Al Baqarah Ayat 165-167
[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢): الْآيَاتُ ١٦٥ إِلَى ١٦٧]
[Surat Al-Baqarah (2): ayat 165 sampai 167] ---
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْداداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ ﴿١٦٥﴾
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintai (tandingan-tandingan itu) sebagaimana mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman, mereka itu lebih besar cintanya kepada Allah.
Seandainya orang-orang yang zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab, bahwa sesungguhnya seluruh kekuatan itu hanyalah milik Allah dan sesungguhnya Allah sangat keras azab-Nya.
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ ﴿١٦٦﴾
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti (mereka), dan mereka menyaksikan azab, serta terputuslah segala hubungan di antara mereka.
وَقالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَما تَبَرَّؤُا مِنَّا ۗ كَذٰلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ ۖ وَما هُمْ بِخارِجِينَ مِنَ النَّارِ ﴿١٦٧﴾
Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti (itu), “Sekiranya kami mendapat kesempatan kembali (ke dunia), niscaya kami akan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.”
Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal-amal mereka sebagai penyesalan atas mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari neraka.
---
لَمَّا فَرَغَ سُبْحَانَهُ مِنَ الدَّلِيلِ عَلَى وَحْدَانِيَّتِهِ، أَخْبَرَ أَنَّ مَعَ هَذَا الدَّلِيلِ الظَّاهِرِ الْمُفِيدِ لِعَظِيمِ سُلْطَانِهِ، وَجَلِيلِ قُدْرَتِهِ وَتَفَرُّدِهِ بِالْخَلْقِ، قَدْ وُجِدَ فِي النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مَعَهُ سُبْحَانَهُ نِدًّا يَعْبُدُهُ مِنَ الْأَصْنَامِ.
Tatkala Dia Mahasuci selesai memaparkan dalil atas keesaan-Nya, Dia mengabarkan bahwa di samping dalil yang jelas ini, yang menunjukkan besarnya kerajaan-Nya, agungnya kekuasaan-Nya, dan keesaan-Nya dalam mencipta, telah ada di tengah manusia orang yang menjadikan di samping-Nya –Mahasuci Dia– tandingan yang mereka sembah berupa berhala-berhala.
وَقَدْ تَقَدَّمَ تَفْسِيرُ الْأَنْدَادِ، مَعَ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْكُفَّارَ لَمْ يَقْتَصِرُوا عَلَى مُجَرَّدِ الْأَنْدَادِ بَلْ أَحَبُّوهَا حُبًّا عَظِيمًا، وَأَفْرَطُوا فِي ذَلِكَ إِفْرَاطًا بَالِغًا،
Telah berlalu penjelasan tentang makna “andād” (tandingan-tandingan).
Padahal orang-orang kafir ini tidak berhenti pada sekadar menjadikan tandingan, tetapi mereka mencintainya dengan kecintaan yang besar, dan mereka berlebihan dalam hal itu dengan sangat melampaui batas,
حَتَّى صَارَ حُبُّهُمْ لِهَذِهِ الْأَوْثَانِ وَنَحْوِهَا مُتَمَكِّنًا فِي صُدُورِهِمْ، كَتَمَكُّنِ حُبِّ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ،
hingga kecintaan mereka kepada berhala-berhala ini dan yang semisalnya tertanam kuat di dalam dada mereka, sebagaimana tertanamnya kecintaan orang-orang beriman kepada Allah –Mahasuci Dia–.
فَالْمَصْدَرُ فِي قَوْلِهِ: «كَحُبِّ اللَّهِ» مُضَافٌ إِلَى الْمَفْعُولِ، وَالْفَاعِلُ مَحْذُوفٌ، وَهُوَ الْمُؤْمِنُونَ.
Maka kata mashdar pada firman-Nya “كَحُبِّ اللَّهِ” dinisbatkan kepada maf‘ul (objek), sedangkan pelakunya (fā‘il) dihilangkan, dan yang dimaksud adalah orang-orang beriman.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ: «كَحُبِّهِمْ لِلَّهِ»، أَيْ: عَبَدَةُ الْأَوْثَانِ، قَالَهُ ابْنُ كَيْسَانَ وَالزَّجَّاجُ.
Boleh juga dimaksudkan “seperti kecintaan mereka kepada Allah”, yaitu para penyembah berhala; demikian dikatakan oleh Ibnu Kaisān dan Az-Zajjāj.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَصْدَرُ مِنَ الْمَبْنِيِّ لِلْمَجْهُولِ، أَيْ: كَمَا يُحَبُّ اللَّهُ.
Dan boleh juga mashdar ini berasal dari bentuk fi‘l (kata kerja) yang dibangun untuk maf‘ul (bentuk pasif), yakni “sebagaimana Allah dicintai”.
وَالْأَوَّلُ أَوْلَى لِقَوْلِهِ: «وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ»، فَإِنَّهُ اسْتِدْرَاكٌ لِمَا يُفِيدُهُ التَّشْبِيهُ مِنَ التَّسَاوِي.
Namun penafsiran pertama lebih kuat, karena firman-Nya: “وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ” merupakan klarifikasi terhadap apa yang dipahami dari bentuk penyerupaan (tasybīh), yaitu kesetaraan.
أَيْ: أَنَّ حُبَّ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ أَشَدُّ مِنْ حُبِّ الْكُفَّارِ الْأَنْدَادَ،
Maksudnya: kecintaan orang-orang beriman kepada Allah lebih kuat daripada kecintaan orang-orang kafir kepada tandingan-tandingan (mereka).
وَلِأَنَّ الْمُؤْمِنِينَ يَخُصُّونَ اللَّهَ سُبْحَانَهُ بِالْعِبَادَةِ وَالدُّعَاءِ، وَالْكَفَّارُ لَا يَخُصُّونَ أَصْنَامَهُمْ بِذَلِكَ، بَلْ يُشْرِكُونَ اللَّهَ مَعَهُمْ،
Dan juga karena orang-orang beriman mengkhususkan Allah –Mahasuci Dia– dalam ibadah dan doa, sedangkan orang-orang kafir tidak mengkhususkan berhala-berhala mereka dengan itu, tetapi mereka mempersekutukan Allah bersama berhala-berhala tersebut,
وَيَعْتَرِفُونَ بِأَنَّهُمْ إِنَّمَا يَعْبُدُونَ أَصْنَامَهُمْ لِيُقَرِّبُوهُمْ إِلَى اللَّهِ1.
dan mereka mengakui bahwa mereka hanyalah menyembah berhala-berhala mereka itu agar berhala-berhala itu mendekatkan mereka kepada Allah.
وَيُمْكِنُ أَنْ يُجْعَلَ هَذَا، أَعْنِي قَوْلَهُ: «وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ» دَلِيلًا عَلَى الثَّانِي،
Juga mungkin dijadikan (ayat) ini, yakni firman-Nya: “وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ”, sebagai dalil bagi pendapat yang kedua,
لِأَنَّ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا كَانُوا أَشَدَّ حُبًّا، لَمْ يَكُنْ حُبُّ الْكُفَّارِ لِلْأَنْدَادِ كَحُبِّ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ.
karena bila orang-orang beriman itu lebih besar cintanya, maka kecintaan orang-orang kafir kepada tandingan-tandingan itu tidaklah (sama) seperti kecintaan orang-orang beriman kepada Allah.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِالْأَنْدَادِ هُنَا: الرُّؤَسَاءُ، أَيْ: يُطِيعُونَهُمْ فِي مَعَاصِي اللَّهِ،
Ada pula yang mengatakan: yang dimaksud dengan “andād” di sini adalah para pemimpin, yakni mereka menaati para pemimpin itu dalam kemaksiatan kepada Allah,
وَيُقَوِّي هَذَا: الضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: «يُحِبُّونَهُمْ»، فَإِنَّهُ لِمَنْ يَعْقِلُ،
dan yang menguatkan pendapat ini adalah dhamir pada firman-Nya: “يُحِبُّونَهُمْ”, karena dhamir itu ditujukan kepada yang berakal,
وَيُقَوِّيهِ أَيْضًا: قَوْلُهُ سُبْحَانَهُ عَقِبَ ذَلِكَ: «إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا ...» الآية.
dan yang juga menguatkannya adalah firman-Nya –Mahasuci Dia– setelah itu: “إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا ...” (ayat).
وَقَوْلُهُ: «وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا» قِرَاءَةُ أَهْلِ مَكَّةَ وَالْكُوفَةِ وَأَبِي عَمْرٍو بِالْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ، وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي عُبَيْدٍ.
Adapun firman-Nya: “وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا”, penduduk Makkah, Kufah, dan Abu ‘Amr membacanya dengan huruf yā’ di bawah (yakni “يَرَى”), dan itu adalah pilihan Abu ‘Ubaid.
وَقِرَاءَةُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَهْلِ الشَّامِ بِالْفَوْقِيَّةِ،
Sedangkan penduduk Madinah dan penduduk Syam membacanya dengan huruf tā’ di atas (yakni “تَرَى”).
وَالْمَعْنَى عَلَى الْقِرَاءَةِ الْأُولَى: لَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فِي الدُّنْيَا عَذَابَ الْآخِرَةِ لَعَلِمُوا حِينَ يُرَوْنَهُ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا، قَالَهُ أَبُو عُبَيْدٍ.
Makna (ayat) menurut qirā’ah pertama adalah: “Seandainya orang-orang yang zalim itu di dunia dapat melihat azab akhirat, niscaya ketika mereka melihatnya mereka akan mengetahui bahwa seluruh kekuatan hanyalah milik Allah.” Demikian dikatakan oleh Abu ‘Ubaid.
قَالَ النَّحَّاسُ: وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ أَهْلُ التَّفْسِيرِ. انْتَهَى.
An-Nahhās berkata, “Pendapat inilah yang dipegang oleh para ahli tafsir.” Selesai (kutipan).
وَعَلَى هَذَا فَالرُّؤْيَةُ هِيَ الْبَصَرِيَّةُ لَا الْقَلْبِيَّةُ.
Berdasarkan pendapat ini, yang dimaksud “melihat” adalah melihat dengan mata, bukan melihat dengan hati (yakni pengetahuan batin).
وَرُوِيَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَزِيدَ الْمُبَرِّدِ أَنَّهُ قَالَ: هَذَا التَّفْسِيرُ الَّذِي جَاءَ بِهِ أَبُو عُبَيْدٍ بَعِيدٌ، وَلَيْسَتْ عِبَارَتُهُ فِيهِ بِالْجَيِّدَةِ،
Dan diriwayatkan dari Muhammad bin Yazīd Al-Mubarrid bahwa ia berkata: “Tafsir yang dibawakan oleh Abu ‘Ubaid ini jauh (dari tepat) dan ungkapannya di sini tidak baik,
لِأَنَّهُ يُقَدِّرُ: «وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا الْعَذَابَ»، فَكَأَنَّهُ يَجْعَلُهُ مَشْكُوكًا فِيهِ.
karena ia memperkirakan (maknanya): ‘Seandainya orang-orang yang zalim itu melihat azab’, sehingga seakan-seakan ia menjadikan (terjadinya azab) itu sesuatu yang diragukan.
وَقَدْ أَوْجَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى،
Padahal Allah Ta‘ālā telah memastikan (terjadinya azab itu).
وَلَكِنِ التَّقْدِيرُ هُوَ الْأَحْسَنُ: «وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ»، وَ«يَرَى» بِمَعْنَى: يَعْلَمُ،
Namun takdir (susunan makna) yang lebih baik adalah: “Seandainya orang-orang yang zalim itu melihat bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah”, dan kata “يَرَى” di sini bermakna “mengetahui”,
أَيْ: لَوْ يَعْلَمُونَ حَقِيقَةَ قُوَّةِ اللَّهِ وَشِدَّةَ عَذَابِهِ.
yakni: seandainya mereka mengetahui hakikat kekuatan Allah dan kerasnya azab-Nya.
قَالَ: وَجَوَابُ «لَوْ» مَحْذُوفٌ، أَيْ: لَتَبَيَّنُوا ضَرَرَ اتِّخَاذِهِمُ الْآلِهَةَ،
Ia (Al-Mubarrid) berkata: “Jawaban dari ‘لوْ’ (seandainya) dihapuskan, yakni (maknanya): niscaya akan jelas bagi mereka bahaya menjadikan sesembahan-sesembahan lain itu.”
كَمَا حُذِفَ فِي قَوْلِهِ: «وَلَوْ تَرى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ»2، وَ«وَلَوْ تَرى إِذْ وُقِفُوا عَلى رَبِّهِمْ»3.
Sebagaimana (jawaban “لَوْ”) dihapuskan dalam firman-Nya: “وَلَوْ تَرى إِذْ وُقِفُوا عَلَى النَّارِ ...”2, dan: “وَلَوْ تَرى إِذْ وُقِفُوا عَلى رَبِّهِمْ ...”3.
وَمَنْ قَرَأَ بِالْفَوْقِيَّةِ، فَالتَّقْدِيرُ: «وَلَوْ تَرَى يَا مُحَمَّدُ الَّذِينَ ظَلَمُوا فِي حَالِ رُؤْيَتِهِمُ الْعَذَابَ وَفَزَعِهِمْ مِنْهُ، لَعَلِمْتَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا».
Dan siapa yang membaca dengan huruf tā’ di atas (yaitu “تَرَى”), maka takdir (maknanya) adalah: “Seandainya engkau melihat –wahai Muhammad– orang-orang yang zalim itu dalam keadaan mereka melihat azab dan ketakutan mereka darinya, pasti engkau akan mengetahui bahwa kekuatan itu seluruhnya milik Allah.”
وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ عَلِمَ ذَلِكَ، وَلَكِنْ خُوطِبَ بِهَذَا الْخِطَابِ، وَالْمُرَادُ بِهِ أُمَّتُهُ.
Dan sungguh Nabi ﷺ telah mengetahui hal itu, tetapi beliau tetap diajak bicara dengan khithāb ini, sementara yang dimaksud (sebenarnya) adalah umatnya.
وَقِيلَ: «أَنَّ» فِي مَوْضِعِ نَصْبِ مَفْعُولٍ لِأَجْلِهِ، أَيْ: لِأَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ، كَمَا قَالَ الشَّاعِرُ:
Ada pula yang mengatakan: “أَنَّ” berada pada posisi manshūb sebagai maf‘ūl li-ajlih (keterangan sebab), yakni: karena sesungguhnya kekuatan itu milik Allah. Sebagaimana perkataan seorang penyair:
وَأَغْفِرُ عَوْرَاءَ الْكَرِيمِ ادِّخَارَهُ … وَأُعْرِضُ عَنْ شَتْمِ اللَّئِيمِ تَكَرُّمًا
“Aku memaafkan aib orang yang mulia karena ia menyimpannya,
dan aku berpaling dari celaan orang yang hina demi menjaga kemuliaan.”
أَيْ: لِادِّخَارِهِ.
Yakni: karena ia menyimpannya.
وَالْمَعْنَى: وَلَوْ تَرَى يَا مُحَمَّدُ الَّذِينَ ظَلَمُوا فِي حَالِ رُؤْيَتِهِمْ لِلْعَذَابِ –لِأَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ– لَعَلِمْتَ مَبْلَغَهُمْ مِنَ النَّكَالِ،
Maknanya: “Seandainya engkau melihat –wahai Muhammad– orang-orang yang zalim itu dalam keadaan mereka melihat azab –karena kekuatan itu milik Allah– niscaya engkau akan mengetahui sejauh mana hukuman yang menimpa mereka,
وَدَخَلَتْ «إِذْ» وَهِيَ لِمَا مَضَى فِي إِثْبَاتِ هَذِهِ الْمُسْتَقْبَلَاتِ تَقْرِيبًا لِلْأَمْرِ وَتَصْحِيحًا لِوُقُوعِهِ.
dan masuklah kata “إِذْ”, padahal ia (biasanya) untuk masa lampau, (di sini) untuk menetapkan peristiwa-peristiwa masa depan ini, sebagai bentuk pendekatan (seakan-akan telah terjadi) dan penegasan akan kepastiannya.
وَقَرَأَ ابْنُ عَامِرٍ: «إِذْ يَرَوْنَ» بِضَمِّ الْيَاءِ، وَالْبَاقُونَ بِفَتْحِهَا.
Ibnu ‘Āmir membaca “إِذْ يَرَوْنَ” dengan dhammah pada huruf yā’, sedangkan yang lainnya membacanya dengan fathah.
وَقَرَأَ الْحَسَنُ وَيَعْقُوبُ وَأَبُو جَعْفَرٍ: «أَنَّ الْقُوَّةَ» وَ«أَنَّ اللَّهَ» بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ فِيهِمَا عَلَى الِاسْتِئْنَافِ، وَعَلَى تَقْدِيرِ الْقَوْلِ.
Al-Hasan, Ya‘qūb, dan Abu Ja‘far membaca “إِنَّ الْقُوَّةَ” dan “إِنَّ اللَّهَ” dengan memecah (kasrah) hamzah pada keduanya, sebagai kalimat baru (istī’nāf) dan dengan perkiraan adanya kata “dia berkata”.
وَقَوْلُهُ: «إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا» بَدَلٌ مِنْ قَوْلِهِ: «إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ»،
Adapun firman-Nya: “إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا ...” adalah badal (pengganti) dari firman-Nya: “إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ”.
وَمَعْنَاهُ: أَنَّ السَّادَةَ وَالرُّؤَسَاءَ تَبَرَّؤُوا مِمَّنِ اتَّبَعَهُمْ عَلَى الْكُفْرِ.
Maksudnya: para pembesar dan pemimpin berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti mereka di atas kekufuran.
وَقَوْلُهُ: «وَرَأَوُا الْعَذَابَ» فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ، يَعْنِي: التَّابِعِينَ وَالْمَتْبُوعِينَ.
Firman-Nya: “وَرَأَوُا الْعَذَابَ” berada pada posisi manshūb sebagai hal (keterangan keadaan), yaitu (keadaan) para pengikut dan yang diikuti.
قِيلَ: عِنْدَ الْمُعَايَنَةِ فِي الدُّنْيَا، وَقِيلَ: عِنْدَ الْعَرْضِ وَالْمُسَاءَلَةِ فِي الْآخِرَةِ.
Ada yang mengatakan: (itu terjadi) ketika penyaksian langsung di dunia; dan ada yang mengatakan: ketika proses penghadapan dan penghisaban di akhirat.
وَيُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ: فِيهِمَا جَمِيعًا، إِذْ لَا مَانِعَ مِنْ ذٰلِكَ.
Dan mungkin pula dikatakan: berlaku pada keduanya sekaligus, karena tidak ada penghalang untuk itu.
وَقَوْلُهُ: «وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ» هِيَ جَمْعُ «سَبَبٍ»، وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: الْحَبْلُ الَّذِي يُشَدُّ بِهِ الشَّيْءُ وَيُجْذَبُ بِهِ،
Firman-Nya: “وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ” –“asbāb” adalah jamak dari “sabab”; asal maknanya dalam bahasa adalah tali yang dengannya sesuatu diikat dan ditarik,
ثُمَّ جُعِلَ كُلُّ مَا جَرَّ شَيْئًا سَبَبًا، وَالْمُرَادُ بِهَا: الْوُصَلُ الَّتِي كَانُوا يَتَوَاصَلُونَ بِهَا فِي الدُّنْيَا مِنَ الرَّحِمِ وَغَيْرِهِ،
kemudian setiap sesuatu yang menjadi perantara bagi sesuatu disebut “sebab”.
Yang dimaksud di sini adalah ikatan-ikatan yang dahulu mereka gunakan untuk saling berhubungan di dunia, baik ikatan kekerabatan maupun selainnya.
وَقِيلَ: هِيَ الْأَعْمَالُ.
Ada pula yang mengatakan: yang dimaksud adalah amal-amal (mereka).
وَالْكَرَّةُ: الرَّجْعَةُ وَالْعَوْدَةُ إِلَى حَالٍ قَدْ كَانَتْ،
Adapun “الْكَرَّةُ” (kesempatan kembali) adalah kembali dan pulang menuju keadaan yang pernah ada.
وَ«لَوْ» هُنَا فِي مَعْنَى التَّمَنِّي، كَأَنَّهُ قِيلَ: «لَيْتَ لَنَا كَرَّةً»، وَلِهٰذَا وَقَعَتِ الْفَاءُ فِي الْجَوَابِ.
Dan “لوْ” di sini bermakna harapan (seperti kata “seandainya”), seakan-akan dikatakan: “Sekiranya kami memiliki kesempatan kembali”, dan karena itulah huruf “فَاء” masuk pada jawaban (kalimat setelahnya).
وَالْمَعْنَى: أَنَّ الْأَتْبَاعَ قَالُوا: لَوْ رُدِدْنَا إِلَى الدُّنْيَا حَتَّى نَعْمَلَ صَالِحًا، وَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّؤُوا مِنَّا.
Maknanya: para pengikut itu berkata, “Seandainya kami dikembalikan ke dunia agar kami dapat beramal saleh dan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.”
وَالْكَافُ فِي قَوْلِهِ: «كَمَا تَبَرَّؤُوا مِنَّا» فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى النَّعْتِ لِمَصْدَرٍ مَحْذُوفٍ،
Huruf “كَاف” pada firman-Nya: “كَمَا تَبَرَّؤُوا مِنَّا” berada pada posisi manshūb sebagai sifat bagi mashdar yang dihilangkan,
وَقِيلَ: فِي مَحَلِّ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ، وَلَا أَرَاهُ صَحِيحًا.
dan ada yang mengatakan: posisinya manshūb sebagai hal (keterangan keadaan), tetapi aku tidak melihat pendapat itu benar.
وَقَوْلُهُ: «كَذٰلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ» فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ، أَيْ: الْأَمْرُ كَذٰلِكَ،
Firman-Nya: “كَذٰلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ ...” berada pada posisi marfū‘, yakni (maknanya): “keadaan itu demikianlah”.
أَيْ: كَمَا أَرَاهُمُ اللَّهُ الْعَذَابَ يُرِيهِمْ أَعْمَالَهُمْ،
Yaitu: sebagaimana Allah memperlihatkan azab kepada mereka, Dia memperlihatkan pula kepada mereka amal-amal mereka.
وَهَذِهِ الرُّؤْيَةُ إِنْ كَانَتْ الْبَصَرِيَّةَ فَقَوْلُهُ: «حَسَرَاتٍ» مُنْتَصِبٌ عَلَى الْحَالِ،
Jika “melihat” di sini adalah penglihatan mata, maka kata “حَسَرَاتٍ” (penyesalan-penyesalan) berstatus manshūb sebagai hal (keterangan keadaan),
وَإِنْ كَانَتِ الْقَلْبِيَّةَ فَهُوَ الْمَفْعُولُ الثَّالِثُ،
sedangkan bila ia adalah penglihatan hati (yakni pengetahuan batin), maka ia menjadi maf‘ūl ketiga,
وَالْمَعْنَى: أَنَّ أَعْمَالَهُمُ الْفَاسِدَةَ يُرِيهِمُ اللَّهُ إِيَّاهَا، فَتَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ،
dan maknanya: bahwa amal-amal mereka yang rusak itu diperlihatkan Allah kepada mereka, lalu amal itu menjadi penyesalan atas mereka,
أَوْ يُرِيهِمُ الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ الَّتِي أَوْجَبَهَا عَلَيْهِمْ فَتَرَكُوهَا، فَيَكُونُ ذٰلِكَ حَسْرَةً عَلَيْهِمْ.
atau Allah memperlihatkan kepada mereka amal-amal saleh yang telah Dia wajibkan atas mereka namun mereka meninggalkannya, maka hal itu menjadi penyesalan bagi mereka.
وَقَوْلُهُ: «وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ» فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى خُلُودِ الْكُفَّارِ فِي النَّارِ،
Firman-Nya: “وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ” mengandung dalil tentang kekalnya orang-orang kafir di dalam neraka,
وَظَاهِرُ هٰذَا التَّرْكِيبِ يُفِيدُ الِاخْتِصَاصَ،
dan zhahir susunan kalimat ini menunjukkan adanya pembatasan (pengesahan khusus),
وَجَعَلَهُ الزَّمَخْشَرِيُّ لِلتَّقْوِيَةِ لِغَرَضٍ لَهُ يَرْجِعُ إِلَى الْمَذْهَبِ، وَالْبَحْثُ فِي هٰذَا يَطُولُ.
namun Az-Zamakhsyarī menganggapnya sekadar untuk penguatan (penegasan), demi suatu tujuan yang kembali kepada mazhab (teologinya), dan pembahasan rinci tentang hal ini akan menjadi panjang.
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا» قَالَ: مُبَاهَاةً وَمُضَارَرَةً لِلْحَقِّ بِالْأَنْدَادِ،
Telah meriwayatkan ‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Jarīr dari Mujāhid, tentang firman-Nya: “وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا”, ia berkata: “(Mereka menjadikan tandingan-tandingan itu) untuk saling membanggakan dan untuk menentang kebenaran dengan tandingan-tandingan tersebut.”
«وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ» قَالَ: مِنَ الْكُفَّارِ لِآلِهَتِهِمْ.
Tentang firman-Nya: “وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ”, ia berkata: “(Mereka) lebih besar cintanya kepada Allah daripada orang-orang kafir terhadap sesembahan-sesembahan mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ أَبِي زَيْدٍ فِي هٰذِهِ الْآيَةِ، قَالَ: هٰؤُلَاءِ الْمُشْرِكُونَ أَنْدَادُهُمْ: آلِهَتُهُمُ الَّتِي عَبَدُوا مَعَ اللَّهِ،
Ibnu Jarīr juga meriwayatkan dari Abū Zaid mengenai ayat ini, ia berkata: “Orang-orang musyrik ini, tandingan-tandingan mereka adalah sesembahan-sesembahan yang mereka sembah bersama Allah.”
«يُحِبُّونَهُمْ كَمَا يُحِبُّ الَّذِينَ آمَنُوا اللَّهَ»، «وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ مِنْ حُبِّهِمْ لِآلِهَتِهِمْ».
“Mereka mencintai (sesembahan-sesembahan itu) sebagaimana orang-orang yang beriman mencintai Allah; dan orang-orang yang beriman itu lebih besar cintanya kepada Allah daripada kecintaan orang-orang musyrik kepada sesembahan-sesembahan mereka.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ السُّدِّيِّ فِي الْآيَةِ، قَالَ: الْأَنْدَادُ مِنَ الرِّجَالِ، يُطِيعُونَهُمْ كَمَا يُطِيعُونَ اللَّهَ؛ إِذَا أَمَرُوهُمْ أَطَاعُوهُمْ، وَعَصَوُا اللَّهَ.
Dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari As-Suddī tentang ayat ini, ia berkata: “Andād (tandingan-tandingan) itu adalah para lelaki (pemimpin); mereka menaati para pemimpin itu sebagaimana mereka menaati Allah: bila para pemimpin itu memerintahkan, mereka patuh, namun mereka durhaka kepada Allah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ نَحْوَ مَا قَالَ ابْنُ زَيْدٍ.
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari ‘Ikrimah dengan makna yang serupa dengan yang dikatakan Ibnu Zaid.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ الزُّبَيْرِيِّ فِي قَوْلِهِ: «وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا» قَالَ: وَلَوْ تَرَى يَا مُحَمَّدُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِي أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّكُمْ إِيَّايَ،
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Az-Zubairī tentang firman-Nya: “وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا ...”, ia berkata: “Seandainya engkau melihat –wahai Muhammad– orang-orang yang menzalimi diri mereka sendiri, yang menjadikan tandingan-tandingan selain Aku dan mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana kalian mencintai-Ku,
حِينَ يُعَايِنُونَ عَذَابِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِي أَعْدَدْتُ لَهُمْ، لَعَلِمْتُمْ أَنَّ الْقُوَّةَ كُلَّهَا لِي دُونَ الْأَنْدَادِ،
ketika mereka menyaksikan azab-Ku pada hari Kiamat yang telah Aku siapkan bagi mereka, niscaya kalian akan mengetahui bahwa seluruh kekuatan hanyalah milik-Ku, bukan milik tandingan-tandingan itu,
وَالْآلِهَةُ لَا تُغْنِي عَنْهُمْ هُنَالِكَ شَيْئًا، وَلَا تَدْفَعُ عَنْهُمْ عَذَابًا أَحْلَلْتُهُ بِهِمْ،
dan sesembahan-sesembahan (mereka) di sana sama sekali tidak memberi manfaat sedikit pun kepada mereka, dan tidak dapat menolak azab yang telah Aku timpakan kepada mereka,
وَأَيْقَنُوا أَنِّي شَدِيدُ عَذَابِي لِمَنْ كَفَرَ بِي، وَادَّعَى مَعِي إِلٰهًا غَيْرِي».
dan mereka meyakini bahwa Aku amat keras azab-Ku terhadap orang yang kufur kepada-Ku dan yang mengklaim adanya sesembahan lain bersama-Ku.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا» قَالَ: هُمُ الْجَبَابِرَةُ وَالْقَادَةُ وَالرُّؤُوسُ فِي الشِّرْكِ،
‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا”, ia berkata: “Mereka adalah para penguasa yang sewenang-wenang, para pemimpin, dan kepala-kepala dalam kemusyrikan.”
«مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا» قَالَ: هُمُ الشَّيَاطِينُ، تَبَرَّؤُوا مِنَ الْإِنْسِ.
Tentang firman-Nya: “مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا”, ia berkata: “Mereka adalah setan-setan; setan-setan itu berlepas diri dari manusia.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ» قَالَ: الْمَوَدَّةُ.
‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Jarīr, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abī Hātim, dan Al-Ḥākim (yang mensahihkannya), meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman-Nya: “وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ”, ia berkata: “(Yang dimaksud adalah) kasih sayang (ikatan cinta).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنْهُ، قَالَ: هِيَ الْمَنَازِلُ.
Ibnu Jarīr dan Ibnu Abī Hātim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbās), ia berkata: “Itu adalah tempat-tempat kedudukan (derajat).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْهُ، قَالَ: هِيَ الْأَرْحَامُ.
Ibnu Jarīr dan Ibnu Al-Mundzir meriwayatkan darinya, ia berkata: “Itu adalah hubungan kekerabatan.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَأَبُو نُعَيْمٍ فِي «الْحِلْيَةِ» عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: هِيَ الْأَوْصَالُ الَّتِي كَانَتْ بَيْنَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْمَوَدَّةُ.
‘Abd bin Ḥumayd, Ibnu Jarīr, dan Abū Nu‘aim dalam kitab “Al-Ḥilyah” meriwayatkan dari Mujāhid, ia berkata: “Itu adalah hubungan-hubungan (keterkaitan) yang dahulu ada di antara mereka di dunia, dan (termasuk di dalamnya) kasih sayang.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، قَالَ: هِيَ الْأَعْمَالُ.
‘Abd bin Ḥumayd meriwayatkan dari Abū Ṣāliḥ, ia berkata: “Itu adalah amal-amal (mereka).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ الرَّبِيعِ، قَالَ: هِيَ الْمَنَازِلُ.
‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ar-Rabī‘, ia berkata: “Itu adalah tempat-tempat kedudukan (derajat).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً» قَالَ: رَجْعَةً إِلَى الدُّنْيَا.
‘Abd bin Ḥumayd dan Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Qatādah tentang firman-Nya: “لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً”, ia berkata: “(Yang dimaksud) adalah kembali ke dunia.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «حَسَرَاتٍ» قَالَ: صَارَتْ أَعْمَالُهُمُ الْخَبِيثَةُ حَسْرَةً عَلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari Abul-‘Āliyah tentang firman-Nya: “حَسَرَاتٍ”, ia berkata: “Amal-amal buruk mereka menjadi penyesalan bagi mereka pada hari Kiamat.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنِ عِكْرِمَةَ فِي قَوْلِهِ: «وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ» قَالَ: أُولٰئِكَ أَهْلُهَا الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا.
Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya: “وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ”, ia berkata: “Mereka itulah para penghuni neraka, yang benar-benar (pantas) menjadi penghuninya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنْ ثَابِتِ بْنِ مَعْبَدٍ، قَالَ: مَا زَالَ أَهْلُ النَّارِ يَأْمُلُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا حَتَّى نَزَلَتْ: «وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ».
Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari Tsābit bin Ma‘bad, ia berkata: “Penduduk neraka senantiasa berharap dapat keluar darinya hingga turun (ayat): ‘وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ’ – (sejak itu) mereka tidak lagi berharap (untuk keluar).”
---
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِي – ج ١ (ص: ١٩١–١٩٢)
Fath Al-Qadīr karya Asy-Syaukānī – Jilid 1 (hlm. 191–192)
---
1 Atsar ini dan yang semisalnya tidak bersandar pada Al-Kitab maupun As-Sunnah; ia hanyalah pendapat pemiliknya dan tidak dapat dijadikan pegangan karena bertentangan dengan fakta-fakta ilmiah. [.....]
2 QS. Al-An‘ām: 27.
3 QS. Al-An‘ām: 30.