Al Baqarah Ayat 129-132
[سُورَةُ البَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٢٩ إِلَى ١٣٢]
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١٢٩)
“Wahai Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, serta menyucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ ۚ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (١٣٠)
“Dan siapakah yang enggan (berpaling) dari agama Ibrahim selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri?
Sungguh, Kami telah memilihnya di dunia, dan sesungguhnya di akhirat ia benar-benar termasuk golongan orang-orang yang saleh.”
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (١٣١)
(Yaitu) ketika Tuhannya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah (berserah dirilah)!”
Ia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam.”
وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ ۖ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (١٣٢)
Dan Ibrahim mewasiatkan agama itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‘qub, (dengan berkata):
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini untuk kalian;
maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan (tetap) sebagai orang-orang yang berserah diri (Muslim).”
---
الضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: وَابْعَثْ فِيهِمْ رَاجِعٌ إِلَى الْأُمَّةِ الْمُسْلِمَةِ الْمَذْكُورَةِ سَابِقًا.
Kata ganti (dhamir) pada firman-Nya: “وَابْعَثْ فِيهِمْ” kembali kepada umat yang berserah diri (umat Muslim) yang telah disebutkan sebelumnya.
وَقَرَأَ أُبَيٌّ: «وَابْعَثْ فِي آخِرِهِمْ»،
Ubay (bin Ka‘b) membaca dengan lafaz: “وَابْعَثْ فِي آخِرِهِمْ” (dan utuslah di akhir mereka).
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الضَّمِيرُ رَاجِعًا إِلَى الذُّرِّيَّةِ.
Ada kemungkinan juga bahwa dhamir itu kembali kepada “keturunan” (dzurriyyah).
وَقَدْ أَجَابَ اللَّهُ لِإِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ هَذِهِ الدَّعْوَةَ،
Allah telah mengabulkan doa Ibrahim ‘alaihis-salām ini,
فَبَعَثَ فِي ذُرِّيَّتِهِ رَسُولًا مِنْهُمْ، وَهُوَ مُحَمَّدٌ ﷺ.
maka Dia mengutus di tengah keturunannya seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yaitu Muhammad ﷺ.
وَقَدْ أَخْبَرَ عَنْ نَفْسِهِ بِأَنَّهُ دَعْوَةُ إِبْرَاهِيمَ كَمَا سَيَأْتِي تَخْرِيجُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَمُرَادُهُ هَذِهِ الدَّعْوَةُ.
Dan Nabi ﷺ telah mengabarkan tentang dirinya bahwa beliau adalah “doa (yang dikabulkan) Ibrahim”,
sebagaimana akan disebutkan sumber (hadits)nya insya Allah, dan yang dimaksud beliau adalah doa ini.
وَالرَّسُولُ: هُوَ الْمُرْسَلُ.
Adapun “rasul” adalah orang yang diutus.
قَالَ ابْنُ الْأَنْبَارِيِّ: يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ أَصْلُهُ: نَاقَةٌ مِرْسَالٌ وَرَسْلَةٌ: إِذَا كَانَتْ سَهْلَةَ السَّيْرِ مَاضِيَةً أَمَامَ النُّوقِ.
Ibnu al-Anbari berkata: Tampaknya asal (kata rasul) itu dari ungkapan “nāqah mirsāl” dan “raslah”, yaitu bila seekor unta betina mudah jalannya dan berjalan di depan unta-unta lainnya.
وَيُقَالُ: جَاءَ الْقَوْمُ أَرْسَالًا، أَيْ: بَعْضُهُمْ فِي أَثَرِ بَعْضٍ.
Dan dikatakan: “jā’a al-qawmu arsālan” (kaum itu datang secara *arsāl*), artinya: mereka datang secara berturut-turut, sebagian menyusul sebagian yang lain.
وَالْمُرَادُ بِالْكِتَابِ: الْقُرْآنُ.
Yang dimaksud dengan “Kitab” di sini adalah al-Qur’an.
وَالْمُرَادُ بِالْحِكْمَةِ: الْمَعْرِفَةُ بِالدِّينِ، وَالْفِقْهُ فِي التَّأْوِيلِ، وَالْفَهْمُ لِلشَّرِيعَةِ.
Yang dimaksud dengan “Hikmah” adalah pengetahuan tentang agama, pemahaman (mendalam) terhadap penafsiran (ayat-ayat), dan pemahaman terhadap syariat.
وَقَوْلُهُ: «يُزَكِّيهِمْ» أَيْ: يُطَهِّرُهُمْ مِنَ الشِّرْكِ وَسَائِرِ الْمَعَاصِي.
Firman-Nya: “yuzakkīhim” (menyucikan mereka) artinya: Dia menyucikan mereka dari syirik dan seluruh kemaksiatan.
وَقِيلَ: إِنَّ الْمُرَادَ بِالْآيَاتِ: ظَاهِرُ الْأَلْفَاظِ، وَالْكِتَابُ: مَعَانِيهَا، وَالْحِكْمَةُ: الْحُكْمُ، وَهُوَ مُرَادُ اللَّهِ بِالْخِطَابِ.
Ada yang mengatakan: Yang dimaksud dengan “ayat-ayat” adalah lahiriah (susunan) lafaz-lafaznya,
sedangkan “Kitab” adalah makna-maknanya, dan “Hikmah” adalah hukum (ketetapan), yakni maksud Allah dari setiap khithab (firman-Nya).
وَالْعَزِيزُ: الَّذِي لَا يُعْجِزُهُ شَيْءٌ، قَالَهُ ابْنُ كَيْسَانَ.
“Al-‘Azīz” adalah Dzat yang tidak ada sesuatu pun yang dapat membuat-Nya lemah (tidak ada yang dapat mengalahkan-Nya); demikian dikatakan oleh Ibnu Kaysān.
وَقَالَ الْكِسَائِيُّ: الْعَزِيزُ: الْغَالِبُ.
Al-Kisā’ī berkata: “Al-‘Azīz” artinya Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Menguasai.
وَمَنْ يَرْغَبُ فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ عَلَى الِابْتِدَاءِ، وَالِاسْتِفْهَامُ لِلْإِنْكَارِ.
Frasa “وَمَنْ يَرْغَبُ” berada dalam posisi rafa‘ sebagai mubtada’ (subjek kalimat), dan bentuk istifham (tanya) di sini bermakna pengingkaran (penolakan keras).
وَقَوْلُهُ: «إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ» فِي مَوْضِعِ الْخَبَرِ،
Adapun firman-Nya: “kecuali orang yang safiha nafsahū (memperbodoh dirinya sendiri)” berada pada posisi khabar (predikat).
وَقِيلَ: هُوَ بَدَلٌ مِنْ فَاعِلِ «يَرْغَبُ»، وَالتَّقْدِيرُ: وَمَا يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ أَحَدٌ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ.
Ada juga yang mengatakan: frasa itu adalah badal (pengganti) dari fa‘il (pelaku) kata “yarghabu”, dengan takdir makna:
“Dan tidak ada seorang pun yang berpaling dari agama Ibrahim kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri.”
قَالَ الزَّجَّاجُ: «سَفِهَ» بِمَعْنَى: «جَهِلَ»، أَيْ: جَهِلَ أَمْرَ نَفْسِهِ فَلَمْ يُفَكِّرْ فِيهَا.
Az-Zajjāj berkata: Kata “safiha” bermakna “jahila” (bodoh/tidak mengerti), yakni: ia bodoh tentang urusan dirinya sendiri, sehingga tidak memikirkannya.
وَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: الْمَعْنَى: أَهْلَكَ نَفْسَهُ.
Abu ‘Ubaidah berkata: Maknanya adalah: ia membinasakan dirinya sendiri.
وَحَكَى ثَعْلَبٌ وَالْمُبَرِّدُ: أَنَّ «سَفِهَ» بِكَسْرِ الْفَاءِ يَتَعَدَّى كَـ «سَفَّهَ» بِفَتْحِ الْفَاءِ مُشَدَّدَةً.
Ts‘alab dan al-Mubarrid menukil bahwa “safiha” dengan kasrah pada fa’ adalah fi‘il yang bisa mentransitifkan objek, sebagaimana “saffaha” dengan fathah dan tasydid pada fa’.
قَالَ الْأَخْفَشُ: «سَفِهَ نَفْسَهُ» أَيْ: فَعَلَ بِهَا مِنَ السَّفَهِ مَا صَارَ بِهِ سَفِيهًا.
Al-Akhfasy berkata: Ungkapan “safiha nafsahū” artinya: ia melakukan terhadap dirinya perbuatan-perbuatan bodoh sehingga ia menjadi orang yang bodoh karenanya.
وَقِيلَ: إِنَّ «نَفْسَهُ» مُنْتَصِبٌ بِنَزْعِ الْخَافِضِ،
Ada yang mengatakan: kata “nafsahū” manshub karena pembuangan huruf jar (misalnya dari “bi nafsihī”).
وَقِيلَ: هُوَ تَمْيِيزٌ، وَهَذَانِ ضَعِيفَانِ جِدًّا.
Ada pula yang mengatakan: ia berfungsi sebagai tamyiz. Kedua pendapat ini sangat lemah.
وَأَمَّا «سَفُهَ» بِضَمِّ الْفَاءِ فَلَا يَتَعَدَّى، قَالَهُ الْمُبَرِّدُ وَثَعْلَبٌ.
Adapun “safuh(a)” dengan dhammah pada fa’ adalah fi‘il yang tidak mentransitifkan objek (intransitif); demikian dikatakan oleh al-Mubarrid dan Ts‘alab.
وَالِاصْطِفَاءُ: الِاخْتِيَارُ، أَيِ: اخْتَرْنَاهُ فِي الدُّنْيَا، وَجَعَلْنَاهُ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الصَّالِحِينَ،
“Istifā’” adalah pemilihan, yakni: Kami telah memilihnya di dunia, dan Kami menjadikannya di akhirat termasuk golongan orang-orang yang saleh.
فَكَيْفَ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّتِهِ رَاغِبٌ؟
Maka bagaimana mungkin ada orang yang berpaling dari agamanya?
وَقَوْلُهُ: «إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ» يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مُتَعَلِّقًا بِقَوْلِهِ: «اصْطَفَيْنَاهُ»، أَيْ: اخْتَرْنَاهُ وَقْتَ أَمْرِنَا لَهُ بِالْإِسْلَامِ،
Firman-Nya: “(yaitu) ketika Tuhannya berfirman kepadanya, ‘Berserah dirilah’ …” mungkin dihubungkan dengan firman-Nya: “Kami telah memilihnya”,
yakni: Kami telah memilihnya pada saat Kami memerintahkannya untuk berserah diri (masuk Islam).
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَتَعَلَّقَ بِمَحْذُوفٍ هُوَ: «اذْكُرْ».
Dan juga mungkin dihubungkan dengan kata yang diperkirakan, yaitu “(ingatlah)”.
قَالَ فِي «الْكَشَّافِ»: كَأَنَّهُ قِيلَ: اذْكُرْ ذَلِكَ الْوَقْتَ، لِيُعْلَمَ أَنَّهُ الْمُصْطَفَى الصَّالِحُ الَّذِي لَا يُرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ مِثْلِهِ.
Dalam *al-Kasysyāf* dikatakan: Seakan-akan difirmankan: “Ingatlah saat itu,” agar diketahui bahwa dialah orang yang terpilih lagi saleh yang tidak pantas seorang pun berpaling dari agama orang seperti dia.
وَالضَّمِيرُ فِي قَوْلِهِ: «وَوَصَّىٰ بِهَا» رَاجِعٌ إِلَى الْمِلَّةِ، أَوْ إِلَى الْكَلِمَةِ، أَيْ: «أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ».
Kata ganti pada firman-Nya: “Dan Ibrahim mewasiatkan *bihā* (dengannya) …” kembali kepada “millah” (agama), atau kepada “kalimah”, yaitu ucapan: “Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam.”
قَالَ الْقُرْطُبِيُّ: وَهُوَ أَصْوَبُ، لِأَنَّهُ أَقْرَبُ مَذْكُورٍ، أَيْ: قُولُوا: «أَسْلَمْنَا». انْتَهَى.
Al-Qurthubi berkata: Pendapat (kedua) ini lebih tepat, karena ia yang paling dekat disebutkan, yaitu (wasiatnya agar mereka berkata): “Kami telah berserah diri.” Selesai.
وَالْأَوَّلُ أَرْجَحُ، لِأَنَّ الْمَطْلُوبَ مِمَّنْ بَعْدَهُ هُوَ اتِّبَاعُ مِلَّتِهِ، لَا مُجَرَّدُ التَّكَلُّمِ بِكَلِمَةِ الْإِسْلَامِ،
Namun pendapat pertama lebih kuat, karena yang dituntut dari generasi setelahnya adalah mengikuti millah (agama)nya, bukan sekadar mengucapkan kalimat Islam.
فَالتَّوْصِيَةُ بِذَلِكَ أَلْيَقُ بِإِبْرَاهِيمَ وَأَوْلَىٰ بِهِمْ.
Maka wasiat berupa (perintah) mengikuti millah itu lebih pantas dengan kedudukan Ibrahim dan lebih utama bagi mereka.
وَ«وَصَّىٰ» وَ«أَوْصَىٰ» بِمَعْنًى، وَقُرِئَ بِهِمَا،
Kata “waṣṣā” dan “awṣā” mempunyai makna yang sama, dan keduanya adalah qiraat yang dibaca.
وَفِي مُصْحَفِ عُثْمَانَ: «وَأَوْصَىٰ» وَهِيَ قِرَاءَةُ أَهْلِ الشَّامِ وَالْمَدِينَةِ،
Dalam mushaf Utsman tertulis “wa awṣā”, dan itulah bacaan penduduk Syam dan Madinah.
وَفِي مُصْحَفِ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ مَسْعُودٍ: «وَوَصَّىٰ» وَهِيَ قِرَاءَةُ الْبَاقِينَ.
Dan dalam mushaf Abdullah bin Mas‘ud tertulis “wa waṣṣā”, dan itulah bacaan qari-qari lainnya.
وَيَعْقُوبُ مَعْطُوفٌ عَلَىٰ «إِبْرَاهِيمَ»، أَيْ: وَأَوْصَىٰ يَعْقُوبُ بَنِيهِ كَمَا أَوْصَىٰ إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ.
Kata “Ya‘qub” di-‘athaf-kan (disambungkan) kepada “Ibrahim”, yakni: dan Ya‘qub mewasiatkan kepada anak-anaknya sebagaimana Ibrahim mewasiatkan kepada anak-anaknya.
وَقَرَأَ عَمْرُو بْنُ فَائِدٍ الْأَسْوَارِيُّ، وَإِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْمَكِّيُّ بِنَصْبِ «يَعْقُوبَ»، فَيَكُونُ دَاخِلًا فِيمَنْ أَوْصَاهُ إِبْرَاهِيمُ،
‘Amr bin Fā`id al-Aswāri dan Isma‘il bin ‘Abdillah al-Makki membacanya dengan menjadikan “Ya‘qub” dalam keadaan manshub (dinashabkan), sehingga Ya‘qub termasuk di antara orang-orang yang diwasiati oleh Ibrahim.
قَالَ الْقُشَيْرِيُّ: وَهُوَ بَعِيدٌ، لِأَنَّ يَعْقُوبَ لَمْ يُدْرِكْ جَدَّهُ إِبْرَاهِيمَ، وَإِنَّمَا وُلِدَ بَعْدَ مَوْتِهِ.
Al-Qusyairi berkata: Ini pendapat yang jauh (lemah), karena Ya‘qub tidak sempat bertemu dengan kakeknya, Ibrahim; ia baru lahir setelah (Ibrahim) wafat.
وَقَوْلُهُ: «يَا بَنِيَّ» هُوَ بِتَقْدِيرِ: «أَنْ».
Firman-Nya: “Yā banīyya” (wahai anak-anakku) dibaca dengan memperkirakan adanya huruf “an” sebelumnya.
وَقَدْ قَرَأَ أُبَيٌّ، وَابْنُ مَسْعُودٍ، وَالضَّحَّاكُ بِإِثْبَاتِهَا.
Ubay, Ibnu Mas‘ud, dan ad-Dhahhāk membaca dengan menampakkan huruf “an”.
قَالَ الْفَرَّاءُ: أُلْغِيَتْ «أَنْ» لِأَنَّ التَّوْصِيَةَ كَالْقَوْلِ، وَكُلُّ كَلَامٍ رَجَعَ إِلَى الْقَوْلِ جَازَ فِيهِ دُخُولُ «أَنْ» وَجَازَ فِيهِ إِلْغَاؤُهَا.
Al-Farrā’ berkata: Huruf “an” dihilangkan karena wasiat itu semakna dengan ucapan (qaul); dan setiap perkataan yang kembali kepada makna “qaul” boleh dimasuki “an” dan boleh juga dihilangkan darinya.
وَقِيلَ: إِنَّهُ عَلَىٰ تَقْدِيرِ الْقَوْلِ، أَيْ: قَائِلًا: «يَا بَنِيَّ». رُوِيَ ذَلِكَ عَنِ الْبَصْرِيِّينَ.
Ada juga yang mengatakan: ia dibaca dengan memperkirakan adanya kata “qa’ilan” (seraya berkata), yakni: “wahai anak-anakku”; ini diriwayatkan dari para ulama Bashrah.
وَقَوْلُهُ: «اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ» أَيِ: اخْتَارَهُ لَكُمْ،
Firman-Nya: “(Allah) telah memilihkan agama ini untuk kalian” artinya: Dia telah memilih agama itu untuk kalian.
وَالْمُرَادُ: مِلَّتُهُ الَّتِي لَا يَرْغَبُ عَنْهَا إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ،
Yang dimaksud adalah millah (agama) Ibrahim yang tidak akan ditinggalkan kecuali oleh orang yang memperbodoh dirinya sendiri.
وَهِيَ الْمِلَّةُ الَّتِي جَاءَ بِهَا مُحَمَّدٌ ﷺ.
Dan itulah millah yang dibawa oleh Muhammad ﷺ.
وَقَوْلُهُ: «فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ» فِيهِ إِيجَازٌ بَلِيغٌ.
Firman-Nya: “Maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai orang Muslim,” mengandung kepadatan lafaz yang sangat fasih (ringkas namun padat makna).
وَالْمُرَادُ: الْزَمُوا الْإِسْلَامَ وَلَا تُفَارِقُوهُ حَتَّىٰ تَمُوتُوا.
Yang dimaksud adalah: pegangilah Islam dan janganlah kalian meninggalkannya hingga kalian meninggal dunia.
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ فِي قَوْلِهِ: «وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ» قَالَ: رَغِبَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ عَنْ مِلَّتِهِ،
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu al-‘Āliyah tentang firman-Nya: “Dan siapakah yang enggan (berpaling) dari millah Ibrahim …”, ia berkata:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani telah berpaling dari millahnya (Ibrahim).”
وَاتَّخَذُوا الْيَهُودِيَّةَ وَالنَّصْرَانِيَّةَ بِدْعَةً لَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ،
“Mereka menjadikan agama Yahudi dan Nasrani sebagai suatu bid‘ah (ajaran yang diada-adakan) yang tidak berasal dari Allah.”
تَرَكُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ: الْإِسْلَامَ،
“Mereka telah meninggalkan millah Ibrahim, yaitu Islam.”
وَبِذَلِكَ بَعَثَ اللَّهُ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا ﷺ بِمِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ.
“Dan karena itulah Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad ﷺ dengan membawa millah Ibrahim.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ قَتَادَةَ مِثْلَهُ.
Dan ‘Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Qatadah dengan makna yang sama.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي مَالِكٍ فِي قَوْلِهِ: «وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ» قَالَ: اخْتَرْنَاهُ.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Mālik tentang firman-Nya: “Dan sungguh Kami telah memilihnya,” ia berkata: “Yaitu Kami telah memilihnya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ» قَالَ: وَصَّاهُمْ بِالْإِسْلَامِ،
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Dan Ibrahim mewasiatkan (agama itu) kepada anak-anaknya …”, ia berkata:
“Ia (Ibrahim) mewasiatkan kepada mereka agar berpegang dengan Islam.”
وَوَصَّىٰ يَعْقُوبُ بَنِيهِ بِمِثْلِ ذَلِكَ.
“Dan Ya‘qub mewasiatkan kepada anak-anaknya dengan wasiat yang sama.”
وَأَخْرَجَ الثَّعْلَبِيُّ عَنْ فُضَيْلِ بْنِ عِيَاضٍ فِي قَوْلِهِ: «فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ» أَي: مُحْسِنُونَ بِرَبِّكُمُ الظَّنَّ.
Ts‘alabi meriwayatkan dari Fudhail bin ‘Iyādh tentang firman-Nya: “Maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan sebagai orang Muslim,” ia berkata:
“(Maksudnya) dalam keadaan kalian berbaik sangka kepada Rabb kalian.”