Al Baqarah Ayat 148-152
[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (٢) : الآيَاتُ ١٤٨ إِلَى ١٥٢]
[Surat Al-Baqarah (2): ayat 148 sampai 152] ---
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيها فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ أَيْنَ ما تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعاً إِنَّ اللَّهَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (١٤٨)
Dan bagi tiap-tiap (umat) ada kiblat yang ia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.
Di mana saja kalian berada, niscaya Allah akan mengumpulkan kalian semuanya.
Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (148)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٩)
Dan dari mana saja engkau keluar (untuk menghadap), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dan sesungguhnya (pemalingan kiblat itu) benar-benar (datang) dari Tuhanmu.
Dan Allah tidak sekali-kali lengah dari apa yang kalian kerjakan. (149)
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٥٠)
Dan dari mana saja engkau keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya,
agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah kalian,
kecuali orang-orang yang zhalim di antara mereka.
Maka janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku.
Dan agar Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan supaya kalian mendapat petunjuk. (150)
كَمَا أَرْسَلْنا فِيكُمْ رَسُولاً مِنْكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ آياتِنا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ ما لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١)
Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul dari (kalangan) kalian sendiri,
yang membacakan kepada kalian ayat-ayat Kami,
dan menyucikan kalian,
dan mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan al-Hikmah,
serta mengajarkan kepada kalian apa yang sebelumnya tidak kalian ketahui. (151)
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلا تَكْفُرُونِ (١٥٢)
Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian.
Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur kepada-Ku. (152)
---
قَوْلُهُ: لِكُلٍّ
Firman-Nya: *“Likullin”* (“bagi tiap-tiap (umat)”).
بِحَذْفِ الْمُضَافِ إِلَيْهِ لِدَلَالَةِ التَّنْوِينِ عَلَيْهِ، أَيْ: لِكُلِّ أَهْلِ دِينٍ وِجْهَةٌ،
Dengan penghapusan mudhāf ilaih (kata yang disandari) karena tanwīn menunjukkan kepadanya.
Maksudnya: bagi setiap pemeluk agama ada “wijhah” (arah).
وَالْوِجْهَةُ فِعْلَةٌ مِنَ الْمُوَاجَهَةِ وَفِي مَعْنَاهَا: الْجِهَةُ وَالْوَجْهُ،
“Al-wijhah” adalah bentuk *fi‘lah* dari kata *al-muwājahah* (berhadap-hadapan).
Maknanya sepadan dengan “al-jihah” (arah) dan “al-wajh” (wajah/arah).
وَالْمُرَادُ: الْقِبْلَةُ،
Yang dimaksud di sini adalah: kiblat.
أَيْ: أَنَّهُمْ لَا يَتَّبِعُونَ قِبْلَتَكَ وَأَنْتَ لَا تَتَّبِعُ قِبْلَتَهُمْ لِكُلٍّ وِجْهَةٌ
Yakni: mereka (Ahli Kitab) tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak mengikuti kiblat mereka.
Masing-masing punya arah (kiblat) sendiri.
إِمَّا بِحَقٍّ وَإِمَّا بِبَاطِلٍ،
Ada yang dengan cara yang benar, dan ada yang dengan cara yang batil.
وَالضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: هُوَ مُوَلِّيها
Dhamir (kata ganti) dalam firman-Nya: *“huwa muwallīhā”* (“ia menghadap kepadanya”)
رَاجِعٌ إِلَى لَفْظِ كُلٍّ.
kembali kepada lafaz “kull” (tiap-tiap (umat)).
وَالْهَاءُ فِي قَوْلِهِ: مُوَلِّيها
Huruf “hā” (ـها) pada kata “muwallīhā”
هِيَ الْمَفْعُولُ الْأَوَّلُ،
adalah maf‘ūl pertama (obyek pertama).
وَالْمَفْعُولُ الثَّانِي: مَحْذُوفٌ، أَيْ: مُوَلِّيهَا وَجْهَهُ.
Sedangkan maf‘ūl kedua dihapus,
yakni: “ia menghadapkannya **(menghadap kiblat itu)** dengan wajahnya.”
وَالْمَعْنَى: أَنَّ لِكُلِّ صَاحِبِ مِلَّةٍ قِبْلَةً صَاحِبُ الْقِبْلَةِ مُوَلِّيهَا وَجْهَهُ،
Maknanya: setiap pemeluk suatu agama memiliki kiblat.
Pemilik kiblat itu menghadapkannya dengan wajahnya.
أَوْ لِكُلٍّ مِنْكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ! قِبْلَةٌ يُصَلِّي إِلَيْهَا مِنْ شَرْقٍ أَوْ غَرْبٍ أَوْ جَنُوبٍ أَوْ شَمَالٍ إِذَا كَانَ الْخِطَابُ لِلْمُسْلِمِينَ،
Atau maknanya: setiap dari kalian, wahai umat Muhammad,
mempunyai kiblat untuk shalat ke arahnya,
baik dari timur, barat, selatan, maupun utara,
jika ayat ini diarahkan kepada kaum Muslimin.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الضَّمِيرُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَهُ ذِكْرٌ،
Dan mungkin juga dhamir itu kembali kepada Allah Ta‘ala,
meskipun sebelumnya tidak disebutkan secara lafzi.
إِذْ هُوَ مَعْلُومٌ أَنَّ اللَّهَ فَاعِلُ ذَلِكَ،
Karena sudah diketahui bahwa Allahlah pelaku (penentu) hal itu.
وَالْمَعْنَى: أَنَّ لِكُلِّ صَاحِبِ مِلَّةٍ قِبْلَةً اللَّهُ مُوَلِّيهَا إِيَّاهُ.
Maknanya: setiap pemeluk agama memiliki kiblat, dan Allahlah yang menghadapkannya kepada kiblat itu.
وَحَكَى الطَّبَرِيُّ أَنَّ قَوْمًا قَرَءُوا: لِكُلٍّ وِجْهَةٌ
Ath-Thabari meriwayatkan bahwa suatu kaum membaca ayat ini: *“likulli wijhah”* (tanpa tanwīn, dengan idhāfah).
بِالْإِضَافَةِ،
Yakni dengan bentuk mudhāf (disandarkan).
وَنَسَبَ هَذِهِ الْقِرَاءَةَ أَبُو عَمْرٍو الدَّانِيُّ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ.
Abu ‘Amr ad-Dāni menisbatkan qirā’ah ini kepada Ibnu ‘Abbas.
قَالَ فِي الْكَشَّافِ: وَالْمَعْنَى: وَكُلُّ وِجْهَةٍ اللَّهُ مُوَلِّيهَا
Disebutkan dalam *al-Kasysyāf*:
Maknanya: “dan setiap arah (kiblat), Allahlah yang menghadapkannya”.
فَزِيدَتِ اللَّامُ لِتَقَدُّمِ الْمَفْعُولِ، كَقَوْلِكَ: لَزَيْدٌ ضَرَبْتُ، وَلَزَيْدٌ أَبُوهُ ضَارِبُهُ. انْتَهَى.
Maka huruf “lam” ditambahkan karena mendahulukan maf‘ūl,
seperti ucapanmu: “**La Zaydan** dharabtu” (Sungguh Zaidlah yang aku pukul),
dan “**La Zaydan** abūhu dāribuh” (Sungguh Zaidlah yang ayahnya akan memukulnya).
Selesai (kutipan).
وَقَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ عَامِرٍ: مُوَلَّاهَا عَلَى مَا لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ.
Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Amir membaca: *“muwallāhā”* (bentuk pasif)
dengan bina majhūl (pelaku tidak disebut).
قَالَ الزَّجَّاجُ: وَالضَّمِيرُ عَلَى هَذِهِ الْقِرَاءَةِ لِوَاحِدٍ،
Az-Zajjāj berkata: dhamir pada qirā’ah ini kembali kepada satu orang.
أَيْ: وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنَ النَّاسِ قِبْلَةٌ الْوَاحِدُ مُوَلَّاهَا، أَيْ: مَصْرُوفٌ إِلَيْهَا.
Yaitu: setiap satu orang dari manusia memiliki kiblat.
Orang itu “muwallāhā” (dihadapkan) kepadanya, maksudnya: diarahkan ke kiblat itu.
وَقَوْلُهُ: فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Dan firman-Nya: *“fastabiqū al-khayrāt”* (Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan).
أَيْ: إِلَى الْخَيْرَاتِ عَلَى الْحَذْفِ وَالْإِيصَالِ،
Yakni: **(berlomba-lombalah) kepada kebaikan**,
dengan penghapusan kata “ilā” (menuju) dan penyambungan langsung (fi‘l ke maf‘ūl).
أَيْ: بَادِرُوا إِلَى مَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ مِنِ اسْتِقْبَالِ الْبَيْتِ الْحَرَامِ كَمَا يُفِيدُهُ السِّيَاقُ،
Maksudnya: segeralah kalian kepada apa yang Allah perintahkan,
yaitu menghadap ke Baitul Haram, sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat.
وَإِنْ كَانَ ظَاهِرُهُ الْأَمْرَ بِالِاسْتِبَاقِ إِلَى كُلِّ مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ أَنَّهُ خَيْرٌ،
Walaupun secara lahiriah ayat ini adalah perintah
untuk berlomba kepada semua hal yang bisa disebut sebagai kebaikan.
كَمَا يُفِيدُهُ الْعُمُومُ الْمُسْتَفَادُ مِنْ تَعْرِيفِ الْخَيْرَاتِ،
Sebagaimana dipahami dari keumuman lafaz “al-khayrāt” (dengan alif-lam, menunjukkan makna umum).
وَالْمُرَادُ مِنَ الِاسْتِبَاقِ إِلَى الِاسْتِقْبَالِ: الِاسْتِبَاقُ إِلَى الصَّلَاةِ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا.
Namun yang dimaksud dari berlomba untuk menghadap kiblat adalah
berlomba menunaikan shalat di awal waktunya.
وَمَعْنَى قَوْلِهِ: أَيْنَ ما تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ
Makna firman-Nya: *“ayna mā takūnū ya’ti bikumu-llāh”*
(“di mana saja kalian berada, Allah akan mendatangkan kalian”).
أَيْ: فِي أَيِّ جِهَةٍ مِنَ الْجِهَاتِ الْمُخْتَلِفَةِ تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ لِلْجَزَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
Yakni: di arah mana pun dari sekian arah yang berbeda kalian berada,
Allah akan mendatangkan kalian pada hari Kiamat untuk diberi balasan.
أَوْ يَجْمَعْكُمْ جَمِيعًا،
Atau: Allah akan mengumpulkan kalian semuanya.
وَيَجْعَلُ صَلَاتَكُمْ فِي الْجِهَاتِ الْمُخْتَلِفَةِ كَأَنَّهَا إِلَى جِهَةٍ وَاحِدَةٍ،
Dan Dia menjadikan shalat kalian yang dilakukan di berbagai arah itu
seakan-akan menuju satu arah saja.
وَقَوْلُهُ: وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ
Firman-Nya: *“Wa min ḥaythu kharajta”* (Dan dari mana saja engkau keluar).
كَرَّرَ سُبْحَانَهُ هَذَا لِتَأْكِيدِ الْأَمْرِ بِاسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ، وَلِلاهْتِمَامِ بِهِ،
Allah mengulang-ulang (perintah) ini
untuk menegaskan kewajiban menghadap Ka‘bah dan untuk menunjukkan besarnya perhatian terhadapnya.
لِأَنَّ مَوْضِعَ التَّحْوِيلِ كَانَ مُعْتَنًى بِهِ فِي نُفُوسِهِمْ،
Karena masalah perubahan kiblat ini sangat diperhatikan dan dipikirkan oleh mereka.
وَقِيلَ: وَجْهُ التَّكْرِيرِ: أَنَّ النَّسْخَ مِنْ مَظَانِّ الْفِتْنَةِ وَمَوَاطِنِ الشُّبْهَةِ،
Dikatakan pula: sebab pengulangan itu,
karena masalah nasakh (penghapusan hukum) adalah salah satu tempat munculnya fitnah dan syubhat.
فَإِذَا سَمِعُوهُ مَرَّةً بَعْدَ أُخْرَى ثَبَتُوا وَانْدَفَعَ مَا يَخْتَلِجُ فِي صُدُورِهِمْ.
Maka bila mereka mendengarnya berkali-kali,
mereka akan menjadi mantap dan bisikan-bisikan ragu dalam hati mereka akan hilang.
وَقِيلَ: إِنَّهُ كَرَّرَ هَذَا الْحُكْمَ لِتَعَدُّدِ عِلَلِهِ،
Ada pula yang berkata: Allah mengulang hukum ini karena alasan-alasannya beragam.
فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ ذَكَرَ لِلتَّحْوِيلِ ثَلَاثَ عِلَلٍ:
Karena Allah Ta‘ala menyebutkan bagi perubahan kiblat ini tiga alasan:
الْأُولَى: ابْتِغَاءُ مَرْضَاتِهِ،
Pertama: untuk mencari keridaan-Nya.
وَالثَّانِيَةُ: جَرْيُ الْعَادَةِ الْإِلَهِيَّةِ أَنْ يُوَلِّيَ كُلَّ أَهْلِ مِلَّةٍ وَصَاحِبِ دَعْوَةٍ جِهَةً يَسْتَقِلُّ بِهَا،
Kedua: sesuai kebiasaan (sunnah) ilahiah, bahwa setiap pemeluk agama dan pembawa dakwah
dipalingkan (diberi) arah (kiblat) yang ia berdiri sendiri dengannya.
وَالثَّالِثَةُ: دَفْعُ حُجَجِ الْمُخَالِفِينَ،
Ketiga: untuk menolak hujjah (alasan) para penentang.
فَقَرَنَ بِكُلِّ عِلَّةٍ مَعْلُولَهَا.
Maka Allah menyertakan pada setiap alasan tersebut akibat (hukum)nya.
وَقِيلَ: أَرَادَ بِالْأَوَّلِ: وَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْكَعْبَةِ إِذَا صَلَّيْتَ تِلْقَاءَهَا،
Dikatakan juga: maksud pengulangan pertama adalah:
“Palingkanlah wajahmu ke arah Ka‘bah bila engkau shalat menghadapnya secara langsung.”
ثُمَّ قَالَ: وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ فِي سَائِرِ الْمَسَاجِدِ بِالْمَدِينَةِ وَغَيْرِهَا فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ،
Kemudian Allah berfirman: *“Wa ḥaytsu mā kuntum …”*
maksudnya:
“Dan di mana pun kalian berada, wahai kaum Muslimin, di berbagai masjid di Madinah dan selainnya,
maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya (Ka‘bah).”
ثُمَّ قَالَ: وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ يَعْنِي وُجُوبَ الِاسْتِقْبَالِ فِي الْأَسْفَارِ،
Lalu Allah berfirman: *“Wa min ḥaythu kharajta …”*
yakni kewajiban menghadap kiblat ketika dalam perjalanan.
فَكَانَ هَذَا أَمْرًا بِالتَّوَجُّهِ إِلَى الْكَعْبَةِ فِي جَمِيعِ الْمَوَاطِنِ مِنْ نَوَاحِي الْأَرْضِ.
Dengan demikian, ayat-ayat ini adalah perintah untuk menghadap Ka‘bah
di semua tempat di penjuru bumi.
وَقَوْلُهُ: لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ
Firman-Nya: *“Li-allā yakūna lin-nāsi ‘alaikum ḥujjah”*
(agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah kalian).
قِيلَ: مَعْنَاهُ: لِئَلَّا يَكُونَ لِلْيَهُودِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ
Dikatakan: maksudnya adalah agar orang-orang Yahudi tidak memiliki hujjah terhadap kalian.
إِلَّا لِلْمُعَانِدِينَ مِنْهُمُ الْقَائِلِينَ: مَا تَرَكَ قِبْلَتَنَا إِلَى الْكَعْبَةِ إِلَّا مَيْلًا إِلَى دِينِ قَوْمِهِ،
Kecuali bagi kalangan yang keras kepala di antara mereka
yang berkata: “Ia (Muhammad) tidak meninggalkan kiblat kami menuju Ka‘bah
kecuali karena condong kepada agama kaumnya.”
فَعَلَى هَذَا: الْمُرَادُ بِالَّذِينَ ظَلَمُوا: الْمُعَانِدُونَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ.
Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan “orang-orang yang zhalim” adalah
orang-orang yang keras kepala dari kalangan Ahli Kitab.
وَقِيلَ: هُمْ مُشْرِكُو الْعَرَبِ، وَحُجَّتُهُمْ: قَوْلُهُمْ: رَاجَعْتَ قِبْلَتَنَا.
Dikatakan pula: mereka adalah kaum musyrik Arab.
Hujjah (alasan) mereka adalah perkataan mereka: “Engkau telah kembali kepada kiblat kami.”
وَقِيلَ مَعْنَاهُ: لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ لِئَلَّا يَقُولُوا لَكُمْ: قَدْ أُمِرْتُمْ بِاسْتِقْبَالِ الْكَعْبَةِ وَلَسْتُمْ تَرَوْنَهَا.
Dan dikatakan: maknanya adalah:
“agar manusia tidak memiliki hujjah atas kalian”,
yakni agar mereka tidak berkata: “Kalian diperintahkan menghadap Ka‘bah,
sementara kalian tidak melihatnya (tidak menghadap langsung ke arahnya).”
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: إِنَّ إِلَّا هَاهُنَا بِمَعْنَى الْوَاوِ:
Abu ‘Ubaidah berkata: kata “illā” di sini maknanya seperti huruf “wāw” (dan).
أَيْ: وَالَّذِينَ ظَلَمُوا، فَهُوَ اسْتِثْنَاءٌ بِمَعْنَى الْوَاوِ،
Yakni: “dan orang-orang yang zhalim,”
maka “illā” ini adalah istitsnā’ (pengecualian) yang bermakna “wāw”.
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Contohnya adalah ucapan seorang penyair:
مَا بِالْمَدِينَةِ دَارٌ غَيْرُ وَاحِدَةٍ … دَارُ الْخَلِيفَةِ إِلَّا دَارُ مُرْوَانَا
“Tidak ada di Madinah rumah selain satu rumah,
yaitu rumah Khalifah, kecuali rumah Marwān.”
كَأَنَّهُ قَالَ: إِلَّا دَارُ الْخَلِيفَةِ وَدَارُ مَرْوَانَ.
Seakan-akan ia berkata: “yaitu rumah Khalifah dan rumah Marwan.”
وَأَبْطَلَ الزَّجَّاجُ هَذَا الْقَوْلَ،
Namun az-Zajjāj membatalkan pendapat ini.
وَقَالَ: إِنَّهُ اسْتِثْنَاءٌ مُنْقَطِعٌ،
Ia berkata: “Ini adalah istitsnā’ munqathi‘ (pengecualian terputus).”
أَيْ: لَكِنِ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَإِنَّهُمْ يَحْتَجُّونَ،
Yaitu: “Akan tetapi orang-orang yang zhalim di antara mereka,
mereka (tetap) akan membantah.”
وَمَعْنَاهُ: إِلَّا مَنْ ظَلَمَ بِاحْتِجَاجِهِ فِيمَا قَدْ وَضَحَ لَهُ،
Maknanya: kecuali orang yang berbuat zhalim dengan bantahannya
dalam perkara yang sebenarnya telah jelas baginya.
كَمَا تَقُولُ: مَا لَكَ عَلَيَّ حُجَّةٌ إِلَّا أَنْ تَظْلِمَنِي،
Seperti engkau berkata: “Engkau tidak memiliki hujjah apa pun atasku kecuali bila engkau menzhalimi aku.”
أَيْ: مَا لَكَ عَلَيَّ حُجَّةٌ الْبَتَّةَ وَلَكِنَّكَ تَظْلِمُنِي،
Artinya: “Engkau sama sekali tidak punya hujjah atasku, tetapi engkau menzhalimiku.”
وَسَمَّى ظُلْمَهُ: حُجَّةً لِأَنَّ الْمُحْتَجَّ بِهَا سَمَّاهُ حُجَّةً وَإِنْ كَانَتْ دَاحِضَةً.
Ia menyebut kedhalimannya itu sebagai “hujjah”
karena orang yang membantah itu menyebutnya hujjah, walaupun sejatinya hujjah itu batil.
وَقَالَ قُطْرُبٌ: يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمَعْنَى: لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا،
Quthrub berkata: boleh jadi maknanya adalah:
“agar manusia tidak memiliki hujjah atas kalian, kecuali (hujjah) atas orang-orang yang zhalim.”
فَالَّذِينَ: بَدَلٌ مِنَ الْكَافِ وَالْمِيمِ فِي عَلَيْكُمْ.
Maka lafaz “alladzīna” menjadi badal dari dhamir “kum” dalam kata “‘alaikum”.
وَرَجَّحَ ابْنُ جَرِيرٍ الطَّبَرِيُّ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ مُتَّصِلٌ،
Ibnu Jarir ath-Thabari menguatkan bahwa istitsnā’ di sini bersifat muttashil (bersambung).
وَقَالَ: نَفَى اللَّهُ أَنْ يَكُونَ لِأَحَدٍ حُجَّةٌ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابِهِ فِي اسْتِقْبَالِهِمُ الْكَعْبَةَ،
Ia berkata: “Allah menafikan adanya hujjah bagi siapa pun atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya dalam urusan mereka menghadap Ka‘bah.”
وَالْمَعْنَى: لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ عَلَيْكُمْ إِلَّا الْحُجَّةَ الدَّاحِضَةَ،
Maknanya: tidak ada hujjah bagi siapa pun atas kalian, kecuali hujjah yang batil.
حَيْثُ قَالُوا: مَا وَلَّاهُمْ، وَقَالُوا: إِنَّ مُحَمَّدًا تَحَيَّرَ فِي دِينِهِ وَمَا تَوَجَّهَ إِلَى قِبْلَتِنَا إِلَّا أَنَّا أَهْدَى مِنْهُ،
Yaitu saat mereka berkata: “Apa yang memalingkan mereka?”
Dan mereka berkata: “Sesungguhnya Muhammad bingung dalam agamanya.
Ia tidak menghadap ke kiblat kami kecuali karena kami lebih mendapat petunjuk darinya.”
وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْأَقْوَالِ الَّتِي لَمْ تَنْبَعِثْ إِلَّا مِنْ عَابِدِ وَثَنٍ أَوْ مِنْ يَهُودِيٍّ أَوْ مُنَافِقٍ.
Dan ucapan-ucapan lain
yang tidak keluar kecuali dari penyembah berhala, atau seorang Yahudi, atau orang munafik.
قَالَ: وَالْحُجَّةُ: بِمَعْنَى الْمُحَاجَّةِ الَّتِي هِيَ الْمُخَاصَمَةُ وَالْمُجَادَلَةُ،
Ia (ath-Thabari) berkata: “Hujjah” di sini bermakna muḥājjah,
yaitu perselisihan dan perdebatan.
وَسَمَّاهَا تَعَالَى: حُجَّةً، وَحَكَمَ بِفَسَادِهَا حَيْثُ كَانَتْ مِنْ ظَالِمٍ.
Allah menyebutnya “hujjah”,
tetapi menghukuminya rusak (batal) karena berasal dari orang zhalim.
وَرَجَّحَ ابْنُ عَطِيَّةَ أَنَّ الِاسْتِثْنَاءَ مُنْقَطِعٌ كَمَا قَالَ الزَّجَّاجُ.
Ibnu ‘Athiyyah menguatkan bahwa istitsnā’ ini munqathi‘, sebagaimana pendapat az-Zajjāj.
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَهَذَا عَلَى أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالنَّاسِ: الْيَهُودَ،
Al-Qurthubi berkata: “Ini jika yang dimaksud dengan ‘manusia’ di sini adalah orang-orang Yahudi.”
ثُمَّ اسْتَثْنَى كُفَّارَ الْعَرَبِ كَأَنَّهُ قَالَ: لَكِنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا فِي قَوْلِهِمْ: رَجَعَ مُحَمَّدٌ إِلَى قِبْلَتِنَا وَسَيَرْجِعُ إِلَى دِينِنَا كُلِّهِ.
Lalu Allah mengecualikan orang-orang kafir Arab,
seakan-akan Dia berfirman:
“Akan tetapi orang-orang yang zhalim dengan ucapan mereka:
‘Muhammad telah kembali ke kiblat kami dan kelak akan kembali kepada seluruh agama kami.’”
وَقَوْلُهُ: فَلا تَخْشَوْهُمْ يُرِيدُ النَّاسَ،
Firman-Nya: *“Falā takhsyauhum”* (Maka janganlah kalian takut kepada mereka),
yang dimaksud adalah: manusia (yang membantah itu).
أَيْ: لَا تَخَافُوا مَطَاعِنَهُمْ فَإِنَّهَا دَاحِضَةٌ بَاطِلَةٌ لَا تَضُرُّكُمْ.
Yakni: jangan kalian takut terhadap cercaan dan sanggahan mereka,
karena itu semua batil dan tidak akan membahayakan kalian.
وَقَوْلُهُ: وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ
Firman-Nya: *“Wa li-utimma ni‘matī ‘alaikum”* (Dan agar Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian).
مَعْطُوفٌ عَلَى: لِئَلَّا يَكُونَ،
Hal ini di-‘athaf-kan pada frasa “li-allā yakūna” (agar tidak ada …).
أَيْ: وَلِأَنْ أُتِمَّ، قَالَهُ الْأَخْفَشُ.
Yakni: “dan supaya Aku menyempurnakan (nikmat-Ku atas kalian)”, demikian dikatakan oleh al-Akhfasy.
وَقِيلَ: هُوَ مَقْطُوعٌ عَمَّا قَبْلَهُ فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ بِالِابْتِدَاءِ، وَالْخَبَرُ مُضْمَرٌ،
Ada pula yang mengatakan: frasa ini terputus dari sebelumnya,
berada pada posisi rafa‘ sebagai mubtada’ (permulaan kalimat), dan khabarnya dihapus.
وَالتَّقْدِيرُ: وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ عَرَّفْتُكُمْ قِبْلَتِي، قَالَهُ الزَّجَّاجُ.
Takdir kalimatnya: “Dan demi Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian, Aku perkenalkan kepada kalian kiblat-Ku.”
Demikian dikatakan oleh az-Zajjāj.
وَقِيلَ: مَعْطُوفٌ عَلَى عِلَّةٍ مُقَدَّرَةٍ،
Ada pula yang mengatakan: ia di-‘athaf-kan pada alasan yang diperkirakan (yang dihapus).
كَأَنَّهُ قِيلَ: وَاخْشَوْنِي لِأُوَفِّقَكُمْ، وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ.
Seakan-akan dikatakan: “Dan takutlah kepada-Ku agar Aku memberi taufik kepada kalian,
dan supaya Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian.”
وَإِتْمَامُ النِّعْمَةِ: الْهِدَايَةُ إِلَى الْقِبْلَةِ،
Yang dimaksud dengan penyempurnaan nikmat di sini adalah: diberi hidayah untuk menghadap kiblat.
وَقِيلَ: دُخُولُ الْجَنَّةِ.
Ada juga yang berpendapat: yang dimaksud adalah masuk surga.
وَقَوْلُهُ: كَمَا أَرْسَلْنَا
Firman-Nya: *“Kamā arsalnā …”* (Sebagaimana Kami telah mengutus …).
الْكَافُ فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ عَلَى النَّعْتِ لِمَصْدَرٍ مَحْذُوفٍ.
Huruf “kaf” di sini berada pada posisi nashab,
sebagai sifat (*na‘t*) bagi mashdar yang dihapus.
وَالْمَعْنَى: وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ إِتْمَامًا مِثْلَ مَا أَرْسَلْنَا، قَالَهُ الْفَرَّاءُ، وَرَجَّحَهُ ابْنُ عَطِيَّةَ.
Maknanya: “Dan supaya Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian
dengan penyempurnaan seperti pengutusan (rasul) yang telah Kami lakukan itu.”
Demikian dikatakan al-Farrā’, dan dikuatkan oleh Ibnu ‘Athiyyah.
وَقِيلَ: الْكَافُ فِي مَوْضِعِ نَصْبٍ عَلَى الْحَالِ،
Dikatakan juga: huruf “kaf” berada pada posisi nashab sebagai *ḥāl* (keterangan keadaan).
وَالْمَعْنَى: وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ فِي هَذِهِ الْحَالِ،
Maknanya: “Dan supaya Aku menyempurnakan nikmat-Ku atas kalian dalam keadaan ini.”
وَالتَّشْبِيهُ وَاقِعٌ عَلَى أَنَّ النِّعْمَةَ فِي الْقِبْلَةِ كَالنِّعْمَةِ فِي الرِّسَالَةِ.
Penyerupaan (tasybīh) terjadi pada sisi bahwa nikmat dalam urusan kiblat
itu seperti nikmat dalam urusan risalah (pengutusan rasul).
وَقِيلَ: مَعْنَى الْكَلَامِ عَلَى التَّقْدِيمِ وَالتَّأْخِيرِ، أَيْ: فَاذْكُرُونِي كَمَا أَرْسَلْنَا، قَالَهُ الزَّجَّاجُ.
Ada juga yang berpendapat: makna kalimat ini dengan susunan taqdim dan ta’khir,
yakni: “Maka ingatlah kalian kepada-Ku sebagaimana Kami telah mengutus …”
Demikian dikatakan oleh az-Zajjāj.
وَقَوْلُهُ: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
Firman-Nya: *“Fadzkurūnī adzkurkum”* (Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat kepada kalian).
أَمْرٌ وَجَوَابُهُ، وَفِيهِ مَعْنَى الْمُجَازَاةِ.
Ini adalah bentuk perintah dan jawab (balasan).
Di dalamnya terkandung makna balasan (mu’āwadlah).
قَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: وَمَعْنَى الْآيَةِ: اذْكُرُونِي بِالطَّاعَةِ أَذْكُرْكُمْ بِالثَّوَابِ وَالْمَغْفِرَةِ،
Sa‘id bin Jubair berkata: makna ayat ini adalah:
“Sebutlah (ingatlah) Aku dengan ketaatan, niscaya Aku akan mengingat kalian
dengan memberi pahala dan ampunan.”
حَكَاهُ عَنْهُ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ، وَأَخْرَجَهُ عَنْهُ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ،
Hal ini diriwayatkan darinya oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya,
dan dikeluarkan pula oleh ‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir.
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوَهُ مَرْفُوعًا كَمَا سَيَأْتِي.
Telah diriwayatkan pula semakna dengannya secara marfū‘ (sampai kepada Nabi) sebagaimana akan datang penjelasannya.
وَقَوْلُهُ: وَاشْكُرُوا لِي
Firman-Nya: *“Wasykurū lī”* (Dan bersyukurlah kepada-Ku).
قَالَ الْفَرَّاءُ: شَكَرْتُ لَكَ وَشَكَرْتُكَ.
Al-Farrā’ berkata: bisa dikatakan “syakartu laka” dan “syakartuka” (aku bersyukur kepadamu).
وَالشُّكْرُ: مَعْرِفَةُ الْإِحْسَانِ وَالتَّحَدُّثُ بِهِ،
Syukur adalah mengenali kebaikan (nikmat) dan membicarakannya (mengakuinya).
وَأَصْلُهُ فِي اللُّغَةِ: الظُّهُورُ،
Asal maknanya dalam bahasa adalah: tampak/menampakkan.
وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ.
Dan pembahasan tentang ini telah disebutkan sebelumnya.
وَقَوْلُهُ: وَلا تَكْفُرُونِ
Firman-Nya: *“Wa lā takfurūn”* (Dan janganlah kalian kufur kepada-Ku).
نَهْيٌ، وَلِذَلِكَ حُذِفَتْ نُونُ الْجَمَاعَةِ،
Ini adalah kalimat larangan.
Karena itu, nun jama‘ah (ن) dihilangkan (dalam rasm).
وَهَذِهِ الْمَوْجُودَةُ فِي الْفِعْلِ هِيَ نُونُ الْمُتَكَلِّمِ،
Nun yang masih tampak (di akhir kata) adalah nun mutakallim (نِ) yang berarti “aku” (kata ganti untuk Allah).
وَحُذِفَتِ الْيَاءُ لِأَنَّهَا رَأْسُ آيَةٍ،
Huruf “ya” (ي) dihapus karena berada di akhir ayat (agar bacaan lebih ringkas).
وَإِثْبَاتُهَا حَسَنٌ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ.
Menetapkannya (menulis lengkap “takfurūnī”) adalah baik di selain Al-Qur’an.
وَالْكُفْرُ هُنَا: سَتْرُ النِّعْمَةِ لَا التَّكْذِيبُ،
Kufur di sini maksudnya adalah menutupi nikmat, bukan mendustakan (secara aqidah).
وَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ.
Dan pembahasan tentang hal ini juga telah disebutkan sebelumnya.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - جـ ١ (ص: ١٨٢)
*Fath al-Qadīr* karya asy-Syaukani – Jilid 1 (hal. 182).1
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: لِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيها
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya:
*“Likullin wijhatun huwa muwallīhā”*.
قَالَ: يَعْنِي بِذَلِكَ: أَهْلَ الْأَدْيَانِ، يَقُولُ: لِكُلٍّ قِبْلَةٌ يَرْضَوْنَهَا.
Ia berkata: “Yang dimaksud adalah para pemeluk agama-agama.
Yakni: tiap-tiap (mereka) memiliki kiblat yang mereka sukai.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ:
Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbas), bahwa ia berkata tentang tafsir ayat ini:
صَلُّوا نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ مَرَّةً، وَنَحْوَ الْكَعْبَةِ مَرَّةً أُخْرَى.
“Mereka pernah shalat menghadap Baitul Maqdis sekali waktu,
dan menghadap Ka‘bah pada kesempatan lain.”
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي نَاسِخِهِ عَنْ قَتَادَةَ نَحْوَهُ.
Abu Dawud dalam kitab *an-Nāsikh* juga meriwayatkan yang semisal dari Qatadah.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: *“Fastabiqū al-khayrāt”*.
يَقُولُ: لَا تُغْلَبُنَّ عَلَى قِبْلَتِكُمْ.
Ia berkata: “Jangan sekali-kali kalian dikalahkan (disalip) dalam urusan kiblat kalian.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ زَيْدٍ فِي قَوْلِهِ: فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Zaid tentang firman-Nya: *“Fastabiqū al-khayrāt”*.
قَالَ: الْأَعْمَالَ الصَّالِحَةَ.
Ia berkata: “(Maksudnya) adalah amal-amal saleh.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: *“Fastabiqū al-khayrāt”*.
يَقُولُ: فَسَارِعُوا فِي الْخَيْرَاتِ.
Ia berkata: “Maksudnya: bersegeralah kalian dalam kebaikan-kebaikan.”
أَيْنَ ما تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا
Tentang firman-Nya: *“Ayna mā takūnū ya’ti bikumu-llāhu jamī‘ā”*.
قَالَ: يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Ia berkata: “(Itu terjadi) pada hari Kiamat.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ مِنْ طَرِيقِ السُّدِّيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَنَاسٍ مِنَ الصَّحَابَةِ قَالُوا:
Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur as-Suddi dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud,
dan sekelompok sahabat; mereka berkata:
لَمَّا صُرِفَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم نَحْوَ الْكَعْبَةِ بَعْدَ صَلَاتِهِ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dipalingkan (kiblatnya) ke arah Ka‘bah,
setelah sebelumnya shalat menghadap Baitul Maqdis,
قَالَ الْمُشْرِكُونَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ: تَحَيَّرَ عَلَى مُحَمَّدٍ دِينُهُ،
orang-orang musyrik dari penduduk Makkah berkata:
“Agama Muhammad telah membuatnya bingung.”
فَتَوَجَّهَ بِقِبْلَتِهِ إِلَيْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّكُمْ أَهْدَى مِنْهُ سَبِيلًا وَيُوشِكُ أَنْ يَدْخُلَ فِي دِينِكُمْ،
“Ia telah mengarahkan kiblatnya kepada kalian (wahai Yahudi),
karena ia tahu bahwa kalian lebih mendapat petunjuk daripada dia,
dan hampir-hampir ia akan masuk ke dalam agama kalian.”
فَأَنْزَلَ اللَّهُ: لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي.
Maka Allah menurunkan firman-Nya:
*“Li-allā yakūna lin-nāsi ‘alaikum ḥujjah illā alladzīna zhalamū minhum falā takhsyauhum wakhsyau-nī.”*
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya:
*“Li-allā yakūna lin-nāsi ‘alaikum ḥujjah.”*
قَالَ: يَعْنِي بِذَلِكَ أَهْلَ الْكِتَابِ،
Ia berkata: “Yang dimaksud adalah Ahli Kitab.”
حِينَ صُرِفَ نَبِيُّ اللَّهِ إِلَى الْكَعْبَةِ، قَالُوا: اشْتَاقَ الرَّجُلُ إِلَى بَيْتِ أَبِيهِ وَدِينِ قَوْمِهِ.
Ketika Nabi Allah dipalingkan (kiblatnya) ke Ka‘bah,
mereka berkata: “Laki-laki itu rindu kepada rumah ayahnya dan agama kaumnya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ:
‘Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid; ia berkata:
حُجَّتُهُمْ: قَوْلُهُمْ: قَدْ أَحَبَّ قِبْلَتَنَا.
“Hujjah mereka adalah ucapan mereka:
‘Sungguh ia (Muhammad) telah mencintai kiblat kami.’”
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي نَاسِخِهِ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْ قَتَادَةَ وَمُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
Abu Dawud dalam *an-Nāsikh*, Ibnu Jarir, dan Ibnu al-Mundzir
meriwayatkan dari Qatadah dan Mujahid tentang firman-Nya:
*“Illā alladzīna zhalamū minhum”*.
قَالُوا: الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ: مُشْرِكُو قُرَيْشٍ أَنَّهُمْ سَيَحْتَجُّونَ بِذَلِكَ عَلَيْهِمْ،
Mereka berkata: “Yang dimaksud dengan orang-orang yang zhalim adalah kaum musyrik Quraisy.
Mereka akan menjadikan hal itu sebagai hujjah atas kaum Muslimin.”
وَاحْتَجُّوا عَلَى نَبِيِّ اللَّهِ بِانْصِرَافِهِ إِلَى الْبَيْتِ الْحَرَامِ، وَقَالُوا: سَيَرْجِعُ إِلَى دِينِنَا كَمَا رَجَعَ إِلَى قِبْلَتِنَا،
Mereka membantah Nabi Allah karena beliau telah berpaling (kiblatnya) ke Baitul Haram.
Mereka berkata: “Ia akan kembali kepada agama kami, sebagaimana ia kembali ke kiblat kami.”
فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ.
Maka Allah menurunkan tentang semua itu firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan (mengerjakan) shalat; sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya:
*“Kamā arsalnā fīkum rasūlan minkum …”*.
قَالَ: يَعْنِي مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم.
Ia berkata: “Yang dimaksud adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ
‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu al-Mundzir
meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: *“Kamā arsalnā fīkum rasūlan minkum …”*.
قَالَ: يَقُولُ: كَمَا فَعَلْتُ، فَاذْكُرُونِي.
Ia berkata: “Maknanya: sebagaimana Aku telah melakukan (mengutus rasul kepada kalian), maka ingatlah kalian kepada-Ku.”
وَأَخْرَجَ أَبُو الشَّيْخِ وَالدَّيْلَمِيُّ مِنْ طَرِيقِ جُوَيْبِرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Abu Syaikh dan ad-Daylami meriwayatkan melalui jalur Juwaibir, dari adh-Dhahhak, dari Ibnu ‘Abbas; ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ يَقُولُ: اذْكُرُونِي يَا مَعْشَرَ الْعِبَادِ بِطَاعَتِي، أَذْكُرْكُمْ بِمَغْفِرَتِي.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, mengenai firman Allah:
*“Fadzkurūnī adzkurkum”*:
“Allah berfirman: Ingatlah kalian kepada-Ku, wahai sekalian hamba, dengan ketaatan kepada-Ku,
niscaya Aku akan mengingat kalian dengan ampunan-Ku.”
وَأَخْرَجَ الدَّيْلَمِيُّ، وَابْنُ عَسَاكِرَ، مِثْلَهُ مَرْفُوعًا مِنْ حَدِيثِ أَبِي هِنْدٍ الدَّارِيِّ،
Ad-Daylami dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan semisalnya secara marfū‘
dari hadis Abu Hind ad-Dāri.
وَزَادَ: فَمَنْ ذَكَرَنِي وَهُوَ مُطِيعٌ، فَحَقٌّ عَلَيَّ أَنْ أَذْكُرَهُ بِمَغْفِرَتِي، وَمَنْ ذَكَرَنِي وَهُوَ لِي عَاصٍ، فَحَقٌّ عَلَيَّ أَنْ أَذْكُرَهُ بِمَقْتٍ.
Dalam riwayat itu ditambahkan:
“Barang siapa mengingat-Ku dalam keadaan taat kepada-Ku,
maka menjadi hak bagi-Ku untuk mengingatnya dengan ampunan-Ku.
Dan barang siapa mengingat-Ku dalam keadaan bermaksiat kepada-Ku,
maka menjadi hak bagi-Ku untuk mengingatnya dengan kemurkaan-Ku.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
‘Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:
يَقُولُ اللَّهُ: ذِكْرِي لَكُمْ خَيْرٌ مِنْ ذِكْرِكُمْ لِي.
Allah berfirman: “Ingat-Ku kepada kalian lebih baik daripada ingat kalian kepada-Ku.”
وَقَدْ وَرَدَ فِي فَضْلِ ذِكْرِ اللَّهِ عَلَى الْإِطْلَاقِ، وَفَضْلِ الشُّكْرِ، أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ.
Dan telah datang banyak hadis tentang keutamaan dzikir kepada Allah secara umum,
serta keutamaan bersyukur.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - جـ ١ (ص: ١٨٣)
*Fath al-Qadīr* karya asy-Syaukani – Jilid 1 (hal. 183).2
---
1 Rujukan halaman kitab: *Fath al-Qadīr* karya asy-Syaukani, Jilid 1, hlm. 182.
2 Lanjutan rujukan halaman kitab: *Fath al-Qadīr* karya asy-Syaukani, Jilid 1, hlm. 183.