّمْضَاءُ أَجْوَافَهَا.
Yaitu ketika panas terik (*ar-ramdā’*) membakar bagian bawah telapak kaki mereka.
قَالَ الْجَوْهَرِيُّ: وَشَهْرُ رَمَضَانَ يُجْمَعُ عَلَى رَمَضَانَاتٍ وَأَرْمِضَاءَ -
Al-Jauhari berkata: Bulan Ramadan dijamakkan menjadi *Ramadhānāt* dan *Armiḍā’*.
يُقَالُ: إِنَّهُمْ لَمَّا نَقَلُوا أَسْمَاءَ الشُّهُورِ عَنِ اللُّغَةِ الْقَدِيمَةِ سَمَّوْهَا بِالْأَزْمِنَةِ الَّتِي وَقَعَتْ فِيهَا،
Dikatakan: Sesungguhnya ketika mereka memindahkan nama-nama bulan dari bahasa lama, mereka menamakannya sesuai dengan waktu-waktu (musim) ketika bulan-bulan itu jatuh.
فَوَافَقَ هَذَا الشَّهْرُ أَيَّامَ الْحَرِّ فَسُمِّيَ بِذَلِكَ،
Maka bulan ini (Ramadan) bertepatan dengan hari-hari yang sangat panas, lalu dinamakan dengan nama itu (Ramadan).
وَقِيلَ: إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ، أَيْ: يَحْرِقُهَا بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ.
Dan dikatakan: Sesungguhnya ia dinamakan Ramadan karena ia “membakar” dosa-dosa, yaitu membakarnya dengan amal-amal saleh.
وَقَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: إِنَّ اسْمَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ،
Al-Mawardi berkata: Nama bulan ini pada masa Jahiliyah adalah *Nātiq*.
وَأَنْشَدَ لِلْمُفَضَّلِ:
Dan ia mengutip syair Al-Mufadhal:
وَفِي ناتِقٍ أَجَلْتُ لَدَى حَوْمَةِ الْوَغَى … وَوَلَّتْ عَلَى الْأَدْبارِ فُرْسانُ خَثْعَما
“Dan di (bulan) Nātiq aku maju di tengah kancah perang sengit, sementara para penunggang kuda Khats‘am melarikan diri ke belakang.”
وَإِنَّمَا سَمَّوْهُ بِذَلِكَ لِأَنَّهُ كَانَ يَنْتِقُهُمْ لِشِدَّتِهِ عَلَيْهِمْ،
Dan mereka menamakan bulan itu dengan nama tersebut karena bulan itu “menyakiti” mereka (menguji dan menekan mereka) karena sangat berat bagi mereka.
وَشَهْرُ: مُرْتَفِعٌ فِي قِرَاءَةِ الْجَمَاعَةِ عَلَى أَنَّهُ مُبْتَدَأٌ خَبَرُهُ: الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ،
Kata *Syahru* (pada *Syahru Ramadhān*) dibaca rafa‘ dalam qira’ah jumhur, berdasarkan bahwa ia adalah mubtada’, dan khabarnya adalah: *alladzī unzila fīhil-Qur’ān*.
أَوْ عَلَى أَنَّهُ خَبَرٌ لِمُبْتَدَأٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ: (الْمَفْرُوضُ عَلَيْكُمْ صَوْمُهُ) شَهْرُ رَمَضَانَ،
Atau berdasarkan bahwa ia adalah khabar dari mubtada’ yang dibuang, yaitu: “(Bulan yang diwajibkan atas kalian untuk berpuasa adalah) bulan Ramadan.”
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ بَدَلًا مِنَ الصِّيَامِ الْمَذْكُورِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ.
Dan boleh juga (dipahami) bahwa ia merupakan badal dari kata *ash-shiyām* yang disebutkan dalam firman-Nya Ta‘ala: *“kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyām”*.
وَقَرَأَ مُجَاهِدٌ، وَشَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ: بِنَصْبِ الشَّهْرِ،
Mujahid dan Syahr bin Hawsyab membaca dengan menashabkan kata *asy-syahra* (bukan *syahru*).
وَرَوَاهَا هَارُونُ الْأَعْوَرُ عَنْ أَبِي عَمْرٍو،
Dan Harun Al-A‘war meriwayatkan bacaan ini dari Abu ‘Amr.
وَهُوَ مُنْتَصِبٌ بِتَقْدِيرِ: الْزَمُوا، أَوْ صُومُوا.
Dan ia dalam keadaan manshub dengan takdir fi‘il (yang dibuang) seperti: “(Ilzamū) asy-syahra” (peganglah bulan itu), atau “(Ṣūmū) asy-syahra” (berpuasalah pada bulan itu).
قَالَ الْكِسَائِيُّ وَالْفَرَّاءُ: إِنَّهُ مَنْصُوبٌ بِتَقْدِيرِ فِعْلٍ: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ، وَأَنْ تَصُومُوا.
Al-Kisā’ī dan Al-Farrā’ berkata: Ia manshub dengan takdir fi‘il, yaitu: “Kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyām(a), wa an taṣūmū (asy-syahra).”
وَأَنْكَرَ ذَلِكَ النَّحَّاسُ وَقَالَ: إِنَّهُ مَنْصُوبٌ عَلَى الْإِغْرَاءِ.
An-Nahhas mengingkari (pendapat) itu dan berkata: Ia manshub karena *ighrā’* (gaya seruan/anjuran), yakni dalam makna: “Peganglah/utamakanlah bulan Ramadan.”
وَقَالَ الْأَخْفَشُ: إِنَّهُ نُصِبَ عَلَى الظَّرْفِ،
Al-Akhfasy berkata: Ia dinashabkan sebagai *zharaf* (keterangan waktu).
وَمَنْعُ الصَّرْفِ: لِلْأَلِفِ وَالنُّونِ الزَّائِدَتَيْنِ.
Dan sebab ia tidak diberi tanwin (tidak *munsharif*) adalah karena adanya alif dan nun yang tambahan (pada kata *Ramadhān*).
قَوْلُهُ: أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
Firman-Nya: *“unzila fīhil-Qur’ān”* (yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an),
قِيلَ: أُنْزِلَ مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، ثُمَّ كَانَ جِبْرِيلُ يَنْزِلُ بِهِ نَجْمًا نَجْمًا.
Dikatakan: (Maksudnya) diturunkan dari Lauhul-Mahfuz ke langit dunia, kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi sedikit demi sedikit (bagian demi bagian).
وَقِيلَ: أُنْزِلَ فِيهِ أَوَّلُهُ،
Dan dikatakan: Di dalamnya (bulan Ramadan) diturunkan permulaan Al-Qur'an.
وَقِيلَ: أُنْزِلَ فِي شَأْنِهِ الْقُرْآنُ،
Dan dikatakan pula: Telah diturunkan Al-Qur'an berkenaan dengan keutamaan bulan Ramadan ini.
وَهَذِهِ الْآيَةُ أَعَمُّ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ1
Dan ayat ini (Syahru Ramadhān) lebih umum daripada firman-Nya Ta‘ala: *“Innā anzalnāhu fī lailatil-qadr”*1,
وَقَوْلِهِ: إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ2 يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ.
dan firman-Nya: *“Innā anzalnāhu fī lailatin mubārakah”*2 yang dimaksud adalah malam Lailatul Qadar.
وَالْقُرْآنُ: اسْمٌ لِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهُوَ بِمَعْنَى: الْمَقْرُوءِ،
Dan *Al-Qur'an* adalah nama bagi Kalam Allah Ta‘ala, dan ia bermakna “sesuatu yang dibaca” (*al-maqrū’*),
كَالْمَشْرُوبِ سُمِّيَ: شَرَابًا، وَالْمَكْتُوبِ سُمِّيَ: كِتَابًا.
sebagaimana sesuatu yang diminum (*al-masy-rūb*) dinamakan “syarāb” (minuman), dan sesuatu yang ditulis (*al-maktūb*) dinamakan “kitāb” (tulisan/kitab).
وَقِيلَ: هُوَ مَصْدَرُ قَرَأَ يَقْرَأُ،
Dan dikatakan: Ia adalah masdar dari *qara’a – yaqra’u* (membaca),
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
dan darinya adalah ucapan penyair:
ضَحَّوْا بِأَشْمَطَ عُنْوَانُ السُّجُودِ بِهِ … يَقْطَعُ اللَّيْلَ تَسْبِيحًا وَقُرْآنًا
“Mereka menyembelih seorang tua beruban, yang tanda sujud tampak pada dirinya … ia lewati malam dengan bertasbih dan ‘Qur’anan’ (bacaan Al-Qur'an).”
أَيْ: قِرَاءَةً،
Maksudnya: bacaan.
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَقُرْآنَ الْفَجْرِ3 أَيْ: قِرَاءَةَ الْفَجْرِ.
Dan darinya juga firman-Nya Ta‘ala: *“wa Qur’ānal-fajr”*3, yakni: bacaan (Al-Qur'an) pada waktu Fajar.
وَقَوْلُهُ: هُدىً لِلنَّاسِ مُنْتَصِبٌ عَلَى الْحَالِ، أَيْ: هَادِيًا لَهُمْ.
Firman-Nya: *“hudā lin-nās”* (sebagai petunjuk bagi manusia) dalam keadaan manshub sebagai *hal*, artinya: dalam keadaan menjadi pemberi petunjuk bagi mereka.
وَقَوْلُهُ: وَبَيِّناتٍ مِنَ الْهُدى مِنْ عَطْفِ الْخَاصِّ عَلَى الْعَامِّ إِظْهَارًا لِشَرَفِ الْمَعْطُوفِ بِإِفْرَادِهِ بِالذِّكْرِ،
Dan firman-Nya: *“wa bayyinātin minal-hudā”* adalah ‘athaf yang khusus atas yang umum (yakni atas *hudā lin-nās*) untuk menampakkan kemuliaan bagian yang di-‘athaf dengan menyebutkannya secara tersendiri.
لِأَنَّ الْقُرْآنَ يَشْمَلُ مُحْكَمَهُ وَمُتَشَابِهَهُ، وَالْبَيِّنَاتُ تَخْتَصُّ بِالْمُحْكَمِ مِنْهُ.
Karena Al-Qur'an mencakup ayat-ayat yang muhkam (jelas) dan yang mutasyabih (samar), sedangkan *bayyināt* (keterangan-keterangan yang nyata) khusus untuk ayat-ayat yang muhkam darinya.
وَالْفُرْقانُ: مَا فَرَّقَ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ، أَيْ: فَصَلَ،
Dan *al-furqān* adalah sesuatu yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, yakni yang memisahkan dan membedakannya dengan jelas.
قَوْلُهُ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ أَيْ: حَضَرَ وَلَمْ يَكُنْ فِي سَفَرٍ بَلْ كَانَ مُقِيمًا،
Firman-Nya: *“fa man syahida minkumu asy-syahra”* (maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan itu), maksudnya: menghadirinya dan tidak sedang dalam perjalanan, tetapi dalam keadaan menetap (mukim).
وَالشَّهْرُ مُنْتَصِبٌ عَلَى أَنَّهُ ظَرْفٌ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ مَفْعُولًا بِهِ.
Dan kata *asy-syahra* dalam keadaan manshub sebagai *zharaf* (keterangan waktu), dan tidak sah dipahami sebagai maf‘ul bih.
قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ: إِنَّ مَنْ أَدْرَكَهُ شَهْرُ رَمَضَانَ مُقِيمًا غَيْرَ مُسَافِرٍ لَزِمَهُ صِيَامُهُ، سَافَرَ بَعْدَ ذَلِكَ أَوْ أَقَامَ، اسْتِدْلَالًا بِهَذِهِ الْآيَةِ.
Sekelompok ulama salaf dan khalaf berkata: Sesungguhnya orang yang mendapati bulan Ramadan dalam keadaan mukim, bukan musafir, maka wajib atasnya berpuasa, baik setelah itu ia bepergian ataupun tetap tinggal. Mereka berdalil dengan ayat ini.
وَقَالَ الْجُمْهُورُ: إِنَّهُ إِذَا سَافَرَ أَفْطَرَ،
Dan jumhur ulama berkata: Sesungguhnya apabila ia bepergian (di siang hari Ramadan) maka ia berbuka.
لِأَنَّ مَعْنَى الْآيَةِ: إِنْ حَضَرَ الشَّهْرَ مِنْ أَوَّلِهِ إِلَى آخِرِهِ، لَا إِذَا حَضَرَ بَعْضَهُ وَسَافَرَ،
Karena makna ayat adalah: Jika ia menghadiri (berada di dalam) bulan itu dari awal sampai akhirnya; bukan bila ia hanya menghadiri sebagian bulan lalu bepergian.
فَإِنَّهُ لَا يَتَحَتَّمُ عَلَيْهِ إِلَّا صَوْمُ مَا حَضَرَهُ،
Karena dalam kondisi demikian, yang menjadi keharusan baginya hanyalah berpuasa pada hari-hari ketika ia hadir (mukim).
وَهَذَا هُوَ الْحَقُّ، وَعَلَيْهِ دَلَّتِ الْأَدِلَّةُ الصَّحِيحَةُ مِنَ السُّنَّةِ.
Dan inilah pendapat yang benar, dan atasnyalah dalil-dalil sahih dari Sunnah menunjukkan.
وَقَدْ كَانَ يَخْرُجُ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَيُفْطِرُ.
Dan dahulu Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam keluar bepergian di (sebagian hari) Ramadan lalu beliau berbuka.
وَقَوْلُهُ: فَمَنْ كانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ.
Dan firman-Nya: *“fa man kāna minkum marīḍan aw ‘alā safarin fa‘iddatun min ayyāmin ukhar”* (maka wajib menggantinya pada hari-hari yang lain), tafsirnya telah dijelaskan sebelumnya.
وَقَوْلُهُ: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Dan firman-Nya: *“yurīdul-Lāhu bikumul-yusr wa lā yurīdu bikumul-‘usr”* (Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian),
فِيهِ أَنَّ هَذَا مَقْصِدٌ مِنْ مَقَاصِدِ الرَّبِّ سُبْحَانَهُ، وَمُرَادٌ مِنْ مُرَادَاتِهِ فِي جَمِيعِ أُمُورِ الدِّينِ،
mengandung penjelasan bahwa ini adalah salah satu tujuan dari tujuan-tujuan Rabb Subhānahu, dan salah satu keinginan-Nya dalam seluruh urusan agama.
وَمِثْلُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَما جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ4
Dan semisal itu adalah firman-Nya Ta‘ala: *“wa mā ja‘ala ‘alaikum fid-dīni min ḥaraj”*4 (Dia tidak menjadikan kesempitan bagi kalian dalam agama).
وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ كَانَ يُرْشِدُ إِلَى التَّيْسِيرِ، وَيَنْهَى عَنِ التَّعْسِيرِ،
Dan sungguh telah sah dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membimbing kepada kemudahan dan melarang dari menyulitkan.
كَقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا»
Seperti sabda beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam: “Mudahkanlah dan jangan kalian persulit, beri kabar gembira dan jangan kalian membuat orang lari.”
وَهُوَ فِي الصَّحِيحِ.
Dan hadis ini terdapat dalam (kitab-kitab) Shahih.
وَالْيُسْرُ: السَّهْلُ الَّذِي لَا عُسْرَ فِيهِ.
Dan *al-yusr* artinya: kemudahan, yaitu sesuatu yang tidak ada kesulitan di dalamnya.
وَقَوْلُهُ: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
Dan firman-Nya: *“wa litukmilūl-‘iddah”* (dan agar kalian menyempurnakan bilangan),
الظَّاهِرُ أَنَّهُ مَعْطُوفٌ عَلَى قَوْلِهِ: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ،
secara lahiriah adalah ma‘thuf atas firman-Nya: *“yurīdul-Lāhu bikumul-yusr”*,
أَيْ: يُرِيدُ بِكُمُ الْيُسْرَ، وَيُرِيدُ إِكْمَالَكُمْ لِلْعِدَّةِ، وَتَكْبِيرَكُمْ.
yakni: Dia menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia menghendaki agar kalian menyempurnakan bilangan (puasa), dan (menghendaki) takbir kalian (mengagungkan-Nya).
وَقِيلَ: إِنَّهُ مُتَعَلِّقٌ بِمَحْذُوفٍ تَقْدِيرُهُ: رَخَّصَ لَكُمْ هَذِهِ الرُّخْصَةَ لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ،
Dan dikatakan: Sesungguhnya kalimat ini berkaitan dengan (fi‘il) yang dibuang, dengan takdir: “Dia memberi keringanan ini kepada kalian agar kalian menyempurnakan bilangan (puasa).”
وَشَرَعَ لَكُمُ الصَّوْمَ لِمَنْ شَهِدَ الشَّهْرَ لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ.
“Dan Dia mensyariatkan puasa bagi orang yang menyaksikan bulan itu agar kalian menyempurnakan bilangan (puasa).”
وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى الْأَوَّلِ الْبَصْرِيُّونَ،
Dan para ulama Bashrah condong kepada pendapat pertama.
قَالُوا: وَالتَّقْدِيرُ: يُرِيدُ لِأَنْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ،
Mereka berkata: Perkiraannya adalah: “(Allah) menghendaki supaya kalian menyempurnakan bilangan (puasa).”
وَمِثْلُهُ: قَوْلُ كُثَيِّرٍ أَبِي صَخْرٍ:
Dan semisalnya adalah ucapan Kutsayyir Abu Shakhr:
أُرِيدُ لِأَنْسَى ذِكْرَهَا فَكَأَنَّمَا … تَمَثَّلَ لِي لَيْلَى بِكُلِّ سَبِيلِ
“Aku ingin melupakan ingatannya, namun seakan Layla itu menampakkan diri di setiap jalan bagiku.”
وَذَهَبَ الْكُوفِيُّونَ إِلَى الثَّانِي،
Sedangkan para ulama Kufah condong kepada pendapat kedua (bahwa ia terkait dengan fi‘il yang dibuang).
وَقِيلَ: الْوَاوُ مُقْحَمَةٌ،
Dan dikatakan juga: Huruf wawu di sini adalah *muqḥamah* (tambahan penegas dalam susunan, tanpa makna ‘athaf yang mandiri).
وَقِيلَ: إِنَّ هَذِهِ اللَّامَ لَامُ الْأَمْرِ، وَالْوَاوَ لِعَطْفِ الْجُمْلَةِ الَّتِي بَعْدَهَا عَلَى الْجُمْلَةِ الَّتِي قَبْلَهَا.
Dan dikatakan: Sesungguhnya lam di sini adalah lam al-amr (lam untuk menunjukkan perintah), dan wawu berfungsi meng-‘athaf jumlah sesudahnya pada jumlah sebelumnya.
وَقَالَ فِي الْكَشَّافِ: إِنَّ قَوْلَهُ: لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِلَّةٌ لِلْأَمْرِ بِمُرَاعَاةِ الْعِدَّةِ،
Dalam *Al-Kasysyaf* disebutkan: Sesungguhnya firman-Nya: *“litukmilūl-‘iddah”* merupakan ‘illat (alasan) bagi perintah untuk memperhatikan bilangan (puasa).
وَلِتُكَبِّرُوا عِلَّةُ مَا عُلِمَ مِنْ كَيْفِيَّةِ الْقَضَاءِ وَالْخُرُوجِ عَنْ عُهْدَةِ الْفِطْرِ،
Dan *“walitukabbirullāh”* adalah ‘illat dari (hukum) yang telah diketahui berkaitan dengan tata cara qadha’ dan cara keluar dari tanggungan (kewajiban) berbuka.
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ عِلَّةُ التَّرْخِيصِ وَالتَّيْسِيرِ،
Dan *“wa la‘allakum tasykurūn”* adalah ‘illat bagi diberikannya rukhsah (keringanan) dan kemudahan.
وَالْمُرَادُ بِالتَّكْبِيرِ هُنَا: هُوَ قَوْلُ الْقَائِلِ: اللَّهُ أَكْبَرُ.
Dan yang dimaksud dengan *takbīr* di sini adalah ucapan seseorang: “Allāhu Akbar.”
قَالَ الْجُمْهُورُ: وَمَعْنَاهُ الْحَضُّ عَلَى التَّكْبِيرِ فِي آخِرِ رَمَضَانَ.
Jumhur ulama berkata: Maknanya adalah anjuran untuk memperbanyak takbir di akhir Ramadan.
وَقَدْ وَقَعَ الْخِلَافُ فِي وَقْتِهِ،
Dan telah terjadi perbedaan pendapat tentang waktu pelaksanaan takbir tersebut.
فَرُوِيَ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ أَنَّهُمْ كَانُوا يُكَبِّرُونَ لَيْلَةَ الْفِطْرِ،
Diriwayatkan dari sebagian salaf bahwa mereka bertakbir pada malam Idulfitri.
وَقِيلَ: إِذَا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ كَبَّرُوا إِلَى انْقِضَاءِ الْخُطْبَةِ،
Dan dikatakan: Apabila mereka melihat hilal Syawal, mereka bertakbir hingga selesai khutbah (Idulfitri).
وَقِيلَ: إِلَى خُرُوجِ الْإِمَامِ،
Dan dikatakan: Hingga keluarnya imam (ke lapangan salat Id).
وَقِيلَ: هُوَ التَّكْبِيرُ يَوْمَ الْفِطْرِ.
Dan dikatakan: Yang dimaksud adalah takbir pada hari Idulfitri (di siang harinya).
قَالَ مَالِكٌ: هُوَ مِنْ حِينِ يَخْرُجُ مِنْ دَارِهِ إِلَى أَنْ يَخْرُجَ الْإِمَامُ،
Imam Malik berkata: (Waktu takbir sunnah) adalah sejak seseorang keluar dari rumahnya hingga keluarnya imam (ke tempat salat Id).
وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ.
Dan Imam Syafi‘i juga berpendapat demikian.
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: يُكَبِّرُ فِي الْأَضْحَى وَلَا يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ.
Sedangkan Abu Hanifah berkata: Takbir (yang disyariatkan berjamaah) dilakukan pada Iduladha, dan tidak (disyariatkan) pada Idulfitri.
وَقَوْلُهُ: وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ قَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ.
Dan firman-Nya: *“wa la‘allakum tasykurūn”* (agar kalian bersyukur), tafsirnya telah dijelaskan sebelumnya.
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ، وَابْنُ عَدِيٍّ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا وَمَوْقُوفًا:
Dan Ibnu Abi Hatim, Abu Asy-Syaikh, Ibnu ‘Adiyy dan Al-Baihaqi dalam *Sunan*-nya telah meriwayatkan dari Abu Hurairah, secara marfu‘ dan mauquf:
«لَا تَقُولُوا: رَمَضَانَ، فَإِنَّ رَمَضَانَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى، وَلَكِنْ قُولُوا: شَهْرُ رَمَضَانَ».
“Jangan kalian mengatakan: ‘Ramadan (saja)’, karena sesungguhnya Ramadan adalah salah satu nama dari nama-nama Allah Ta‘ala. Akan tetapi katakanlah: ‘Bulan Ramadan.’”
وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: «مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ».
Dan sungguh telah sah dari Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa berpuasa Ramadan dengan iman dan mengharap pahala (dari Allah), diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
وَثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ».
Dan telah sah dari beliau bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa menegakkan (salat malam di bulan) Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
وَثَبَتَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «شَهْرَانِ عِيدٍ لَا يَنْقُصَانِ: رَمَضَانُ وَذُو الْحِجَّةِ».
Dan telah sah dari beliau bahwa beliau bersabda: “Dua bulan hari raya yang tidak akan berkurang (pahalanya): Ramadan dan Dzulhijjah.”
وَقَالَ: «إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ، فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ».
Dan beliau bersabda: “Apabila Ramadan telah masuk, pintu-pintu surga dibuka.”
وَهَذَا كُلُّهُ فِي الصَّحِيحِ.
Dan semua ini terdapat dalam (kitab-kitab) Shahih.
وَثَبَتَ عَنْهُ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ غَيْرَ هَذِهِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: رَمَضَانُ، بِدُونِ ذِكْرِ الشَّهْرِ.
Dan telah sah dari beliau dalam hadis-hadis lain yang banyak, selain yang telah disebut, bahwa beliau biasa mengatakan “Ramadan” saja tanpa menyebut kata “bulan”.
وَأَخْرَجَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَالْأَصْبَهَانِيُّ فِي التَّرْغِيبِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Dan Ibnu Mardawaih serta Al-Ashbahani dalam *At-Targhib* meriwayatkan dari Anas, ia berkata: Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ لِأَنَّ رَمَضَانَ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ».
“Sesungguhnya Ramadan dinamakan demikian karena Ramadan membakar dosa-dosa.”
وَأَخْرَجَا أَيْضًا عَنْ عَائِشَةَ مَرْفُوعًا نَحْوَهُ.
Dan keduanya juga meriwayatkan dari Aisyah secara marfu‘ dengan lafaz yang semisal itu.
وَأَخْرَجَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِي تَارِيخِهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ نَحْوَهُ.
Dan Ibnu Asakir dalam *At-Tarikh*-nya meriwayatkan dari Ibnu Umar dengan lafaz yang semisal itu.
وَقَدْ وَرَدَ فِي فَضْلِ رَمَضَانَ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ،
Dan telah datang dalam keutamaan Ramadan hadis-hadis yang sangat banyak.
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الشُّعَبِ عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
Dan Ahmad, Ibnu Jarir, Muhammad bin Nashr, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dalam *Asy-Syu‘ab* meriwayatkan dari Watsilah bin Al-Asqa‘ bahwa Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ».
“Shuhuf (lembaran-lembaran wahyu) Ibrahim diturunkan pada malam pertama dari bulan Ramadan; Zabur diturunkan setelah berlalu delapan belas hari dari Ramadan; dan Allah menurunkan Al-Qur'an setelah berlalu dua puluh empat hari dari Ramadan.”
وَأَخْرَجَ أَبُو يَعْلَى، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْ جَابِرٍ مِثْلَهُ، لَكِنَّهُ قَالَ: «وَأُنْزِلَ الزَّبُورُ لِاثْنَيْ عَشَرَ»
Dan Abu Ya‘la serta Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Jabir hadis yang semisal, hanya saja dalam riwayatnya disebutkan: “Dan Zabur diturunkan setelah berlalu dua belas hari (dari Ramadan).”
وَزَادَ: «وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٍّ خَلَوْنَ مِنْ رَمَضَانَ، وَأُنْزِلَ الْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ».
Dan ia menambahkan: “Dan Taurat diturunkan setelah berlalu enam hari dari bulan Ramadan, dan Injil diturunkan setelah berlalu delapan belas hari dari bulan Ramadan.”
وَأَخْرَجَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ عَنْ عَائِشَةَ نَحْوَ قَوْلِ جَابِرٍ، إِلَّا أَنَّهَا لَمْ تَذْكُرْ نُزُولَ الْقُرْآنِ.
Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Aisyah dengan lafaz yang semisal dengan ucapan Jabir, hanya saja ia (Aisyah) tidak menyebutkan turunnya Al-Qur'an.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ عَنْ مِقْسِمٍ قَالَ:
Dan Ibnu Jarir, Muhammad bin Nashr, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani, Ibnu Mardawaih dan Al-Baihaqi dalam *Al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt* meriwayatkan dari Miqsam, ia berkata:
سَأَلَ عَطِيَّةُ بْنُ الْأَسْوَدِ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: إِنَّهُ قَدْ وَقَعَ فِي قَلْبِي الشَّكُّ فِي قَوْلِ اللَّهِ: شَهْرُ رَمَضانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ.
‘Atiyyah bin Al-Aswad bertanya kepada Ibnu Abbas, ia berkata: “Telah timbul keraguan dalam hatiku tentang firman Allah: *‘Syahru Ramadhān alladzī unzila fīhil-Qur’ān’*.”
وَقَوْلِهِ: إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ1 وَقَوْلِهِ: إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ2.
“Dan firman-Nya: *‘Innā anzalnāhu fī lailatil-qadr’*1, dan firman-Nya: *‘Innā anzalnāhu fī lailatin mubārakah’*2.”
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّهُ أُنْزِلَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَفِي رَمَضَانَ، وَفِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ جُمْلَةً وَاحِدَةً،
Maka Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya (Al-Qur'an) diturunkan pada malam Lailatul Qadar, dan di bulan Ramadan, dan di malam yang diberkahi itu sekaligus (dalam satu turunan).”
ثُمَّ أُنْزِلَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى مَوَاقِعِ النُّجُومِ فِي الشُّهُورِ وَالْأَيَّامِ.
“Kemudian ia diturunkan setelah itu (dari langit dunia) secara bertahap, sesuai dengan kejadian-kejadian (peristiwa) di bulan-bulan dan hari-hari (yang berlalu).”
وَأَخْرَجَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ، وَالضِّيَاءُ فِي الْمُخْتَارَةِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Dan Muhammad bin Nashr, Ath-Thabarani, Ibnu Mardawaih, Al-Hakim—yang mensahihkannya—Al-Baihaqi dan Adh-Dhiya’ dalam *Al-Mukhtārah* meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:
نَزَلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ رَمَضَانَ، فَوُضِعَ فِي بَيْتِ الْعِزَّةِ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا،
“Al-Qur'an diturunkan sekaligus (dari Lauhul-Mahfuz) pada malam dua puluh empat Ramadan, lalu diletakkan di Baitul-‘Izzah di langit dunia.”
فَجَعَلَ جِبْرِيلُ يُنْزِلُهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَرْتِيلًا.
“Kemudian Jibril menurunkannya kepada Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam secara bertahap (tersusun).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «لَيْلَةُ الْقَدْرِ: هِيَ اللَّيْلَةُ الْمُبَارَكَةُ، وَهِيَ فِي رَمَضَانَ، أُنْزِلَ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً مِنَ الذِّكْرِ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ».
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan darinya (Ibnu Abbas) bahwa ia berkata: “Lailatul Qadr adalah malam yang diberkahi, dan ia berada di bulan Ramadan. Pada malam itu Al-Qur'an diturunkan sekaligus dari *Adz-Dzikr* (Lauhul-Mahfuz) ke Baitul Ma‘mur.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ جَرِيرٍ فِي قَوْلِهِ: هُدىً لِلنَّاسِ قَالَ: يَهْتَدُونَ بِهِ، وَبَيِّناتٍ مِنَ الْهُدى قَالَ: فِيهِ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ وَالْحُدُودُ.
Dan Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Jarir tentang firman-Nya: *“hudā lin-nās”*, ia berkata: “Mereka mendapatkan petunjuk dengannya”; dan tentang firman-Nya: *“wa bayyinātin minal-hudā”*, ia berkata: “Di dalamnya terdapat (penjelasan) halal dan haram serta hukum-hukum hudud.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ قَالَ: هُوَ إِهْلَالُهُ بِالدَّارِ.
Dan Abdu bin Humaid serta Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya: *“fa man syahida minkumu asy-syahra fal-yaṣumhu”*, ia berkata: “(Maksudnya) adalah tampaknya hilal (Ramadan) di negeri (tempat tinggal) seseorang.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ:
Dan Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ali, ia berkata:
مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ وَهُوَ مُقِيمٌ ثُمَّ سَافَرَ فَقَدْ لَزِمَهُ الصَّوْمُ، لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ.
“Barangsiapa mendapati Ramadan dalam keadaan mukim, kemudian (di tengahnya) ia bepergian, maka tetap wajib atasnya berpuasa, karena Allah berfirman: *‘fa man syahida minkumu asy-syahra fal-yaṣumhu’*.”
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ نَحْوَهُ.
Dan Sa‘id bin Manshur meriwayatkan dari Ibnu Umar dengan makna yang semisal.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ قَالَ: الْيُسْرُ: الْإِفْطَارُ فِي السَّفَرِ، وَالْعُسْرُ: الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ.
Dan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya: *“yurīdul-Lāhu bikumul-yusr”*, ia berkata: “Yang dimaksud yusr (kemudahan) adalah berbuka pada saat safar, dan ‘usr (kesulitan) adalah berpuasa pada saat safar.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الضَّحَّاكِ، أَنَّهُ قَالَ: عِدَّةُ مَا أَفْطَرَ الْمَرِيضُ فِي السَّفَرِ.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Adh-Dhahhak bahwa ia berkata: “(Yang dimaksud dengan *al-‘iddah* dalam ayat) adalah bilangan hari yang ditinggalkan berpuasa oleh orang sakit pada saat safar.”
وَقَدْ صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: «صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ، فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا».
Dan sungguh telah sah dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal Ramadan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal Syawal). Jika hilal tertutup (tidak terlihat) bagi kalian, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya‘ban) menjadi tiga puluh hari.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: حَقٌّ عَلَى الصَّائِمِينَ إِذَا نَظَرُوا إِلَى شَهْرِ شَوَّالٍ أَنْ يُكَبِّرُوا اللَّهَ حَتَّى يَفْرُغُوا مِنْ عِيدِهِمْ،
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Suatu ketetapan atas orang-orang yang berpuasa, ketika mereka memasuki bulan Syawal, untuk bertakbir kepada Allah hingga mereka selesai dari hari raya mereka.”
لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ، وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى مَا هَداكُمْ.
“Karena Allah berfirman: *‘wa litukmilūl-‘iddah wa litukabbirullāha ‘alā mā hadākum’*.”
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ:
Dan Sa‘id bin Manshur serta Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud bahwa beliau bertakbir dengan lafaz:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ.
“Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, lā ilāha illallāh, wallāhu Akbar, Allāhu Akbar, wa lillāhil-ḥamd.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ:
Dan Ibnu Abi Syaibah serta Al-Baihaqi dalam *Sunan*-nya meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau bertakbir dengan lafaz:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا.
“Allāhu Akbar kabīrā, Allāhu Akbar kabīrā, Allāhu Akbar wa ajall, wa lillāhil-ḥamd, Allāhu Akbar ‘alā mā hadānā.”
---
- القدر: 1 – “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam Lailatul Qadar.”
- الدخان: 3 – “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.”
- الإسراء: 78 – “Dan bacaan (Al-Qur'an) pada waktu fajar; sesungguhnya bacaan pada waktu fajar itu disaksikan.”
- الحج: 78 – “Dan Dia tidak menjadikan kesempitan bagi kalian dalam agama.”