Al Baqarah Ayat 172-173
[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٧٢ إِلَى ١٧٣]
[Surat Al-Baqarah (2): ayat 172 sampai 173] ---
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴿١٧٢﴾
Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami anugerahkan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿١٧٣﴾
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan disebut selain nama Allah.
Akan tetapi, siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
---
قَوْلُهُ: كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ هٰذَا تَأْكِيدٌ لِلْأَمْرِ الْأَوَّلِ، أَعْنِي قَوْلَهُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا،
Firman-Nya: “Makanlah dari yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian” ini adalah penegasan terhadap perintah yang pertama, yaitu firman-Nya: “Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik.”
وَإِنَّمَا خَصَّ الْمُؤْمِنِينَ هُنَا لِكَوْنِهِمْ أَفْضَلَ أَنْوَاعِ النَّاسِ.
Dan Dia mengkhususkan (seruan ini kepada) orang-orang beriman di sini karena mereka adalah jenis manusia yang paling utama.
قِيلَ: وَالْمُرَادُ بِالْأَكْلِ: الِانْتِفَاعُ،
Dikatakan: yang dimaksud dengan “makan” di sini adalah mengambil manfaat.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِهِ: الْأَكْلُ الْمُعْتَادُ، وَهُوَ الظَّاهِرُ.
Ada pula yang mengatakan: yang dimaksud adalah makan secara lahiriah sebagaimana kebiasaan, dan itulah makna yang tampak (lebih kuat).
قَوْلُهُ: وَاشْكُرُوا لِلَّهِ قَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ يُقَالُ: شَكَرَهُ وَشَكَرَ لَهُ، يَتَعَدَّى بِنَفْسِهِ وَبِالْحَرْفِ.
Firman-Nya: “Dan bersyukurlah kepada Allah.” Telah berlalu penjelasan bahwa dikatakan: “syakarahu” dan “syakara lahu”; kata kerja ini bisa digunakan langsung (tanpa huruf) dan bisa pula dengan huruf (jar).
وَقَوْلُهُ: إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ أَيْ: تَخُصُّونَهُ بِالْعِبَادَةِ، كَمَا يُفِيدُهُ تَقَدُّمُ الْمَفْعُولِ.
Firman-Nya: “Jika hanya kepada-Nya kalian menyembah” maksudnya: kalian mengkhususkan ibadah kepada-Nya semata, sebagaimana ditunjukkan oleh didahulukannya maf‘ul (kata ganti “إِيَّاهُ”) atas kata kerjanya.
قَوْلُهُ: إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ، قَرَأَ أَبُو جَعْفَرٍ: «حُرِّمَ عَلَيْكُمُ» عَلَى الْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ،
Firman-Nya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atas kalian bangkai …” Abu Ja‘far membacanya: “ḥurrima ‘alaikum” (telah diharamkan atas kalian), dengan bentuk fi‘l yang dibangun untuk maf‘ul (bentuk pasif).
وَ«إِنَّمَا» كَلِمَةٌ مَوْضُوعَةٌ لِلْحَصْرِ، تُثْبِتُ مَا تَنَاوَلَهُ الْخِطَابُ وَتَنْفِي مَا عَدَاهُ.
Kata “إِنَّمَا” adalah ungkapan yang diletakkan untuk pembatasan; ia menetapkan apa yang disebut dalam kalimat dan menafikan selainnya.
وَقَدْ حَصَرَتْ هٰهُنَا التَّحْرِيمَ فِي الْأُمُورِ الْمَذْكُورَةِ بَعْدَهَا.
Di sini, kata itu membatasi keharaman hanya pada perkara-perkara yang disebutkan setelahnya.
وَقَوْلُهُ: «الْمَيْتَةَ» قَرَأَ ابْنُ أَبِي عَبْلَةَ بِالرَّفْعِ،
Firman-Nya: “al-maytah” (bangkai), Ibnu Abī ‘Ablah membacanya dengan rafa‘ (al-maytatu).
وَوَجْهُ ذٰلِكَ أَنَّهُ يَجْعَلُ مَا فِي «إِنَّمَا» مَوْصُولَةً مُنْفَصِلَةً فِي الْخَطِّ، وَ«الْمَيْتَةُ» وَمَا بَعْدَهَا خَبَرَ الْمَوْصُولِ،
Penjelasannya: ia menjadikan “mā” dalam “innamā” sebagai isim maushūl (kata sambung) yang terpisah dalam tulisan, dan “al-maytatu” beserta yang setelahnya menjadi khabar (berita) bagi kata maushūl tersebut.
وَقِرَاءَةُ الْجَمِيعِ بِالنَّصْبِ.
Sedangkan bacaan mayoritas (qurrā’) adalah dengan nashab (al-maytata).
وَقَرَأَ أَبُو جَعْفَرِ بْنُ الْقَعْقَاعِ «الْمَيِّتَةَ» بِتَشْدِيدِ الْيَاءِ،
Abu Ja‘far bin Al-Qa‘qā‘ membaca “al-mayyitah” dengan tasydīd pada huruf yā’.
وَقَدْ ذَكَرَ أَهْلُ اللُّغَةِ أَنَّهُ يَجُوزُ فِي «مَيِّتٍ» التَّخْفِيفُ وَالتَّشْدِيدُ.
Para ahli bahasa menyebutkan bahwa pada kata “mayyit” dibolehkan bacaan diringankan maupun dibaca dengan tasydīd.
وَالْمَيْتَةُ: مَا فَارَقَهَا الرُّوحُ مِنْ غَيْرِ ذَكَاةٍ.
Adapun “al-maytah” (bangkai) adalah setiap (hewan) yang ruhnya berpisah (mati) tanpa disembelih secara syar‘i.
وَقَدْ خُصِّصَ هٰذَا الْعُمُومُ بِمِثْلِ حَدِيثِ: «أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ»،
Keumuman (lafaz) ini telah dikhususkan dengan hadis: “Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah.”
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ، وَابْنُ مَاجَهْ، وَالدَّارَقُطْنِيُّ، وَالْحَاكِمُ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنِ ابْنِ عُمَرَ مَرْفُوعًا.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Mājah, Ad-Dāraquthnī, Al-Ḥākim, dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu ‘Umar secara marfū‘ (sampai kepada Nabi).
وَمِثْلُ حَدِيثِ جَابِرٍ فِي «الْعَنْبَرِ» الثَّابِتِ فِي «الصَّحِيحَيْنِ»، مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى: أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ3،
Demikian pula hadis Jābir tentang (bangkai) “al-‘anbar” (seekor ikan besar) yang sahih dalam dua kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim), bersama firman-Nya Ta‘ālā: “Dihalalkan bagi kalian hewan buruan laut”3,
فَالْمُرَادُ بِالْمَيْتَةِ هُنَا: مَيْتَةُ الْبَرِّ لَا مَيْتَةُ الْبَحْرِ.
maka yang dimaksud dengan “bangkai” di sini adalah bangkai hewan darat, bukan bangkai hewan laut.
وَقَدْ ذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى جَوَازِ أَكْلِ جَمِيعِ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ حَيِّهَا وَمَيِّتِهَا.
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya memakan seluruh jenis hewan laut, baik dalam keadaan hidup maupun bangkainya.
وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ: إِنَّهُ يَحْرُمُ مِنْ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ مَا يَحْرُمُ شَبَهُهُ فِي الْبَرِّ،
Sebagian ulama berkata: di antara hewan laut ada yang haram, yaitu yang serupa dengan hewan darat yang haram dimakan.
وَتَوَقَّفَ ابْنُ حَبِيبٍ فِي خِنْزِيرِ الْمَاءِ.
Ibnu Ḥabīb bersikap tawaqquf (berhenti, tidak memastikan hukum) tentang “babi laut”.
وَقَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: وَأَنَا أَتَّقِيهِ، وَلَا أَرَاهُ حَرَامًا.
Ibnu Al-Qāsim berkata: “Aku menghindarinya, namun aku tidak memandangnya haram.”
وَقَوْلُهُ: «وَالدَّمَ» قَدِ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الدَّمَ حَرَامٌ،
Firman-Nya: “dan darah”; para ulama telah sepakat bahwa darah itu haram.
وَفِي الْآيَةِ الْأُخْرَى: «أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا»4، فَيُحْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ،
Dan dalam ayat yang lain (Allah berfirman): “atau darah yang mengalir”4, maka lafaz yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad (ada sifat pengikatnya).
لِأَنَّ مَا خُلِطَ بِاللَّحْمِ غَيْرُ مُحَرَّمٍ، قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: بِالْإِجْمَاعِ.
Karena darah yang bercampur dengan daging itu tidak haram; Al-Qurthubī berkata: “(Hal itu) berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama).”
وَقَدْ رَوَتْ عَائِشَةُ أَنَّهَا كَانَتْ تَطْبُخُ اللَّحْمَ، فَتَعْلُو الصُّفْرَةُ عَلَى الْبُرْمَةِ مِنَ الدَّمِ، فَيَأْكُلُ ذٰلِكَ النَّبِيُّ ﷺ وَلَا يُنْكِرُهُ.
Dan ‘Āisyah meriwayatkan bahwa ia dahulu memasak daging, lalu nampak warna kekuningan (bekas darah) di atas panci, maka Nabi ﷺ memakan (masakan) itu dan tidak mengingkarinya.
وَقَوْلُهُ: «وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ» ظَاهِرُ هٰذِهِ الْآيَةِ وَالْآيَةِ الْأُخْرَى – أَعْنِي قَوْلَهُ تَعَالَى: «قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ»5 –
Firman-Nya: “dan daging babi”; zhahir ayat ini dan ayat lainnya – yakni firman-Nya Ta‘ālā: “Katakanlah, ‘Aku tidak mendapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau (makanan itu) bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi’”5 –
أَنَّ الْمُحَرَّمَ إِنَّمَا هُوَ اللَّحْمُ فَقَطْ.
menunjukkan bahwa yang diharamkan hanyalah dagingnya saja.
وَقَدْ أَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى تَحْرِيمِ شَحْمِهِ، كَمَا حَكَاهُ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ.
Namun umat telah berijmak atas keharaman lemak babi, sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubī dalam tafsirnya.
وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ «اللَّحْمَ» يَدْخُلُ تَحْتَهُ «الشَّحْمُ».
Dan sekelompok ulama menyebutkan bahwa istilah “lahm” (daging) mencakup di dalamnya “syahm” (lemak).
وَحَكَى الْقُرْطُبِيُّ الْإِجْمَاعَ أَيْضًا عَلَى أَنَّ جُمْلَةَ الْخِنْزِيرِ مُحَرَّمَةٌ إِلَّا الشَّعَرَ، فَإِنَّهُ تُجَازُ الْخِرَازَةُ بِهِ.
Al-Qurthubī juga menukil ijmak bahwa seluruh bagian babi itu haram, kecuali bulunya; karena boleh digunakan untuk menjahit (kulit dan semisalnya).
وَقَوْلُهُ: «وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ» الْإِهْلَالُ: رَفْعُ الصَّوْتِ، يُقَالُ: أَهَلَّ بِكَذَا، أَيْ: رَفَعَ صَوْتَهُ.
Firman-Nya: “dan (hewan) yang disembelih dengan disebut selain nama Allah.”
“Ihlāl” secara bahasa berarti mengangkat suara. Dikatakan: “ahlَّa bi kadzā”, yaitu: ia mengangkat suaranya (dengan menyebut sesuatu).
قَالَ الشَّاعِرُ يَصِفُ فَلَاةً:
Seorang penyair berkata menggambarkan sebuah padang pasir:
يُهِلُّ بِالْفَرْقَدِ رُكْبَانُهَا … كَمَا يُهِلُّ الرَّاكِبُ الْمُعْتَمِرُ
“Para pengendara di padang itu mengangkat suara menyeru (bintang) Farqad,
sebagaimana orang yang berkendara untuk umrah mengangkat suaranya (bertalbiyah).”
وَقَالَ النَّابِغَةُ:
Dan An-Nābighah berkata:
أَوْ دُرَّةٍ صَدَفِيَّةٍ غَوَّاصُهَا … بَهِجٌ مَتَى يَرَهَا يُهِلَّ وَيَسْجُدِ
“Atau seperti mutiara yang masih dalam cangkangnya,
penyelamnya begitu gembira, ketika melihatnya ia pun mengangkat suara dan bersujud.”
وَمِنْهُ: إِهْلَالُ الصَّبِيِّ، وَاسْتِهْلَالُهُ، وَهُوَ: صِيَاحُهُ عِنْدَ وِلَادَتِهِ.
Dari akar kata yang sama: “ihlāl ash-shabī” dan “istihlāluh”, yaitu tangisan bayi ketika dilahirkan.
وَالْمُرَادُ هُنَا: مَا ذُكِرَ عَلَيْهِ اسْمُ غَيْرِ اللَّهِ كَاللَّاتِ وَالْعُزَّى إِذَا كَانَ الذَّابِحُ وَثَنِيًّا، وَالنَّارِ إِذَا كَانَ الذَّابِحُ مَجُوسِيًّا.
Yang dimaksud di sini adalah hewan yang disebut atasnya nama selain Allah, seperti Lāt dan ‘Uzzā jika penyembelihnya seorang penyembah berhala, atau (disebut) api jika penyembelihnya seorang Majusi.
وَلَا خِلَافَ فِي تَحْرِيمِ هٰذَا وَأَمْثَالِهِ،
Tidak ada perbedaan pendapat tentang keharaman ini dan yang semisalnya.
وَمِثْلُهُ مَا يَقَعُ مِنَ الْمُعْتَقِدِينَ لِلْأَمْوَاتِ مِنَ الذَّبْحِ عَلَى قُبُورِهِمْ، فَإِنَّهُ مِمَّا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذَّبْحِ لِلْوَثَنِ.
Dan semisal itu adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang meyakini (keramat) orang-orang mati, berupa menyembelih (hewan) di atas kuburan mereka; itu termasuk apa yang diihlal-kan (disebutkan) untuk selain Allah, dan tidak ada perbedaan antara itu dengan menyembelih untuk berhala.
قَوْلُهُ: «فَمَنِ اضْطُرَّ» قُرِئَ بِضَمِّ النُّونِ لِلْإِتْبَاعِ، وَبِكَسْرِهَا عَلَى الْأَصْلِ فِي الْتِقَاءِ السَّاكِنَيْنِ،
Firman-Nya: “Maka siapa yang dalam keadaan terpaksa …”; kata “manidḍurra” dibaca dengan ḍammah pada nūn sebagai bentuk ittibā‘ (menyesuaikan bacaan), dan dibaca dengan kasrah sesuai kaidah asal saat bertemunya dua huruf sukun.
وَفِيهِ إِضْمَارٌ، أَيْ: فَمَنِ اضْطُرَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ هٰذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ.
Dalam ungkapan ini terdapat penghapusan (kata), yakni: “Siapa yang terpaksa kepada sesuatu dari makanan-makanan yang diharamkan ini.”
وَقَرَأَ ابْنُ مُحَيْصِنٍ بِإِدْغَامِ الضَّادِ فِي الطَّاءِ، وَقَرَأَ أَبُو السَّمَّالِ بِكَسْرِ الطَّاءِ.
Ibnu Muḥaiṣin membaca dengan mengidghām-kan (menggabungkan) huruf ḍād ke dalam ṭā’, sedangkan Abū As-Sammāl membaca dengan kasrah pada huruf ṭā’.
وَالْمُرَادُ: مَنْ صَيَّرَهُ الْجُوعُ وَالْعَدَمُ إِلَى الِاضْطِرَارِ إِلَى الْمَيْتَةِ.
Yang dimaksud adalah orang yang kelaparan dan kekurangan membuatnya sampai pada keadaan terpaksa memakan bangkai.
وَقَوْلُهُ: «غَيْرَ بَاغٍ» نُصِبَ عَلَى الْحَالِ.
Firman-Nya: “sedang ia tidak menginginkannya (ghaira bāghin)”, kata ini berstatus manshūb sebagai ḥāl (keterangan keadaan).
قِيلَ: الْمُرَادُ بِالْبَاغِي: مَنْ يَأْكُلُ فَوْقَ حَاجَتِهِ، وَ«الْعَادِي»: مَنْ يَأْكُلُ هٰذِهِ الْمُحَرَّمَاتِ وَهُوَ يَجِدُ عَنْهَا مَنْدُوحَةً.
Dikatakan: yang dimaksud dengan “bāghī” (melampaui batas) adalah orang yang makan melebihi kebutuhannya, dan “‘ādī” (orang yang melampaui batas) adalah orang yang memakan makanan-makanan haram ini padahal ia masih mendapatkan pengganti selainnya.
وَقِيلَ: «غَيْرَ بَاغٍ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَعَادٍ عَلَيْهِمْ»، فَيَدْخُلُ فِي الْبَاغِي وَالْعَادِي: قُطَّاعُ الطَّرِيقِ، وَالْخَارِجُ عَلَى السُّلْطَانِ، وَقَاطِعُ الرَّحِمِ، وَنَحْوُهُمْ.
Ada pula yang mengatakan: maksudnya adalah “tidak bermaksud memberontak atas kaum Muslimin dan tidak melampaui batas terhadap mereka.” Maka termasuk dalam kategori “bāghī” dan “‘ādī” adalah para perampok jalanan, pemberontak terhadap penguasa, pemutus tali silaturahmi, dan semisal mereka.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ: «غَيْرَ بَاغٍ عَلَى مُضْطَرٍّ آخَرَ، وَلَا عَادٍ سَدَّ الْجَوْعَةَ».
Dan ada juga yang mengatakan: maksudnya adalah “tidak mengganggu orang lain yang sama-sama dalam keadaan terpaksa, dan tidak melampaui kadar yang sekadar menghilangkan lapar.”
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فِي قَوْلِهِ: «كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ» قَالَ: مِنَ الْحَلَالِ.
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair tentang firman-Nya: “Makanlah dari yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian”, ia berkata: “(Maksudnya) dari yang halal.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ سَعْدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّ الْمُرَادَ بِمَا فِي الْآيَةِ: طَيِّبُ الْكَسْبِ، لَا طَيِّبُ الطَّعَامِ.
Ibnu Sa‘d meriwayatkan dari ‘Umar bin ‘Abdil-‘Azīz bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah baiknya cara memperoleh (rezeki), bukan hanya baiknya jenis makanan.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الضَّحَّاكِ: أَنَّهَا حَلَالُ الرِّزْقِ.
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Adh-Ḍaḥḥāk bahwa (yang dimaksud dengan “ṭayyibāt”) adalah rezeki yang halal.
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَمُسْلِمٌ، وَالتِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
Ahmad, Muslim, At-Tirmiżī, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا،
“Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ،
Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman sebagaimana Dia perintahkan kepada para rasul.
فَقَالَ: يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ6،
Lalu Dia berfirman: ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah saleh; sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan’6,
وَقَالَ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ7».
dan Dia juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian’7.”
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ، أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ؟».
Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut dan tubuhnya berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku”, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram; maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَمَا أُهِلَّ» قَالَ: ذُبِحَ.
Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “dan (hewan) yang di-ihlāl-kan”, ia berkata: “(Maksudnya) yang disembelih.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ قَالَ: «وَمَا أُهِلَّ لِلطَّوَاغِيتِ».
Ibnu Jarīr meriwayatkan darinya, ia berkata: “(Maksudnya) yang di-ihlāl-kan untuk thāghūt (sesembahan selain Allah).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: «ذُبِحَ لِغَيْرِ اللَّهِ».
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Mujāhid, ia berkata: “(Maksudnya) disembelih untuk selain Allah.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ قَالَ: «مَا ذُكِرَ عَلَيْهِ اسْمُ غَيْرِ اللَّهِ».
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Abul-‘Āliyah, ia berkata: “(Yaitu) setiap yang disebut atasnya nama selain Allah.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ» يَقُولُ: مَنْ أَكَلَ شَيْئًا مِنْ هٰذِهِ وَهُوَ مُضْطَرٌّ فَلَا حَرَجَ، وَمَنْ أَكَلَهُ وَهُوَ غَيْرُ مُضْطَرٍّ فَقَدْ بَغَى وَاعْتَدَى.
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas”, ia berkata: “Siapa yang memakan sesuatu dari (makanan-makanan) ini dalam keadaan terpaksa, maka tidak berdosa; tetapi siapa yang memakannya dalam keadaan tidak terpaksa, sungguh ia telah berbuat aniaya dan melampaui batas.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: «غَيْرَ بَاغٍ» قَالَ: فِي الْمَيْتَةِ، «وَلَا عَادٍ» قَالَ: فِي الْأَكْلِ.
Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan darinya tentang firman-Nya: “tidak menginginkannya”, ia berkata: “(Maksudnya) dalam (memakan) bangkai”; dan tentang “tidak melampaui batas”, ia berkata: “(Maksudnya) dalam kadar makannya.”
وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ» قَالَ: «غَيْرَ بَاغٍ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَا مُعْتَدٍ عَلَيْهِمْ،
Sa‘īd bin Manṣūr, Ibnu Abī Syaibah, ‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Mujāhid tentang firman-Nya: “tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas”, ia berkata: “(Maksudnya) tidak bermaksud berbuat aniaya kepada kaum Muslimin dan tidak melampaui batas terhadap mereka.
فَمَنْ خَرَجَ يَقْطَعُ الرَّحِمَ، أَوْ يَقْطَعُ السَّبِيلَ، أَوْ يُفْسِدُ فِي الْأَرْضِ، أَوْ مُفَارِقًا لِلْجَمَاعَةِ وَالْأَئِمَّةِ، أَوْ خَرَجَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَاضْطُرَّ إِلَى الْمَيْتَةِ لَمْ تَحِلَّ لَهُ».
Maka siapa yang keluar (bepergian) untuk memutuskan silaturahmi, atau merampok di jalan, atau berbuat kerusakan di bumi, atau memisahkan diri dari jamaah dan para imam, atau keluar dalam rangka maksiat kepada Allah, lalu ia dalam perjalanan itu terpaksa (harus) memakan bangkai, maka bangkai itu tidak menjadi halal baginya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: «الْعَادِي: الَّذِي يَقْطَعُ الطَّرِيقَ».
Ibnu Abī Ḥātim dan Abū Asy-Syaikh meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair, ia berkata: “‘Ādī (yang melampaui batas) adalah orang yang merampok di jalan (memutus jalan).”
وَقَوْلُهُ: «فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ» يَعْنِي فِي أَكْلِهِ: «إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ» لِمَنْ أَكَلَ مِنَ الْحَرَامِ، رَحِيمٌ بِهِ، إِذْ أَحَلَّ لَهُ الْحَرَامَ فِي الِاضْطِرَارِ.
Firman-Nya: “maka tidak ada dosa atasnya” maksudnya dalam (perbuatan) makannya itu. “Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” bagi orang yang memakan (makanan haram) dalam keadaan terpaksa; Dia Maha Penyayang kepadanya karena menghalalkan yang haram baginya pada saat darurat.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ: «فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ» قَالَ: «غَيْرَ بَاغٍ فِي أَكْلِهِ، وَلَا عَادٍ يَتَعَدَّى الْحَلَالَ إِلَى الْحَرَامِ، وَهُوَ يَجِدُ عَنْهُ بُلْغَةً وَمَنْدُوحَةً».
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “Maka siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas”, ia berkata: “(Maksudnya) tidak berlebih-lebihan dalam makannya, dan tidak melampaui (batas) dari yang halal menuju yang haram padahal ia masih mendapatkan sesuatu yang mencukupi dan dapat menjadi pengganti dari yang haram itu.”
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيّ – ج ١ (ص: ١٩٦–١٩٧)
Fath Al-Qadīr karya Asy-Syaukānī – Jilid 1 (hlm. 196–197)
---
1 QS. Al-Baqarah: 174.
2 QS. Al-Baqarah: 175.
3 QS. Al-Mā’idah: 96.
4 QS. Al-An‘ām: 145.
5 QS. Al-An‘ām: 145.
6 QS. Al-Mu’minūn: 51.
7 QS. Al-Baqarah: 172.