Al Baqarah Ayat 17-18
[سُورَةُ البَقَرَةِ (2) : الآيَاتُ 17 إِلَى 18]
[Surat Al-Baqarah (2): Ayat 17–18] ---
مَثَلُهُمْ مُرْتَفِعٌ بِالِابْتِدَاءِ، وَخَبَرُهُ إِمَّا الْكَافُ فِي قَوْلِهِ: كَمَثَلِ، لِأَنَّهَا اسْمٌ: أَيْ مَثَلُ مَثَلٍ، كَما فِي
Kata “مَثَلُهُمْ” ber-i‘rab rafa‘ sebagai mubtada (subjek), dan khabarnya (predikatnya) bisa jadi adalah huruf kāf pada firman-Nya “كَمَثَلِ”, karena kāf di sini berfungsi sebagai isim (kata benda), yaitu bermakna “seperti suatu perumpamaan”, sebagaimana dalam contoh:قَوْلِ الأَعْشَى:
Seperti ucapan (syair) Al-A‘syā: ---أَتَنْتَهُونَ وَلَنْ يَنْهَى ذَوِي شَطَطٍ … كَالطَّعْنِ يَذْهَبُ فِيهِ الزَّيْتُ وَالْفَتْلُ
“Apakah kalian akan berhenti, padahal orang-orang yang melampaui batas tidak akan berhenti, seperti tikaman, di mana minyak dan pilinan tali itu hilang (karena kerasnya tikaman).” ---وَقَوْلِ امْرِئِ الْقَيْسِ:
Dan ucapan Imru’ul-Qais: ---وَرُحْنَا بِكَابِنِ الْماءِ يُجْنَبُ وَسْطَنَا … تُصَوَّبُ فِيهِ الْعَيْنُ طَوْرًا وَتَرْتَقِي
“Kami kembali (dari perjalanan) dengan seekor kuda yang seperti permukaan air, yang dijauhkan dari (cedera di) tengah-tengah kami; pandangan mata terkadang turun ke arahnya dan terkadang naik (mengikutinya).” ---أَرادَ مِثْلَ الطَّعْنِ، وَبِمِثْلِ ابْنِ الْماءِ.
Yang dimaksud (dari dua syair itu) adalah: “seperti” tikaman, dan “seperti” kuda yang dijuluki “anak air” (ibn al-mā’). ---وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْخَبَرُ مَحْذُوفًا: أَيْ مَثَلُهُمْ مُسْتَنِيرٌ كَمَثَلِ … فَالْكَافُ عَلى هٰذا حَرْفٌ.
Dan boleh juga khabar (predikat) diperkirakan (maḥżūf), misalnya: “Perumpamaan mereka itu bercahaya seperti perumpamaan…”, sehingga kāf di sini berfungsi sebagai huruf (ḥarf) semata. ---وَالْمَثَلُ: الشَّبَهُ، وَالْمِثْلانِ: الْمُتَشابِهانِ.
“Matsal” adalah keserupaan (perumpamaan), sedangkan “mithlān” adalah dua hal yang serupa. ---وَ«الَّذِي» مَوْضُوعٌ مَوْضِعَ «الَّذِينَ»: أَيْ كَمَثَلِ الَّذِينَ، أَيْ كَمَثَلِ الَّذِينَ اسْتَوْقَدُوا.
Dan kata “الَّذِي” di sini digunakan menggantikan “الَّذِينَ”, sehingga maknanya: “seperti hal orang-orang yang menyalakan api”. ---وَذٰلِكَ مَوْجُودٌ فِي كَلامِ الْعَرَبِ، كَقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Hal seperti ini terdapat dalam ucapan orang-orang Arab, seperti ucapan penyair: ---وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ بِفَلَجٍ دِمَاؤُهُمْ … هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمِ يا أُمَّ خالِدِ
“Sesungguhnya orang-orang yang darahnya tertumpah di Falaj itu, merekalah kaum – seluruh kaum – wahai Ummu Khālid.” ---وَمِنْهُ: «وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خاضُوا»1،
Dan di antaranya adalah firman Allah: “Dan kalian terjun (ke dalam kemaksiatan) seperti orang yang telah terjun sebelumnya.”1 ---وَمِنْهُ: «وَالَّذِي جاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ»2.
Dan di antaranya pula firman-Nya: “Dan orang yang datang dengan membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”2 ---وَوُقُودُ النَّارِ: سُطُوعُها وَارْتِفاعُ لَهَبِها،
“Wuqūd an-nār” adalah berkobarnya api dan tingginya nyala apinya. ---وَ«اسْتَوْقَدَ» بِمَعْنى «أَوْقَدَ»، مِثْلُ «اسْتَجابَ» بِمَعْنى «أَجابَ»، فَالسِّينُ وَالتَّاءُ زائِدَتانِ، قالَهُ الأَخْفَشُ.
Dan “istawqada” bermakna “awqada” (menyalakan), seperti “istajāba” bermakna “ajāba” (menjawab), sehingga huruf sīn dan tā’ di situ adalah tambahan; demikian dikatakan oleh Al-Akhfasy. ---وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Di antara contohnya adalah ucapan penyair: ---وَداعٍ دَعا يا مَنْ يُجِيبُ إِلَى النَّدَى … فَلَمْ يَسْتَجِبْهُ عِنْدَ ذٰكَ مُجِيبُ
“Ada seorang penyeru yang berseru: ‘Wahai siapa yang memenuhi ajakan kepada kedermawanan’, tetapi pada saat itu tak seorang pun yang mau menjawab seruannya (yastajibhu).” ---أَيْ: يُجِبْهُ.
Maksudnya: tidak ada yang menjawabnya. ---وَالْإِضاءَةُ: فَرْطُ الإِنارَةِ، وَفِعْلُها يَكُونُ لازِمًا وَمُتَعَدِّيًا.
Al-iḍā’ah (pencahayaan) adalah sangat terangnya sinar; fi‘il-nya bisa digunakan secara lazim (tanpa objek) ataupun transitif (dengan objek). ---وَ«ما حَوْلَهُ» قِيلَ: «ما» زائِدَةٌ، وَقِيلَ: هِيَ مَوْصولَةٌ فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلى أَنَّها مَفْعُولُ «أَضاءَتْ»، وَ«حَوْلَهُ» مَنْصُوبٌ عَلَى الظَّرْفِيَّةِ.
Tentang frasa “mā ḥawlahu”, ada yang berpendapat “mā” adalah tambahan (zāidah), dan ada yang mengatakan: “mā” adalah maushūlah, berposisi manshub sebagai maf‘ūl (objek) dari fi‘il “aḍā’at”, sedangkan “ḥawlahu” manshub sebagai keterangan tempat (zharaf). ---وَ«ذَهَبَ» مِنَ «الذَّهابِ»، وَهُوَ زَوالُ الشَّيْءِ.
Kata “żahaba” berasal dari “aż-żahāb” yang berarti hilang/lenyapnya sesuatu. ---وَ«وَتَرَكَهُمْ» أَيْ: أَبْقاهُمْ.
Dan “watarakahum” artinya: Dia membiarkan mereka/meninggalkan mereka (dalam keadaan demikian). ---«فِي ظُلُماتٍ» جَمْعُ «ظُلْمَةٍ».
“Dalam kegelapan-kegelapan” (ẓulumāt) adalah bentuk jamak dari ẓulmah (kegelapan). ---وَقَرَأَ الأَعْمَشُ بِإِسْكانِ اللَّامِ عَلى الأَصْلِ.
Al-A‘mash membaca dengan mensukunkan huruf lām (dalam lafaz ẓulmat) sesuai bentuk asalnya. ---وَقَرَأَ أَشْهَبُ الْعَقِيلِيُّ بِفَتْحِ اللَّامِ، وَهِيَ عَدَمُ النُّورِ.
Sementara Asyhab Al-‘Aqīlī membacanya dengan fathah pada lām, yang maknanya adalah ketiadaan cahaya. ---وَ«صُمٌّ» وَما بَعْدَهُ خَبَرُ مُبْتَدَأٍ مَحْذُوفٍ: أَيْ هُمْ.
Kata “ṣummun” (tuli), dan yang setelahnya (bukmun, ‘umyun), adalah khabar dari mubtada yang dihapus, yakni (maknanya): “mereka itu tuli, bisu, buta.” ---وَقَرَأَ ابْنُ مَسْعُودٍ: «صُمًّا بُكْمًا عُمْيًا» بِالنَّصْبِ عَلَى الذَّمِّ،
Ibnu Mas‘ūd membaca: “ṣumman bukman ‘umyan” dengan bentuk manshub sebagai bentuk celaan (nasb ‘alā dz-dzam), ---وَيَجُوزُ أَنْ يَنْتَصِبَ بِقَوْلِهِ: «تَرَكَهُمْ».
dan boleh juga dipahami bahwa manshub-nya itu karena i‘rāb sebagai maf‘ūl dari “tarakahum” (yakni: Dia membiarkan mereka dalam keadaan tuli, bisu, dan buta). ---وَالصَّمَمُ: الِانْسِدادُ؛ يُقالُ: قَنَاةٌ صَمّاءُ: إِذا لَمْ تَكُنْ مُجَوَّفَةً،
“Ṣamam” (ketulian) adalah tersumbatnya pendengaran; dikatakan: “qanātun ṣammā’” (batang tombak yang tuli) bila ia tidak berongga, ---وَ«صَمَمْتُ الْقارُورَةَ» إِذا سَدَدْتُها،
dan “shamamtu al-qārūrah” artinya: aku telah menyumbat botol itu, ---وَفُلَانٌ أَصَمُّ: إِذا انْسَدَّتْ خُرُوقُ مَسامِعِهِ.
dan “fulānun aṣammu” (si Fulan itu tuli) bila lubang-lubang pendengarannya tersumbat. ---وَالْأَبْكَمُ: الَّذِي لَا يَنْطِقُ وَلَا يَفْهَمُ، فَإِذا فَهِمَ فَهُوَ الأَخْرَسُ.
“Al-abkam” adalah orang yang tidak dapat berbicara dan tidak memahami (pembicaraan); apabila ia memahami namun tidak dapat berbicara, maka ia disebut “al-akhras”. ---وَقِيلَ: الأَخْرَسُ وَالأَبْكَمُ واحِدٌ.
Ada pula yang berpendapat bahwa “al-akhras” dan “al-abkam” adalah sama (sinonim). ---وَالْعَمَى: ذَهابُ الْبَصَرِ.
Dan “al-‘amā” adalah hilangnya penglihatan (buta). ---وَالْمُرادُ بِقَوْلِهِ: «فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ» أَيْ: إِلَى الْحَقِّ.
Yang dimaksud dengan firman-Nya: “Maka mereka tidak akan kembali (ke jalan yang benar)” adalah: tidak kembali kepada kebenaran. ---وَجَوابُ «لَمَّا» فِي قَوْلِهِ: «فَلَمَّا أَضاءَتْ»، قِيلَ هُوَ: «ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ»،
Jawaban dari “lamma” pada firman-Nya: “Tatkala (api itu) telah menerangi…”, ada yang mengatakan adalah kalimat “Allah menghilangkan cahaya mereka,” ---وَقِيلَ: مَحْذُوفٌ، تَقْدِيرُهُ: «طَفِئَتْ (النَّارُ) فَبَقُوا حائِرِينَ»،
dan ada yang mengatakan jawabnya dihapus, dengan takdir: “Api itu padam, lalu mereka tetap dalam kebingungan.” ---وَعَلَى الثَّانِي فَيَكُونُ قَوْلُهُ: «ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ» كَلامًا مُسْتَأْنَفًا، أَوْ بَدَلًا مِنَ الْمُقَدَّرِ.
Menurut pendapat kedua, maka firman-Nya “Allah menghilangkan cahaya mereka” menjadi kalimat isti’naf (kalimat baru) atau sebagai badal dari jawaban yang diperkirakan tadi. ---ضَرَبَ اللَّهُ هٰذَا الْمَثَلَ لِلْمُنَافِقِينَ؛
Allah membuat perumpamaan ini bagi orang-orang munafik; ---لِبَيانِ أَنَّ ما يُظْهِرُونَهُ مِنَ الإِيمانِ مَعَ ما يُبْطِنُونَهُ مِنَ النِّفاقِ لَا يَثْبُتُ لَهُمْ بِهِ أَحْكامُ الْإِسْلامِ،
untuk menjelaskan bahwa apa yang mereka tampakkan berupa iman, bersamaan dengan apa yang mereka sembunyikan berupa kemunafikan, tidak menjadikan hukum-hukum Islam benar-benar tetap (kokoh) bagi mereka, ---كَمَثَلِ الْمُسْتَوْقِدِ الَّذِي أَضاءَتْ نارُهُ ثُمَّ طَفِئَتْ؛
seperti orang yang menyalakan api, kemudian apinya menerangi lingkungan sekitarnya, lalu padam, ---فَإِنَّهُ يَعُودُ إِلَى الظُّلْمَةِ، وَلَا تَنْفَعُهُ تِلْكَ الْإِضاءَةُ الْيَسِيرَةُ.
maka ia kembali ke dalam kegelapan, dan cahaya yang sebentar itu sama sekali tidak bermanfaat baginya. ---فَكانَ بَقاءُ الْمُسْتَوْقِدِ فِي ظُلُماتٍ لَا يُبْصِرُ، كَبَقاءِ الْمُنافِقِ فِي حَيْرَتِهِ وَتَرَدُّدِهِ.
Maka keadaan orang yang menyalakan api dan kemudian tetap berada dalam kegelapan tanpa dapat melihat, serupa dengan keadaan orang munafik yang senantiasa hidup dalam kebingungan dan keragu-raguan. ---وَإِنَّما وُصِفَتْ هٰذِهِ النَّارُ بِالْإِضاءَةِ مَعَ كَوْنِها نارَ باطِلٍ،
Dan api ini disifati dengan “menerangi” walaupun merupakan api kebatilan, ---لِأَنَّ الْباطِلَ كَذٰلِكَ تَسْطَعُ ذَوائِبُ لَهَبِ نارِهِ لَحْظَةً ثُمَّ تَخْفُتُ.
karena kebatilan itu pun demikian; nyala apinya menjulang sekejap, lalu segera meredup. ---وَمِنْهُ قَوْلُهُمْ: «لِلْباطِلِ صَوْلَةٌ ثُمَّ يَضْمَحِلُّ».
Dan di antara ungkapan mereka: “Bagi kebatilan ada masa jayanya, kemudian lenyap.” ---وَقَدْ تَقَرَّرَ عِنْدَ عُلَماءِ الْبَلاغَةِ أَنَّ لِضَرْبِ الأَمْثالِ شَأْنًا عَظِيمًا فِي إِبْرازِ خَفِيّاتِ الْمَعاني،
Telah tetap di kalangan ahli balaghah (ilmu retorika) bahwa pembuatan perumpamaan memiliki kedudukan yang agung dalam menampakkan makna-makna yang tersembunyi, ---وَرَفْعِ أَسْتارِ مُحَجَّباتِ الدَّقائِقِ؛
dan menyingkap tabir-tipis yang menutupi rincian makna yang halus, ---وَلِهٰذا اسْتَكْثَرَ اللَّهُ مِنْ ذٰلِكَ فِي كِتابِهِ الْعَزِيزِ،
karena itu Allah banyak mempergunakan perumpamaan dalam Kitab-Nya yang mulia, ---وَكانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُكْثِرُ مِنْ ذٰلِكَ فِي مُخاطَباتِهِ وَمَوَاعِظِهِ.
dan Rasulullah ﷺ juga banyak menggunakannya dalam tutur kata dan nasihat-nasihat beliau. ---قالَ ابْنُ جَرِيرٍ: إِنَّ هٰؤُلاءِ الْمَضْرُوبَ لَهُمُ الْمَثَلُ هاهُنا لَمْ يُؤْمِنُوا فِي وَقْتٍ مِنَ الأَوْقاتِ،
Ibnu Jarīr berkata: Sesungguhnya orang-orang yang dibuatkan perumpamaan bagi mereka di sini tidak pernah beriman pada satu waktu pun, ---وَاحْتَجَّ بِقَوْلِهِ تَعالىٰ: «وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَما هُمْ بِمُؤْمِنِينَ»3.
dan beliau berdalil dengan firman Allah Ta‘ālā: “Di antara manusia ada yang berkata: Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka bukan orang-orang yang beriman.”3 ---وَقالَ ابْنُ كَثِيرٍ: إِنَّ الصَّوابَ أَنَّ هٰذا إِخْبارٌ عَنْهُمْ فِي حالِ نِفاقِهِمْ وَكُفْرِهِمْ،
Ibnu Katsīr berkata: Pendapat yang benar adalah bahwa ini merupakan pemberitaan tentang mereka dalam keadaan kemunafikan dan kekafiran mereka, ---وَهٰذا لا يَنْفِي أَنَّهُ كانَ حَصَلَ لَهُمْ إِيمانٌ قَبْلَ ذٰلِكَ، ثُمَّ سُلِبُوهُ وَطُبِعَ عَلى قُلُوبِهِمْ،
dan hal itu tidak menafikan bahwa sebelumnya mereka pernah memperoleh iman, lalu iman itu dicabut dari mereka dan hati mereka dikunci, ---كَمَا يُفِيدُهُ قَوْلُهُ: «ذٰلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا يَفْقَهُونَ»4.
sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya: “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian kafir, lalu hati mereka dikunci; maka mereka tidak memahami.”4 ---قالَ ابْنُ جَرِيرٍ: وَصَحَّ ضَرْبُ مَثَلِ الْجَماعَةِ بِالْواحِدِ، كَما قالَ: «رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشىٰ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ»5
Ibnu Jarīr berkata: Benarlah pembuatan perumpamaan bagi suatu jamaah (kelompok) dengan satu orang, sebagaimana firman-Nya: “Engkau melihat mereka memandang kepadamu dengan pandangan berputar-putar seperti orang yang pingsan karena akan mati,”5 ---أَيْ: كَدَوَرانِ عَيْنَيِ الَّذِي يُغْشىٰ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ.
yakni seperti berputarnya kedua mata orang yang hampir pingsan karena sakaratul-maut. ---وَقالَ تَعالىٰ: «مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْراةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوها كَمَثَلِ الْحِمارِ يَحْمِلُ أَسْفارًا»6.
Dan Allah Ta‘ālā juga berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka Taurat, kemudian mereka tidak memikulnya (mengamalkannya), adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.”6 ---وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ فِي قَوْلِهِ تَعالىٰ: «مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نارًا» قالَ:
Ibnu Jarīr, Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api,” ia berkata: ---هٰذا مَثَلٌ ضَرَبَهُ اللَّهُ لِلْمُنافِقِينَ؛ كانُوا يَعْتَزُّونَ بِالْإِسْلامِ،
“Ini adalah perumpamaan yang Allah buat untuk orang-orang munafik; mereka dahulu merasa mulia dengan (menampakkan) Islam, ---فَيُناكِحُهُمُ الْمُسْلِمُونَ وَيُوارِثُونَهُمْ وَيُقاسِمُونَهُمُ الْفَيْءَ؛
sehingga kaum Muslimin menikahkan mereka, mewarisi mereka, dan berbagi bersama mereka dalam harta fai’ (ghanimah tanpa perang), ---فَلَمَّا ماتُوا سَلَبَهُمُ اللَّهُ الْعِزَّ، كَما سَلَبَ صاحِبَ النّارِ ضَوْءَهُ؛
namun ketika mereka mati, Allah mencabut kemuliaan dari mereka, sebagaimana Dia mencabut cahaya dari si pemilik api (dalam perumpamaan); ---«وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُماتٍ لا يُبْصِرُونَ» يَقُولُ: فِي عَذابٍ؛
dan firman-Nya: ‘Dan Dia membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat’ maksudnya: dalam azab, ---«صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ»، فَهُمْ لا يَسْمَعُونَ الْهُدىٰ وَلا يُبْصِرُونَهُ وَلا يَعْقِلُونَهُ.
(mereka) tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak mendengar petunjuk, tidak melihatnya, dan tidak memahaminya.” ---وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ وَناسٍ مِنَ الصَّحابَةِ، فِي قَوْلِهِ: «مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نارًا» قالُوا:
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd dan sejumlah sahabat tentang firman-Nya: “Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api,” mereka berkata: ---إِنَّ ناسًا دَخَلُوا فِي الْإِسْلامِ عِنْدَ مَقْدِمِ النَّبِيِّ ﷺ الْمَدِينَةَ، ثُمَّ نافَقُوا؛
“Sesungguhnya ada sekelompok orang yang masuk Islam ketika Nabi ﷺ datang ke Madinah, kemudian mereka menjadi munafik; ---فَكانَ مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ كانَ فِي ظُلْمَةٍ فَأَوْقَدَ نارًا، فَأَضاءَتْ ما حَوْلَهُ مِنْ قَذًى وَأَذًى،
maka perumpamaan mereka seperti seorang laki-laki yang berada dalam kegelapan lalu menyalakan api, sehingga api itu menerangi sekelilingnya dari debu dan gangguan, ---فَأَبْصَرَهُ حَتَّى عَرَفَ ما يَتَّقِي؛
maka ia dapat melihat (segala sesuatu itu) sehingga ia mengetahui apa saja yang harus ia hindari, ---فَبَيْنَما هُوَ كَذٰلِكَ إِذْ طَفِئَتْ نارُهُ، فَأَقْبَلَ لا يَدْرِي ما يَتَّقِي مِنْ أَذًى؛
lalu ketika ia masih dalam keadaan demikian, tiba-tiba apinya padam, maka ia kembali melangkah tanpa mengetahui apa yang harus ia hindari dari gangguan. ---فَكَذٰلِكَ الْمُنافِقُ، كانَ فِي ظُلْمَةِ الشِّرْكِ، فَأَسْلَمَ، فَعَرَفَ الْحَلالَ مِنَ الْحَرامِ، وَالْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ،
Demikian pula orang munafik: ia dahulu berada dalam kegelapan kesyirikan, lalu masuk Islam, sehingga ia mengetahui yang halal dari yang haram, dan yang baik dari yang buruk, ---فَبَيْنَما هُوَ كَذٰلِكَ إِذْ كَفَرَ، فَصارَ لا يَعْرِفُ الْحَلالَ مِنَ الْحَرامِ، وَلا الْخَيْرَ مِنَ الشَّرِّ؛
kemudian ketika ia masih dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia kafir (murtad) kembali, sehingga ia menjadi tidak lagi mengetahui yang halal dari yang haram, dan tidak pula membedakan yang baik dari yang buruk; ---فَهُمْ «صُمٌّ بُكْمٌ»، هُمُ الْخُرْسُ، فَهُمْ لا يَرْجِعُونَ إِلَى الْإِسْلامِ.
maka mereka itu tuli dan bisu – mereka adalah orang-orang yang bisu hati – sehingga mereka tidak akan kembali lagi kepada Islam.” ---وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ ابْنِ عَبّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نارًا» قالَ: ضَرَبَهُ اللَّهُ مَثَلًا لِلْمُنافِقِ.
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “Seperti orang yang menyalakan api,” ia berkata: “Ini adalah perumpamaan yang Allah buat untuk orang munafik.” ---وَقَوْلُهُ: «ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ» قالَ: أَمَّا النُّورُ فَهُوَ إِيمانُهُمُ الَّذي يَتَكَلَّمُونَ بِهِ، وَأَمَّا الظُّلْمَةُ فَهُوَ ضَلالُهُمْ.
Dan tentang firman-Nya: “Allah menghilangkan cahaya mereka,” ia berkata: “Adapun cahaya itu adalah iman mereka yang mereka ucapkan (secara lisan), sedangkan kegelapan adalah kesesatan mereka.” ---وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ وَابْنُ أَبِي حاتِمٍ عَنْهُ مِثْلَهُ.
Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbās) dengan lafaz yang serupa. ---وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ مُجاهِدٍ نَحْوَهُ.
‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Mujāhid sesuatu yang semakna. ---وَأَخْرَجَا أَيْضًا عَنْ قَتادَةَ نَحْوَهُ.
Keduanya juga meriwayatkan dari Qatādah hal yang serupa. ---وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حاتِمٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ وَالْحَسَنِ وَالسُّدِّيِّ وَالرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ نَحْوَ ما تَقَدَّمَ.
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari ‘Ikrimah, Al-Ḥasan, As-Suddī, dan Ar-Rabī‘ bin Anas riwayat-riwayat yang semakna dengan keterangan yang telah terdahulu. ---فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - جـ ١ (ص: ٥٦)
Fath al-Qadīr karya Asy-Syaukānī – Jilid 1 (hlm. 56). ---- At-Tawbah: 69.
- Az-Zumar: 33.
- QS. Al-Jinn: 16.
- QS. Fuṣṣilat: 17.
- Varian syair dengan lafaz “اشْتَرَيْتُ” dalam Dīwān Abī Dzu’aib.
- QS. Asy-Syu‘arā’: 20.
- QS. As-Sajdah: 10.
- QS. An-Nūr: 21.
- QS. Fuṣṣilat: 17 (konteks lain “فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَىٰ عَلَى الْهُدَىٰ”).
- QS. Asy-Syu‘arā’: 20.
- QS. As-Sajdah: 10.
- QS. At-Tawbah: 69.
- QS. Az-Zumar: 33.
- QS. An-Nisā’: 137.
- QS. Al-Aḥzāb: 19.
- QS. Al-Jumu‘ah: 5.