Al Baqarah Ayat 133-141
[سُورَةُ البَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٣٣ إِلَى ١٤١]
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي ۖ قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (١٣٣)
Ataukah kalian hadir (menyaksikan) ketika Ya‘qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya,
“Apa yang kalian sembah sepeninggalku?”
Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu: Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Satu, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (Muslim).”
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٣٤)
Itu adalah satu umat yang telah lalu;
baginya apa yang telah ia usahakan dan bagi kalian apa yang kalian usahakan,
dan kalian tidak akan ditanya tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٣٥)
Dan mereka berkata, “Jadilah kalian orang-orang Yahudi atau orang-orang Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk.”
Katakanlah (wahai Muhammad), “(Tidak), tetapi (ikutilah) agama Ibrahim yang lurus, dan ia tidak termasuk golongan orang-orang musyrik.”
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (١٣٦)
Katakanlah (wahai kaum Muslimin), “Kami beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kami,
dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub, dan anak cucu (mereka),
dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta kepada apa yang diberikan kepada para nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri (Muslim).”
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧)
Maka jika mereka beriman kepada sesuatu seperti yang kalian imani, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.
Namun jika mereka berpaling, maka sesungguhnya mereka hanyalah berada dalam perpecahan (permusuhan).
Maka Allah akan memelihara (mencukupkanmu) terhadap mereka; dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً ۖ وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ (١٣٨)
(Sibgoh) celupan Allah; dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?
Dan hanya kepada-Nya kami adalah para hamba yang beribadah.
قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩)
Katakanlah, “Apakah kalian hendak berdebat dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian?
Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian, dan hanya kepada-Nyalah kami mengikhlaskan (ibadah).”
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (١٤٠)
Ataukah kalian mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub, dan anak cucu (mereka) itu adalah orang-orang Yahudi atau Nasrani?
Katakanlah, “Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?”
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya?
Dan Allah tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan.
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ ۖ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ ۖ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٤١)
Itu adalah satu umat yang telah lalu;
baginya apa yang telah ia usahakan, dan bagi kalian apa yang kalian usahakan,
dan kalian tidak akan ditanya tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.
---
قَوْلُهُ: أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ
Firman-Nya: “Apakah kalian hadir (menyaksikan) …”
«أَمْ» هَذِهِ قِيلَ: هِيَ الْمُنْقَطِعَةُ، وَقِيلَ: هِيَ الْمُتَّصِلَةُ،
Kata “am” di sini, ada yang mengatakan: adalah “am munqathi‘ah” (bukan penghubung antara dua hal dalam satu susunan), dan ada yang mengatakan: ia “am muttashilah” (menghubungkan dengan apa yang sebelumnya).
وَفِي الْهَمْزَةِ الْإِنْكَارُ الْمُفِيدُ لِلتَّقْرِيعِ وَالتَّوْبِيخِ،
Pada hamzah istifham (kata tanya “a-”) terdapat makna pengingkaran yang berfungsi untuk mencela dan menegur keras.
وَالْخِطَابُ لِلْيَهُودِ وَالنَّصَارَى الَّذِينَ يَنْسِبُونَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِلَى بَنِيهِ أَنَّهُمْ عَلَى الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ.
Seruan ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menisbatkan kepada Ibrahim dan kepada anak cucunya bahwa mereka berada di atas agama Yahudi dan Nasrani.
فَرَدَّ اللَّهُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ،
Maka Allah membantah klaim itu dari mereka,
وَقَالَ لَهُمْ: أَشَهِدْتُمْ يَعْقُوبَ وَعَلِمْتُمْ بِمَا أَوْصَىٰ بِهِ بَنِيهِ،
dan berfirman kepada mereka (dengan makna): “Apakah kalian menyaksikan (sendiri) Ya‘qub dan mengetahui apa yang ia wasiatkan kepada anak-anaknya,
فَتَدَّعُونَ ذَلِكَ عَنْ عِلْمٍ، أَمْ لَمْ تَشْهَدُوا بَلْ أَنْتُمْ مُفْتَرُونَ؟
sehingga kalian mengklaim itu berdasarkan pengetahuan, ataukah kalian tidak menyaksikannya, tetapi kalian adalah para pembohong?”
وَالشُّهَدَاءُ: جَمْعُ شَاهِدٍ، وَلَمْ يَنْصَرِفْ لِأَنَّ فِيهِ أَلِفَ التَّأْنِيثِ الَّتِي لِتَأْنِيثِ الْجَمَاعَةِ،
“Kata ”asy-syuhadā’“ adalah jamak dari ”syāhid“, dan ia tidak ditanwin (ghairu munsharif) karena adanya alif ta’nits yang digunakan untuk menunjukkan jamaah (bentuk kolektif).
وَالْعَامِلُ فِي «إِذْ» الْأُولَىٰ: مَعْنَى الشَّهَادَةِ،
Yang menjadi ‘amil (penguasa i‘rab) bagi “idz” yang pertama adalah makna penyaksian (syahādat).
وَ«إِذْ» الثَّانِيَةُ: بَدَلٌ مِنَ الْأُولَىٰ،
Sedangkan “idz” yang kedua adalah badal dari yang pertama.
وَالْمُرَادُ بِحُضُورِ الْمَوْتِ: حُضُورُ مُقَدِّمَاتِهِ،
Yang dimaksud dengan “kehadiran maut” adalah hadirnya tanda-tanda dan pendahuluan-pendahuluannya.
وَإِنَّمَا جَاءَ بِـ «مَا» دُونَ «مَنْ» فِي قَوْلِهِ: «مَا تَعْبُدُونَ» لِأَنَّ الْمَعْبُودَاتِ مِنْ دُونِ اللَّهِ غَالِبُهَا جَمَادَاتٌ، كَالْأَوْثَانِ وَالنَّارِ وَالشَّمْسِ وَالْكَوَاكِبِ.
Dan Allah menggunakan kata tanya “mā” (ما) bukan “man” (مَن) pada firman-Nya: “mā ta‘budūn” (apa yang kalian sembah) karena sesembahan selain Allah kebanyakan berupa benda-benda mati (tidak berakal), seperti berhala, api, matahari, dan bintang-bintang.
وَمَعْنَى «مِنْ بَعْدِي» أَيْ: مِنْ بَعْدِ مَوْتِي.
Makna “min ba‘dī” adalah: setelah (aku) mati.
وَقَوْلُهُ: «إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ» عَطْفُ بَيَانٍ لِقَوْلِهِ: «آبَائِكَ».
Firman-Nya: “Ibrahim, Ismail, dan Ishaq” adalah ‘athf bayān (penjelas) bagi kata “ābā’ika” (nenek moyangmu).
وَإِسْمَاعِيلُ وَإِنْ كَانَ عَمًّا لِيَعْقُوبَ، لِأَنَّ الْعَرَبَ تُسَمِّي الْعَمَّ أَبًا.
Walaupun Ismail sebenarnya adalah paman bagi Ya‘qub, karena orang Arab biasa menyebut paman dengan istilah “ayah” (ab).
وَقَوْلُهُ: «إِلَهًا» بَدَلٌ مِنْ «إِلَهَكَ»، وَإِنْ كَانَ نَكِرَةً فَذَلِكَ جَائِزٌ،
Firman-Nya: “ilāhan” adalah badal dari “ilāhaka” (Tuhanmu), meskipun berbentuk nakirah (umum); hal itu tetap dibolehkan,
وَلَا سِيَّمَا بَعْدَ تَخْصِيصِهِ بِالصِّفَةِ الَّتِي هِيَ قَوْلُهُ: «وَاحِدًا»،
terlebih setelah dibatasi (ditentukan) oleh sifat yang ada dalam firman-Nya: “Yang Satu (wāhidan)”,
فَإِنَّهُ قَدْ حَصَلَ الْمَطْلُوبُ مِنَ الْإِبْدَالِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ.
karena dengan sifat ini telah tercapai maksud dari penggantian (badal).
وَقِيلَ: إِنَّ «إِلَهًا» مَنْصُوبٌ عَلَى الِاخْتِصَاصِ،
Ada yang mengatakan: kata “ilāhan” manshub karena berfungsi sebagai ikhtishāsh (penegasan khusus).
وَقِيلَ: إِنَّهُ حَالٌ.
Ada pula yang mengatakan: ia adalah hal (keterangan keadaan).
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: وَهُوَ قَوْلٌ حَسَنٌ، لِأَنَّ الْغَرَضَ الْإِثْبَاتُ حَالَ الْوَحْدَانِيَّةِ.
Ibnu ‘Athiyyah berkata: Ini pendapat yang baik, karena maksudnya adalah penetapan (ibadah) dalam keadaan tauhid (mengesakan Allah).
وَقَرَأَ الْحَسَنُ، وَيَحْيَى بْنُ يَعْمَرَ، وَأَبُو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِيُّ: «وَإِلَهَ أَبِيكَ»
Al-Hasan, Yahya bin Ya‘mar, dan Abu Rajā’ al-‘Uṭāridī membaca: “wa ilāha abīka” (dan Tuhan ayahmu),
فَقِيلَ: أَرَادَ إِبْرَاهِيمَ وَحْدَهُ،
Maka ada yang mengatakan: yang dimaksud adalah Ibrahim saja.
وَيَكُونُ قَوْلُهُ: «وَإِسْمَاعِيلَ» عَطْفًا عَلَى «أَبِيكَ»، وَكَذَلِكَ: «إِسْحَاقَ»،
Dan firman-Nya: “wa Ismā‘īla” di-‘athaf-kan kepada “abīka”, demikian pula “Ishāqa”,
وَإِنْ كَانَ هُوَ أَبَاهُ حَقِيقَةً وَإِبْرَاهِيمُ جَدَّهُ، وَلَكِنْ لِإِبْرَاهِيمَ مَزِيدُ خُصُوصِيَّةٍ.
meskipun Ishaq adalah ayahnya secara hakiki dan Ibrahim kakeknya, tetapi bagi Ibrahim ada keistimewaan yang lebih (disebut lebih dahulu).
وَقِيلَ: إِنَّ قَوْلَهُ: «أَبِيكَ» جَمْعٌ،
Ada pula yang mengatakan: kata “abīka” di sini berbentuk jamak (ayah-ayahmu),
كَمَا رُوِيَ عَنْ سِيبَوَيْهِ أَنَّ «أَبِينَ» جَمْعُ سَلَامَةٍ، وَمِثْلُهُ: «أَبُونَ».
sebagaimana diriwayatkan dari Sibawaih bahwa “abīn” adalah jamak salim, dan semisalnya “abūn”.
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Di antaranya adalah ucapan seorang penyair:
فَلَمَّا تَبَيَّنَ أَصْوَاتَنَا … بَكَيْنَ وَفَدَّيْنَنَا بِالْأَبِينَا
“Tatkala mereka mengenali suara-suara kami,
mereka menangis dan menebus kami dengan ayah-ayah kami (al-abīnā).”
وَقَوْلُهُ: «وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ» جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ،
Firman-Nya: “Dan hanya kepada-Nya kami berserah diri (Muslim)” adalah kalimat hal (keterangan keadaan),
أَيْ: نَعْبُدُهُ حَالَ إِسْلَامِنَا لَهُ،
yakni: kami menyembah-Nya dalam keadaan kami berserah diri kepada-Nya.
وَجَوَّزَ الزَّمَخْشَرِيُّ أَنْ تَكُونَ اعْتِرَاضِيَّةً عَلَى مَا يَذْهَبُ إِلَيْهِ مِنْ جَوَازِ وُقُوعِ الْجُمَلِ الِاعْتِرَاضِيَّةِ آخِرَ الْكَلَامِ.
Az-Zamakhsyari membolehkan juga ia sebagai kalimat i‘tirādh (sisipan), menurut pandangannya bahwa kalimat sisipan boleh datang di akhir ucapan.
وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: «تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ» إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَبَنِيهِ وَيَعْقُوبَ وَبَنِيهِ،
Isyarat dengan firman-Nya: “Itu adalah satu umat yang telah lalu” merujuk kepada Ibrahim dan anak cucunya, serta Ya‘qub dan anak cucunya.
وَ«أُمَّةٌ» بَدَلٌ مِنْهُ، وَخَبَرُهُ «قَدْ خَلَتْ»،
Kata “ummatun” adalah badal darinya, dan khabarnya adalah “qad khalat” (telah berlalu).
أَوْ «أُمَّةٌ» خَبَرُهُ، وَ«قَدْ خَلَتْ» نَعْتٌ لِـ «أُمَّةٍ».
Atau “ummatun” adalah khabar, dan “qad khalat” adalah sifat (na‘t) bagi “ummatin”.
وَقَوْلُهُ: «لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ»
Firman-Nya: “Baginya apa yang telah ia usahakan, dan bagi kalian apa yang kalian usahakan, dan kalian tidak akan ditanya tentang apa yang dahulu mereka kerjakan”
بَيَانٌ لِحَالِ تِلْكَ الْأُمَّةِ وَحَالِ الْمُخَاطَبِينَ،
adalah penjelasan tentang keadaan umat tersebut dan keadaan orang-orang yang diajak bicara.
بِأَنَّ لِكُلٍّ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ كَسْبَهُ، لَا يَنْفَعُهُ كَسْبُ غَيْرِهِ وَلَا يَنَالُهُ مِنْهُ شَيْءٌ، وَلَا يَضُرُّهُ ذَنْبُ غَيْرِهِ،
Bahwa masing-masing dari kedua golongan itu memiliki usahanya sendiri; mereka tidak mendapat manfaat dari usaha orang lain dan tidak terkena akibat darinya sedikit pun, dan dosa orang lain tidak akan membahayakan mereka.
وَفِيهِ الرَّدُّ عَلَىٰ مَنْ يَتَّكِلُ عَلَىٰ عَمَلِ سَلَفِهِ، وَيُرَوِّحُ نَفْسَهُ بِالْأَمَانِيِّ الْبَاطِلَةِ،
Di dalamnya terdapat bantahan terhadap orang yang bersandar pada amal (kebajikan) para pendahulunya dan menenangkan dirinya dengan angan-angan yang batil.
وَمِنْهُ مَا وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ: «مَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ».
Dan termasuk (makna yang sejalan) dengannya adalah apa yang datang dalam hadits: “Barangsiapa yang amalnya memperlambat (kedudukannya), nasabnya tidak akan mempercepatnya.”1
وَالْمُرَادُ: أَنَّكُمْ لَا تَنْتَفِعُونَ بِحَسَنَاتِهِمْ، وَلَا تُؤَاخَذُونَ بِسَيِّئَاتِهِمْ،
Maksudnya: kalian tidak akan mendapat manfaat dari kebaikan-kebaikan mereka, dan tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kejelekan-kejelekan mereka,
وَلَا تُسْأَلُونَ عَنْ أَعْمَالِهِمْ، كَمَا لَا يُسْأَلُونَ عَنْ أَعْمَالِكُمْ.
serta kalian tidak ditanya tentang amal-amal mereka, sebagaimana mereka juga tidak ditanya tentang amal kalian.
وَمِثْلُهُ: «وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ»2، وَ«أَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ»3.
Dan serupa dengan ini adalah firman-Nya: “Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,”2 dan: “Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”3
وَلَمَّا ادَّعَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ أَنَّ الْهِدَايَةَ بِيَدِهَا وَالْخَيْرَ مَقْصُورٌ عَلَيْهَا،
Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani mengklaim bahwa hidayah (petunjuk) berada di tangan mereka dan bahwa kebaikan hanya terbatas pada mereka,
رَدَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ: «بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ».
Allah membantah mereka dengan firman-Nya: “(Tidak), tetapi (ikutilah) millah (agama) Ibrahim.”
أَيْ: قُلْ يَا مُحَمَّدُ هَذِهِ الْمَقَالَةَ.
Yakni: Katakanlah wahai Muhammad ucapan ini.
وَنُصِبَتْ «مِلَّةَ» بِفِعْلٍ مُقَدَّرٍ، أَيْ: نَتَّبِعُ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ،
Kata “millata” dinashabkan oleh fi‘il mahzuf (kata kerja yang dihapus) yang diperkirakan, yakni: “kita mengikuti millah Ibrahim”.
وَقِيلَ: التَّقْدِيرُ: نَكُونُ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ، أَيْ: أَهْلَ مِلَّتِهِ،
Ada yang mengatakan: takdirnya adalah: “(kami) menjadi millah Ibrahim,” yakni: menjadi para penganut (pengikut) millahnya.
وَقِيلَ: بَلْ نَهْتَدِي بِمِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ، فَلَمَّا حُذِفَ حَرْفُ الْجَرِّ صَارَ مَنْصُوبًا.
Ada pula yang mengatakan: maknanya: “(Kami tidak seperti kalian, tetapi) kami mendapat petunjuk dengan millah Ibrahim”; ketika huruf jar dihapus, maka kata itu menjadi manshub.
وَقَرَأَ الْأَعْرَجُ، وَابْنُ أَبِي عَبْلَةَ: «مِلَّةُ» بِالرَّفْعِ، أَيْ: بَلِ الْهُدَىٰ مِلَّةُ إِبْرَاهِيمَ.
Al-A‘raj dan Ibnu Abi ‘Abla membaca “millatu” dengan rafa‘, maksudnya: “(Tidak), melainkan hidayah itu adalah millah Ibrahim.”
وَالْحَنِيفُ: الْمَائِلُ عَنِ الْأَدْيَانِ الْبَاطِلَةِ إِلَىٰ دِينِ الْحَقِّ،
“Al-ḥanīf” adalah orang yang berpaling dari agama-agama yang batil menuju agama yang hak.
وَهُوَ فِي أَصْلِ اللُّغَةِ: الَّذِي تَمِيلُ قَدَمَاهُ كُلُّ وَاحِدَةٍ إِلَىٰ أُخْتِهَا.
Secara asal bahasa, (kata itu) digunakan bagi orang yang kedua kakinya saling condong satu sama lain (seperti pengidap kaki bengkok).
قَالَ الزَّجَّاجُ: وَهُوَ مَنْصُوبٌ عَلَى الْحَالِ، أَيْ: نَتَّبِعُ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَالَ كَوْنِهِ حَنِيفًا.
Az-Zajjāj berkata: Kata itu manshub sebagai hal (keterangan keadaan), yakni: “Kami mengikuti millah Ibrahim dalam keadaan ia hanīf (lurus).”
وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ سُلَيْمَانَ: هُوَ مَنْصُوبٌ بِتَقْدِيرِ «أَعْنِي»، وَالْحَالُ خَطَأٌ،
‘Ali bin Sulaiman berkata: Kata itu manshub karena diperkirakan adanya lafaz “a‘nī” (maksudku), dan memaknainya sebagai hal adalah keliru,
كَمَا لَا يَجُوزُ: «جَاءَنِي غُلَامُ هِنْدٍ مُسْرِعَةً».
sebagaimana tidak boleh dikatakan: “Jā’anī ghulāmu Hindin musri‘atan” (dengan hal kembali kepada yang bukan pelakunya, yaitu Hind).
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: هُوَ حَالٌ مِنَ الْمُضَافِ إِلَيْهِ، كَقَوْلِكَ: «رَأَيْتُ وَجْهَ هِنْدٍ قَائِمَةً».
Dalam *al-Kasysyāf* dikatakan: Ia adalah hal yang kembali kepada mudhaf ilaih (Ibrahim), seperti ucapanmu: “Aku melihat wajah Hind dalam keadaan berdiri.”
وَقَالَ قَوْمٌ: الْحَنَفُ: الِاسْتِقَامَةُ،
Sebagian ulama mengatakan: “al-ḥanaf” adalah “istiqāmah” (kelurusan),
فَسُمِّيَ دِينُ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا لِاسْتِقَامَتِهِ،
maka agama Ibrahim dinamakan hanīf karena kelurusannya.
وَسُمِّيَ مُعْوَجُّ الرِّجْلَيْنِ: «أَحْنَفَ» تَفَاؤُلًا بِالِاسْتِقَامَةِ،
Dan orang yang kedua kakinya bengkok dinamakan “aḥnaf” sebagai bentuk optimisme (tafa’ul) dengan kebalikannya, yaitu istiqāmah,
كَمَا قِيلَ لِلَّدِيغِ: «سَلِيمٌ»، وَلِلْمُهْلِكَةِ: «مَفَازَةٌ».
sebagaimana orang yang tersengat (binatang berbisa) disebut “salīm” (sehat), dan padang pasir mematikan disebut “mafāzah” (keselamatan).
وَقَدِ اسْتَدَلَّ مَنْ قَالَ بِأَنَّ الْحَنِيفَ فِي اللُّغَةِ: الْمَائِلُ لَا الْمُسْتَقِيمُ، بِقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Orang yang berpendapat bahwa kata “hanīf” dalam bahasa berarti “yang condong/miring” bukan “yang lurus” berdalil dengan syair:
إِذَا حَوَّلَ الظِّلُّ الْعَشِيَّ رَأَيْتَهُ … حَنِيفًا وَفِي قَرْنِ الضُّحَىٰ يَتَنَصَّرُ
“Ketika bayangan (matahari) berubah di waktu sore, engkau melihatnya condong (hanīf),
dan ketika di puncak dhuha (bayangan) itu mengarah ke timur (seperti arah kiblat Nasrani).”
أَيْ: أَنَّ الْحِرْبَاءَ تَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ بِالْعَشِيِّ، وَتَسْتَقْبِلُ الْمَشْرِقَ بِالْغَدَاةِ، وَهِيَ قِبْلَةُ النَّصَارَىٰ.
Maksudnya: binatang hirbā’ menghadap kiblat kaum Muslimin di sore hari dan menghadap ke timur di pagi hari, dan timur adalah kiblat kaum Nasrani.
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Dan juga syair lain:
وَاللَّهِ لَوْلَا حَنَفٌ فِي رِجْلِهِ … مَا كَانَ فِي رِجَالِكُمْ مَنْ مِثْلُهُ
“Demi Allah, kalau saja tidak ada kebengkokan (ḥanaf) di kakinya,
niscaya di antara para lelaki kalian tidak ada yang sebanding dengannya.”
وَقَوْلُهُ: «وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ» فِيهِ تَعْرِيضٌ بِالْيَهُودِ لِقَوْلِهِمْ: «عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ»،
Firman-Nya: “dan ia bukan termasuk golongan orang-orang musyrik” mengandung sindiran keras kepada orang-orang Yahudi karena ucapan mereka: “Uzair adalah anak Allah,”4
وَبِالنَّصَارَىٰ لِقَوْلِهِمْ: «الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ»،
dan kepada orang-orang Nasrani karena ucapan mereka: “Al-Masih adalah anak Allah.”5
أَيْ: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ مَا كَانَ عَلَىٰ هَذِهِ الْحَالَةِ الَّتِي أَنْتُمْ عَلَيْهَا مِنَ الشِّرْكِ بِاللَّهِ،
Yakni: Ibrahim tidak berada dalam keadaan seperti yang kalian lakukan sekarang, berupa kesyirikan kepada Allah,
فَكَيْفَ تَدَّعُونَ عَلَيْهِ أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْيَهُودِيَّةِ أَوِ النَّصْرَانِيَّةِ؟
maka bagaimana mungkin kalian mengklaim bahwa ia berada di atas agama Yahudi atau Nasrani?
وَقَوْلُهُ: «قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ» خِطَابٌ لِلْمُسْلِمِينَ،
Firman-Nya: “Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah …’” adalah seruan kepada kaum Muslimin,
وَأَمْرٌ لَهُمْ بِأَنْ يَقُولُوا هَذِهِ الْمَقَالَةَ.
dan perintah kepada mereka untuk mengucapkan kalimat ini.
وَقِيلَ: إِنَّهُ خِطَابٌ لِلْكُفَّارِ بِأَنْ يَقُولُوا ذَلِكَ حَتَّىٰ يَكُونُوا عَلَى الْحَقِّ،
Ada juga yang mengatakan: itu adalah seruan kepada orang-orang kafir agar mereka mengucapkannya sehingga mereka berada di atas kebenaran.
وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ.
Namun pendapat pertama lebih jelas (lebih kuat).
وَالْأَسْبَاطُ: أَوْلَادُ يَعْقُوبَ، وَهُمْ اثْنَا عَشَرَ وَلَدًا،
“Al-asbāṭ” adalah putra-putra Ya‘qub, dan mereka berjumlah dua belas orang.
وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِنَ الْأَوْلَادِ جَمَاعَةٌ،
Dan setiap dari mereka memiliki keturunan yang banyak.
وَالسِّبْطُ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَنْزِلَةِ الْقَبِيلَةِ فِي الْعَرَبِ،
Istilah “sibth” di kalangan Bani Israil setara dengan istilah “kabilah” di kalangan orang Arab.
وَسُمُّوا الْأَسْبَاطَ مِنَ «السَّبْطِ» وَهُوَ التَّتَابُعُ، فَهُمْ جَمَاعَةٌ مُتَتَابِعُونَ.
Mereka dinamakan “asbāṭ” dari kata “sabṭ” yang berarti “berturut-turut”, karena mereka adalah jamaah yang banyak dan saling berkelanjutan.
وَقِيلَ: أَصْلُهُ مِنَ «السَّبْطِ» بِالتَّحْرِيكِ، وَهُوَ الشَّجَرُ، أَيْ: هُمْ فِي الْكَثْرَةِ بِمَنْزِلَةِ الشَّجَرِ.
Ada yang mengatakan: asalnya dari “sabṭ” (dengan harakat), yang berarti pohon; yakni mereka dalam jumlah yang banyak laksana pepohonan.
وَقِيلَ: الْأَسْبَاطُ: حَفَدَةُ يَعْقُوبَ، أَيْ: أَوْلَادُ أَوْلَادِهِ، لَا أَوْلَادُهُ،
Ada pula yang mengatakan: asbāṭ adalah cucu-cucu Ya‘qub, yaitu anak-anak dari anak-anaknya, bukan putra-putranya langsung,
لِأَنَّ الْكَثْرَةَ إِنَّمَا كَانَتْ فِيهِمْ دُونَ أَوْلَادِ يَعْقُوبَ فِي نَفْسِهِ، فَهُمْ أَفْرَادٌ لَا أَسْبَاطَ.
karena jumlah yang banyak itu terdapat pada mereka (cucu-cucu) bukan pada putra-putra Ya‘qub sendiri; mereka adalah individu-individu, bukan kelompok-kelompok (asbāṭ).
وَقَوْلُهُ: «لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ» قَالَ الْفَرَّاءُ: مَعْنَاهُ: لَا نُؤْمِنُ بِبَعْضِهِمْ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ،
Firman-Nya: “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka” — al-Farrā’ berkata: Maknanya adalah: kami tidak beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian lainnya,
كَمَا فَعَلَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ.
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.
قَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: وَ«أَحَدٍ» فِي مَعْنَى الْجَمَاعَةِ، وَلِذَلِكَ صَحَّ دُخُولُ «بَيْنَ» عَلَيْهِ.
Dalam *al-Kasysyāf* disebutkan: Kata “aḥad” di sini bermakna jamaah (kelompok), karena itu benar secara bahasa bila didahului oleh kata “baina” (antara).
وَقَوْلُهُ: «فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ» هَذَا الْخِطَابُ لِلْمُسْلِمِينَ أَيْضًا،
Firman-Nya: “Maka jika mereka beriman dengan seperti apa yang kalian imani …” adalah seruan kepada kaum Muslimin juga,
أَيْ: فَإِنْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ وَغَيْرُهُمْ بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ مِنْ جَمِيعِ كُتُبِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ فَقَدِ اهْتَدَوْا.
yakni: jika Ahli Kitab dan selain mereka beriman dengan iman yang seperti iman kalian terhadap seluruh kitab-kitab Allah dan para rasul-Nya, dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk.
وَعَلَىٰ هَذَا: فَـ «مِثْلُ» زَائِدَةٌ، كَقَوْلِهِ: «لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ»6،
Berdasarkan ini, kata “mitsl” di sini dianggap tambahan (zā`idah) untuk penguatan, sebagaimana dalam firman-Nya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”6
وَقَوْلِ الشَّاعِرِ:
Dan seperti ucapan penyair:
فَصِيرُوا مِثْلَ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
“Maka mereka menjadi seperti (mitsla) daun-daun (tanaman) yang dimakan (binatang).”
وَقِيلَ: إِنَّ الْمُمَاثَلَةَ وَقَعَتْ بَيْنَ الْإِيمَانَيْنِ، أَيْ: فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ إِيمَانِكُمْ.
Ada juga yang mengatakan: kemiripan itu terjadi antara dua iman, yakni: jika mereka beriman dengan iman yang serupa iman kalian.
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: إِنَّهُ مِنْ بَابِ التَّبْكِيتِ، لِأَنَّ دِينَ الْحَقِّ وَاحِدٌ لَا مِثْلَ لَهُ، وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ،
Dalam *al-Kasysyāf* disebutkan: (Ungkapan) ini adalah bentuk teguran keras (tabkīt), karena agama yang haq itu satu, tidak ada yang serupa dengannya, yaitu agama Islam.
قَالَ: أَيْ: فَإِنْ حَصَّلُوا دِينًا آخَرَ مِثْلَ دِينِكُمْ مُسَاوِيًا لَهُ فِي الصِّحَّةِ وَالسَّدَادِ فَقَدِ اهْتَدَوْا.
Ia berkata (maksud ayat): yakni, jika mereka bisa mendapatkan agama lain yang semisal agama kalian, yang sebanding dalam kebenaran dan ketepatannya, maka sungguh mereka telah mendapat petunjuk.
وَقِيلَ: إِنَّ الْبَاءَ زَائِدَةٌ مُؤَكِّدَةٌ،
Ada pula yang mengatakan: huruf “bā’” di sini adalah tambahan untuk menguatkan.
وَقِيلَ: إِنَّهَا لِلِاسْتِعَانَةِ.
Dan ada yang mengatakan: ia untuk makna isti‘ānah (dengan perantaraan).
وَ«الشِّقَاقُ» أَصْلُهُ مِنَ «الشِّقِّ»، وَهُوَ الْجَانِبُ،
Kata “syiqāq” asalnya dari “syiqq”, yang berarti sisi (bagian),
كَأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ فِي جَانِبٍ غَيْرِ الْجَانِبِ الَّذِي فِيهِ الْآخَرُ.
seakan-akan masing-masing dari kedua kelompok itu berada pada sisi yang berlawanan dengan sisi tempat kelompok yang lain berada.
وَقِيلَ: إِنَّهُ مَأْخُوذٌ مِنْ فِعْلِ مَا يَشُقُّ وَيَصْعُبُ،
Ada yang mengatakan: ia diambil dari perbuatan melakukan sesuatu yang berat dan sulit,
فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنَ الْفَرِيقَيْنِ يَحْرِصُ عَلَىٰ فِعْلِ مَا يَشُقُّ عَلَىٰ صَاحِبِهِ.
yakni masing-masing dari kedua belah pihak berusaha keras melakukan sesuatu yang menyulitkan lawannya.
وَيَصِحُّ حَمْلُ الْآيَةِ عَلَىٰ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ الْمَعْنَيَيْنِ،
Ayat ini dapat dibawa (ditafsirkan) kepada salah satu dari dua makna tersebut.
وَكَذَلِكَ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Demikian pula ucapan penyair:
وَإِلَّا فَاعْلَمُوا أَنَّا وَأَنْتُمْ … بُغَاةٌ مَا بَقِينَا فِي شِقَاقِ
“Jika tidak (damai), maka ketahuilah bahwa kami dan kalian,
adalah para pembangkang selama kami hidup dalam perselisihan (syiqāq).”
وَقَوْلُ الْآخَرِ:
Dan ucapan penyair lain:
إِلَىٰ كَمْ تَقْتُلُ الْعُلَمَاءَ قَسْرًا … وَتُفْجِرُ بِالشِّقَاقِ وَبِالنِّفَاقِ
“Sampai kapan engkau membunuh para ulama secara paksa,
dan engkau terus membuat kerusakan dengan perselisihan (syiqāq) dan kemunafikan?”
وَقَوْلُهُ: «فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ» وَعْدٌ مِنَ اللَّهِ تَعَالَىٰ لِنَبِيِّهِ،
Firman-Nya: “Maka Allah akan mencukupkanmu (dari kejahatan) mereka” adalah janji dari Allah Ta‘ala kepada Nabi-Nya,
أَنَّهُ سَيَكْفِيهِ مَنْ عَانَدَهُ وَخَالَفَهُ مِنَ الْمُتَوَلِّينَ،
bahwa Dia akan mencukupkannya dari orang-orang yang memusuhinya dan menyelisihinya dari kalangan orang-orang yang berpaling.
وَقَدْ أَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ بِمَا أَنْزَلَهُ مِنْ بَأْسِهِ بِقُرَيْظَةَ وَالنَّضِيرِ وَبَنِي قَيْنُقَاعَ.
Dan Allah telah menunaikan janji-Nya dengan menurunkan azab-Nya kepada Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqā‘.
وَقَوْلُهُ: «صِبْغَةَ اللَّهِ» قَالَ الْأَخْفَشُ وَغَيْرُهُ: أَيْ: «دِينَ اللَّهِ»،
Firman-Nya: “Sibghatallāh” — al-Akhfasy dan selainnya berkata: maksudnya adalah “Dīnallāh” (agama Allah),
قَالَ: وَهِيَ مُنْتَصِبَةٌ عَلَى الْبَدَلِ مِنْ «مِلَّةَ».
Ia berkata: dan ia manshub sebagai badal dari “millata”.
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ: هِيَ مَنْصُوبَةٌ عَلَىٰ تَقْدِيرِ: «اتَّبِعُوا»، أَوْ عَلَى الْإِغْرَاءِ، أَيْ: «الْزَمُوا».
Al-Kisā’ī berkata: Ia manshub dengan takdir fi‘il “ittabi‘ū” (ikutilah), atau sebagai fi‘il amr untuk peringatan (ighrā’), yakni: “Lazimilah (pegang teguhlah).”
وَرَجَّحَ الزَّجَّاجُ الِانْتِصَابَ عَلَى الْبَدَلِ مِنْ «مِلَّةَ»، كَمَا قَالَهُ الْفَرَّاءُ.
Az-Zajjāj merajihkan bahwa ia manshub sebagai badal dari “millata”, sebagaimana dikatakan oleh al-Farrā’.
وَقَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: إِنَّهَا مَصْدَرٌ مُؤَكَّدٌ مُنْتَصِبٌ عَنْ قَوْلِهِ: «آمَنَّا بِاللَّهِ»،
Dalam *al-Kasysyāf* disebutkan: Ia adalah mashdar mu’akkad (mashdar penguat) yang manshub merujuk pada firman-Nya: “Āmannā billāh,”
كَمَا انْتَصَبَ «وَعْدَ اللَّهِ» عَمَّا تَقَدَّمَهُ،
sebagaimana kata “wa‘dallāh” manshub pada ayat lain sebagai mashdar mu’akkad atas kalimat sebelumnya.
وَهِيَ فِعْلَةٌ مِنْ «صَبَغَ»، كَالْجِلْسَةِ مِنْ «جَلَسَ»،
Ia adalah bentuk “fi‘lah” dari kata “ṣabaga” (mencelup), seperti “jilsah” dari “jalasa” (duduk),
وَهِيَ الْحَالَةُ الَّتِي يَقَعُ عَلَيْهَا الصَّبْغُ،
dan ia adalah keadaan yang dihasilkan oleh proses pencelupan.
وَالْمَعْنَى: تَطْهِيرُ اللَّهِ، لِأَنَّ الْإِيمَانَ تَطْهِيرٌ لِلنُّفُوسِ.
Maknanya: penyucian Allah, karena iman itu menyucikan jiwa-jiwa.
انْتَهَىٰ، وَبِهِ قَالَ سِيبَوَيْهِ، أَيْ: كَوْنِهِ مَصْدَرًا مُؤَكَّدًا.
Selesai (penukilan dari al-Kasysyāf), dan demikian pula Sibawaih berpendapat bahwa ia adalah mashdar mu’akkad.
وَقَدْ ذَكَرَ الْمُفَسِّرُونَ أَنَّ أَصْلَ ذَلِكَ أَنَّ النَّصَارَىٰ كَانُوا يَصْبُغُونَ أَوْلَادَهُمْ فِي الْمَاءِ،
Para mufasir menyebutkan bahwa asal (istilah) itu adalah karena orang-orang Nasrani biasa mencelup anak-anak mereka ke dalam air,
وَهُوَ الَّذِي يُسَمُّونَهُ: «الْمَعْمُودِيَّةَ»، وَيَجْعَلُونَ ذَلِكَ تَطْهِيرًا لَهُمْ،
yaitu yang mereka sebut “al-ma‘mūdiyyah”, dan mereka menganggapnya sebagai penyucian bagi anak-anak itu.
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ قَالُوا: الْآنَ صَارَ نَصْرَانِيًّا حَقًّا،
Apabila mereka telah melakukan itu, mereka berkata: “Sekarang ia telah menjadi Nasrani sejati.”
فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ بِقَوْلِهِ: «صِبْغَةَ اللَّهِ»، أَيْ: الْإِسْلَامَ،
Maka Allah membantah mereka dengan firman-Nya: “Sibghatallāh” (celupan Allah), yakni: agama Islam,
وَسَمَّاهُ «صِبْغَةً» اسْتِعَارَةً.
dan Allah menamainya “sibghah” secara majazi (kiasan).
وَمِنْهُ قَوْلُ بَعْضِ شُعَرَاءِ هَمْدَانَ:
Hal ini seperti ungkapan salah seorang penyair Hamdan:
وَكُلُّ أُنَاسٍ لَهُمْ صِبْغَةٌ … وَصِبْغَةُ هَمْدَانَ خَيْرُ الصِّبَغِ
“Setiap kaum memiliki warna (ciri khas) tertentu,
dan warna khas (sibghah) kabilah Hamdan adalah sebaik-baik warna.”
صَبَغْنَا عَلَىٰ ذَاكَ أَوْلَادَنَا … فَأَكْرِمْ بِصِبْغَتِنَا فِي الصِّبَغِ
“Kami mencelupkan anak-anak kami di atas sifat itu;
maka muliakanlah celupan kami di antara seluruh celupan.”
وَقِيلَ: إِنَّ الصِّبْغَةَ: الِاغْتِسَالُ لِمَنْ أَرَادَ الدُّخُولَ فِي الْإِسْلَامِ بَدَلًا مِنْ مَعْمُودِيَّةِ النَّصَارَىٰ، ذَكَرَهُ الْمَاوَرْدِيُّ.
Ada yang mengatakan: yang dimaksud dengan “sibghah” adalah mandi bagi orang yang hendak masuk Islam, sebagai pengganti dari upacara ma‘mūdiyyah orang Nasrani; ini disebutkan oleh al-Māwardi.
وَقَالَ الْجَوْهَرِيُّ: «صِبْغَةُ اللَّهِ»: دِينُهُ،
Al-Jauhari berkata: “Sibghatallāh” adalah agama-Nya,
وَهُوَ يُؤَيِّدُ مَا تَقَدَّمَ عَنِ الْفَرَّاءِ.
dan ini menguatkan pendapat yang dinukil dari al-Farrā’ tadi.
وَقِيلَ: الصِّبْغَةُ: الْخِتَانُ.
Ada juga yang mengatakan: “sibghah” di sini adalah khitan.
وَقَوْلُهُ: «قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ» أَيْ: أَتُجَادِلُونَنَا فِي اللَّهِ،
Firman-Nya: “Katakanlah, ‘Apakah kalian hendak berdebat dengan kami tentang Allah …’” maksudnya: apakah kalian hendak berdebat dengan kami tentang (urusan) Allah,
أَيْ: فِي دِينِهِ وَالْقُرْبِ مِنْهُ وَالْحُظْوَةِ عِنْدَهُ،
yakni tentang agama-Nya, tentang kedekatan di sisi-Nya, dan tentang kedudukan terhormat di sisi-Nya,
وَذَلِكَ كَقَوْلِهِمْ: «نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ»7.
sebagaimana ucapan mereka: “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.”7
وَقَرَأَ ابْنُ مُحَيْصِنٍ: «أَتُحَاجُّونَا» بِالْإِدْغَامِ لِاجْتِمَاعِ الْمِثْلَيْنِ.
Ibnu Muhayshin membaca: “atutahājjūnā” dengan idghām (penggabungan dua nun), karena bertemunya dua huruf yang sama.
وَقَوْلُهُ: «وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ» أَيْ: نَشْتَرِكُ نَحْنُ وَأَنْتُمْ فِي رُبُوبِيَّتِهِ لَنَا وَعُبُودِيَّتِنَا لَهُ،
Firman-Nya: “Padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian” artinya: kita dan kalian sama-sama berada di bawah rububiyah-Nya (pengaturan dan kepemilikan-Nya) dan sama-sama merupakan hamba-hamba-Nya.
فَكَيْفَ تَدَّعُونَ أَنَّكُمْ أَوْلَىٰ بِهِ مِنَّا، وَتُحَاجُّونَنَا فِي ذَلِكَ؟
Lalu bagaimana mungkin kalian mengklaim bahwa kalian lebih dekat kepada-Nya daripada kami, dan kalian berbantah-bantahan dengan kami dalam hal itu?
وَقَوْلُهُ: «لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ» أَيْ: لَنَا أَعْمَالٌ وَلَكُمْ أَعْمَالٌ،
Firman-Nya: “Bagi kami amal-amal kami dan bagi kalian amal-amal kalian,” artinya: kami memiliki amal-amal (tersendiri), dan kalian memiliki amal-amal (tersendiri),
فَلَسْتُمْ بِأَوْلَىٰ بِاللَّهِ مِنَّا،
maka kalian tidak lebih berhak terhadap Allah daripada kami.
وَهُوَ مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَىٰ: «قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ، فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ»8.
Dan ini serupa dengan firman-Nya Ta‘ala: “Katakanlah, wahai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat, kelak kalian akan mengetahui (akibatnya).”8
وَقَوْلُهُ: «وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ» أَيْ: نَحْنُ أَهْلُ الْإِخْلَاصِ لِلْعِبَادَةِ دُونَكُمْ،
Firman-Nya: “Dan hanya kepada-Nyalah kami mengikhlaskan (ibadah)” artinya: kamilah orang-orang yang beribadah dengan ikhlas kepada-Nya, bukan kalian,
وَهُوَ الْمِعْيَارُ الَّذِي يَكُونُ بِهِ التَّفَاضُلُ، وَالْخَصْلَةُ الَّتِي يَكُونُ صَاحِبُهَا أَوْلَىٰ بِاللَّهِ سُبْحَانَهُ مِنْ غَيْرِهِ،
dan keikhlasan inilah tolok ukur yang dengannya terjadi perbedaan derajat, serta sifat yang menjadikan pemiliknya lebih berhak terhadap (ridha) Allah daripada selainnya,
فَكَيْفَ تَدَّعُونَ لِأَنْفُسِكُمْ مَا نَحْنُ أَوْلَىٰ بِهِ مِنْكُمْ وَأَحَقُّ؟
maka bagaimana kalian mengklaim bagi diri kalian sesuatu yang justru kami lebih berhak dan lebih utama daripadanya?
وَفِيهِ تَوْبِيخٌ لَهُمْ، وَقَطْعٌ لِمَا جَاءُوا بِهِ مِنَ الْمُجَادَلَةِ وَالْمُنَاظَرَةِ.
Pada ayat ini terdapat celaan keras bagi mereka dan pemutusan terhadap apa yang mereka bawa berupa perdebatan dan bantahan.
وَقَوْلُهُ: «أَمْ تَقُولُونَ»
Firman-Nya: “Ataukah kalian mengatakan …”
قَرَأَ حَمْزَةُ وَالْكِسَائِيُّ وَعَاصِمٌ فِي رِوَايَةِ حَفْصٍ: «تَقُولُونَ» بِالتَّاءِ الْفَوْقِيَّةِ،
Hamzah, al-Kisā’ī, dan ‘Āṣim dalam riwayat Hafsh membaca: “taqūlūna” dengan ta’ di depan (tufuqiyyah),
وَعَلَىٰ هَذِهِ الْقِرَاءَةِ تَكُونُ «أَمْ» هَاهُنَا مُعَادِلَةً لِلْهَمْزَةِ فِي قَوْلِهِ: «أَتُحَاجُّونَنَا»،
dan menurut qiraat ini, “am” di sini menjadi pasangan dari hamzah istifham pada firman-Nya: “atutahājjūnanā” (Apakah kalian hendak berdebat dengan kami …),
أَيْ: أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ، أَمْ تَقُولُونَ …؟
yakni: Apakah kalian hendak berdebat dengan kami tentang Allah, ataukah kalian mengatakan (hal lain) …?
وَعَلَىٰ قِرَاءَةِ الْيَاءِ التَّحْتِيَّةِ تَكُونُ «أَمْ» مُنْقَطِعَةً، أَيْ: بَلْ يَقُولُونَ …
Sedangkan menurut qiraat yang memakai ya’ di bawah (yaqulūna), maka “am” di sini adalah munqathi‘ah, bermakna: “Bahkan mereka mengatakan …”
وَقَوْلُهُ: «قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ» فِيهِ تَقْرِيعٌ وَتَوْبِيخٌ،
Firman-Nya: “Katakanlah, ‘Apakah kalian yang lebih mengetahui ataukah Allah?’” mengandung celaan dan teguran keras,
أَيْ: أَنَّ اللَّهَ أَخْبَرَنَا بِأَنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا هُودًا وَلَا نَصَارَىٰ،
yakni: Allah telah memberitahukan kepada kami bahwa mereka (para nabi itu) tidaklah beragama Yahudi atau Nasrani,
وَأَنْتُمْ تَدَّعُونَ أَنَّهُمْ كَانُوا هُودًا وَنَصَارَىٰ، فَهَلْ أَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ سُبْحَانَهُ؟
sementara kalian mengklaim bahwa mereka adalah Yahudi atau Nasrani; maka apakah kalian lebih mengetahui ataukah Allah Yang Mahasuci?
وَقَوْلُهُ: «وَمَنْ أَظْلَمُ» اسْتِفْهَامٌ، أَيْ: لَا أَحَدَ أَظْلَمُ،
Firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zalim …” adalah bentuk pertanyaan yang bermakna penafian, yakni: tidak ada yang lebih zalim
مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ.
daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya.
يُحْتَمَلُ أَنْ يُرِيدَ بِذَلِكَ الذَّمَّ لِأَهْلِ الْكِتَابِ،
Mungkin yang dimaksud adalah celaan terhadap Ahli Kitab,
بِأَنَّهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّ هَؤُلَاءِ الْأَنْبِيَاءَ مَا كَانُوا هُودًا وَلَا نَصَارَىٰ، بَلْ كَانُوا عَلَى الْمِلَّةِ الْإِسْلَامِيَّةِ،
bahwa mereka mengetahui para nabi tersebut bukanlah Yahudi atau Nasrani, melainkan berada di atas agama Islam,
فَظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ بِكَتْمِهِمْ لِهَذِهِ الشَّهَادَةِ، بَلْ بِادِّعَائِهِمْ لِمَا هُوَ مُخَالِفٌ لَهَا،
namun mereka menzalimi diri mereka sendiri dengan menyembunyikan kesaksian ini, bahkan dengan mengklaim sesuatu yang bertentangan dengannya,
وَهُوَ أَشَدُّ فِي الذَّنْبِ مِمَّنِ اقْتَصَرَ عَلَىٰ مُجَرَّدِ الْكَتْمِ الَّذِي لَا أَحَدَ أَظْلَمُ مِنْهُ.
dan ini lebih berat dosanya daripada sekadar menyembunyikan tanpa menambah kebohongan, padahal sudah dikatakan: tidak ada yang lebih zalim daripada yang menyembunyikan kesaksian.
وَيُحْتَمَلُ أَنَّ الْمُرَادَ: أَنَّ الْمُسْلِمِينَ لَوْ كَتَمُوا هَذِهِ الشَّهَادَةَ لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَظْلَمَ مِنْهُمْ،
Mungkin juga yang dimaksud: bahwa seandainya kaum Muslimin menyembunyikan kesaksian ini, niscaya tidak ada yang lebih zalim daripada mereka,
وَيَكُونُ الْمُرَادُ بِذَلِكَ التَّعْرِيضَ بِأَهْلِ الْكِتَابِ.
dan maksudnya adalah menyindir (secara tidak langsung) Ahli Kitab.
وَقِيلَ: الْمُرَادُ هُنَا مَا كَتَمُوهُ مِنْ صِفَةِ مُحَمَّدٍ ﷺ.
Ada pula yang mengatakan: yang dimaksud di sini adalah apa yang mereka sembunyikan tentang sifat-sifat (ciri) Nabi Muhammad ﷺ.
وَفِي قَوْلِهِ: «وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ» وَعِيدٌ شَدِيدٌ، وَتَهْدِيدٌ لَيْسَ عَلَيْهِ مَزِيدٌ،
Pada firman-Nya: “Dan Allah tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan” terdapat ancaman yang keras dan peringatan yang tiada tandingannya,
وَإِعْلَامٌ بِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ لَا يَتْرُكُ عُقُوبَتَهُمْ عَلَىٰ هَذَا الظُّلْمِ الْقَبِيحِ وَالذَّنْبِ الْفَظِيعِ.
serta pemberitahuan bahwa Allah Yang Mahasuci tidak akan membiarkan mereka tanpa hukuman atas kezaliman yang buruk ini dan dosa yang sangat besar ini.
وَكَرَّرَ قَوْلَهُ سُبْحَانَهُ: «تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ …» إِلَىٰ آخِرِ الْآيَةِ،
Dan Allah mengulang firman-Nya: “Itu adalah satu umat yang telah lalu …” hingga akhir ayat,
لِتَضَمُّنِهَا مَعْنَى التَّهْدِيدِ وَالتَّخْوِيفِ، الَّذِي هُوَ الْمَقْصُودُ فِي هَذَا الْمَقَامِ.
karena ia mengandung makna ancaman dan penakutan, yang menjadi tujuan utama dalam konteks ini.
---
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ» يَعْنِي: أَهْلَ الْكِتَابِ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “Apakah kalian hadir (menyaksikan) …”, ia berkata: “(Yang dimaksud adalah) Ahli Kitab.”
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنِ الْحَسَنِ فِي قَوْلِهِ: «أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ» قَالَ: يَقُولُ: لَمْ يَشْهَدِ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ وَلَا أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ يَعْقُوبَ،
Ia juga meriwayatkan dari al-Hasan tentang firman-Nya: “Apakah kalian hadir (menyaksikan) …”, ia berkata: “Allah berfirman: Tidak ada seorang Yahudi, Nasrani, atau siapa pun dari manusia yang menyaksikan Ya‘qub,
إِذْ أَخَذَ عَلَىٰ بَنِيهِ الْمِيثَاقَ إِذْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ،
ketika ia mengambil perjanjian dari anak-anaknya, tatkala ajal menjemputnya, (yaitu) agar mereka tidak menyembah selain Allah,
فَأَقَرُّوا بِذَلِكَ، وَشَهِدَ عَلَيْهِمْ أَنَّهُمْ أَقَرُّوا بِعِبَادَتِهِمْ أَنَّهُمْ مُسْلِمُونَ.
maka mereka pun mengakui hal itu, dan ia bersaksi atas mereka bahwa dengan pengakuan mereka untuk beribadah (hanya) kepada Allah, mereka adalah kaum Muslimin.”
وَأَخْرَجَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: الْجِدُّ: أَبٌ، وَيَتْلُو الْآيَةَ.
Dan ia meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata: “Kakek adalah (termasuk) ayah,” lalu ia membaca ayat ini (sebagai dalil).
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي الْآيَةِ قَالَ: سُمِّيَ الْعَمُّ أَبًا.
Ia juga meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang ayat ini, ia berkata: “Paman juga disebut sebagai ayah.”
وَأَخْرَجَ أَيْضًا نَحْوَهُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ.
Dan hal yang serupa diriwayatkan dari Muhammad bin Ka‘b.
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ صُورِيَا الْأَعْوَرُ لِلنَّبِيِّ ﷺ: مَا الْهُدَىٰ إِلَّا مَا نَحْنُ عَلَيْهِ، فَاتَّبِعْنَا يَا مُحَمَّدُ تَهْتَدِ،
“Abdullah bin Shūriyā al-A‘war berkata kepada Nabi ﷺ: ‘Tak ada petunjuk kecuali apa yang kami berada di atasnya; maka ikutilah kami, wahai Muhammad, niscaya engkau akan mendapat petunjuk.’”
وَقَالَتِ النَّصَارَىٰ مِثْلَ هَذَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِمْ: «وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا» الْآيَةَ.
Dan orang-orang Nasrani mengatakan hal yang sama, lalu Allah menurunkan tentang mereka firman-Nya: “Dan mereka berkata, ‘Jadilah kalian Yahudi atau Nasrani, niscaya kalian mendapat petunjuk …’” hingga akhir ayat.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: «حَنِيفًا» قَالَ: مُتَّبِعًا.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “hanīfā”, ia berkata: “(Artinya) orang yang mengikuti (kebenaran).”
وَأَخْرَجَا أَيْضًا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «حَنِيفًا» قَالَ: حَاجًّا.
Keduanya juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “hanīfā”, ia berkata: “(Artinya) orang yang berhaji.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: الْحَنِيفُ: الْمُسْتَقِيمُ.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Ka‘b, ia berkata: “Hanīf adalah (orang yang) lurus.”
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنْ خُصَيْفٍ قَالَ: الْحَنِيفُ: الْمُخْلِصُ.
Dan ia meriwayatkan juga dari Khuṣaif, ia berkata: “Hanīf adalah (orang yang) ikhlas.”
وَأَخْرَجَ أَيْضًا عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ: الْحَنِيفُ: الَّذِي يُؤْمِنُ بِالرُّسُلِ كُلِّهِمْ مِنْ أَوَّلِهِمْ إِلَىٰ آخِرِهِمْ.
Ia juga meriwayatkan dari Abu Qilābah, ia berkata: “Hanīf adalah orang yang beriman kepada semua rasul, dari yang pertama hingga yang terakhir.”
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ».
Ahmad meriwayatkan dari Abu Umāmah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diutus dengan al-ḥanīfiyyah as-samhah (agama yang lurus lagi toleran).”
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ أَيْضًا، وَالْبُخَارِيُّ فِي «الْأَدَبِ الْمُفْرَدِ»، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
Ahmad, al-Bukhari dalam *al-Adab al-Mufrad*, dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: «الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ».
“Dikatakan: Wahai Rasulullah, agama apakah yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: ‘Al-ḥanīfiyyah as-samhah (agama yang lurus lagi toleran).’”
وَأَخْرَجَ الْحَاكِمُ فِي «تَارِيخِهِ»، وَابْنُ عَسَاكِرَ مِنْ حَدِيثِ أَسْعَدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ الْخُزَاعِيِّ مَرْفُوعًا مِثْلَهُ.
Al-Hakim dalam *Tārīkh*-nya dan Ibnu ‘Asākir meriwayatkan hadits yang semakna secara marfū‘ dari As‘ad bin ‘Abdillah bin Mālik al-Khuzā‘ī.
وَأَخْرَجَ أَحْمَدُ، وَمُسْلِمٌ، وَأَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ:
Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasā’ī meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فِي الْأُولَىٰ مِنْهُمَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ: «قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ …»9 كُلَّهَا،
“Rasulullah ﷺ biasa membaca pada dua rakaat sunnah Fajar; pada rakaat pertama ayat dalam surah al-Baqarah: ‘Qūlū āmannā billāh …’9 hingga selesai,
وَفِي الْآخِرَةِ: «آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ»10.
dan pada rakaat kedua beliau membaca: ‘Āmannā billāhi wasyhād bi-annā Muslimūn.’”10
وَأَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah, ia berkata:
كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ، وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ،
“Ahli Kitab dahulu biasa membaca Taurat dalam bahasa Ibrani dan menafsirkannya dalam bahasa Arab kepada kaum Muslimin.”
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللَّهِ …» الْآيَةَ.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan kalian membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakan mereka; tetapi katakanlah: ‘Āmannā billāh …’ (hingga akhir ayat).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: «الْأَسْبَاطُ: بَنُو يَعْقُوبَ، كَانُوا اثْنَيْ عَشَرَ رَجُلًا، كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَلَدَ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ».
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Asbāṭ adalah putra-putra Ya‘qub; mereka dua belas orang, dan masing-masing dari mereka menurunkan satu umat dari manusia.”
وَرَوَى نَحْوَهُ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ السُّدِّيِّ،
Riwayat yang serupa dinukil oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari as-Suddi,
وَحَكَاهُ ابْنُ كَثِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ وَالرَّبِيعِ وَقَتَادَةَ.
dan Ibnu Katsir menukilkannya dalam tafsirnya dari Abu al-‘Āliyah, ar-Rabi‘, dan Qatadah.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam *al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt* meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«لَا تَقُولُوا: فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ لَا مِثْلَ لَهُ، وَلَكِنْ قُولُوا: فَإِنْ آمَنُوا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ».
“Janganlah kalian membaca (atau memahami) ‘fa-in āmanū bimithli mā āmantum bih’ (dengan memposisikan ‘mitsl’ untuk Dzat Allah), karena sesungguhnya Allah tidak ada yang serupa dengan-Nya; tetapi katakanlah (dalam pemahaman): ‘Jika mereka beriman kepada (sesuatu) yang kalian imani.’”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي دَاوُدَ فِي «الْمَصَاحِفِ»، وَالْخَطِيبُ فِي «تَارِيخِهِ» عَنْ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ: «كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ: فَإِنْ آمَنُوا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ».
Ibnu Abi Daud dalam *al-Maṣāḥif* dan al-Khatib dalam *Tārīkh*-nya meriwayatkan dari Abu Hamzah, ia berkata: “Ibnu ‘Abbas biasa membaca: ‘fa-in āmanū billadzī āmantum bih’.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ» قَالَ: فِرَاقٍ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “Sesungguhnya mereka hanyalah dalam syiqāq (perpecahan)”, ia berkata: “(Artinya) dalam perpisahan (perpecahan).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «صِبْغَةَ اللَّهِ» قَالَ: دِينَ اللَّهِ.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Sibghatallāh”, ia berkata: “(Artinya) agama Allah.”
وَأَخْر��جَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: «فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا».
‘Abdu bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “(Maksud sibghah adalah) fitrah Allah yang atasnya Dia telah menciptakan manusia.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَالضِّيَاءُ فِي «الْمُخْتَارَةِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
Ibnu Mardawaih dan ad-Dhiya’ dalam *al-Mukhtārah* meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
«إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالُوا: يَا مُوسَىٰ! هَلْ يَصْبُغُ رَبُّكَ؟ فَقَالَ: اتَّقُوا اللَّهَ،
“Sesungguhnya Bani Israil berkata: ‘Wahai Musa, apakah Tuhanmu mencelup (me-warnai)?’ Musa menjawab: ‘Bertakwalah kalian kepada Allah.’”
فَنَادَاهُ رَبُّهُ: يَا مُوسَىٰ! سَأَلُوكَ: هَلْ يَصْبُغُ رَبُّكَ؟ فَقُلْ: نَعَمْ، أَنَا أَصْبُغُ الْأَلْوَانَ: الْأَحْمَرَ، وَالْأَبْيَضَ، وَالْأَسْوَدَ، وَالْأَلْوَانَ كُلَّهَا فِي صِبْغَتِي».
“Maka Rabb-nya memanggilnya: ‘Wahai Musa, mereka telah bertanya kepadamu: Apakah Tuhanmu mencelup? Maka jawablah: Ya, Aku mencelup warna-warna merah, putih, hitam, dan semua warna adalah dalam celupan-Ku.’”
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ نَبِيِّهِ: «صِبْغَةَ اللَّهِ ۖ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً».
Lalu Allah menurunkan kepada Nabi-Nya: “Sibghatallāh. Dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَأَبُو الشَّيْخِ فِي «الْعَظَمَةِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَوْقُوفًا.
Ibn Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh dalam *al-‘Aẓamah* meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas secara mauqūf.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ:
‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata:
«إِنَّ الْيَهُودَ تَصْبُغُ أَبْنَاءَهَا يَهُودًا، وَالنَّصَارَىٰ تَصْبُغُ أَبْنَاءَهَا نَصَارَىٰ،
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi me-warnai anak-anaknya menjadi Yahudi, dan orang-orang Nasrani me-warnai anak-anaknya menjadi Nasrani;
وَإِنَّ صِبْغَةَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ، وَلَا صِبْغَةَ أَحْسَنُ مِنْ صِبْغَةِ الْإِسْلَامِ وَلَا أَطْهَرُ،
sedangkan sibghah Allah adalah Islam, dan tidak ada sibghah yang lebih baik dan lebih suci daripada sibghah Islam;
وَهُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي بَعَثَ بِهِ نُوحًا وَمَنْ كَانَ بَعْدَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ».
dan itulah agama Allah yang dengannya Dia mengutus Nuh dan para nabi setelahnya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ النَّجَّارِ فِي «ذَيْلِ تَارِيخِ بَغْدَادَ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «صِبْغَةَ اللَّهِ» قَالَ: الْبَيَاضُ.
Ibnu an-Najjār dalam *Dhayl Tārīkh Baghdād* meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Sibghatallāh”, ia berkata: “(Artinya) warna putih.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «أَتُحَاجُّونَنَا» قَالَ: أَتُخَاصِمُونَنَا.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Atuḥājjūnanā”, ia berkata: “(Artinya) apakah kalian membantah (bertikai) dengan kami?”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ قَالَ: «أَتُجَادِلُونَنَا».
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan darinya, ia berkata: “(Artinya) apakah kalian berdebat dengan kami?”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: «وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً …» الْآيَةَ،
‘Abdu bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian …” hingga akhir ayat,
قَالَ: «أُولَئِكَ أَهْلُ الْكِتَابِ، كَتَمُوا الْإِسْلَامَ وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ دِينُ اللَّهِ،
ia berkata: “Mereka itu adalah Ahli Kitab; mereka menyembunyikan (kebenaran) Islam padahal mereka tahu bahwa itu adalah agama Allah,
وَاتَّخَذُوا الْيَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ، وَكَتَمُوا مُحَمَّدًا وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ».
dan mereka memilih agama Yahudi dan Nasrani, serta menyembunyikan (kenabian) Muhammad padahal mereka tahu bahwa beliau adalah Rasul Allah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ نَحْوَهُ،
‘Abdu bin Humaid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid dengan makna yang serupa,
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ الْحَسَنِ نَحْوَهُ.
dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari al-Hasan dengan makna yang sama.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ وَالرَّبِيعِ فِي قَوْلِهِ: «تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ» قَالَا: يَعْنِي: إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah dan ar-Rabi‘ tentang firman-Nya: “Itu adalah satu umat yang telah lalu,” keduanya berkata: “Yang dimaksud adalah: Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub, dan al-Asbāṭ.”
---
1 Hadits: “Man baṭṭa`a bihi `amaluhu lam yusri` bihi nasabuhu” (HR. Muslim dan lainnya).
2 QS. al-An‘ām (6): 164.
3 QS. an-Najm (53): 39.
4 QS. at-Tawbah (9): 30.
5 QS. at-Tawbah (9): 30.
6 QS. asy-Syūrā (42): 11.
7 QS. al-Mā’idah (5): 18.
8 QS. Yūnus (10): 41.
9 QS. al-Baqarah (2): 136.
10 QS. Āli ‘Imrān (3): 52.