Al Baqarah Ayat 144-147
[سُورَةُ البَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٤٤–١٤٧]
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ (١٤٤)
Sesungguhnya Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit,
maka sungguh Kami akan memalingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai.
Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.
Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab benar-benar mengetahui bahwa (perintah pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka.
Dan Allah tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ ۚ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ ۚ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (١٤٥)
Dan sungguh, jika engkau membawa kepada orang-orang yang diberi Kitab segala macam ayat (bukti), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu.
Dan engkau pun bukan pengikut kiblat mereka.
Dan sebagian mereka pun bukan pengikut kiblat sebagian yang lain.
Dan sungguh, jika engkau mengikuti keinginan-keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu,
niscaya engkau saat itu benar-benar termasuk golongan orang-orang yang zalim.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۘ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (١٤٦)
Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka itu mengenalnya sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.
Dan sesungguhnya sebagian dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ (١٤٧)
Kebenaran itu datang dari Tuhanmu;
maka janganlah sekali-kali engkau termasuk golongan orang-orang yang ragu.
---
قَوْلُهُ: قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ
Firman-Nya: “Sesungguhnya Kami (sering) melihat wajahmu (Muhammad) menengadah …”
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: قَالَ الْعُلَمَاءُ: هَذِهِ الْآيَةُ مُقَدَّمَةٌ فِي النُّزُولِ عَلَىٰ قَوْلِهِ: «سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ».
Al-Qurthubi berkata dalam tafsirnya: Para ulama mengatakan bahwa ayat ini turunnya lebih dahulu daripada firman-Nya: “Orang-orang yang bodoh akan berkata …”
وَمَعْنَى «قَدْ»: تَكْثِيرُ الرُّؤْيَةِ، كَمَا قَالَهُ صَاحِبُ «الْكَشَّافِ».
Makna “qad” di sini adalah menunjukkan banyaknya (seringnya) penglihatan, sebagaimana dikatakan oleh penulis *al-Kasysyāf*.
وَمَعْنَى «تَقَلُّبَ وَجْهِكَ»: تَحَوُّلَ وَجْهِكَ إِلَى السَّمَاءِ، قَالَهُ قُطْرُبٌ.
Dan makna “berbolak-baliknya wajahmu” adalah berpalingnya wajahmu ke arah langit; demikian dikatakan oleh Qutrub.
وَقَالَ الزَّجَّاجُ: «تَقَلُّبَ عَيْنَيْكَ فِي النَّظَرِ إِلَى السَّمَاءِ»، وَالْمَعْنَى مُتَقَارِبٌ.
Az-Zajjāj berkata: “(Yakni) berbolak-baliknya kedua matamu saat memandang ke langit,” dan makna keduanya berdekatan.
وَقَوْلُهُ: فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
Firman-Nya: “Maka sungguh Kami akan memalingkan engkau …”
هُوَ إِمَّا مِنَ الْوِلَايَةِ: أَيْ فَلَنُعْطِيَنَّكَ ذَلِكَ،
Ini bisa berasal dari kata “wilāyah” (pemberian/penetapan), artinya: sungguh Kami akan menganugerahkan hal itu kepadamu,
أَوْ مِنَ التَّوَلِّي: أَيْ فَلَنَجْعَلَنَّكَ مُتَوَلِّيًا إِلَىٰ جِهَتِهَا،
atau dari kata “tawallī” (berpaling ke arah), yakni: sungguh Kami akan menjadikan engkau menghadap ke arahnya,
وَهَذَا أَوْلَى لِقَوْلِهِ: «فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ».
dan makna kedua ini lebih kuat karena sesuai dengan kelanjutan firman-Nya: “Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.”
وَالْمُرَادُ بِالشَّطْرِ هُنَا: النَّاحِيَةُ وَالْجِهَةُ،
Yang dimaksud dengan “syathr” di sini adalah arah dan sisi (jurusan),
وَهُوَ مُنْتَصِبٌ عَلَى الظَّرْفِيَّةِ،
dan ia manshub sebagai zharaf (keterangan arah/tempat),
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
di antaranya adalah ucapan penyair:
أَقُولُ لِأُمِّ زِنْبَاعٍ أَقِيمِي … صُدُورَ الْعِيسِ شَطْرَ بَنِي تَمِيمِ
“Aku berkata kepada ibu Zimba‘: Tegakkanlah dada-dada unta (arahkalah)
ke arah (syathra) Bani Tamim.”
وَمِنْهُ أَيْضًا قَوْلُ الْآخَرِ:
Dan di antaranya pula ucapan penyair lain:
أَلَا مِنْ مُبَلِّغٍ عَمْرًا رَسُولًا … وَمَا تُغْنِي الرِّسَالَةُ شَطْرَ عَمْرِو
“Adakah orang yang menyampaikan kepada ‘Amr sebuah pesan (surat),
sedang tiadalah berguna kiranya surat itu ke arah (‘syathra’) ‘Amr?”
وَقَدْ يُرَادُ بِالشَّطْرِ النِّصْفُ،
Terkadang “syathr” juga dimaksudkan sebagai separuh,
وَمِنْهُ: «الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ»،
seperti dalam sabda Nabi: “Kesucian adalah separuh dari iman,”1
وَمِنْهُ قَوْلُ عَنْتَرَةَ:
dan di antaranya ucapan ‘Antarah:
إِنِّي امْرُؤٌ مِنْ خَيْرِ عَبْسٍ مَنْصِبًا … شَطْرِي وَأَحْمِي سَائِرِي بِالْمُنْصُلِ
“Aku adalah seorang lelaki dari kalangan terbaik Bani ‘Abs dalam nasab,
separuh diriku (syatrī) dan aku melindungi sisaku dengan pedang bermata tajam.”
قَالَ ذَلِكَ لِأَنَّ أَبَاهُ مِنْ سَادَاتِ عَبْسٍ، وَأُمَّهُ أَمَةٌ.
Ia mengatakan demikian karena ayahnya dari kalangan para pemuka Bani ‘Abs, sedangkan ibunya adalah seorang budak.
وَيَرِدُ بِمَعْنَى الْبَعْضِ مُطْلَقًا.
Kata itu juga dipakai dalam makna “sebagian” secara umum.
وَلَا خِلَافَ أَنَّ الْمُرَادَ بِشَطْرِ الْمَسْجِدِ هُنَا: الْكَعْبَةُ.
Tidak ada perbedaan di antara ulama bahwa yang dimaksud “syathral-masjidil-harām” di sini adalah Ka‘bah.
وَقَدْ حَكَى الْقُرْطُبِيُّ الْإِجْمَاعَ عَلَىٰ أَنَّ اسْتِقْبَالَ عَيْنِ الْكَعْبَةِ فَرْضٌ عَلَى الْمُعَايِنِ،
Al-Qurthubi telah menukil adanya ijmak bahwa menghadap tepat ke arah Ka‘bah (bangunan) adalah wajib bagi orang yang melihatnya (berada di Masjidil Haram),
وَعَلَىٰ أَنَّ غَيْرَ الْمُعَايِنِ يَسْتَقْبِلُ النَّاحِيَةَ،
dan bahwa orang yang tidak melihat langsung Ka‘bah cukup menghadap ke arahnya (wilayahnya),
وَيَسْتَدِلُّ عَلَىٰ ذَلِكَ بِمَا يُمْكِنُهُ الِاسْتِدْلَالُ بِهِ.
dan ia berusaha menetapkan arah tersebut dengan apa saja yang ia mampu jadikan pedoman.
وَالضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: «أَنَّهُ الْحَقُّ» رَاجِعٌ إِلَىٰ مَا يَدُلُّ عَلَيْهِ الْكَلَامُ مِنَ التَّحَوُّلِ إِلَىٰ جِهَةِ الْكَعْبَةِ،
Kata ganti (dhamir) dalam firman-Nya: “bahwa ia adalah kebenaran” kembali kepada hal yang ditunjukkan oleh konteks kalimat, yaitu perpindahan kiblat ke arah Ka‘bah,
أَوْ لِكَوْنِهِمْ قَدْ عَلِمُوا مِنْ كُتُبِهِمْ أَوْ أَنْبِيَائِهِمْ أَنَّ النَّسْخَ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الشَّرِيعَةِ،
atau karena mereka telah mengetahui dari kitab-kitab mereka atau dari para nabi mereka bahwa nasakh (penghapusan hukum sebelumnya dengan hukum baru) akan terjadi dalam syariat ini,
فَيَكُونُ ذَلِكَ مُوجِبًا عَلَيْهِمُ الدُّخُولَ فِي الْإِسْلَامِ وَمُتَابَعَةَ النَّبِيِّ ﷺ.
maka hal itu seharusnya menjadi alasan yang mewajibkan mereka masuk Islam dan mengikuti Nabi ﷺ.
قَوْلُهُ: «وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ» قَدْ تَقَدَّمَ مَعْنَاهُ.
Firman-Nya: “Dan Allah tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” — maknanya telah dijelaskan sebelumnya.
وَقَرَأَ ابْنُ عَامِرٍ، وَحَمْزَةُ، وَالْكِسَائِيُّ: «تَعْمَلُونَ» بِالتَّاءِ الْفَوْقِيَّةِ،
Ibnu ‘Amir, Hamzah, dan al-Kisā’ī membaca “ta‘malūna” dengan ta’ di depan (tufuqiyyah),
عَلَىٰ مُخَاطَبَةِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَوْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ،
berdasarkan anggapan bahwa seruan itu ditujukan kepada Ahli Kitab atau kepada umat Muhammad ﷺ,
وَقَرَأَ الْبَاقُونَ: «يَعْمَلُونَ» بِالْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ.
sedangkan qari’ lain membacanya “ya‘malūna” dengan ya’ di bawah.
وَقَوْلُهُ: «وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ …»
Firman-Nya: “Dan sungguh, jika engkau membawa kepada orang-orang yang diberi Kitab …”
هَذِهِ اللَّامُ هِيَ الْمُوَطِّئَةُ لِلْقَسَمِ،
Huruf lam pada “wa la`in” adalah lam yang mempersiapkan (mengawali) suatu sumpah,
وَالتَّقْدِيرُ: وَاللَّهِ، لَئِنْ أَتَيْتَ …
dengan takdir (makna tersembunyinya): “Demi Allah, sungguh jika engkau datang …”
وَقَوْلُهُ: «مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ» جَوَابُ الْقَسَمِ الْمُقَدَّرِ.
Adapun firman-Nya: “mereka tidak akan mengikuti kiblatmu” adalah jawaban dari sumpah yang diperkirakan tadi.
قَالَ الْأَخْفَشُ وَالْفَرَّاءُ: أُجِيبَ «لَئِنْ» بِجَوَابِ «لَوْ»،
Al-Akhfasy dan al-Farrā’ berkata: Kata “la`in” di sini dijawab dengan jawaban yang biasa untuk “law” (andaikan),
لِأَنَّ الْمَعْنَى: «وَلَوْ أَتَيْتَ»،
karena maknanya: “Dan andaikan engkau datang (membawa segala bukti kepada mereka) …”
وَمِثْلُهُ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: «وَلَئِنْ أَرْسَلْنَا رِيحًا فَرَأَوْهُ مُصْفَرًّا لَظَلُّوا …»2 أَيْ: وَلَوْ أَرْسَلْنَا.
Dan serupa dengan ini adalah firman-Nya Ta‘ala: “Dan sungguh jika Kami mengirim angin lalu mereka melihat (tanaman) itu menjadi kekuning-kuningan, niscaya mereka akan tetap ingkar …”2 yakni: andaikan Kami mengirim …
وَإِنَّمَا قَالَا هَكَذَا لِأَنَّ «لَئِنْ» هِيَ ضِدُّ «لَوْ»،
Mereka berdua (al-Akhfasy dan al-Farrā’) berkata demikian karena “la`in” adalah kebalikan dari “law”,
وَذَلِكَ أَنَّ الْأُولَىٰ تَطْلُبُ فِي جَوَابِهَا الْمُضِيَّ وَالْوُقُوعَ، و«لَئِنْ» تَطْلُبُ فِي جَوَابِهَا الِاسْتِقْبَالَ.
karena “law” menuntut jawaban yang bernada masa lampau/terjadi seandainya, sedangkan “la`in” menuntut jawaban bernada masa depan.
وَقَالَ سِيبَوَيْهِ: إِنَّ مَعْنَى «لَئِنْ» يُخَالِفُ مَعْنَى «لَوْ»، فَلَا تَدْخُلُ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ،
Sibawaih berkata: Makna “la`in” berbeda dengan makna “law”, sehingga tidak boleh satu menggantikan lainnya,
فَالْمَعْنَى: وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ، لَا يَتَّبِعُونَ قِبْلَتَكَ.
maka makna ayat ini adalah: “Dan sungguh jika engkau datang kepada orang-orang yang diberi Kitab dengan segala bukti, mereka tetap tidak akan mengikuti kiblatmu.”
قَالَ سِيبَوَيْهِ: وَمَعْنَى: «وَلَئِنْ أَرْسَلْنَا رِيحًا فَرَأَوْهُ مُصْفَرًّا»: «لَيَظَلُّنَّ»، انْتَهَىٰ.
Sibawaih berkata: Makna firman-Nya: “Dan sungguh jika Kami mengirim angin lalu mereka melihat (tanaman) itu kuning,” adalah: “niscaya mereka akan senantiasa ingkar”; selesai.
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مُبَالَغَةٌ عَظِيمَةٌ،
Dalam ayat ini terdapat penegasan yang sangat kuat,
وَهِيَ مُتَضَمِّنَةٌ التَّسْلِيَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَتَرْوِيحَ خَاطِرِهِ،
dan mengandung hiburan bagi Rasulullah ﷺ dan penghiburan hatinya,
لِأَنَّ هَؤُلَاءِ لَا تُؤَثِّرُ فِيهِمْ كُلُّ آيَةٍ،
karena orang-orang (Yahudi dan Nasrani yang keras kepala) itu tidak akan dipengaruhi oleh ayat apa pun,
وَلَا يَرْجِعُونَ إِلَى الْحَقِّ وَإِنْ جَاءَهُمْ بِكُلِّ بُرْهَانٍ فَضْلًا عَنْ بُرْهَانٍ وَاحِدٍ.
dan tidak akan kembali kepada kebenaran meski Nabi ﷺ mendatangkan kepada mereka segala macam dalil, apalagi hanya satu dalil.
وَذَلِكَ أَنَّهُمْ لَمْ يَتْرُكُوا اتِّبَاعَ الْحَقِّ لِدَلِيلٍ عِنْدَهُمْ، أَوْ لِشُبْهَةٍ طَرَأَتْ عَلَيْهِمْ،
Sebab mereka tidak meninggalkan kebenaran karena memiliki dalil (yang kuat) di sisi mereka, atau karena ada syubhat yang membingungkan,
حَتَّىٰ يُوَازِنُوا بَيْنَ مَا عِنْدَهُمْ وَمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ ﷺ، وَيُقْلِعُوا عَنْ غِوَايَتِهِمْ عِنْدَ وُضُوحِ الْحَقِّ،
sehingga mereka membandingkan antara apa yang ada di sisi mereka dan apa yang dibawa Rasul ﷺ, lalu meninggalkan kesesatan ketika kebenaran tampak jelas;
بَلْ كَانَ تَرْكُهُمْ لِلْحَقِّ تَمَرُّدًا وَعِنَادًا، مَعَ عِلْمِهِمْ بِأَنَّهُمْ لَيْسُوا عَلَىٰ شَيْءٍ.
melainkan mereka meninggalkan kebenaran karena sikap membangkang dan keras kepala, padahal mereka mengetahui bahwa mereka tidak berada di atas sesuatu (yang benar).
وَمَنْ كَانَ هَكَذَا، فَهُوَ لَا يَنْتَفِعُ بِالْبُرْهَانِ أَبَدًا.
Dan siapa yang seperti ini keadaannya, maka ia tidak akan pernah mendapatkan manfaat dari bukti apa pun.
وَقَوْلُهُ: «وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ»
Firman-Nya: “Dan engkau pun bukan pengikut kiblat mereka.”
هَذَا الْإِخْبَارُ مُمْكِنٌ أَنْ يَكُونَ بِمَعْنَى النَّهْيِ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ لِنَبِيِّهِ ﷺ،
Berita ini bisa saja bermakna larangan dari Allah Yang Mahasuci kepada Nabi-Nya ﷺ,
أَيْ: لَا تَتَّبِعْ يَا مُحَمَّدُ قِبْلَتَهُمْ،
yakni: jangan engkau, wahai Muhammad, mengikuti kiblat mereka,
وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ عَلَىٰ ظَاهِرِهِ دَفْعًا لِأَطْمَاعِ أَهْلِ الْكِتَابِ،
dan bisa pula dipahami secara lahiriah sebagai penolakan terhadap angan-angan Ahli Kitab,
وَقَطْعًا لِمَا يَرْجُونَهُ مِنْ رُجُوعِهِ ﷺ إِلَى الْقِبْلَةِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا.
serta memutus harapan mereka bahwa beliau akan kembali ke kiblat yang dahulu beliau hadapi.
وَقَوْلُهُ: «وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ»
Firman-Nya: “Dan sebagian mereka pun bukan pengikut kiblat sebagian yang lain” —
فِيهِ إِخْبَارٌ بِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ – مَعَ حِرْصِهِمْ عَلَىٰ مُتَابَعَةِ الرَّسُولِ ﷺ فِيمَا يَتَوَهَّمُونَهُ – مُخْتَلِفُونَ فِي دِينِهِمْ،
di dalamnya terdapat pemberitahuan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani — sekalipun mereka begitu bersemangat (menuntut) agar Rasul ﷺ mengikuti mereka sesuai dugaan mereka — sebenarnya saling berselisih dalam agama mereka,
حَتَّىٰ فِي هَذَا الْحُكْمِ الْخَاصِّ الَّذِي قَصَّهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ،
bahkan dalam urusan khusus ini (masalah kiblat) yang dikisahkan Allah kepada Rasul-Nya,
فَإِنَّ بَعْضَهُمْ لَا يُتَابِعُ الْآخَرَ فِي اسْتِقْبَالِ قِبْلَتِهِ.
karena sebagian mereka tidak mau mengikuti yang lain dalam arah kiblat.
قَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: وَذَلِكَ أَنَّ الْيَهُودَ تَسْتَقْبِلُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ، وَالنَّصَارَىٰ تَسْتَقْبِلُ مَطْلَعَ الشَّمْسِ. انْتَهَىٰ.
Dalam *al-Kasysyāf* disebutkan: Hal itu karena orang-orang Yahudi menghadap Baitul Maqdis, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap terbitnya matahari. Selesai.
وَقَوْلُهُ: «وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ …» إِلَىٰ آخِرِ الْآيَةِ،
Firman-Nya: “Dan sungguh, jika engkau mengikuti keinginan-keinginan mereka …” hingga akhir ayat,
فِيهِ مِنَ التَّهْدِيدِ الْعَظِيمِ، وَالزَّجْرِ الْبَلِيغِ، مَا تَقْشَعِرُّ لَهُ الْجُلُودُ، وَتَرْجُفُ مِنْهُ الْأَفْئِدَةُ.
mengandung ancaman yang sangat besar dan peringatan yang amat keras, hingga kulit merinding dan hati bergetar karenanya.
وَإِذَا كَانَ الْمَيْلُ إِلَىٰ أَهْوَاءِ الْمُخَالِفِينَ لِهَذِهِ الشَّرِيعَةِ الْغَرَّاءِ، وَالْمِلَّةِ الشَّرِيفَةِ، مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ – الَّذِي هُوَ سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ – يُوجِبُ عَلَيْهِ، وَحَاشَاهُ، أَنْ يَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ،
Apabila kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu para penentang syariat yang mulia dan agama yang agung ini — seandainya terjadi dari Rasulullah ﷺ, yang merupakan pemimpin anak Adam — akan menyebabkan (seandainya terjadi, dan Allah Maha Mensucikan beliau) beliau termasuk orang-orang zalim,
فَمَا ظَنُّكَ بِغَيْرِهِ مِنْ أُمَّتِهِ؟
maka bagaimana kira-kira kedudukan selain beliau dari kalangan umatnya?
وَقَدْ صَانَ اللَّهُ هَذِهِ الْفِرْقَةَ الْإِسْلَامِيَّةَ – بَعْدَ ثُبُوتِ قَدَمِ الْإِسْلَامِ وَارْتِفَاعِ مَنَارِهِ – عَنْ أَنْ يَمِيلُوا إِلَىٰ شَيْءٍ مِنْ هَوَىٰ أَهْلِ الْكِتَابِ،
Sungguh Allah telah menjaga kelompok umat Islam ini — setelah Islam kokoh berdiri dan benderanya berkibar tinggi — agar tidak condong kepada sedikit pun dari hawa nafsu Ahli Kitab.
وَلَمْ تَبْقَ إِلَّا دَسِيسَةٌ شَيْطَانِيَّةٌ، وَوَسِيلَةٌ طَاغُوتِيَّةٌ،
Tidak tersisa kecuali tipu daya setan dan sarana thaghut,
وَهِيَ مَيْلُ بَعْضِ مَنْ تَحَمَّلَ حُجَجَ اللَّهِ إِلَىٰ هَوَىٰ بَعْضِ طَوَائِفِ الْمُبْتَدِعَةِ،
yaitu kecenderungan sebagian orang yang memikul hujjah-hujjah Allah (para ulama) kepada hawa nafsu sebagian kelompok ahli bid‘ah,
لِمَا يَرْجُوهُ مِنَ الْحُطَامِ الْعَاجِلِ مِنْ أَيْدِيهِمْ، أَوِ الْجَاهِ لَدَيْهِمْ،
karena ia mengharapkan harta dunia yang cepat dari tangan mereka, atau kedudukan di sisi mereka,
إِنْ كَانَ لَهُمْ فِي النَّاسِ دَوْلَةٌ، أَوْ كَانُوا مِنْ ذَوِي الصَّوْلَةِ.
apabila mereka (ahli bid‘ah itu) memiliki kekuasaan di tengah manusia atau termasuk kaum yang berkuasa.
وَهَذَا الْمَيْلُ لَيْسَ بِدُونِ ذَلِكَ الْمَيْلِ،
Kecenderungan seperti ini tidaklah lebih ringan daripada kecenderungan ke arah Ahli Kitab tadi,
بَلِ اتِّبَاعُ أَهْوَاءِ الْمُبْتَدِعَةِ يُشْبِهُ اتِّبَاعَ أَهْوَاءِ أَهْلِ الْكِتَابِ، كَمَا يُشْبِهُ الْمَاءُ الْمَاءَ، وَالْبَيْضَةُ الْبَيْضَةَ، وَالتَّمْرَةُ التَّمْرَةَ.
bahkan mengikuti hawa nafsu ahli bid‘ah sangat mirip dengan mengikuti hawa nafsu Ahli Kitab, sebagaimana air mirip dengan air, telur mirip dengan telur, dan kurma mirip dengan kurma.
وَقَدْ تَكُونُ مَفْسَدَةُ اتِّبَاعِ أَهْوَاءِ الْمُبْتَدِعَةِ أَشَدَّ عَلَىٰ هَذِهِ الْمِلَّةِ مِنْ مَفْسَدَةِ اتِّبَاعِ أَهْوَاءِ أَهْلِ الْمِلَلِ،
Bahkan kerusakan yang ditimbulkan oleh mengikuti hawa nafsu ahli bid‘ah bisa lebih besar bagi agama ini daripada kerusakan mengikuti hawa nafsu para penganut agama-agama lain,
فَإِنَّ الْمُبْتَدِعَةَ يَنْتَمُونَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَيُظْهِرُونَ لِلنَّاسِ أَنَّهُمْ يَنْصُرُونَ الدِّينَ وَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ،
karena ahli bid‘ah mengaku sebagai bagian dari Islam dan menampakkan kepada manusia bahwa mereka menolong agama dan mengikuti ajaran terbaiknya,
وَهُمْ عَلَى الْعَكْسِ مِنْ ذَلِكَ، الضِّدِّ لِمَا هُنَالِكَ.
padahal kenyataannya mereka kebalikannya, berlawanan dengan hal itu.
فَلَا يَزَالُونَ يَنْقُلُونَ مَنْ يَمِيلُ إِلَى أَهْوَائِهِمْ مِنْ بِدْعَةٍ إِلَىٰ بِدْعَةٍ،
Mereka senantiasa memindahkan orang yang condong kepada hawa nafsu mereka dari satu bid‘ah ke bid‘ah yang lain,
وَيَدْفَعُونَهُ مِنْ شُنْعَةٍ إِلَىٰ شُنْعَةٍ، حَتَّىٰ يَسْلَخُوهُ مِنَ الدِّينِ،
dan mendorongnya dari satu aib (yang buruk) ke aib yang lain, hingga mereka mengelupaskannya dari agama,
وَيُخْرِجُوهُ مِنْهُ، وَهُوَ يَظُنُّ أَنَّهُ مِنْهُ فِي الصَّمِيمِ،
serta mengeluarkannya dari agama, sementara ia mengira bahwa ia berada di jantung agama itu,
وَأَنَّ الصِّرَاطَ الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ هُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ،
dan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan yang lurus.
هَذَا إِنْ كَانَ فِي عِدَادِ الْمُقَصِّرِينَ وَمِنْ جُمْلَةِ الْجَاهِلِينَ؛
Demikian keadaannya jika ia termasuk golongan orang-orang yang lalai dan tergolong orang-orang bodoh.
وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفَهْمِ، الْمُمَيِّزِينَ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ،
Namun jika ia termasuk kalangan ahli ilmu dan pemahaman yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan,
كَانَ فِي اتِّبَاعِهِ لِأَهْوَائِهِمْ مِمَّنْ أَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ، وَخَتَمَ عَلَىٰ قَلْبِهِ،
maka dalam mengikuti hawa nafsu mereka, ia termasuk orang yang Allah sesatkan dengan ilmu yang dimilikinya dan Allah tutup hatinya,
وَصَارَ نِقْمَةً عَلَىٰ عِبَادِ اللَّهِ، وَمُصِيبَةً صَبَّهَا اللَّهُ عَلَى الْمُقَصِّرِينَ،
dan ia menjadi azab bagi hamba-hamba Allah, serta bencana yang Allah timpakan atas orang-orang yang lalai,
لِأَنَّهُمْ يَعْتَقِدُونَ أَنَّهُ – فِي عِلْمِهِ وَفَهْمِهِ – لَا يَمِيلُ إِلَّا إِلَىٰ حَقٍّ، وَلَا يَتَّبِعُ إِلَّا الصَّوَابَ،
karena mereka meyakini bahwa dengan ilmu dan pemahamannya ia tidak akan condong kecuali kepada kebenaran dan tidak akan mengikuti kecuali yang benar,
فَيَضِلُّونَ بِضَلَالِهِ،
maka mereka pun tersesat dengan kesesatannya,
فَيَكُونُ عَلَيْهِ إِثْمُهُ وَإِثْمُ مَنِ اقْتَدَىٰ بِهِ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
sehingga atas dirinya tertanggung dosa pribadinya dan dosa orang-orang yang mengikutinya hingga Hari Kiamat.
نَسْأَلُ اللَّهَ اللُّطْفَ وَالسَّلَامَةَ وَالْهِدَايَةَ.
Kita memohon kepada Allah kelembutan, keselamatan, dan petunjuk.
وَقَوْلُهُ: «الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ»
Firman-Nya: “Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka itu mengenalnya …”
قِيلَ: الضَّمِيرُ لِمُحَمَّدٍ ﷺ، أَيْ: يَعْرِفُونَ نُبُوَّتَهُ،
Ada yang mengatakan: dhamir (kata ganti “-hu”) kembali kepada Muhammad ﷺ, yakni: mereka mengenal kenabiannya.
رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ مُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ.
Hal ini diriwayatkan dari Mujahid, Qatadah, dan sekelompok ulama.
وَقِيلَ: يَعْرِفُونَ تَحْوِيلَ الْقِبْلَةِ عَنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ إِلَى الْكَعْبَةِ،
Ada juga yang mengatakan: mereka mengetahui perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah,
بِالطَّرِيقِ الَّتِي قَدَّمْنَا ذِكْرَهَا،
dengan cara (informasi) yang telah kami sebutkan sebelumnya,
وَبِهِ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ،
dan demikian dikatakan oleh sekelompok mufasir,
وَرَجَّحَ صَاحِبُ «الْكَشَّافِ» الْأَوَّلَ.
namun penulis *al-Kasysyāf* merajihkan pendapat pertama (bahwa dhamir kembali ke Nabi).
وَعِنْدِي أَنَّ الرَّاجِحَ الْآخَرُ، يَدُلُّ عَلَيْهِ السِّيَاقُ الَّذِي سِيقَتْ لَهُ هَذِهِ الْآيَاتُ.
Menurutku, yang lebih kuat adalah pendapat kedua, karena konteks ayat-ayat ini mendukungnya (yakni tentang perpindahan kiblat).
وَقَوْلُهُ: «لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ»
Firman-Nya: “Sungguh sebagian dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran …”
هُوَ عِنْدَ أَهْلِ الْقَوْلِ الْأَوَّلِ: نُبُوَّةُ مُحَمَّدٍ ﷺ،
menurut para penganut pendapat pertama, yang dimaksud kebenaran di sini adalah kenabian Muhammad ﷺ;
وَعِنْدَ أَهْلِ الْقَوْلِ الثَّانِي: اسْتِقْبَالُ الْكَعْبَةِ.
sedangkan menurut penganut pendapat kedua, yang dimaksud adalah ketentuan menghadap Ka‘bah (sebagai kiblat).
وَقَوْلُهُ: «الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ»
Firman-Nya: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu …”
يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِهِ الْحَقَّ الْأَوَّلَ،
mungkin yang dimaksud adalah kebenaran yang pertama tadi (yaitu perpindahan kiblat, atau kenabian Nabi),
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُرَادَ بِهِ جِنْسُ الْحَقِّ،
dan mungkin pula yang dimaksud adalah jenis kebenaran secara umum,
عَلَىٰ أَنَّهُ خَبَرُ مُبْتَدَأٍ مَحْذُوفٍ، أَوْ مُبْتَدَأٌ وَخَبَرُهُ قَوْلُهُ: «مِنْ رَبِّكَ»؛
dengan dipahami sebagai khabar dari mubtada yang dihapus (takdirnya: “ini adalah kebenaran dari Tuhanmu”), atau sebagai mubtada dan khabarnya adalah “min rabbika” (kebenaran itu datang dari Tuhanmu),
أَيْ: الْحَقُّ هُوَ الَّذِي مِنْ رَبِّكَ، لَا مِنْ غَيْرِهِ.
yakni: kebenaran itu adalah yang berasal dari Tuhanmu, bukan dari selain-Nya.
وَقَرَأَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: «الْحَقَّ» بِالنَّصْبِ،
‘Ali bin Abi Thalib membaca: “al-haqqa” dengan harakat nashab,
عَلَىٰ أَنَّهُ بَدَلٌ مِنَ الْأَوَّلِ، أَوْ مَنْصُوبٌ عَلَى الْإِغْرَاءِ، أَيْ: الْزَمِ الْحَقَّ.
yakni sebagai badal dari sebelumnya, atau manshub karena makna perintah (ighrā’), yakni: peganglah teguh kebenaran itu.
وَقَوْلُهُ: «فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ»
Firman-Nya: “Maka janganlah sekali-kali engkau termasuk golongan orang-orang yang ragu.”
خِطَابٌ لِلنَّبِيِّ ﷺ، وَالِامْتِرَاءُ: الشَّكُّ،
Ini adalah seruan kepada Nabi ﷺ; dan al-imtirā’ artinya keraguan,
نَهَاهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ عَنِ الشَّكِّ فِي كَوْنِهِ مِنْ رَبِّهِ،
Allah Yang Mahasuci melarang beliau dari meragukan bahwa (ketentuan ini) datang dari Rabb-nya,
أَوْ فِي كَوْنِ كِتْمَانِهِمُ الْحَقَّ مَعَ عِلْمِهِمْ.
atau meragukan bahwa mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.
وَعَلَى الْأَوَّلِ: هُوَ تَعْرِيضٌ لِلْأُمَّةِ، أَيْ: لَا يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أُمَّتِهِ مِنَ الْمُمْتَرِينَ،
Menurut penafsiran pertama, ini adalah sindiran untuk umat, yakni: jangan ada seorang pun dari umat beliau yang termasuk orang-orang yang ragu,
لِأَنَّهُ ﷺ لَا يَشُكُّ فِي كَوْنِ ذَلِكَ هُوَ الْحَقَّ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
karena beliau ﷺ sama sekali tidak ragu bahwa hal itu adalah kebenaran dari Allah Yang Mahasuci.
---
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ مَاجَهْ عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ:
Ibnu Mājah meriwayatkan dari al-Barā’, ia berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ شَهْرًا،
“Kami shalat bersama Rasulullah ﷺ menghadap Baitul Maqdis selama delapan belas bulan;
وَصُرِفَتِ الْقِبْلَةُ إِلَى الْكَعْبَةِ بَعْدَ دُخُولِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ بِشَهْرَيْنِ،
dan kiblat dipalingkan ke Ka‘bah dua bulan setelah beliau masuk ke Madinah.”
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا صَلَّى إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ أَكْثَرَ تَقْلِيبَ وَجْهِهِ فِي السَّمَاءِ،
“Rasulullah ﷺ ketika shalat menghadap Baitul Maqdis sering sekali membolak-balikkan wajahnya ke langit,
وَعَلِمَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِ نَبِيِّهِ أَنَّهُ يَهْوَى الْكَعْبَةَ،
dan Allah mengetahui dari hati Nabi-Nya bahwa beliau menghendaki (kiblat ke) Ka‘bah.”
فَصَعِدَ جِبْرِيلُ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُتْبِعُهُ بَصَرَهُ، وَهُوَ يَصْعَدُ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ يَنْظُرُ مَا يَأْتِيهِ بِهِ،
“Maka Jibril naik (ke langit), lalu Rasulullah ﷺ mengikuti (arah)nya dengan pandangan mata beliau saat Jibril naik antara langit dan bumi, beliau melihat apa yang akan dibawakan kepadanya.”
فَأَنْزَلَ اللَّهُ: «قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ …» الْآيَةَ،
“Lalu Allah menurunkan ayat: ‘Sesungguhnya Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit …’ hingga akhir ayat,”
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «يَا جِبْرِيلُ، كَيْفَ حَالُنَا فِي صَلَاتِنَا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ؟»
“Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Wahai Jibril, bagaimana keadaan (nilai) shalat kami dulu yang menghadap Baitul Maqdis?’”
فَأَنْزَلَ اللَّهُ: «وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ».
“Maka Allah menurunkan ayat: ‘Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.’”
وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثِ مُعَاذٍ مُخْتَصَرًا، لَكِنَّهُ قَالَ: «سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا».
At-Thabrani meriwayatkannya dari hadits Mu‘ādz dalam bentuk ringkas, tetapi ia menyebutkan: “tujuh belas bulan.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالطَّبَرَانِيُّ فِي «الْكَبِيرِ»، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو فِي قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: «فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا»
Dan ‘Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, ath-Thabrāni dalam *al-Kabīr*, dan al-Hakim (dan ia mensahihkannya) meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr tentang firman-Nya Ta‘ala: “Maka sungguh Kami akan memalingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai,”
قَالَ: «قِبْلَةَ إِبْرَاهِيمَ نَحْوَ الْمِيزَابِ».
ia berkata: “(Yakni) kiblat Ibrahim, ke arah talang (air hujan Ka‘bah).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ»، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ الْبَرَاءِ فِي قَوْلِهِ: «فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ»، قَالَ: «قِبَلَهُ».
‘Abdu bin Humaid, Abu Dawud dalam *an-Nāsikh*, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari al-Barā’ tentang firman-Nya: “Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram,” ia berkata: “Ke arahnya (ke jurusannya).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «سُنَنِهِ» عَنْ عَلِيٍّ مِثْلَهُ.
Dan ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Hakim (dan ia mensahihkannya), serta al-Baihaqi dalam *as-Sunan* meriwayatkan dari ‘Ali dengan makna yang sama.
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ»، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «شَطْرَهُ: نَحْوَهُ».
Abu Dawud dalam *an-Nāsikh*, Ibnu Jarir, dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Syathrah” artinya: “ke arahnya.”
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ مُجَاهِدٍ مِثْلَهُ.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Mujahid dengan makna yang sama.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ قَالَ: «شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ: تِلْقَاءَهُ».
Ibnu Abi Syaibah, ‘Abdu bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah, ia berkata: “‘Syathral-masjidil-harām’: ke arahnya (berhadapan dengannya).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «الْبَيْتُ كُلُّهُ قِبْلَةٌ، وَقِبْلَةُ الْبَيْتِ: الْبَابُ».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Seluruh bangunan Ka‘bah adalah kiblat, dan kiblat Ka‘bah adalah pintunya.”
وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ فِي «سُنَنِهِ» عَنْهُ مَرْفُوعًا، قَالَ: «الْبَيْتُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْمَسْجِدِ، وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَمِ، وَالْحَرَمُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ فِي مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِي».
Al-Baihaqi dalam *as-Sunan* meriwayatkan darinya secara marfū‘, ia berkata: “Ka‘bah adalah kiblat bagi penghuni Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi penghuni tanah haram, dan tanah haram adalah kiblat bagi seluruh penduduk bumi di timur dan barat dari umatku.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ السُّدِّيِّ فِي قَوْلِهِ: «وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ»، قَالَ: «أُنْزِلَ ذَلِكَ فِي الْيَهُودِ».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman-Nya: “Dan sesungguhnya orang-orang yang telah diberi Kitab …”, ia berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ»، قَالَ: يَعْنِي بِذَلِكَ الْقِبْلَةَ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Sungguh mereka mengetahui bahwa itu adalah kebenaran,” ia berkata: “Yang dimaksud adalah (perintah pemindahan) kiblat.”
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ» وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ نَحْوَهُ.
Abu Dawud dalam *an-Nāsikh* dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah dengan makna serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ السُّدِّيِّ فِي قَوْلِهِ: «وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ»
Ibnu Jarir meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman-Nya: “Dan sebagian mereka pun bukan pengikut kiblat sebagian,”
يَقُولُ: مَا الْيَهُودُ بِتَابِعِي قِبْلَةَ النَّصَارَى، وَلَا النَّصَارَى بِتَابِعِي قِبْلَةَ الْيَهُودِ.
ia berkata: “Yakni, orang-orang Yahudi tidak mengikuti kiblat orang-orang Nasrani, dan orang-orang Nasrani tidak mengikuti kiblat orang-orang Yahudi.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ»، قَالَ: «الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى».
‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: “Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka itu …”, ia berkata: “(Mereka adalah) orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
«يَعْرِفُونَهُ»، قَالَ: «يَعْرِفُونَ رَسُولَ اللَّهِ فِي كِتَابِهِمْ، كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ».
“‘Mereka mengenalnya,’ ia berkata: ‘Mereka mengenal Rasulullah (sifat-sifat beliau) dalam kitab mereka sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.’”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ: «يَعْرِفُونَهُ»،
‘Abdu bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: “Mereka mengenalnya,”
قَالَ: «يَعْرِفُونَ أَنَّ الْبَيْتَ الْحَرَامَ هُوَ الْقِبْلَةُ».
ia berkata: “Yakni, mereka mengetahui bahwa Baitul Haram (Ka‘bah) adalah kiblat (yang benar).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الرَّبِيعِ مِثْلَهُ.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari ar-Rabi‘ dengan makna serupa.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ»،
‘Abdu bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Dan sesungguhnya sebagian dari mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui,”
قَالَ: «يَكْتُمُونَ مُحَمَّدًا، وَهُمْ يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ».
ia berkata: “Mereka menyembunyikan (sifat-sifat) Muhammad, padahal mereka mendapatinya tertulis di sisi mereka di dalam Taurat dan Injil.”
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ»، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ،
Abu Dawud dalam *an-Nāsikh* dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah,
قَالَ: قَالَ اللَّهُ لِنَبِيِّهِ ﷺ: «الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ»،
ia berkata: Allah berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau termasuk golongan orang yang ragu,”
يَقُولُ: «لَا تَكُونَنَّ فِي شَكٍّ يَا مُحَمَّدُ أَنَّ الْكَعْبَةَ هِيَ قِبْلَتُكَ، وَكَانَتْ قِبْلَةَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ».
maksudnya: “Janganlah engkau ragu, wahai Muhammad, bahwa Ka‘bah adalah kiblatmu, dan sungguh ia adalah kiblat para nabi sebelum engkau.”
---
1 Hadits: “الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ” (HR. Muslim no. 223).
2 QS. ar-Rūm (30): 51.