Al Baqarah Ayat 168-171

 

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٦٨ إِلَى ١٧١]

[Surat Al-Baqarah (2): ayat 168 sampai 171] ---
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾
Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik. Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿١٦٩﴾
Sesungguhnya dia hanyalah menyuruh kalian berbuat kejelekan dan perbuatan keji, dan agar kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ ﴿١٧٠﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah Allah turunkan,” mereka berkata, “Tidak, tetapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami tetap berada di atasnya.” Apakah (mereka akan tetap mengikuti), sekalipun bapak-bapak mereka itu tidak mengerti apa pun dan tidak mendapat petunjuk?
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً ۚ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ ﴿١٧١﴾
Dan perumpamaan orang-orang yang kafir itu seperti (gembala) yang berteriak memanggil sesuatu yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka mereka tidak mengerti. ---
قَوْلُهُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ قِيلَ: إِنَّهَا نَزَلَتْ فِي ثَقِيفٍ وَخُزَاعَةَ وَبَنِي مُدْلِجٍ فِيمَا حَرَّمُوهُ عَلَى أَنْفُسِهِمْ مِنَ الْأَنْعَامِ.
Tentang firman-Nya: “Wahai manusia…”, dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan (kabilah) Tsaqif, Khuza‘ah, dan Bani Mudlij, mengenai binatang ternak yang mereka haramkan atas diri mereka sendiri.
حَكَاهُ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ.
Hal ini dinukil oleh Al-Qurthubī dalam tafsirnya.
وَلَكِنَّ الِاعْتِبَارَ بِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ.
Akan tetapi, yang dijadikan patokan adalah keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab (turunnya).
وَقَوْلُهُ: «حَلالًا» مَفْعُولٌ أَوْ حَالٌ، وَسُمِّيَ الْحَلَّالُ «حَلَالًا» لِانْحِلَالِ عُقْدَةِ الْحَظْرِ عَنْهُ.
Firman-Nya “halālan” menjadi maf‘ūl (objek) atau ḥāl (keterangan keadaan. Sesuatu yang dihalalkan disebut “halāl” karena ikatan larangan terurai darinya.
وَالطَّيِّبُ هُنَا: هُوَ الْمُسْتَلَذُّ، كَمَا قَالَهُ الشَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ.
Adapun “ṭayyib” (baik) di sini maksudnya adalah yang lezat (menyenangkan), sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syāfi‘ī dan yang lainnya.
وَقَالَ مَالِكٌ وَغَيْرُهُ: هُوَ الْحَلَالُ، فَيَكُونُ تَأْكِيدًا لِقَوْلِهِ: «حَلالًا».
Mālik dan yang lainnya berkata: yang dimaksud adalah “halal”, sehingga menjadi penegasan bagi firman-Nya “halālan”.
وَمِنْ فِي قَوْلِهِ: «مِمَّا فِي الْأَرْضِ» لِلتَّبْعِيضِ لِلْقَطْعِ بِأَنَّ فِي الْأَرْضِ مَا هُوَ حَرَامٌ.
Huruf “min” pada firman-Nya “mimmā fil-arḍ” berfungsi untuk menunjukkan sebagian, guna menegaskan bahwa di bumi ini ada juga sesuatu yang haram.
وَ«خُطُوَاتِ» جَمْعُ «خُطْوَةٍ» بِالْفَتْحِ وَالضَّمِّ، وَهِيَ بِالْفَتْحِ لِلْمَرَّةِ، وَبِالضَّمِّ لِمَا بَيْنَ الْقَدَمَيْنِ.
Kata “khuṭuwāt” adalah jamak dari “khuṭwah” yang bisa dibaca dengan fathah atau ḍammah. Bacaan dengan fathah (khutwah) untuk satu kali langkah, sedangkan dengan ḍammah (khutwah) untuk jarak antara dua telapak kaki.
وَقَرَأَ الْفَرَّاءُ «خَطَوَاتِ» بِفَتْحِ الْخَاءِ، وَقَرَأَ أَبُو السَّمَّالِ بِفَتْحِ الْخَاءِ وَالطَّاءِ،
Al-Farrā’ membaca “khaṭawāt” dengan fathah pada huruf khā’, dan Abū As-Sammāl membaca dengan fathah pada khā’ dan ṭā’.
وَقَرَأَ عَلِيٌّ وَقَتَادَةُ وَالْأَعْرَجُ وَعُمَرُ بْنُ مَيْمُونٍ وَالْأَعْمَشُ: «خُطُؤَاتِ» بِضَمِّ الْخَاءِ وَالطَّاءِ وَالْهَمْزِ عَلَى الْوَاوِ.
‘Alī, Qatādah, Al-A‘raj, ‘Umar bin Maimūn, dan Al-A‘mash membaca “khuṭu’āt” dengan ḍammah pada khā’ dan ṭā’, serta dengan hamzah di atas huruf wāw.
قَالَ الْأَخْفَشُ: وَذَهَبُوا بِهَذِهِ الْقِرَاءَةِ إِلَى أَنَّهَا جَمْعُ «خَطِيئَةٍ» مِنَ الْخَطَإِ، لَا مِنَ الْخَطْوِ.
Al-Akhfasy berkata: Dengan qirā’ah ini mereka memaknainya sebagai jamak dari “khaṭī’ah” (kesalahan) yang berasal dari kata “khaṭa’” (salah), bukan dari “khaṭw” (langkah).
قَالَ الْجَوْهَرِيُّ: وَالْخَطْوَةُ بِالْفَتْحِ: الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ، وَالْجَمْعُ «خُطُوَاتٌ» وَ«خُطًا». انْتَهَى.
Al-Jauharī berkata: “Al-khaṭwah” dengan fathah adalah satu kali langkah; jamaknya “khuṭuwāt” dan “khuṭan”. Selesai (kutipan).
وَالْمَعْنَى عَلَى قِرَاءَةِ الْجُمْهُورِ: لَا تَقْفُوا أَثَرَ الشَّيْطَانِ وَعَمَلَهُ،
Makna (ayat) menurut qirā’ah jumhur (mayoritas) adalah: “Janganlah kalian mengikuti jejak setan dan perbuatannya.”
وَكُلُّ مَا لَمْ يَرِدْ بِهِ الشَّرْعُ فَهُوَ مَنْسُوبٌ إِلَى الشَّيْطَانِ.
Dan setiap perkara yang tidak ditetapkan oleh syariat, maka ia dinisbatkan kepada setan.
وَقِيلَ: هِيَ النُّذُورُ وَالْمَعَاصِي، وَالْأَوْلَى التَّعْمِيمُ وَعَدَمُ التَّخْصِيصِ بِفَرْدٍ أَوْ نَوْعٍ.
Ada yang mengatakan: yang dimaksud dengan “langkah-langkah setan” adalah nazar-nazar dan kemaksiatan-kemaksiatan. Namun yang lebih utama adalah memaknainya secara umum, tanpa mengkhususkannya pada jenis atau bentuk tertentu.
وَقَوْلُهُ: «إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ» أَيْ: ظَاهِرُ الْعَدَاوَةِ،
Firman-Nya: “Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian” maksudnya: permusuhannya jelas tampak.
وَمِثْلُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: «إِنَّهُ عَدُوٌّ مُضِلٌّ مُبِينٌ»1، وَقَوْلُهُ: «إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا»2.
Serupa dengan ini adalah firman-Nya Ta‘ālā: “Sesungguhnya ia adalah musuh yang menyesatkan, lagi nyata (permusuhannya)”1, dan firman-Nya: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia musuh (kalian)”2.
وَقَوْلُهُ: «بِالسُّوءِ» سُمِّيَ السُّوءُ سُوءًا لِأَنَّهُ يَسُوءُ صَاحِبَهُ بِسُوءِ عَاقِبَتِهِ،
Firman-Nya: “(menyuruh kalian) kepada as-su’ (kejelekan)”. Dinamakan “sū’” (keburukan) karena ia menyusahkan pelakunya dengan buruknya akibat (yang ditimbulkannya).
وَهُوَ مَصْدَرُ «سَاءَهُ يَسُوءُهُ سَوْءًا وَمَسَاءَةً» إِذَا أَحْزَنَهُ.
Kata itu adalah masdar dari “sā’ahu – yasū’uhu – sū’an wa masā’ah”, apabila ia membuatnya sedih.
وَالْفَحْشَاءُ: أَصْلُهَا سُوءُ الْمَنْظَرِ، وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Adapun “al-faḥshā’” (keji), asal maknanya adalah buruknya pemandangan. Di antaranya adalah ucapan seorang penyair:
وَجِيدٌ كَجِيدِ الرِّيمِ لَيْسَ بِفَاحِشٍ
“Dan leher (seorang wanita) seindah leher kijang, yang tidak jelek (dipandang).”
ثُمَّ اسْتُعْمِلَ فِيمَا قَبُحَ مِنَ الْمَعَانِي.
Kemudian kata itu digunakan untuk segala makna yang buruk.
وَقِيلَ: السُّوءُ: الْقَبِيحُ، وَالْفَحْشَاءُ: التَّجَاوُزُ لِلْحَدِّ فِي الْقُبْحِ.
Ada yang mengatakan: “as-su’” adalah sesuatu yang buruk, sedangkan “al-faḥshā’” adalah melampaui batas dalam keburukan.
وَقِيلَ: السُّوءُ: مَا لَا حَدَّ فِيهِ، وَالْفَحْشَاءُ: مَا فِيهِ الْحَدُّ.
Ada pula yang berkata: “as-su’” adalah keburukan yang tidak ada sanksi hudud di dalamnya, sedangkan “al-faḥshā’” adalah keburukan yang ada sanksi hudud.
وَقِيلَ: الْفَحْشَاءُ: الزِّنَا.
Ada juga yang mengatakan: “al-faḥshā’” adalah zina.
وَقِيلَ: إِنَّ كُلَّ مَا نَهَتْ عَنْهُ الشَّرِيعَةُ فَهُوَ مِنَ الْفَحْشَاءِ.
Dan ada pula yang mengatakan: Sesungguhnya setiap hal yang dilarang oleh syariat, maka itu termasuk “al-faḥshā’”.
وَقَوْلُهُ: «وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ» قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ: يُرِيدُ مَا حَرَّمُوهُ مِنَ الْبَحِيرَةِ وَالسَّائِبَةِ وَنَحْوِهِمَا مِمَّا جَعَلُوهُ شَرْعًا.
Firman-Nya: “dan agar kalian mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” Ibnu Jarīr Ath-Ṭabarī berkata: Yang dimaksud adalah apa yang mereka haramkan berupa bahīrah, sā’ibah, dan semisalnya yang mereka jadikan sebagai syariat.
وَقِيلَ: هُوَ قَوْلُهُمْ: «هٰذَا حَلَالٌ وَهٰذَا حَرَامٌ» بِغَيْرِ عِلْمٍ.
Ada pula yang mengatakan: maksudnya adalah ucapan mereka, “Ini halal dan ini haram,” tanpa ilmu.
وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يَصْدُقُ عَلَى كُلِّ مَا قِيلَ فِي الشَّرْعِ بِغَيْرِ عِلْمٍ.
Dan makna zahirnya mencakup setiap ucapan tentang syariat yang dikatakan tanpa ilmu.
وَفِي هٰذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَا لَمْ يَرِدْ فِيهِ نَصٌّ أَوْ ظَاهِرٌ مِنَ الْأَعْيَانِ الْمَوْجُودَةِ فِي الْأَرْضِ، فَأَصْلُهُ الْحِلُّ حَتَّى يَرِدَ دَلِيلٌ يَقْتَضِي تَحْرِيمَهُ.
Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa setiap benda yang ada di bumi yang tidak terdapat padanya nash atau dalil yang jelas (tentang hukumnya), maka hukum asalnya adalah boleh (halal) sampai datang dalil yang mengharamkannya.
وَأَوْضَحُ دَلَالَةٍ عَلَى ذٰلِكَ مِنْ هٰذِهِ الْآيَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: «هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ»3.
Dan dalil yang lebih jelas daripada ayat ini tentang hal tersebut adalah firman-Nya Ta‘ālā: “Dialah yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian”3.
وَالدَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: «وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ» رَاجِعٌ إِلَى «النَّاسِ»، لِأَنَّ الْكُفَّارَ مِنْهُمْ، وَهُمُ الْمَقْصُودُونَ هُنَا.
Dhamir (kata ganti) dalam firman-Nya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka …” kembali kepada “an-nās” (manusia), karena orang-orang kafir termasuk di dalamnya, dan merekalah yang dimaksudkan di sini.
وَقِيلَ: كُفَّارُ الْعَرَبِ خَاصَّةً.
Ada pula yang mengatakan: yang dimaksud adalah orang-orang kafir Arab secara khusus.
وَ«أَلْفَيْنَا» مَعْنَاهُ: «وَجَدْنَا».
Kata “alfaynā” maknanya adalah “kami mendapati”.
وَالْأَلِفُ فِي قَوْلِهِ: «أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ» لِلِاسْتِفْهَامِ، وَفُتِحَتِ الْوَاوُ لِأَنَّهَا وَاوُ الْعَطْفِ.
Huruf alif pada firman-Nya: “a-wa-law kāna ābā’uhum …” berfungsi sebagai huruf istifhām (tanya), dan huruf wāw dibaca fathah karena merupakan wāw ‘Athf (wāw penghubung).
وَفِي هٰذِهِ الْآيَةِ مِنَ الذَّمِّ لِلْمُقَلِّدِينَ وَالنِّدَاءِ بِجَهْلِهِمُ الْفَاحِشِ وَاعْتِقَادِهِمُ الْفَاسِدِ مَا لَا يُقَادَرُ قَدْرُهُ،
Dalam ayat ini terkandung celaan yang sangat besar terhadap para penganut taklid, dan penyingkapan akan besarnya kebodohan mereka serta rusaknya keyakinan mereka, yang kadarnya tidak dapat diukur.
وَمِثْلُ هٰذِهِ الْآيَةِ قَوْلُهُ تَعَالَى: «وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا»4 الْآيَةَ.
Ayat yang semisal dengan ini adalah firman-Nya Ta‘ālā: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah (kalian) kepada apa yang telah Allah turunkan dan kepada Rasul,’ mereka berkata, ‘Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami tetap berada di atasnya…’”4 dan seterusnya.
وَفِي ذٰلِكَ دَلِيلٌ عَلَى قُبْحِ التَّقْلِيدِ، وَالْمَنْعِ مِنْهُ، وَالْبَحْثُ فِي ذٰلِكَ يَطُولُ.
Di dalamnya terdapat dalil tentang buruknya taklid dan larangan darinya, dan pembahasan rinci soal ini akan menjadi sangat panjang.
وَقَدْ أَفْرَدْتُهُ بِمُؤَلَّفٍ مُسْتَقِلٍّ سَمَّيْتُهُ: «الْقَوْلُ
Aku telah membahas khusus masalah ini dalam sebuah karya tersendiri yang aku beri judul:
الْمُفِيدُ فِي حُكْمِ التَّقْلِيدِ»، وَاسْتَوْفَيْتُ الْكَلَامَ فِيهِ فِي «أَدَبُ الطَّلَبِ وَمُنْتَهَى الْأَرَبِ».
“Al-Qaul Al-Mufīd fī Ḥukm At-Taqlīd” (Perkataan yang Bermanfaat tentang Hukum Taklid), dan aku telah merinci pembahasan tentangnya di dalam (kitab) “Adab Ath-Ṭalab wa Muntahā Al-Arab”.
وَقَوْلُهُ: «وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ» فِيهِ تَشْبِيهُ وَاعِظِ الْكَافِرِينَ وَدَاعِيهِمْ – وَهُوَ مُحَمَّدٌ ﷺ – بِالرَّاعِي الَّذِي يَنْعِقُ بِالْغَنَمِ أَوِ الْإِبِلِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً، وَلَا تَفْهَمُ مَا يَقُولُ،
Firman-Nya: “Dan perumpamaan orang-orang yang kafir itu seperti (gembala) yang berteriak memanggil …” Di dalamnya terdapat penyerupaan antara penasihat orang-orang kafir dan yang menyeru mereka – yaitu Muhammad ﷺ – dengan seorang penggembala yang berteriak kepada kambing atau unta; (hewan-hewan itu) tidak mendengar kecuali sekadar panggilan dan seruan, dan tidak memahami apa yang ia ucapkan.
هَكَذَا فَسَّرَهُ الزَّجَّاجُ وَالْفَرَّاءُ وَسِيبَوَيْهِ، وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ السَّلَفِ.
Demikianlah penafsiran yang dikemukakan oleh Az-Zajjāj, Al-Farrā’, dan Sībawaih, dan pendapat ini dipegang oleh sekelompok ulama salaf.
قَالَ سِيبَوَيْهِ: لَمْ يُشَبَّهُوا بِالنَّاعِقِ، وَإِنَّمَا شُبِّهُوا بِالْمَنْعُوقِ بِهِ،
Sībawaih berkata: Mereka (orang-orang kafir) itu tidak diserupakan dengan “an-nā‘iq” (yang berteriak), tetapi diserupakan dengan “al-man‘ūq bih” (yang diteriaki),
وَالْمَعْنَى: مَثَلُكَ يَا مُحَمَّدُ! وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ النَّاعِقِ وَالْمَنْعُوقِ بِهِ مِنَ الْبَهَائِمِ الَّتِي لَا تَفْهَمُ، فَحُذِفَ لِدَلَالَةِ الْمَعْنَى عَلَيْهِ.
dan maknanya adalah: perumpamaanmu, wahai Muhammad, dan perumpamaan orang-orang yang kafir itu seperti perumpamaan orang yang berteriak dan hewan-hewan yang diteriaki, dari kalangan hewan ternak yang tidak memahami; maka (sebagian unsur kalimat) dihilangkan karena makna sudah menunjukkan kepadanya.
وَقَالَ قُطْرُبٌ: الْمَعْنَى: مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي دُعَائِهِمْ مَا لَا يَفْهَمُ – يَعْنِي الْأَصْنَامَ – كَمَثَلِ الرَّاعِي إِذَا نَعَقَ بِغَنَمِهِ وَهُوَ لَا يَدْرِي أَيْنَ هِيَ.
Qutrub berkata: Maknanya adalah: perumpamaan orang-orang yang kafir dalam (perbuatan) mereka menyeru sesuatu yang tidak memahami – yaitu berhala-berhala – seperti perumpamaan seorang penggembala yang berteriak memanggil kambing-kambingnya, sementara ia sendiri tidak tahu di mana posisi (kambing-kambing) itu.
وَبِهِ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ.
Pendapat inilah yang juga dikemukakan oleh Ibnu Jarīr Ath-Ṭabarī.
وَقَالَ ابْنُ زَيْدٍ: الْمَعْنَى: مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي دُعَائِهِمُ الْآلِهَةَ الْجَمَادَ كَمَثَلِ الصَّائِحِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ فَيُجِيبُهُ الصَّدَى، فَهُوَ يَصِيحُ بِمَا لَا يَسْمَعُ، وَيُجِيبُهُ مَا لَا حَقِيقَةَ فِيهِ.
Ibnu Zaid berkata: Maknanya adalah: perumpamaan orang-orang yang kafir dalam seruan mereka kepada sesembahan-sesembahan yang mati (tak bernyawa), seperti perumpamaan orang yang berteriak di tengah malam, lalu gema menjawabnya; ia berteriak kepada sesuatu yang tidak mendengar, dan sesuatu yang tidak memiliki hakikat (nyata) menjawabnya.
وَ«النَّعْقُ»: زَجْرُ الْغَنَمِ وَالصِّيَاحُ بِهَا، يُقَالُ: نَعَقَ الرَّاعِي بِغَنَمِهِ يَنْعِقُ نَعِيقًا وَنُعَاقًا وَنَعَقَانًا، أَيْ: صَاحَ بِهَا وَزَجَرَهَا.
Kata “an-na‘q” adalah menghalau kambing dan berteriak kepadanya. Dikatakan: “na‘aqa ar-rā‘ī bi ghanamih” – “seorang penggembala berteriak kepada kambing-kambingnya” – “yan‘iqu na‘īqan, wa nu‘āqan, wa na‘aqānan”, yakni ia berteriak dan menghalau mereka.
وَالْعَرَبُ تَضْرِبُ الْمَثَلَ بِرَاعِي الْغَنَمِ فِي الْجَهْلِ، وَيَقُولُونَ: «أَجْهَلُ مِنْ رَاعِي ضَأْنٍ».
Orang-orang Arab menjadikan penggembala kambing sebagai perumpamaan dalam (urusan) kebodohan, dan mereka berkata: “Lebih bodoh daripada penggembala domba.”
وَقَوْلُهُ: «صُمٌّ» وَمَا بَعْدَهُ أَخْبَارٌ لِمُبْتَدَإٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ: هُمْ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ.
Firman-Nya: “ṣummun (tuli)” dan kata-kata setelahnya adalah khabar (predikat) bagi mubtada’ yang dihilangkan, yakni (maknanya): “Mereka itu tuli, bisu, dan buta.”
وَقَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُ ذٰلِكَ.
Dan penafsiran tentang hal ini telah berlalu (pada ayat sebelumnya).
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: تُلِيَتْ هٰذِهِ الْآيَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلالًا طَيِّبًا» –
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Ayat ini dibacakan di hadapan Nabi ﷺ – yakni: “Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik” –
فَقَامَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ.
Lalu Sa‘d bin Abī Waqqāṣ berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku orang yang doanya mustajab (dikabulkan).”
فَقَالَ: «يَا سَعْدُ، أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الرَّجُلَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ، فَمَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَأَيُّمَا عَبْدٍ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ وَالرِّبَا فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ».
Beliau bersabda: “Wahai Sa‘d, perbaikilah (halalkanlah) makananmu, niscaya engkau akan menjadi orang yang doanya mustajab. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh seseorang melemparkan satu suap makanan haram ke dalam perutnya; maka tidak akan diterima (amal) darinya selama empat puluh hari. Dan hamba mana pun yang dagingnya tumbuh dari hasil haram dan riba, maka neraka lebih berhak atas dirinya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: «وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ» قَالَ: عَمَلَهُ.
Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Hātim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbās) tentang firman-Nya: “Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan”, ia berkata: “(Yang dimaksud adalah) perbuatannya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «مَا خَالَفَ الْقُرْآنَ فَهُوَ مِنْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ».
Ibnu Abī Hātim meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “Apa saja yang menyelisihi Al-Qur’an, maka itu termasuk langkah-langkah setan.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّهُ قَالَ: «خُطَاهُ».
‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari Mujāhid bahwa ia berkata: “(Yang dimaksud adalah) jejak-jejak (langkah)-nya.”
وَأَخْرَجَا أَيْضًا عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ: «هِيَ نَزَغَاتُ الشَّيْطَانِ».
Keduanya juga meriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia berkata: “Itu adalah bisikan-bisikan setan.”
وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ: «هِيَ تَزْيِينُ الشَّيْطَانِ».
Abū Asy-Syaikh meriwayatkan dari Sa‘īd bin Jubair, ia berkata: “Itu adalah (bentuk) penghiasan (tipu daya) setan.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: «كُلُّ مَعْصِيَةٍ لِلَّهِ فَهِيَ مِنْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ».
Ibnu Abī Hātim dan Abū Asy-Syaikh meriwayatkan dari Qatādah, ia berkata: “Setiap maksiat kepada Allah, maka itu termasuk langkah-langkah setan.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «مَا كَانَ مِنْ يَمِينٍ أَوْ نَذْرٍ فِي غَضَبٍ فَهُوَ مِنْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ، وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ».
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: “Sumpah atau nazar yang diucapkan dalam keadaan marah, maka itu termasuk langkah-langkah setan, dan kafaratnya adalah kafarat sumpah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالطَّبَرَانِيُّ، وَالْحَاكِمُ – وَصَحَّحَهُ – عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ: أَنَّهُ أَتَى بِضَرْعٍ وَمِلْحٍ فَجَعَلَ يَأْكُلُ، فَاعْتَزَلَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ،
‘Abdur-Razzāq, Sa‘īd bin Manṣūr, ‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Abī Hātim, Ath-Ṭabarānī, dan Al-Ḥākim – yang mensahihkannya – meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd: bahwa beliau pernah didatangkan (hidangan) berupa ambing (susu) dan garam, lalu beliau mulai makan, sementara ada seorang lelaki dari rombongan itu yang menjauh.
فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: نَاوِلُوا صَاحِبَكُمْ، فَقَالَ: لَا أُرِيدُ.
Maka Ibnu Mas‘ūd berkata: “Berikan kepada sahabat kalian itu.” Orang tersebut berkata: “Aku tidak mau.”
فَقَالَ: أَصَائِمٌ أَنْتَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَمَا شَأْنُكَ؟ قَالَ: حَرَّمْتُ عَلَى نَفْسِي أَنْ آكُلَ ضَرْعًا.
Beliau bertanya: “Apakah engkau sedang berpuasa?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Kalau begitu, apa masalahmu?” Ia menjawab: “Aku telah mengharamkan atas diriku untuk makan ambing.”
فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: «هٰذَا مِنْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ، فَاطْعَمْ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ».
Maka Ibnu Mas‘ūd berkata: “Ini termasuk langkah-langkah setan. Makanlah, dan bayarlah kafarat atas sumpahmu.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ غِيَاثٍ قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ عَنْ رَجُلٍ نَذَرَ أَنْ يَجْعَلَ فِي أَنْفِهِ حَلْقَةً مِنْ ذَهَبٍ،
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari ‘Utsmān bin Ghiyāth, ia berkata: Aku bertanya kepada Jābir bin Zaid tentang seorang lelaki yang bernazar untuk memasang sebuah cincin (anting) dari emas di hidungnya.
فَقَالَ: «هِيَ مِنْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ، وَلَا يَزَالُ عَاصِيًا لِلَّهِ، فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ».
Ia menjawab: “Itu termasuk langkah-langkah setan, dan ia akan senantiasa dalam keadaan bermaksiat kepada Allah. Maka hendaklah ia membayar kafarat sumpahnya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ جَعَلَ يَمِينَ مَنْ حَلَفَ أَنْ يَحُجَّ حَبْوًا مِنْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ.
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Al-Ḥasan bahwa ia menggolongkan sumpah seseorang yang bersumpah akan berhaji dengan cara merangkak sebagai bagian dari langkah-langkah setan.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ قَالَ: «هِيَ النُّذُورُ فِي الْمَعَاصِي».
‘Abd bin Ḥumayd dan Abū Asy-Syaikh meriwayatkan dari Abī Mijlaz, ia berkata: “Itu adalah nazar-nazar dalam perkara maksiat.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ السُّدِّيِّ فِي قَوْلِهِ: «إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ» قَالَ: الْمَعْصِيَةَ، «وَالْفَحْشَاءِ» قَالَ: الزِّنَا.
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari As-Suddī tentang firman-Nya: “Sesungguhnya dia (setan) hanya menyuruh kalian kepada as-su’ (kejelekan)”, ia berkata: “(yang dimaksud adalah) maksiat”; dan tentang “al-faḥshā’”, ia berkata: “(yang dimaksud adalah) zina.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الْيَهُودَ إِلَى الْإِسْلَامِ وَرَغَّبَهُمْ فِيهِ، وَحَذَّرَهُمْ عَذَابَ اللَّهِ وَنِقْمَتَهُ،
Ibnu Isḥāq, Ibnu Jarīr, dan Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, ia berkata: Rasulullah ﷺ mengajak orang-orang Yahudi kepada Islam, menganjurkan mereka kepadanya, dan memperingatkan mereka dari azab dan siksa Allah.
فَقَالَ لَهُ رَافِعُ بْنُ خَارِجَةَ وَمَالِكُ بْنُ عَوْفٍ: بَلْ نَتَّبِعُ – يَا مُحَمَّدُ – مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا، فَهُمْ كَانُوا أَعْلَمَ وَخَيْرًا مِنَّا.
Lalu Rāfi‘ bin Khārijah dan Mālik bin ‘Auf berkata kepadanya: “Tidak, wahai Muhammad, kami hanya akan mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami tetap berada di atasnya; mereka lebih mengetahui dan lebih baik daripada kami.”
فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي ذٰلِكَ: «وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا».
Maka Allah menurunkan (ayat) berkenaan dengan hal itu: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah Allah turunkan,’ mereka berkata, ‘Tidak, tetapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami tetap berada di atasnya.’”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الرَّبِيعِ وَقَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «أَلْفَيْنَا» قَالَا: «وَجَدْنَا».
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ar-Rabī‘ dan Qatādah tentang firman-Nya: “alfaynā” – keduanya berkata: “(artinya) kami mendapati.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا» الْآيَةَ، قَالَ: كَمَثَلِ الْبَقَرِ وَالْحِمَارِ وَالشَّاةِ إِنْ قُلْتَ لِبَعْضِهِمْ كَلَامًا لَمْ يَعْلَمْ مَا تَقُولُ، غَيْرَ أَنَّهُ سَمِعَ صَوْتَكَ،
Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “Dan perumpamaan orang-orang yang kafir …” (ayat), ia berkata: “Seperti perumpamaan sapi, keledai, dan kambing; jika engkau mengatakan sesuatu kepada sebagian dari hewan-hewan itu, ia tidak mengetahui apa yang engkau ucapkan, selain hanya mendengar suaramu saja.
وَكَذٰلِكَ الْكَافِرُ إِنْ أَمَرْتَهُ بِخَيْرٍ أَوْ نَهَيْتَهُ عَنْ شَرٍّ أَوْ وَعَظْتَهُ، لَمْ يَعْقِلْ مَا تَقُولُ، غَيْرَ أَنَّهُ يَسْمَعُ صَوْتَكَ».
Demikian pula orang kafir; jika engkau memerintahkannya kepada kebaikan, atau melarangnya dari keburukan, atau menasihatinya, ia tidak memahami apa yang engkau ucapkan, selain hanya mendengar suaramu.”
وَرُوِيَ نَحْوُ ذٰلِكَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَخْرَجَهُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَعَنْ عِكْرِمَةَ أَخْرَجَهُ وَكِيعٌ.
Riwayat yang semakna juga dinukil dari Mujāhid, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abd bin Ḥumayd, dan dari ‘Ikrimah sebagaimana diriwayatkan oleh Wakī‘.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ لِي عَطَاءٌ فِي هٰذِهِ الْآيَةِ: هُمُ الْيَهُودُ الَّذِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: «إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ …» إِلَى قَوْلِهِ: «فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ».
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu Jurayj, ia berkata: ‘Aṭā’ berkata kepadaku tentang ayat ini: “Mereka adalah orang-orang Yahudi yang Allah turunkan mengenai mereka firman-Nya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Allah turunkan dari Al-Kitab …’ hingga firman-Nya: ‘Maka alangkah beraninya mereka menanggung siksa neraka itu.’”
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيّ – ج ١ (ص: ١٩٤–١٩٥)
Fath Al-Qadīr karya Asy-Syaukānī – Jilid 1 (hlm. 194–195) ---

1 QS. Al-Qaṣaṣ: 15.

2 QS. Fāṭir: 6.

3 QS. Al-Baqarah: 29.

4 QS. Al-Mā’idah: 104.

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7