Al Baqarah Ayat 183-184

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2): الآيَاتُ 183 إِلَى 184]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (183)
أَيَّاماً مَعْدُوداتٍ فَمَنْ كانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
(Beberapa) hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barangsiapa dengan sukarela mengerjakan kebaikan, maka itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (184) ---
قَدْ تَقَدَّمَ مَعْنَى كُتِبَ،
Telah dijelaskan sebelumnya makna kata *kutiba* (diwajibkan).
وَلَا خِلَافَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ أَجْمَعِينَ أَنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ فَرِيضَةٌ افْتَرَضَهَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ.
Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara seluruh kaum muslimin bahwa puasa Ramadan adalah suatu kewajiban yang Allah Subhanahu telah wajibkan atas umat ini.
وَالصِّيَامُ أَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: الْإِمْسَاكُ، وَتَرْكُ التَّنَقُّلِ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ،
Dan *ash-shiyām* (puasa) pada asalnya dalam bahasa adalah: menahan, dan meninggalkan perpindahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
وَيُقَالُ لِلصَّمْتِ: صَوْمٌ، لِأَنَّهُ إِمْسَاكٌ عَنِ الْكَلَامِ،
Dan untuk diam (tidak berbicara) juga disebut *shawm*, karena ia adalah penahanan diri dari berbicara.
وَمِنْهُ: إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْماً1 أَيْ: إِمْسَاكًا عَنِ الْكَلَامِ،
Dan di antaranya adalah firman-Nya: *“Innī nadzartu lir-raḥmāni shawmā”*1, yaitu: menahan diri dari berbicara.
وَمِنْهُ قَوْلُ النَّابِغَةِ:
Dan di antaranya adalah ucapan An-Nabighah:
خَيْلٌ صِيَامٌ وَخَيْلٌ غَيْرُ صَائِمَةٍ … تَحْتَ الْعَجَاجِ وَخَيْلٌ تَعْلُكُ اللُّجُمَا
*"Kuda-kuda yang menahan diri (tidak bergerak), dan kuda-kuda yang tidak menahan diri, di bawah debu beterbangan; dan kuda-kuda yang mengunyah tali kekangnya."*
أَيْ: خَيْلٌ مُمْسِكَةٌ عَنِ الْجَرْيِ وَالْحَرَكَةِ.
Maksudnya: kuda-kuda yang menahan diri dari lari dan bergerak.
وَهُوَ فِي الشَّرْعِ: الْإِمْسَاكُ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ مَعَ اقْتِرَانِ النِّيَّةِ بِهِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ.
Adapun (puasa) dalam syariat adalah: menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat bersamanya, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
وَقَوْلُهُ: كَما كُتِبَ أَيْ: صَوْمًا كَمَا كُتِبَ،
Dan firman-Nya: *kamā kutiba* (sebagaimana telah diwajibkan), maksudnya: diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan (atas umat terdahulu).
عَلَى أَنَّ الْكَافَ فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ عَلَى النَّعْتِ،
Berdasarkan bahwa huruf *kāf* (pada *kamā*) berkedudukan dalam posisi manshub sebagai sifat (na'at).
أَوْ: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامَ مُشْبِهًا مَا كُتِبَ، عَلَى أَنَّهُ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ.
Atau (maknanya): “Diwajibkan atas kalian puasa dalam keadaan menyerupai apa yang telah diwajibkan”, berdasarkan bahwa (kāf) berada dalam posisi manshub sebagai *hal* (keterangan keadaan).
وَقَالَ بَعْضُ النُّحَاةِ: إِنَّ الْكَافَ فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ نَعْتًا لِلصِّيَامِ،
Sebagian ahli nahwu mengatakan: Sesungguhnya *kāf* (kamā) berkedudukan dalam posisi rafa‘ sebagai sifat bagi *ash-shiyām*.
وَهُوَ ضَعِيفٌ لِأَنَّ الصِّيَامَ مُعَرَّفٌ بِاللَّامِ،
Dan pendapat ini lemah, karena kata *ash-shiyām* sudah dima’rifatkan dengan *al* (alif lam).
وَالضَّمِيرُ الْمُسْتَتِرُ فِي قَوْلِهِ: كَما كُتِبَ رَاجِعٌ إِلَى مَا.
Dan dhamir (kata ganti) yang tersembunyi dalam firman-Nya: *kamā kutiba* kembali kepada kata *mā*.
وَاخْتَلَفَ الْمُفَسِّرُونَ فِي وَجْهِ التَّشْبِيهِ مَا هُوَ؟
Para mufasir berbeda pendapat tentang sisi penyerupaan (tasybih) itu, apa maksudnya?
فَقِيلَ: هُوَ قَدْرُ الصَّوْمِ وَوَقْتُهُ،
Maka dikatakan: yang dimaksud adalah kadar puasa dan waktunya.
فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى صَوْمَ رَمَضَانَ فَغَيَّرُوا
Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas kaum Yahudi dan Nasrani puasa Ramadan, lalu mereka mengubahnya.
وَقِيلَ: هُوَ الْوُجُوبُ، فَإِنَّ اللَّهَ أَوْجَبَ عَلَى الْأُمَمِ الصِّيَامَ
Dan dikatakan: yang dimaksud adalah kewajiban, karena Allah telah mewajibkan puasa atas umat-umat (terdahulu).
وَقِيلَ: هُوَ الصِّفَةُ، أَيْ: تَرْكُ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَنَحْوِهِمَا فِي وَقْتٍ
Dan dikatakan pula: yang dimaksud adalah sifatnya, yaitu: meninggalkan makan, minum dan semisalnya pada waktu tertentu.
فَعَلَى الْأَوَّلِ مَعْنَاهُ: أَنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ صَوْمَ رَمَضَانَ كَمَا كَتَبَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
Berdasarkan pendapat pertama, maknanya adalah: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas umat ini puasa Ramadan sebagaimana Dia telah mewajibkannya atas orang-orang sebelum mereka.
وَعَلَى الثَّانِي: أَنَّ اللَّهَ أَوْجَبَ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ الصِّيَامَ كَمَا أَوْجَبَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
Dan berdasarkan pendapat kedua: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas umat ini puasa sebagaimana Dia telah mewajibkannya atas orang-orang sebelum mereka.
وَعَلَى الثَّالِثِ: أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَوْجَبَ عَلَى هَذِهِ الْأُمَّةِ الْإِمْسَاكَ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ كَمَا أَوْجَبَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ.
Dan berdasarkan pendapat ketiga: Sesungguhnya Allah Subhānahu telah mewajibkan atas umat ini menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sebagaimana Dia telah mewajibkannya atas orang-orang sebelum mereka.
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ بِالْمُحَافَظَةِ عَلَيْهَا
Dan firman-Nya Ta'ala: *la‘allakum tattaqūn* (agar kalian bertakwa), maksudnya: dengan menjaga pelaksanaan puasa itu.
وَقِيلَ: تَتَّقُونَ الْمَعَاصِيَ بِسَبَبِ هَذِهِ الْعِبَادَةِ،
Dan dikatakan: kalian menjauhi maksiat karena ibadah ini (puasa),
لِأَنَّهَا تَكْسِرُ الشَّهْوَةَ وَتُضْعِفُ دَوَاعِيَ الْمَعَاصِي،
karena ia (puasa) mematahkan syahwat dan melemahkan dorongan-dorongan untuk berbuat maksiat,
كَمَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ جُنَّةٌ وَأَنَّهُ وِجَاءٌ.
sebagaimana telah datang dalam hadis bahwa puasa itu adalah perisai dan juga pengebiri (penyekat syahwat).
وَقَوْلُهُ: أَيَّاماً مُنْتَصِبٌ عَلَى أَنَّهُ مَفْعُولٌ ثَانٍ لِقَوْلِهِ: كُتِبَ، قَالَهُ الْفَرَّاءُ:
Dan firman-Nya: *ayyāman* (beberapa hari), ia dalam keadaan manshub sebagai maf‘ul tsani bagi kata *kutiba*. Demikian dikatakan Al-Farra’.
وَقِيلَ: إِنَّهُ مُنْتَصِبٌ عَلَى أَنَّهُ ظَرْفٌ، أَيْ: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ فِي أَيَّامٍ.
Dan dikatakan: ia manshub sebagai zharaf, yakni: diwajibkan atas kalian puasa di hari-hari tertentu.
وَقَوْلُهُ: مَعْدُوداتٍ أَيْ: مُعَيَّنَاتٍ بِعَدَدٍ مَعْلُومٍ،
Dan firman-Nya: *ma‘dūdāt* (yang tertentu), maksudnya: yang ditentukan dengan bilangan yang diketahui.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ فِي هَذَا الْجَمْعِ – لِكَوْنِهِ مِنْ جُمُوعِ الْقِلَّةِ – إِشَارَةٌ إِلَى تَقْلِيلِ الْأَيَّامِ.
Dan dimungkinkan bahwa dalam bentuk jamak ini—karena termasuk jamak yang menunjukkan bilangan sedikit—terdapat isyarat kepada bahwa hari-hari itu sedikit (tidak banyak).
وَقَوْلُهُ: فَمَنْ كانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً
Dan firman-Nya: *fa man kāna minkum marīḍan* (maka barangsiapa di antara kalian sakit),
قِيلَ: لِلْمَرِيضِ حَالَتَانِ:
Dikatakan: Orang yang sakit memiliki dua keadaan:
إِنْ كَانَ لَا يُطِيقُ الصَّوْمَ كَانَ الْإِفْطَارُ عَزِيمَةً،
Jika ia tidak mampu berpuasa, maka berbuka adalah suatu ketetapan (wajib baginya untuk berbuka).
وَإِنْ كَانَ يُطِيقُهُ مَعَ تَضَرُّرٍ وَمَشَقَّةٍ كَانَ رُخْصَةً،
Dan jika ia masih mampu berpuasa namun dengan adanya bahaya dan kesulitan, maka berbuka merupakan rukhsah (keringanan) baginya.
وَبِهَذَا قَالَ الْجُمْهُورُ،
Dan inilah pendapat mayoritas ulama.
وَقَوْلُهُ: عَلى سَفَرٍ
Dan firman-Nya: *‘alā safar* (dalam perjalanan),
اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي السَّفَرِ الْمُبِيحِ لِلْإِفْطَارِ
Para ulama berbeda pendapat tentang perjalanan yang membolehkan berbuka.
فَقِيلَ: مَسَافَةُ قَصْرِ الصَّلَاةِ، وَالْخِلَافُ فِي قَدْرِهَا مَعْرُوفٌ، وَبِهِ قَالَ الْجُمْهُورُ،
Maka dikatakan: (yaitu) jarak yang membolehkan qashar salat, dan perselisihan mengenai kadarnya telah masyhur; dan ini adalah pendapat jumhur.
وَقَالَ غَيْرُهُمْ بِمَقَادِيرَ لَا دَلِيلَ عَلَيْهَا.
Dan selain mereka berpendapat dengan kadar-kadar (jarak) tertentu yang tidak memiliki dalil.
وَالْحَقُّ أَنَّ مَا صَدَقَ عَلَيْهِ مُسَمَّى السَّفَرِ فَهُوَ الَّذِي يُبَاحُ عِنْدَهُ الْفِطْرُ،
Dan yang benar adalah bahwa segala sesuatu yang benar-benar masuk dalam sebutan “safar” (perjalanan) itulah yang dibolehkan berbuka karenanya.
وَهَكَذَا مَا صَدَقَ عَلَيْهِ مُسَمَّى الْمَرَضِ فَهُوَ الَّذِي يُبَاحُ عِنْدَهُ الْفِطْرُ.
Dan demikian pula segala sesuatu yang betul-betul disebut “penyakit”, maka ia membolehkan berbuka.
وَقَدْ وَقَعَ الْإِجْمَاعُ عَلَى الْفِطْرِ فِي سَفَرِ الطَّاعَةِ.
Dan telah terjadi ijma’ (kesepakatan ulama) atas bolehnya berbuka dalam safar ketaatan.
وَاخْتَلَفُوا فِي الْأَسْفَارِ الْمُبَاحَةِ، وَالْحَقُّ أَنَّ الرُّخْصَةَ ثَابِتَةٌ فِيهِ،
Mereka berbeda pendapat tentang safar yang mubah (bukan taat dan bukan maksiat), dan yang benar adalah bahwa rukhsah (keringanan) tetap berlaku di dalamnya.
وَكَذَا اخْتَلَفُوا فِي سَفَرِ الْمَعْصِيَةِ.
Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang safar maksiat.
وَقَوْلُهُ: فَعِدَّةٌ أَيْ: فَعَلَيْهِ عِدَّةٌ، أَوْ فَالْحُكْمُ عِدَّةٌ، أَوْ فَالْوَاجِبُ عِدَّةٌ
Dan firman-Nya: *fa‘iddatun* (maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkan), maksudnya: maka wajib atasnya sejumlah hari (pengganti), atau hukumnya adalah sejumlah hari, atau yang diwajibkan adalah sejumlah hari.
وَالْعِدَّةُ: فِعْلَةٌ مِنَ الْعَدَدِ، وَهُوَ بِمَعْنَى الْمَعْدُودِ.
Dan *‘iddah* adalah kata dengan wazan *fi‘lah* yang berasal dari kata *‘adad* (bilangan), dan ia bermakna sesuatu yang terbilang.
وَقَوْلُهُ: مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Dan firman-Nya: *min ayyāmin ukhar* (pada hari-hari yang lain),
قَالَ سِيبَوَيْهِ: وَلَمْ يَنْصَرِفْ لِأَنَّهُ مَعْدُولٌ بِهِ عَنِ الْآخَرِ،
Sibawaih berkata: Kata *ukhar* tidak diberi tanwin (tidak *munsharif*) karena ia telah dialihkan dari bentuk *al-ākhari*.
لِأَنَّ سَبِيلَ هَذَا الْبَابِ أَنْ يَأْتِيَ بِالْأَلِفِ وَاللَّامِ.
Karena kebiasaan dalam bab ini adalah datang dengan bentuk yang memakai alif-lam (*al-ākhar*).
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ: هُوَ مَعْدُولٌ بِهِ عَنْ آخَرَ
Al-Kisā’ī berkata: Ia dialihkan dari bentuk *ākhara*.
وَقِيلَ: إِنَّهُ جَمْعُ أُخْرَى،
Dan dikatakan: Sesungguhnya ia adalah jamak dari *ukhrā* (muannats dari *ākhara*).
وَلَيْسَ فِي الْآيَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ التَّتَابُعِ فِي الْقَضَاءِ.
Dan tidak ada di dalam ayat ini sesuatu yang menunjukkan wajibnya berurutan (berturut-turut) dalam qadha (puasa pengganti).
وَقَوْلُهُ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
Dan firman-Nya: *wa ‘alal-ladzīna yuṭīqūnahu* (dan wajib atas orang-orang yang mampu menjalankannya [namun berat]),
قِرَاءَةُ الْجُمْهُورِ بِكَسْرِ الطَّاءِ وَسُكُونِ الْيَاءِ،
Bacaan jumhur (qurra’) adalah dengan mengkasrah huruf *ṭā* dan mensukun huruf *yā’* (yakni: *yuṭīqūnahu*).
وَأَصْلُهُ يُطَوِّقُونَهُ نُقِلَتِ الْكَسْرَةُ إِلَى الطَّاءِ، وَانْقَلَبَتِ الْوَاوُ يَاءً لِانْكِسَارِ مَا قَبْلَهَا.
Asalnya adalah *yuṭawwiqūnahu*, kemudian kasrah dipindahkan ke huruf ṭā’, dan huruf wawu berubah menjadi ya’ karena huruf sebelumnya berharakat kasrah.
وَقَرَأَ حُمَيْدٌ عَلَى الْأَصْلِ مِنْ غَيْرِ إِعْلَالٍ.
Dan Humaid membaca sesuai asalnya tanpa *i‘lal* (perubahan huruf illat) [yakni: *yuṭawwiqūnahu*].
وَقَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِفَتْحِ الطَّاءِ مُخَفَّفَةً وَتَشْدِيدِ الْوَاوِ، أَيْ: يُكَلَّفُونَهُ.
Dan Ibnu Abbas membaca dengan fathah pada huruf ṭā’ yang diringankan dan tasydid pada huruf wawu (yakni: *yuṭawwaqūnahu*), artinya: mereka dibebani (dikewajiban) dengannya.
وَرَوَى ابْنُ الْأَنْبَارِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: يُطِيقُونَهُ بِفَتْحِ الْيَاءِ وَتَشْدِيدِ الطَّاءِ وَالْيَاءِ مَفْتُوحَتَيْنِ، بِمَعْنَى: يُطِيقُونَهُ.
Dan Ibnu Al-Anbari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bacaan: *yaṭṭīqūnahu* dengan fathah pada ya’ dan tasydid pada ṭā’, sementara ya’ kedua juga berharakat fathah, dengan makna: *yuṭīqūnahu* (mereka mampu melaksanakannya).
وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ وَطَاوُسٍ أَنَّهُمْ قَرَءُوا «يَطَّيْقُونَهُ» بِفَتْحِ الْيَاءِ وَتَشْدِيدِ الطَّاءِ مَفْتُوحَةً.
Dan diriwayatkan dari Aisyah, Ibnu Abbas, ‘Amr bin Dinar dan Thawus bahwa mereka membaca: *yaṭṭayqūnahu*, dengan fathah pada ya’ dan tasydid pada ṭā’ yang berharakat fathah.
وَقَرَأَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ وَالشَّامِ «فِدْيَةٌ طَعامُ» مُضَافًا.
Dan penduduk Madinah dan Syam membaca: *fidyatun ṭa‘āmu* dengan *iḍhafah* (menyandarkan *ṭa‘ām* kepada *fidyah*).
وَقَرَءُوا أَيْضًا «مَسَاكِينِ»
Dan mereka juga membaca (dalam bentuk jamak): *masākīn* (orang-orang miskin).
وَقَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «طَعامُ مِسْكِينٍ» وَهِيَ قِرَاءَةُ أَبِي عَمْرٍو وَعَاصِمٍ وَحَمْزَةَ وَالْكِسَائِيِّ.
Dan Ibnu Abbas membaca: *ṭa‘āmu miskīn* (makanan seorang miskin), dan inilah bacaan Abu ‘Amr, ‘Ashim, Hamzah dan Al-Kisai.
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي هَذِهِ الْآيَةِ، هَلْ هِيَ مُحْكَمَةٌ أَوْ مَنْسُوخَةٌ؟
Dan para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini, apakah ia *muhkamah* (tidak mansukh) atau *mansūkhah* (telah dinasakh).
فَقِيلَ: إِنَّهَا مَنْسُوخَةٌ، وَإِنَّمَا كَانَتْ رُخْصَةً عِنْدَ ابْتِدَاءِ فَرْضِ الصِّيَامِ لِأَنَّهُ شَقَّ عَلَيْهِمْ،
Maka dikatakan: Sesungguhnya ayat ini telah dinasakh, dan ia pada awalnya merupakan rukhsah saat permulaan pensyariatan puasa karena berat atas mereka.
فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا تَرَكَ الصَّوْمَ وَهُوَ يُطِيقُهُ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ،
Maka dulu, siapa yang memberi makan seorang miskin setiap hari boleh meninggalkan puasa sementara ia sebenarnya mampu berpuasa, kemudian hal itu dinasakh.
وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ.
Dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama).
وَرُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهَا لَمْ تُنْسَخْ،
Dan diriwayatkan dari sebagian ahli ilmu bahwa ayat ini tidak dinasakh,
وَأَنَّهَا رُخْصَةٌ لِلشُّيُوخِ وَالْعَجَائِزِ خَاصَّةً إِذَا كَانُوا لَا يُطِيقُونَ الصِّيَامَ إِلَّا بِمَشَقَّةٍ،
dan bahwa ayat ini merupakan rukhsah bagi orang-orang tua (lelaki dan perempuan) secara khusus, apabila mereka tidak mampu berpuasa kecuali dengan kesulitan yang berat.
وَهَذَا يُنَاسِبُ قِرَاءَةَ التَّشْدِيدِ، أَيْ: يُكَلَّفُونَهُ كَمَا مَرَّ.
Dan ini sesuai dengan bacaan yang ada tasydid (yakni: *yuṭawwaqūnahu/yatṭayqūnahu*), yaitu: mereka dibebani (dikewajiban) dengannya, sebagaimana telah lalu.
وَالنَّاسِخُ لِهَذِهِ الْآيَةِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ قَوْلُهُ تَعَالَى: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ2.
Dan ayat yang menasakh (menghapus hukum) ayat ini menurut jumhur adalah firman-Nya Ta‘ala: *“Faman syahida minkumu asy-syahra fal-yaṣumhu”*2.
وَقَدِ اخْتَلَفُوا فِي مِقْدَارِ الْفِدْيَةِ
Dan mereka berbeda pendapat tentang kadar fidyah (makanan yang wajib diberikan).
فَقِيلَ: كُلُّ يَوْمٍ صَاعٌ مِنْ غَيْرِ الْبُرِّ، وَنِصْفُ صَاعٍ مِنْهُ
Maka dikatakan: Untuk setiap hari adalah satu ṣā‘ dari selain gandum (bur), dan setengah ṣā‘ dari gandum.
وَقِيلَ: مُدٌّ فَقَطْ.
Dan dikatakan: satu mudd saja.
وَقَوْلُهُ: فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ.
Dan firman-Nya: *fa man taṭawwa‘a khayran fa huwa khayrul lah* (maka barangsiapa dengan sukarela mengerjakan kebaikan, itu lebih baik baginya).
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: مَعْنَاهُ: مَنْ أَرَادَ الْإِطْعَامَ مَعَ الصَّوْمِ.
Ibnu Syihab berkata: Maknanya adalah: barangsiapa yang ingin (memberi) makan (fidyah) di samping (tetap) berpuasa.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: مَعْنَاهُ: مَنْ زَادَ فِي الْإِطْعَامِ عَلَى الْمُدِّ
Mujahid berkata: Maknanya adalah: barangsiapa menambah dalam pemberian makanan, melebihi satu mudd.
وَقِيلَ: مَنْ أَطْعَمَ مَعَ الْمِسْكِينِ مِسْكِينًا آخَرَ.
Dan dikatakan: barangsiapa memberi makan selain seorang miskin, yaitu menambah seorang miskin lagi.
وَقَرَأَ عِيسَى ابْنُ عَمْرٍو، وَيَحْيَى بْنُ وَثَّابٍ، وَحَمْزَةُ، وَالْكِسَائِيُّ «يَطَّوَّعْ» مُشَدَّدًا مَعَ جَزْمِ الْفِعْلِ عَلَى مَعْنَى «يَتَطَوَّعْ»،
Dan Isa bin ‘Amr, Yahya bin Watsab, Hamzah dan Al-Kisai membaca: *yaṭṭawwa‘* dengan tasydid, dan fi‘ilnya majzum (dijazmkan), dengan makna *yatatawwa‘* (bersungguh-sungguh melakukan amal sunnah).
وَقَرَأَ الْبَاقُونَ بِتَخْفِيفِ الطَّاءِ عَلَى أَنَّهُ فِعْلٌ مَاضٍ.
Dan selain mereka membaca dengan meringankan huruf ṭā’ (yakni: *taṭawwa‘a*) dengan status sebagai fi‘il madhi (kata kerja lampau).
وَقَوْلُهُ: وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ
Dan firman-Nya: *wa an taṣūmū khayrul lakum* (dan berpuasa itu lebih baik bagi kalian),
مَعْنَاهُ: أَنَّ الصِّيَامَ خَيْرٌ لَهُمْ مِنَ الْإِفْطَارِ مَعَ الْفِدْيَةِ، وَكَانَ هَذَا قَبْلَ النَّسْخِ
Maknanya: Sesungguhnya puasa itu lebih baik bagi mereka daripada berbuka dengan membayar fidyah; dan ini sebelum nasakh.
وَقِيلَ: مَعْنَاهُ: وَأَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ وَالْمَرَضِ غَيْرِ الشَّاقِّ.
Dan dikatakan: Maknanya adalah: dan jika kalian berpuasa dalam safar dan sakit yang tidak berat, maka itu lebih baik bagi kalian.
وَقَدْ أَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ حِبَّانَ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ
Dan Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Al-Hakim—yang mensahihkannya—dan Al-Baihaqi dalam *Sunan*-nya telah meriwayatkan dari Mu‘adz bin Jabal,
قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ،
ia berkata: “Salat dipindahkan (hukumnya) melalui tiga fase, dan puasa juga dipindahkan melalui tiga fase.”
فَذَكَرَ أَحْوَالَ الصَّلَاةِ ثُمَّ قَالَ: وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ،
Lalu ia menyebutkan fase-fase salat, kemudian berkata: “Adapun fase-fase puasa,
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ،
sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam ketika datang ke Madinah, beliau berpuasa tiga hari pada setiap bulan, dan berpuasa pada hari ‘Asyura.
ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ فَرَضَ عَلَيْهِ الصِّيَامَ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيامُ إِلَى قَوْلِهِ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ
Kemudian Allah Subhānahu mewajibkan atasnya (Rasul) puasa dan menurunkan kepadanya firman-Nya: *“Yā ayyuhalladzīna āmanū kutiba ‘alaikumush-shiyām…”* sampai firman-Nya: *“…wa ‘alalladzīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu miskīn.”*
فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ،
Maka pada saat itu, siapa yang mau boleh berpuasa, dan siapa yang mau boleh memberi makan seorang miskin, dan itu sudah mencukupi dirinya.
ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Kemudian Allah menurunkan ayat yang lain: *“Faman syahida minkumu asy-syahra fal-yaṣumhu”*,
فَأَثْبَتَ اللَّهُ صِيَامَهُ عَلَى الصَّحِيحِ الْمُقِيمِ، وَرَخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ،
maka Allah menegaskan kewajiban puasa bagi orang yang sehat lagi mukim, dan memberi rukhsah (keringanan) di dalamnya bagi orang yang sakit dan musafir.
وَثَبَتَ الْإِطْعَامُ لِلْكَبِيرِ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، ثُمَّ ذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ.
Dan tetaplah (disyariatkan) memberi makan (fidyah) bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa. Kemudian Mu‘adz menyebutkan sisa hadis tersebut.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: كَما كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَالَ: يَعْنِي بِذَلِكَ أَهْلَ الْكِتَابِ.
Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya: *“kamā kutiba ‘alalladzīna min qoblikum”*, beliau berkata: “Yang dimaksud adalah Ahli Kitab.”
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ فِي تَارِيخِهِ، وَالطَّبَرَانِيُّ عَنْ دَغْفَلِ بْنِ حَنْظَلَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
Dan Al-Bukhari dalam *At-Tarikh*-nya dan Ath-Thabarani meriwayatkan dari Daghfal bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
«كَانَ عَلَى النَّصَارَى صَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَمَرِضَ مَلِكُهُمْ فَقَالُوا: لَئِنْ شَفَاهُ اللَّهُ لَنَزِيدَنَّ عَشْرًا،
“Dulu diwajibkan atas orang-orang Nasrani puasa bulan Ramadan. Lalu raja mereka sakit, maka mereka berkata: ‘Jika Allah menyembuhkannya, sungguh kami akan menambah sepuluh hari.’
ثُمَّ كَانَ آخَرُ فَأَكَلَ لَحْمًا فَأَوْجَعَ فَاهُ فَقَالَ: لَئِنْ شَفَاهُ اللَّهُ لَيَزِيدَنَّ سَبْعَةً،
Kemudian (setelah itu) ada raja lain yang makan daging lalu sakit pada mulutnya, maka ia berkata: ‘Jika Allah menyembuhkannya, sungguh aku akan menambah tujuh hari.’
ثُمَّ كَانَ عَلَيْهِمْ مَلِكٌ آخَرُ فَقَالَ: مَا نَدَعُ مِنْ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ الْأَيَّامِ شَيْئًا أَنْ نُتِمَّهَا وَنَجْعَلَ صَوْمَنَا فِي الرَّبِيعِ، فَفَعَلَ فَصَارَتْ خَمْسِينَ يَوْمًا».
Kemudian datang lagi raja lain kepada mereka, maka ia berkata: ‘Kita tidak akan meninggalkan sedikit pun dari (tambahan) tiga macam hari ini, kita akan menyempurnakannya dan menjadikan puasa kita di musim semi.’ Maka ia pun melakukan itu, hingga akhirnya (puasa mereka) menjadi lima puluh hari.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ السُّدِّيِّ فِي قَوْلِهِ: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ قَالَ: تَتَّقُونَ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالنِّسَاءِ مِثْلَ مَا اتَّقَوْا.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari As-Suddi tentang firman-Nya: *la‘allakum tattaqūn*, ia berkata: “(Maksudnya) kalian menahan diri dari makanan, minuman, dan hubungan dengan istri sebagaimana mereka (umat-umat sebelumnya) menahan diri.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَ مَا سَبَقَ عَنْ مُعَاذٍ.
Dan Ibnu Jarir serta Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas penjelasan yang semisal dengan apa yang telah diriwayatkan dari Mu‘adz.
وَأَخْرَجَ ابنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ».
“Puasa Ramadan telah Allah wajibkan atas umat-umat sebelum kalian.”
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ عَاشُورَاءُ صِيَامًا، فَلَمَّا أُنْزِلَ رَمَضَانُ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ.
Dan Al-Bukhari serta Muslim meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Hari ‘Asyura dahulu (sebelum Ramadan) adalah hari puasa (wajib). Ketika Ramadan diwajibkan, barangsiapa yang mau ia berpuasa (‘Asyura) dan barangsiapa yang mau ia berbuka.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ: إِنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ قَدْ نُسِخَتْ.
Dan Abdu bin Humaid meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya firman-Nya Ta‘ala: *‘wa ‘alalladzīna yuṭīqūnahu’* telah dinasakh.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْهُ نَحْوَ ذَلِكَ، وَزَادَ أَنَّ النَّاسِخَ لَهَا قَوْلُهُ تَعَالَى: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ الْآيَةَ.
Dan Ibnu Abi Hatim serta Ibnu Mardawaih meriwayatkan darinya (Ibnu Abbas) hal yang semisal itu, dan ia menambahkan bahwa yang menasakh ayat tersebut adalah firman-Nya Ta‘ala: *“Faman syahida minkumu asy-syahra…”* (ayat itu).
وَأَخْرَجَ نَحْوَ ذَلِكَ عَنْهُ أَبُو دَاوُدَ فِي نَاسِخِهِ.
Dan semisal itu diriwayatkan darinya oleh Abu Dawud dalam kitab *An-Nāsikh* miliknya.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ عَنْهُ أَيْضًا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُمْ.
Dan Sa‘id bin Manshur, Abdu bin Humaid, Abu Dawud, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan selain mereka juga meriwayatkan riwayat yang semisal darinya.
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا مِنْ حَدِيثِ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ:
Dan Al-Bukhari, Muslim dan selain keduanya meriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa‘, ia berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعامُ مِسْكِينٍ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ، وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ فَعَلَ،
“Ketika turun ayat ini: *‘wa ‘alalladzīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu miskīn’*, siapa yang mau berpuasa ia berpuasa, dan siapa yang mau berbuka lalu membayar fidyah, ia melakukannya.”
حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ.
“Hingga turun ayat setelahnya yang menasakh (menghapus hukum) ayat tersebut: *‘Faman syahida minkumu asy-syahra…’*.”
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: حَدَّثَنَا أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ، فَذَكَرَ نَحْوَهُ.
Dan Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abi Laila, ia berkata: “Para sahabat Muhammad menceritakan kepada kami …” lalu ia menyebutkan riwayat yang semisal itu.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فِي قَوْلِهِ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ قَالَ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصَّوْمَ فَيُفْطِرُ وَيُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib tentang firman-Nya: *“wa ‘alalladzīna yuṭīqūnahu”*, ia berkata: “(Yang dimaksud adalah) orang tua yang sudah lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, maka ia berbuka dan memberi makan seorang miskin sebagai ganti setiap hari.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْبَيْهَقِيُّ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ مَوْتِهِ، فَصَنَعَ جَفْنَةً مِنْ ثَرِيدٍ وَدَعَا ثَلَاثِينَ مِسْكِينًا فَأَطْعَمَهُمْ.
Dan Ibnu Abi Syaibah, Abdu bin Humaid, Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Anas bin Malik melemah (tidak sanggup lagi) untuk berpuasa pada suatu tahun sebelum wafatnya. Maka ia membuat satu bejana besar berisi *tsarid* (roti yang diberi kuah), lalu memanggil tiga puluh orang miskin dan memberi makan mereka.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لِأُمِّ وَلَدٍ لَهُ حَامِلٍ أَوْ مُرْضِعَةٍ:
Dan Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir dan Ad-Daraquthni—yang mensahihkannya—meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata kepada salah seorang ummu walad-nya yang sedang hamil atau menyusui:
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِينَ لَا يُطِيقُونَ الصِّيَامَ، عَلَيْكِ الطَّعَامُ، لَا قَضَاءَ عَلَيْكِ.
“Engkau berkedudukan seperti orang yang tidak mampu berpuasa; kewajibanmu adalah memberi makan (fidyah), tidak ada qadha’ atasmu.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ إِحْدَى بَنَاتِهِ أَرْسَلَتْ تَسْأَلُهُ عَنْ صَوْمِ رَمَضَانَ وَهِيَ حَامِلٌ، قَالَ: تُفْطِرُ وَتُطْعِمُ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Dan Abdu bin Humaid, Ibnu Abi Hatim dan Ad-Daraquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa salah seorang putrinya mengirim utusan bertanya kepadanya tentang puasa Ramadan sementara ia dalam keadaan hamil. Ibnu Umar menjawab: “Ia boleh berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari.”
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ التَّابِعِينَ.
Dan telah diriwayatkan hal yang semisal ini dari sekelompok tabi’in.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ فِي قَوْلِهِ: فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً قَالَ: أَطْعَمَ مِسْكِينَيْنِ.
Dan Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Ikrimah tentang firman-Nya: *“fa man taṭawwa‘a khayran”*, ia berkata: “(Yaitu) memberi makan dua orang miskin.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ طَاوُسٍ فِي قَوْلِهِ: فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْراً قَالَ: إِطْعَامُ مَسَاكِينَ.
Dan Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Thawus tentang firman-Nya: *“fa man taṭawwa‘a khayran”*, ia berkata: “(Yaitu) memberi makan banyak orang miskin.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ فِي قَوْلِهِ: وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ أَيْ: أَنَّ الصَّوْمَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنَ الْفِدْيَةِ.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Syihab tentang firman-Nya: *“wa an taṣūmū khayrul lakum”*, ia berkata: “(Maksudnya) sesungguhnya puasa itu lebih baik bagi kalian daripada (hanya) fidyah.”
وَقَدْ وَرَدَ فِي فَضْلِ الصَّوْمِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ جِدًّا.
Dan telah datang dalam masalah keutamaan puasa hadis-hadis yang sangat banyak. ---
  1. مريم: 26 – “Sesungguhnya aku bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.”
  2. البقرة: 185 – “Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan (hadir pada) bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7