Al Baqarah Ayat 178-179

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2) : الْآيَاتُ 178 إِلَى 179]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصاصُ فِي الْقَتْلى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثى بِالْأُنْثى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّباعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَداءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسانٍ ذلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدى بَعْدَ ذلِكَ فَلَهُ عَذابٌ أَلِيمٌ (178)
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan. Maka siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (pemaafan itu diikuti dengan) tuntutan secara baik, dan (pihak yang diberi maaf) membayar (kewajiban) kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat. Maka siapa yang melampaui batas setelah itu, maka baginya azab yang pedih. (178)
وَلَكُمْ فِي الْقِصاصِ حَياةٌ يَا أُولِي الْأَلْبابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)
Dan bagi kalian pada (penerapan) qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertakwa. (179)
قَوْلُهُ: كُتِبَ مَعْنَاهُ: فُرِضَ، وَأُثْبِتَ، وَمِنْهُ قَوْلُ عُمَرُ بْنُ أَبِي رَبِيعَةَ:
Firman-Nya: “kutiba” maknanya: diwajibkan dan ditetapkan. Dan di antaranya adalah ucapan ‘Umar bin Abī Rabī‘ah:
كُتِبَ الْقَتْلُ وَالْقِتَالُ عَلَيْنَا … وَعَلَى الْغَانِيَاتِ جَرُّ الذُّيُولِ
“Telah ditetapkan bagi kami (laki-laki) urusan membunuh dan berperang, dan atas para wanita yang molek adalah menyeret ujung-ujung pakaian (berjalan anggun).”
وَهَذَا إِخْبَارٌ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ بِأَنَّهُ شَرَعَ لَهُمْ ذَلِكَ، وَقِيلَ: إِنَّ كُتِبَ هُنَا إِشَارَةٌ إِلَى مَا جَرَى به القلم في اللوح المحفوظ.
Dan ini adalah pemberitahuan dari Allah Mahasuci kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dia telah mensyariatkan hal itu bagi mereka. Dan dikatakan: Sesungguhnya “kutiba” di sini adalah isyarat kepada apa yang telah ditulis oleh pena di Lauh Mahfuz.
والْقِصاصُ أَصْلُهُ: قَصُّ الْأَثَرِ: أَيِ: اتِّبَاعُهُ، وَمِنْهُ: الْقَاصُّ، لِأَنَّهُ يَتَتَبَّعُ الْآثَارَ، وَقَصُّ الشِّعْرِ: اتِّبَاعُ أَثَرِهِ، فَكَأَنَّ الْقَاتِلَ يَسْلُكُ طَرِيقًا مِنَ الْقَتْلِ، يَقُصُّ أَثَرَهُ فِيهَا، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى:
Adapun qishash, asal katanya adalah “qashshu al-atsar”, yaitu: mengikuti jejak. Dan dari akar kata ini pula “al-qāshsh” (pencerita), karena ia mengikuti jejak (rangkaian) berita. Dan “qashshu asy-sya‘r” (memotong rambut) maksudnya mengikuti jejaknya (memendekkannya terus). Maka seakan-akan si pembunuh menempuh satu jalan dalam (perbuatan) membunuh, lalu orang yang menuntut qishash mengikuti jejaknya di jalan itu. Dan termasuk dari (akar kata ini) adalah firman-Nya Ta‘ālā:
فَارْتَدَّا عَلى آثَارِهِما قَصَصاً
“Maka keduanya kembali mengikuti jejak mereka berdua, dengan mengikuti jejak (itu).”¹
وَقِيلَ: إِنَّ الْقِصَاصَ مَأْخُوذٌ مِنَ الْقَصِّ وَهُوَ الْقَطْعُ، يُقَالُ: قَصَصْتُ مَا بَيْنَهُمَا: أَيْ: قَطَعْتُهُ.
Dan dikatakan: Sesungguhnya qishash diambil dari kata “al-qashsh” yang berarti pemotongan. Dikatakan: “qashashtu mā baynahumā”, artinya: aku memotong apa yang ada di antara keduanya.
وَقَدِ اسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ الْقَائِلُونَ بِأَنَّ الْحُرَّ لَا يُقْتَلُ بِالْعَبْدِ، وَهُمُ الْجُمْهُورُ.
Dan telah berdalil dengan ayat ini orang-orang yang berpendapat bahwa orang merdeka tidak dibunuh (dengan qishash) karena membunuh budak, dan mereka adalah jumhur (mayoritas ulama).
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَأَصْحَابُهُ، وَالثَّوْرِيُّ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَدَاوُدُ إِلَى أَنَّهُ يُقْتَلُ بِهِ.
Sedangkan Abū Hanīfah dan para pengikutnya, ats-Tsaurī, Ibn Abī Lailā, dan Dāwud berpendapat bahwa orang merdeka dibunuh (dengan qishash) karena (membunuh) budak.
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَلِيٍّ، وَابْنِ مَسْعُودٍ. وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَقَتَادَةُ، وَالْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ،
Al-Qurthubī berkata: Pendapat itu diriwayatkan dari ‘Alī dan Ibn Mas‘ūd. Dan dengannya pula berpendapat Sa‘īd bin al-Musayyab, Ibrāhīm an-Nakha‘ī, Qatādah, dan al-Hakam bin ‘Utaybah.
وَاسْتَدَلُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَكَتَبْنا عَلَيْهِمْ فِيها أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
Dan mereka berdalil dengan firman-Nya Ta‘ālā: “Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa.”²
وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ عَنْ هَذَا الِاسْتِدْلَالِ بِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ مُفَسِّرٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
Kelompok pertama menjawab dalil ini dengan mengatakan bahwa firman-Nya Ta‘ālā: “al-ḥurru bil-ḥurri wal-‘abdu bil-‘abdi” adalah penafsir bagi firman-Nya Ta‘ālā: “an-nafsa bin-nafsi”.
وَقَالُوا أَيْضًا: إِنَّ قَوْلَهُ: وَكَتَبْنا عَلَيْهِمْ فِيها يُفِيدُ: أَنَّ ذَلِكَ حِكَايَةٌ عَمَّا شرعه لِبَنِي إِسْرَائِيلَ فِي التَّوْرَاةِ.
Dan mereka juga berkata: Sesungguhnya firman-Nya: “wa katabnā ‘alayhim fīhā” memberi faedah bahwa hal itu adalah kisah tentang apa yang Dia syariatkan bagi Banī Isrā’īl di dalam Taurat.
وَمِنْ جُمْلَةِ مَا استدل به الآخرون قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ»
Dan termasuk dari dalil yang digunakan kelompok lain adalah sabda beliau صلى الله عليه وسلم: “Sesama kaum Muslimin, darah mereka saling sepadan (setara).”
وَيُجَابُ عَنْهُ بِأَنَّهُ مُجْمَلٌ وَالْآيَةُ مُبَيِّنَةٌ،
Dan dijawab bahwa hadis itu bersifat mujmal (global), sedangkan ayat ini bersifat mubayyinah (menjelaskan).
وَلَكِنَّهُ يُقَالُ: إِنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى: الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ إِنَّمَا أَفَادَ بِمَنْطُوقِهِ أَنَّ الْحُرَّ يُقْتَلُ بِالْحُرِّ، وَالْعَبْدَ يُقْتَلُ بِالْعَبْدِ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْحُرَّ لَا يُقْتَلُ بِالْعَبْدِ إِلَّا بِاعْتِبَارِ الْمَفْهُومِ،
Akan tetapi dikatakan: Sesungguhnya firman-Nya Ta‘ālā: “al-ḥurru bil-ḥurri wal-‘abdu bil-‘abdi” dengan lafaz (manthūq)-nya hanya memberikan faedah bahwa orang merdeka dibunuh karena (membunuh) orang merdeka, dan budak dibunuh karena (membunuh) budak; dan di dalamnya tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan bahwa orang merdeka tidak dibunuh karena (membunuh) budak, kecuali bila ditinjau dari segi mafhūm (makna yang dipahami dari kebalikan lafaz).
فَمَنْ أَخَذَ بِمِثْلِ هَذَا الْمَفْهُومِ لَزِمَهُ الْقَوْلُ بِهِ هُنَا، وَمَنْ لَمْ يَأْخُذْ بِمِثْلِ هَذَا الْمَفْهُومِ لَمْ يَلْزَمْهُ الْقَوْلُ بِهِ هُنَا، وَالْبَحْثُ فِي هَذَا مُحَرَّرٌ فِي عِلْمِ الْأُصُولِ.
Maka barang siapa menjadikan mafhūm seperti ini sebagai hujjah, wajib baginya berpendapat demikian di sini. Dan barang siapa tidak menjadikannya hujjah, tidak wajib baginya mengatakan demikian di sini. Pembahasan masalah ini telah dirinci dalam ilmu ushul (fiqih).
وَقَدِ اسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ الْقَائِلُونَ بِأَنْ الْمُسْلِمَ يُقْتَلُ بِالْكَافِرِ، وَهُمُ الْكُوفِيُّونَ وَالثَّوْرِيُّ،
Dan telah menjadikan ayat ini sebagai dalil orang-orang yang berpendapat bahwa seorang Muslim dibunuh (dengan qishash) karena (membunuh) orang kafir, dan mereka adalah para ulama Kufah dan ats-Tsaurī.
لِأَنَّ الْحُرَّ يَتَنَاوَلُ الْكَافِرَ كَمَا يَتَنَاوَلُ الْمُسْلِمَ، وَكَذَا الْعَبْدُ وَالْأُنْثَى يَتَنَاوَلَانِ الْكَافِرَ كَمَا يَتَنَاوَلَانِ الْمُسْلِمَ.
Karena lafaz “orang merdeka” mencakup orang kafir sebagaimana mencakup orang Muslim, demikian pula “budak” dan “perempuan” mencakup orang kafir sebagaimana mencakup orang Muslim.
وَاسْتَدَلُّوا أَيْضًا بِقَوْلِهِ تَعَالَى: أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ لِأَنَّ النَّفْسَ تَصْدُقُ عَلَى النَّفْسِ الْكَافِرَةِ، كَمَا تَصْدُقُ عَلَى النَّفْسِ الْمُسْلِمَةِ.
Dan mereka juga berdalil dengan firman-Nya Ta‘ālā: “Bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa”, karena kata “jiwa” benar (pemakaiannya) untuk jiwa yang kafir sebagaimana benar untuk jiwa yang Muslim.
وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ الْمُسْلِمُ بِالْكَافِرِ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا وَرَدَ مِنَ السُّنَّةِ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ، وَهُوَ مُبَيِّنٌ لِمَا يُرَادُ فِي الْآيَتَيْنِ، وَالْبَحْثُ فِي هَذَا يَطُولُ.
Sedangkan jumhur berpendapat bahwa seorang Muslim tidak dibunuh (dengan qishash) karena (membunuh) orang kafir. Mereka berdalil dengan apa yang datang dari Sunnah dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa seorang Muslim tidak dibunuh karena (membunuh) orang kafir; dan hadis ini menjelaskan maksud yang terkandung dalam dua ayat tersebut. Pembahasan masalah ini panjang.
وَاسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ الْقَائِلُونَ: بِأَنَّ الذَّكَرَ لَا يُقْتَلُ بِالْأُنْثَى، وَقَرَّرُوا الدَّلَالَةَ عَلَى ذَلِكَ بِمِثْلِ مَا سَبَقَ
Dan telah menjadikan ayat ini sebagai dalil orang-orang yang berpendapat bahwa laki-laki tidak dibunuh (dengan qishash) karena (membunuh) perempuan, dan mereka menetapkan indikasi (dalil) atas hal itu sebagaimana penjelasan yang telah lalu,
إِلَّا إِذَا سَلَّمَ أَوْلِيَاءُ الْمَرْأَةِ الزِّيَادَةَ عَلَى دِيَتِهَا مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ.
kecuali apabila para wali perempuan itu menyerahkan tambahan dari selisih diyatnya dengan diyat laki-laki.
وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، وَالثَّوْرِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ.
Dan dengan pendapat ini berfatwa Mālik, asy-Syāfi‘ī, Ahmad, Ishāq, ats-Tsaurī, dan Abū Tsawr.
وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهُ يُقْتَلُ الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ وَلَا زِيَادَةَ، وَهُوَ الْحَقُّ.
Sedangkan jumhur berpendapat bahwa laki-laki dibunuh (dengan qishash) karena (membunuh) perempuan, dan tidak ada tambahan (diyat), dan inilah yang benar.
وَقَدْ بَسَطْنَا الْبَحْثَ فِي شَرْحِ الْمُنْتَقَى فَلْيُرْجَعْ إِلَيْهِ.
Dan kami telah memerinci pembahasannya dalam Syarh al-Muntaqā, maka silakan dirujuk ke sana.
قَوْلُهُ: فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ «مَنْ» هُنَا عِبَارَةٌ عَنِ الْقَاتِلِ.
Firman-Nya: “Fa man ‘ufiya lahu min akhīhi syay’(un)” — kata “man” di sini adalah ungkapan yang merujuk kepada si pembunuh.
وَالْمُرَادُ بِالْأَخِ: الْمَقْتُولُ، أَوِ الْوَلِيُّ، وَالشَّيْءُ: عِبَارَةٌ عَنِ الدَّمِ،
Dan yang dimaksud dengan “saudaranya” adalah orang yang terbunuh, atau wali (ahli waris)-nya; sedangkan “sesuatu” adalah ungkapan yang dimaksudkan untuk “darah”.
وَالْمَعْنَى: أَنَّ الْقَاتِلَ أَوِ الْجَانِيَ إِذَا عُفِيَ لَهُ مِنْ جِهَةِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ، أَوِ الْوَلِيِّ، دَمٌ أَصَابَهُ مِنْهُ عَلَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا مِنَ الدِّيَةِ أَوِ الأرش،
Maknanya: Bahwa si pembunuh atau pelaku kejahatan, apabila diberi maaf dari pihak korban atau dari pihak wali (korban) atas darah yang ia tumpahkan, dengan ketentuan akan mengambil darinya sesuatu dari diyat atau dari ganti rugi (arsh),
فليتبع المجني عليه أو الْوَلِيَّ مَنْ عَلَيْهِ الدَّمُ فِيمَا يَأْخُذُهُ مِنْهُ مِنْ ذَلِكَ اتِّبَاعًا بِالْمَعْرُوفِ،
maka hendaklah korban atau wali mengikuti (menagih kepada) orang yang dibebani darah itu dalam hal apa yang diambil darinya, dengan tuntutan yang baik (patut).
وَلْيُؤَدِّ الْجَانِي مَا لَزِمَهُ مِنَ الدِّيَةِ أَوِ الْأَرْشِ إِلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ، أَوْ إِلَى الْوَلِيِّ أَدَاءً بِإِحْسَانٍ
Dan hendaklah si pelaku kejahatan menunaikan apa yang wajib atasnya berupa diyat atau ganti rugi kepada korban atau kepada wali dengan penunaian yang baik.
وَقِيلَ: إن «من» عبارة عن الوليّ، والأخ: يُرَادُ بِهِ الْقَاتِلُ، وَالشَّيْءُ: الدِّيَةُ
Dan dikatakan: Sesungguhnya “man” adalah ungkapan yang merujuk kepada wali, dan “saudara” yang dimaksud adalah si pembunuh, sedangkan “sesuatu” adalah diyat.
وَالْمَعْنَى: أَنَّ الْوَلِيَّ إِذَا جَنَحَ إِلَى الْعَفْوِ عَنِ الْقِصَاصِ إِلَى مُقَابِلِ الدِّيَةِ، فَإِنَّ الْقَاتِلَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يُعْطِيَهَا أَوْ يُسَلِّمَ نَفْسَهُ لِلْقَصَاصِ،
Maknanya: Bahwa apabila wali condong untuk berpindah dari qishash kepada diyat (menerima diyat sebagai ganti qishash), maka si pembunuh diberi pilihan antara menyerahkan diyat itu atau menyerahkan dirinya untuk dilaksanakan qishash.
كَمَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ يَثْبُتُ الْخِيَارُ لِلْقَاتِلِ فِي ذَلِكَ
Sebagaimana diriwayatkan dari Mālik bahwa pilihan dalam hal itu ditetapkan bagi si pembunuh.
وَذَهَبَ مَنْ عَدَاهُ إِلَى أَنَّهُ لَا يُخَيَّرُ، بَلْ إِذَا رَضِيَ الْأَوْلِيَاءُ بِالدِّيَةِ فَلَا خِيَارَ لِلْقَاتِلِ، بَلْ يَلْزَمُهُ تَسْلِيمُهَا
Sedangkan selain Mālik berpendapat bahwa si pembunuh tidak diberi pilihan; bahkan apabila para wali telah ridha dengan diyat, maka si pembunuh tidak memiliki pilihan; ia wajib menyerahkan diyat tersebut.
وَقِيلَ: مَعْنَى: عُفِيَ بُذِلَ. أَيْ: مَنْ بُذِلَ لَهُ شَيْءٌ مِنَ الدِّيَةِ، فَلْيَقْبَلْ وَلْيَتَّبِعْ بِالْمَعْرُوفِ
Dan dikatakan pula: Makna “‘ufiya” adalah “dibayar/diberikan”. Yakni: Barang siapa diberikan kepadanya sesuatu dari diyat, maka hendaklah ia menerimanya dan menuntut dengan cara yang baik.
وَقِيلَ: إِنِ الْمُرَادَ بِذَلِكَ: أَنَّ مَنْ فَضُلَ لَهُ مِنَ الطَّائِفَتَيْنِ عَلَى الْأُخْرَى شَيْءٌ مِنَ الدِّيَاتِ، فَيَكُونُ عُفِيَ بِمَعْنَى: فَضُلَ،
Dan dikatakan juga: Sesungguhnya yang dimaksud dengan itu adalah bahwa siapa di antara dua kelompok yang memiliki kelebihan (hak) atas kelompok yang lain berupa sisa diyat, maka “‘ufiya” di sini bermakna “fudhla” (tersisa, lebih).
وَعَلَى جَمِيعِ التَّقَادِيرِ فَتَنْكِيرُ شَيْءٌ لِلتَّقْلِيلِ، فَيَتَنَاوَلُ الْعَفْوَ عَنِ الشَّيْءِ الْيَسِيرِ مِنَ الدِّيَةِ، وَالْعَفْوَ الصَّادِرَ عَنْ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْوَرَثَةِ.
Dan pada semua penafsiran itu, bentuk nakirah (tanpa alif-lam) pada kata “syay’(un)” memberi makna pengurangan (nilai), sehingga mencakup pemaafan atas bagian yang sedikit dari diyat, dan pemaafan yang keluar dari salah satu individu ahli waris.
وَقَوْلُهُ: فَاتِّباعٌ مُرْتَفِعٌ بِفِعْلٍ مَحْذُوفٍ أَيْ: فَلْيَكُنْ مِنْهُ اتِّبَاعٌ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ: خَبَرُ مُبْتَدَأٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ: فَالْأَمْرُ اتِّبَاعٌ، وكذا قوله: وَأَداءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسانٍ.
Dan firman-Nya: “fa ittibā‘un” (maka (hendaklah) tuntutan dengan baik) berkedudukan (marfū‘) karena fi‘il yang dihapus, yakni: “fal-yakun minhu ittibā‘(un)” (maka hendaklah timbul darinya tuntutan yang baik). Atau (ia marfū‘) atas dasar bahwa ia adalah khabar dari mubtada’ yang dihapus, yakni: “fa al-amru ittibā‘(un)” (maka perkara itu adalah tuntutan dengan baik). Demikian pula firman-Nya: “wa adā’un ilayhi bi iḥsān(ٍ)”.
قوله: ذلِكَ تَخْفِيفٌ إِشَارَةٌ إِلَى الْعَفْوِ وَالدِّيَةِ، أَيْ: أَنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ الْعَفْوَ مِنْ غَيْرِ عِوَضٍ أَوْ بَعُوضٍ، وَلَمْ يُضَيِّقْ عَلَيْهِمْ كَمَا ضَيَّقَ عَلَى الْيَهُودِ، فَإِنَّهُ أَوْجَبَ عَلَيْهِمُ الْقِصَاصَ، وَلَا عَفْوَ وَكَمَا ضَيَّقَ عَلَى النَّصَارَى فَإِنَّهُ أَوْجَبَ عَلَيْهِمُ الْعَفْوَ وَلَا دِيَةَ.
Firman-Nya: “Dzalika takhfīf(ٌ)” adalah isyarat kepada pemaafan dan diyat. Yakni: Bahwa Allah telah mensyariatkan bagi umat ini pemaafan tanpa imbalan atau dengan imbalan, dan tidak menyempitkan atas mereka sebagaimana Dia menyempitkan atas orang-orang Yahudi, karena Dia mewajibkan atas mereka qishash dan tidak ada pemaafan; dan sebagaimana Dia menyempitkan atas orang-orang Nasrani, karena Dia mewajibkan atas mereka pemaafan dan tidak ada diyat.
قَوْلُهُ: فَمَنِ اعْتَدى بَعْدَ ذلِكَ أَيْ: بَعْدِ التَّخْفِيفِ، نَحْوَ: أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ ثُمَّ يَقْتُلَ الْقَاتِلَ، أو يعفو ثم يستقص.
Firman-Nya: “Fa man i‘tadā ba‘da dzālik” (Maka siapa yang melampaui batas setelah itu) maksudnya: setelah adanya keringanan itu, seperti: ia mengambil diyat kemudian membunuh si pembunuh, atau ia memaafkan kemudian menuntut secara berlebihan (melampaui batas).
وَقَدِ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَنْ قَتَلَ الْقَاتِلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ.
Para ulama telah berselisih pendapat tentang orang yang membunuh si pembunuh setelah menerima diyat.
فَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ: إِنَّهُ كَمَنْ قَتَلَ ابْتِدَاءً، إِنْ شَاءَ الْوَلِيُّ قَتَلَهُ وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ.
Sekelompok ulama di antaranya Mālik dan asy-Syāfi‘ī berpendapat: Dia seperti orang yang membunuh pertama kali; jika wali (korban yang baru) menghendaki, ia boleh membunuhnya, dan jika menghendaki, ia boleh memaafkannya.
وَقَالَ قَتَادَةُ وَعِكْرِمَةُ وَالسُّدِّيُّ وَغَيْرُهُمْ عَذَابُهُ أَنْ يُقْتَلَ أَلْبَتَّةَ، وَلَا يُمَكِّنَ الْحَاكِمُ الْوَلِيَّ مِنَ الْعَفْوِ.
Dan Qatādah, ‘Ikrimah, as-Suddī dan selain mereka berkata: Azabnya adalah bahwa ia dibunuh secara pasti, dan hakim tidak memberikan kesempatan kepada wali untuk memaafkannya.
وقال الحسن: عذابه أن يرد الدية فقط، ويبقى إثمه إلى عذاب الآخرة.
Dan al-Hasan berkata: Azabnya adalah bahwa ia hanya diwajibkan mengembalikan diyat saja, dan dosanya tetap hingga (mendapat) azab di akhirat.
وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: أَمْرُهُ إِلَى الإمام يصنع فيه ما رأى.
Dan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azīz berkata: Perkaranya diserahkan kepada imam (penguasa), ia berbuat terhadapnya sebagaimana yang ia pandang (paling tepat).
قوله: وَلَكُمْ فِي الْقِصاصِ حَياةٌ أَيْ: لَكُمْ فِي هَذَا الْحُكْمِ الَّذِي شَرَعَهُ اللَّهُ لَكُمْ حَيَاةٌ،
Firman-Nya: “Wa lakum fil-qishāṣi ḥayāt(un)” maksudnya: Bagi kalian dalam hukum yang Allah syariatkan untuk kalian ini terdapat kehidupan.
لِأَنَّ الرَّجُلَ إِذَا عَلِمَ أَنَّهُ يُقْتَلُ قِصَاصًا إِذَا قَتَلَ آخَرَ كَفَّ عَنِ الْقَتْلِ، وَانْزَجَرَ عَنِ التَّسَرُّعِ إِلَيْهِ وَالْوُقُوعِ فِيهِ،
Karena seseorang apabila mengetahui bahwa ia akan dibunuh dengan qishash apabila ia membunuh orang lain, ia akan menahan diri dari (melakukan) pembunuhan dan terhalang dari bersegera dan terjatuh ke dalamnya.
فَيَكُونُ ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الْحَيَاةِ لِلنُّفُوسِ الْإِنْسَانِيَّةِ.
Maka hal itu menjadi seperti kehidupan bagi jiwa-jiwa manusia.
وَهَذَا نَوْعٌ مِنَ الْبَلَاغَةِ بَلِيغٌ، وَجِنْسٌ مِنَ الْفَصَاحَةِ رَفِيعٌ،
Dan ini adalah satu jenis balaghah yang sangat fasih dan satu macam kefasihan bahasa yang tinggi.
فَإِنَّهُ جعل القصاص الذي هو مات حياة باعتبار ما يؤول إِلَيْهِ مِنَ ارْتِدَاعِ النَّاسِ عَنْ قَتْلِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، إِبْقَاءً عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَاسْتِدَامَةً لِحَيَاتِهِمْ
Karena Dia menjadikan qishash—yang pada lahiriahnya adalah kematian—sebagai kehidupan, dari sudut apa yang akan berujung padanya berupa tertahannya manusia dari membunuh sebagian mereka atas yang lain, demi menjaga jiwa-jiwa mereka dan melanggengkan kehidupan mereka.
وَجَعَلَ هَذَا الْخِطَابَ مُوَجَّهًا إِلَى أُولِي الْأَلْبَابِ. لِأَنَّهُمْ هُمُ الَّذِينَ يَنْظُرُونَ فِي الْعَوَاقِبِ وَيَتَحَامَوْنَ مَا فِيهِ الضَّرَرُ الْآجِلُ
Dan Dia menjadikan khithab (seruan) ini tertuju kepada “orang-orang yang berakal”, karena merekalah yang memandang kepada akibat (suatu perbuatan) dan menjauhi apa yang di dalamnya terdapat bahaya di masa mendatang.
وَأَمَّا مَنْ كَانَ مُصَابًا بِالْحُمْقِ وَالطَّيْشِ وَالْخِفَّةِ فَإِنَّهُ لَا يَنْظُرُ عِنْدَ سَوْرَةِ غَضَبهِ وَغَلَيَانِ مَرَاجِلِ طَيْشِهِ إِلَى عَاقِبَةٍ وَلَا يُفَكِّرُ فِي أَمْرِ مُسْتَقْبَلٍ،
Adapun orang yang tertimpa kebodohan, kecerobohan, dan sikap gegabah, maka ketika kobaran amarahnya membuncah dan didih ketergesaannya memuncak, ia tidak memandang akibat dan tidak memikirkan masa depan.
كَمَا قَالَ بَعْضُ فُتَّاكِهِمْ: سَأَغْسِلُ عَنِّي الْعَارَ بِالسَّيْفِ جَالِبًا … عَلَيَّ قَضَاءُ اللَّهِ مَا كَانَ جَالِبًا
Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang penjahat di antara mereka: “Aku akan menghapus aib dari diriku dengan pedang, datang menimpaku ketetapan Allah apa pun yang datang menimpaku.”
ثُمَّ عَلَّلَ سُبْحَانَهُ هَذَا الْحُكْمَ الَّذِي شَرَعَهُ لِعِبَادِهِ بِقَوْلِهِ: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيْ: تَتَحَامَوْنَ الْقَتْلَ بِالْمُحَافَظَةِ عَلَى الْقِصَاصِ فَيَكُونُ ذَلِكَ سَبَبًا لِلتَّقْوَى.
Kemudian Dia Subḥānahu memberikan alasan atas hukum yang Dia syariatkan bagi hamba-hamba-Nya ini dengan firman-Nya: “agar kalian bertakwa”, yakni: agar kalian saling menjauhi perbuatan membunuh dengan cara menjaga pelaksanaan qishash, sehingga hal itu menjadi sebab ketakwaan.
وَقَرَأَ أَبُو الْجَوْزَاءِ: وَلَكُمْ فِي الْقَصَصِ حَيَاةٌ
Dan Abū al-Jauzā’ membaca (dengan qirā’ah): “wa lakum fil-qaṣaṣi ḥayāt(un)”.
قِيلَ: أَرَادَ بِالْقَصَصِ الْقُرْآنَ، أَيْ: لَكُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ الَّذِي شَرَعَ فِيهِ الْقِصَاصَ حَيَاةٌ، أَيْ: نَجَاةٌ،
Dikatakan: Ia menghendaki dengan “qaṣaṣ” itu al-Qur’an, yakni: Bagi kalian pada Kitab Allah yang di dalamnya Dia mensyariatkan qishash terdapat kehidupan, yakni keselamatan.
وَقِيلَ: أَرَادَ حَيَاةَ الْقُلُوبِ وَقِيلَ: هُوَ مَصْدَرٌ بِمَعْنَى الْقِصَاصِ، وَالْكُلُّ ضَعِيفٌ، وَالْقِرَاءَةُ بِهِ مُنْكَرَةٌ.
Dan dikatakan: Ia menghendaki kehidupan hati; dan dikatakan pula: Itu adalah mashdar dengan makna qishash. Namun semuanya lemah, dan membaca dengan (bacaan) itu adalah bacaan yang mungkar.
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: إِنَّ حَيَّيْنِ مِنَ الْعَرَبِ اقْتَتَلُوا فِي الْجَاهِلِيَّةِ قَبْلَ الْإِسْلَامِ بِقَلِيلٍ، فَكَانَ بَيْنَهُمْ قَتْلٌ وَجِرَاحَاتٌ حَتَّى قَتَلُوا الْعَبِيدَ وَالنِّسَاءَ وَلَمْ يَأْخُذْ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ حَتَّى أَسْلَمُوا،
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair, ia berkata: Sesungguhnya ada dua kabilah dari bangsa Arab yang saling berperang pada masa Jahiliah sebelum Islam karena perkara yang remeh. Maka terjadilah di antara mereka pembunuhan dan luka-luka, hingga mereka membunuh para budak dan perempuan, dan satu pihak tidak menuntut dari pihak lain sampai mereka masuk Islam.
فَكَانَ أَحَدُ الْحَيَّيْنِ يَتَطَاوَلُ عَلَى الْآخَرِ في العدة والأموال، فحلفوا ألّا يَرْضَوْا حَتَّى يُقْتَلَ بِالْعَبْدِ مِنَّا الْحُرُّ مِنْهُمْ، وَبِالْمَرْأَةِ مِنَّا الرَّجُلُ مِنْهُمْ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ.
Salah satu dari dua kabilah itu berbuat sewenang-wenang atas yang lain dalam jumlah (korban) dan harta. Maka mereka bersumpah tidak akan rela sampai dibunuh karena budak dari pihak kami seorang merdeka dari pihak mereka, dan karena perempuan dari pihak kami seorang laki-laki dari pihak mereka. Lalu turunlah ayat ini.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ الشَّعْبِيِّ نَحْوَهُ.
Dan ‘Abd bin Ḥumaid serta Ibnu Jarīr meriwayatkan yang semisal itu dari asy-Sya‘bī.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانُوا لَا يَقْتُلُونَ الرَّجُلَ بِالْمَرْأَةِ، وَلَكِنْ يَقْتُلُونَ الرَّجُلَ بِالرَّجُلِ، وَالْمَرْأَةَ بِالْمَرْأَةِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
Dan Ibnu Jarīr, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abī Ḥātim, dan al-Baihaqī dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Dulu mereka tidak membunuh laki-laki karena (membunuh) perempuan, tetapi mereka membunuh laki-laki karena (membunuh) laki-laki dan perempuan karena (membunuh) perempuan. Maka Allah menurunkan (ayat): “jiwa (dibalas) dengan jiwa”,
فَجَعَلَ الْأَحْرَارَ فِي الْقِصَاصِ سَوَاءً فِيمَا بَيْنَهُمْ فِي الْعَمْدِ رِجَالُهُمْ وَنِسَاءُهُمْ فِي النَّفْسِ وَفِيمَا دُونَ النَّفْسِ، وَجَعَلَ الْعَبِيدَ مُسْتَوِينَ فِي الْعَمْدِ فِي النَّفْسِ وَفِيمَا دُونَ النَّفْسِ رِجَالُهُمْ وَنِسَاءُهُمْ.
lalu Dia menjadikan orang-orang merdeka sama dalam qishash di antara mereka pada pembunuhan sengaja, baik laki-laki maupun perempuan mereka, dalam hal jiwa dan selain jiwa. Dan Dia menjadikan para budak sama dalam pembunuhan sengaja, dalam hal jiwa dan selain jiwa, baik laki-laki maupun perempuan mereka.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنْ أَبِي مَالِكٍ قَالَ: كَانَ بَيْنَ حَيَّيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ قِتَالٌ كَانَ لِأَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ الطَّوْلُ فَكَأَنَّهُمْ طَلَبُوا الْفَضْلَ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمْ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ:
Dan Ibnu Jarīr serta Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abū Mālik, ia berkata: Dulu ada peperangan antara dua kabilah Anshar. Salah satunya memiliki kelebihan (kemenangan/kelebihan tuntutan) atas yang lain, maka seakan-akan mereka menuntut tambahan (balasan). Lalu datanglah Nabi صلى الله عليه وسلم untuk mendamaikan di antara mereka, maka turunlah ayat ini:
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثى بِالْأُنْثى
“Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan perempuan dengan perempuan.”
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَنَسَخَتْهَا النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
Ibnu ‘Abbās berkata: Maka ayat “jiwa (dibalas) dengan jiwa” menasakh ayat tersebut.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ وَالْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ قَالَ: هُوَ الْعَمْدُ رَضِيَ أَهْلُهُ بِالْعَفْوِ.
Dan ‘Abd bin Ḥumaid, Ibnu Jarīr, al-Hākim—dan ia menshahihkannya—serta al-Baihaqī dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “fa man ‘ufiya lahu”, ia berkata: Itu (berkaitan dengan) pembunuhan sengaja, di mana para ahli waris ridha dengan pemaafan.
فَاتِّباعٌ بِالْمَعْرُوفِ أَمَرَ بِهِ الطَّالِبَ وَأَداءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسانٍ مِنَ الْقَابِلِ، قَالَ: يُؤَدِّي الْمَطْلُوبَ بِإِحْسَانٍ.
“Maka (hendaklah) tuntutan dengan cara yang baik” — Allah memerintahkannya bagi pihak yang menuntut; “dan (kewajiban) membayar kepada (yang memberi maaf) dengan cara yang baik” — dari pihak yang menerima (pemaafan). Ibnu ‘Abbās berkata: Hendaklah ia menunaikan apa yang dituntut dengan cara yang baik.
ذلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ مِمَّا كَانَ عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ.
“Itu adalah keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat” dibandingkan dengan (hukum) yang berlaku atas Banī Isrā’īl.
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ.
Dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan semisalnya darinya (Ibnu ‘Abbās) melalui jalur lain.
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: كَانَ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ الْقِصَاصُ وَلَمْ تَكُنِ الدِّيَةُ فِيهِمْ، فَقَالَ اللَّهُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ: كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصاصُ فِي الْقَتْلى إِلَى قَوْلِهِ: فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ
Dan al-Bukhārī dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Di kalangan Banī Isrā’īl dahulu hanya ada qishash dan tidak ada diyat di tengah mereka. Maka Allah berfirman untuk umat ini: “Diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” hingga firman-Nya: “maka siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya sedikit pun...”
فَالْعَفْوُ: أَنْ تَقْبَلَ الدِّيَةَ فِي الْعَمْدِ فَاتِّباعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَداءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسانٍ ذلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ مِمَّا كَتَبَ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Maka pemaafan itu adalah bahwa engkau menerima diyat dalam kasus pembunuhan sengaja. ‘(Maka hendaklah) tuntutan dengan cara yang baik dan pembayaran kepadanya dengan cara yang baik, itulah keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat’ dibandingkan dengan apa yang Dia wajibkan atas orang-orang sebelum kalian.”
فَمَنِ اعْتَدى بَعْدَ ذلِكَ قِيلَ: بَعْدَ قَبُولِ الدِّيَةِ فَلَهُ عَذابٌ أَلِيمٌ
“Maka siapa yang melampaui batas setelah itu”—dikatakan: maksudnya setelah menerima diyat—“maka baginya azab yang pedih.”
وَأَخْرَجَ ابن جرير عن قتادة قال: كان في أَهْلُ التَّوْرَاةِ إِنَّمَا هُوَ الْقِصَاصُ أَوِ الْعَفْوُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا أَرْشٌ، وَكَانَ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ إِنَّمَا هُوَ الْعَفْوُ أُمِرُوا بِهِ، وَجَعَلَ اللَّهُ لِهَذِهِ الأمة القتل والعفو والدية إن شاؤوا، أَحَلَّهَا لَهُمْ وَلَمْ تَكُنْ لِأُمَّةٍ قَبْلَهُمْ.
Dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Qatādah, ia berkata: Pada kalangan pemeluk Taurat, (pilihannya) hanyalah qishash atau pemaafan; tidak ada di antara keduanya ganti rugi (arsh). Dan pada kalangan pemeluk Injil, (yang ditetapkan) hanyalah pemaafan; mereka diperintah dengannya. Adapun Allah menjadikan bagi umat ini (pilihan) pembunuhan (qishash), pemaafan, dan diyat, jika mereka menghendaki. Dia menghalalkannya bagi mereka, dan tidak pernah ada (tiga pilihan ini) bagi umat sebelum mereka.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَحْمَدُ وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبَلٍ فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ، وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا أَبَدًا» .
Dan ‘Abdur Razzāq, Ibnu Abī Syaibah, Aḥmad, Ibnu Abī Ḥātim, dan al-Baihaqī meriwayatkan dari Abū Syuraiḥ al-Khuzā‘ī, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barang siapa tertimpa (musibah) pembunuhan atau luka (cacat), maka ia berhak memilih salah satu dari tiga: boleh menuntut qishash, boleh memaafkan, atau boleh mengambil diyat. Jika ia hendak (menuntut) yang keempat, maka cegahlah ia (paksa untuk tidak melampaui). Dan barang siapa melampaui batas setelah itu, maka baginya Neraka Jahanam, kekal di dalamnya selama-lamanya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ قَتَادَةَ: أَنَّهُ إِذَا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ فَلَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ قَالَ: فَعَلَيْهِ الْقَتْلُ لَا تُقْبَلُ مِنْهُ الدِّيَةُ.
Dan Ibnu Jarīr serta Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Qatādah, bahwa jika ia (wali) membunuh setelah menerima diyat, maka baginya azab yang besar. Ia berkata: Maka atasnya dikenakan hukuman bunuh, dan tidak diterima lagi diyat darinya.
قَالَ وَذُكِرَ لَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «لَا أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ»
Ia berkata: Dan diceritakan kepada kami bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku tidak akan memberikan keringanan bagi seorang lelaki yang membunuh setelah (korban) menerima diyat.”
وَأَخْرَجَ سَمُّوَيْهِ فِي فَوَائِدِهِ، عَنْ سَمُرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، فَذَكَرَ مِثْلَهُ.
Dan Sammūyah meriwayatkan dalam kitab al-Fawā’id-nya dari Samurah, ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, lalu ia menyebutkan semisal itu.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّهُ قَالَ: يَقْتُلُ.
Dan Ibnu Abī Syaibah meriwayatkan dari ‘Ikrimah, bahwa ia berkata: “(Pelakunya) dibunuh.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: وَلَكُمْ فِي الْقِصاصِ حَياةٌ قَالَ: جَعَلَ اللَّهُ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةً، وَنَكَالًا، وَعِظَةً إِذَا ذَكَرَهُ الظَّالِمُ الْمُعْتَدِي كَفَّ عَنِ الْقَتْلِ.
Dan ‘Abdur Razzāq serta Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Dan bagi kalian pada (penerapan) qishash itu ada kehidupan”, ia berkata: Allah menjadikan pada qishash itu kehidupan, hukuman yang menakutkan, dan pelajaran; jika pelaku kezhaliman yang melampaui batas mengingatnya, ia akan menahan diri dari pembunuhan.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ زَيْدٍ فِي قَوْلِهِ: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ قَالَ: لَعَلَّكَ تَتَّقِي أَنْ تَقْتُلَهُ فَتُقْتَلَ بِهِ.
Dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu Zaid tentang firman-Nya: “agar kalian bertakwa”, ia berkata: Agar engkau bertakwa (berhati-hati) untuk tidak membunuhnya lalu engkau dibunuh karena (membunuh)nya.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ في قوله: يا أُولِي الْأَلْبابِ قَالَ: مَنْ كَانَ لَهُ لُبٌّ يَذْكُرُ الْقِصَاصَ فَيَحْجِزُهُ خَوْفُ الْقِصَاصِ عَنِ الْقَتْلِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ قَالَ: لِكَيْ تَتَّقُوا الدِّمَاءَ مَخَافَةَ الْقِصَاصِ.
Dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair tentang firman-Nya: “wahai orang-orang yang berakal”, ia berkata: Yaitu orang yang memiliki akal, yang mengingat qishash, lalu rasa takut terhadap qishash itu menghalanginya dari perbuatan membunuh. Tentang firman-Nya: “agar kalian bertakwa”, ia berkata: Agar kalian menjaga diri dari (menumpahkan) darah karena takut terhadap qishash. ------------------------------------------ Catatan kaki:
1 الْكَهْف: 64.
2 الْمَائِدَة: 45.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7