Al Baqarah Ayat 122-124
[سُورَةُ البَقَرَةِ (٢): الآيَاتُ ١٢٢ إِلَى ١٢٤]
Surah Al-Baqarah (2): ayat 122 sampai 124. ---يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ (١٢٢)
Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, dan (ingatlah) bahwa Aku telah melebihkan kalian atas (umat-umat) seluruh alam.
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (١٢٣)
Dan takutlah kalian kepada suatu hari ketika tidak ada satu jiwa pun yang dapat menggantikan (menanggung) sedikit pun dari (siksa) jiwa yang lain, dan tidak akan diterima darinya tebusan apa pun, dan syafaat tidak bermanfaat baginya, dan mereka tidak akan ditolong.
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (١٢٤)
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya dengan sempurna. (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia.” (Ibrahim) berkata, “(Bagaimana) dengan sebagian keturunanku?” (Allah) berfirman, “Janji(-Ku) ini tidak akan mengenai orang-orang yang zalim.”
---
قَوْلُهُ: يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ - إِلَى قَوْلِهِ - وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ قَدْ سَبَقَ مِثْلُ هَذَا فِي صَدْرِ السُّورَةِ، وَتَقَدَّمَ تَفْسِيرُهُ، وَوَجْهُ التَّكْرَارِ الْحَثُّ عَلَى اتِّبَاعِ الرَّسُولِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ، ذَكَرَ مَعْنَاهُ ابْنُ كَثِيرٍ فِي تَفْسِيرِهِ.
Firman-Nya: “Wahai Bani Israil … hingga firman-Nya: ‘dan mereka tidak akan ditolong’,” yang semisal dengan ini telah disebutkan sebelumnya di awal surah, dan tafsirnya telah dijelaskan.
Alasan pengulangan ayat ini adalah untuk mendorong (mereka) mengikuti Rasul, Nabi yang ummi; maknanya telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
وَقَالَ الْبِقَاعِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: إِنَّهُ لَمَّا طَالَ الْمَدَى فِي اسْتِقْصَاءِ تَذْكِيرِهِمْ بِالنِّعَمِ، ثُمَّ فِي بَيَانِ عَوَارِهِمْ وَهَتْكِ أَسْتَارِهِمْ، وَخَتَمَ ذَلِكَ بِالتَّرْهِيبِ لِتَضْيِيعِ أَدْيَانِهِمْ بِأَعْمَالِهِمْ وَأَحْوَالِهِمْ وَأَقْوَالِهِمْ، أَعَادَ مَا صَدَّرَ بِهِ قِصَّتَهُمْ مِنَ التَّذْكِيرِ بِالنِّعَمِ، وَالتَّحْذِيرِ مِنْ حُلُولِ النِّقَمِ يَوْمَ تُجْمَعُ الْأُمَمُ، وَيَدُومُ فِيهِ النَّدَمُ لِمَنْ زَلَّتْ بِهِ الْقَدَمُ، لِيُعْلَمَ أَنَّ ذَلِكَ فَذْلَكَةُ الْقِصَّةِ، وَالْمَقْصُودُ بِالذَّاتِ الْحَثُّ عَلَى انْتِهَازِ الْفُرْصَةِ. انْتَهَى.
Al-Biqā‘ī berkata dalam tafsirnya: “Tatkala masa (pembicaraan) menjadi panjang dalam mengurai secara rinci peringatan kepada mereka dengan nikmat-nikmat (Allah), kemudian dalam menjelaskan aib-aib mereka dan menyingkap tirai (kejelekan) mereka, dan Allah menutup itu semua dengan ancaman karena mereka menyia-nyiakan agama-agama mereka dengan amal, keadaan, dan ucapan-ucapan mereka, maka Allah mengulang kembali apa yang dengan itu Dia memulai kisah mereka, berupa peringatan dengan nikmat-nikmat dan peringatan akan turunnya hukuman pada hari ketika umat-umat dikumpulkan, dan penyesalan yang terus-menerus bagi orang yang kakinya terpeleset (dalam kesesatan), agar diketahui bahwa yang demikian itu adalah ringkasan kisah tersebut, dan maksud pokoknya adalah dorongan untuk memanfaatkan kesempatan.” Selesai.
وَأَقُولُ: لَيْسَ هَذَا بِشَيْءٍ، فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ سَبَبُ التَّكْرَارِ مَا ذَكَرَهُ مِنْ طُولِ الْمَدَى وَأَنَّهُ أَعَادَ مَا صَدَّرَ بِهِ قِصَّتَهُمْ لِذَلِكَ، لَكَانَ الْأَوْلَى بِالتَّكْرَارِ وَالْأَحَقُّ بِإِعَادَةِ الذِّكْرِ هُوَ قَوْلُهُ سُبْحَانَهُ: يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ1
Dan aku (as-Syaukani) berkata: Ini bukan alasan yang kuat.
Sebab, seandainya sebab pengulangan itu adalah apa yang ia sebutkan berupa lamanya rentang (pembicaraan) dan bahwa karena itu Allah mengulang apa yang dengannya Dia memulai kisah mereka, niscaya yang lebih pantas untuk diulang dan lebih berhak untuk disinggung kembali adalah firman-Nya Yang Mahasuci:
“Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian, dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian, dan hanya kepada-Ku hendaknya kalian takut.”1
فَإِنَّ هَذِهِ الْآيَةَ مَعَ كَوْنِهَا أَوَّلَ الْكَلَامِ مَعَهُمْ وَالْخِطَابِ لَهُمْ فِي هَذِهِ السُّورَةِ، هِيَ أَيْضًا أَوْلَى بِأَنْ تُعَادَ وَتُكَرَّرَ لِمَا فِيهَا مِنَ الْأَمْرِ بِذِكْرِ النِّعَمِ، وَالْوَفَاءِ بِالْعَهْدِ، وَالرَّهْبَةِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ.
Karena ayat ini, di samping ia merupakan awal pembicaraan dengan mereka dan awal seruan kepada mereka dalam surah ini, juga lebih layak untuk diulang dan digandakan, karena di dalamnya ada perintah untuk mengingat nikmat-nikmat, menepati janji, dan rasa takut (hanya) kepada Allah Yang Mahasuci.
وَبِهَذَا تَعْرِفُ صِحَّةَ مَا قَدَّمْنَاهُ لَكَ عِنْدَ أَنَّ شَرْعَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ فِي خِطَابِ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ فَرَاجِعْهُ.
Dengan ini engkau mengetahui kebenaran apa yang telah kami kemukakan kepadamu ketika (membahas) bahwa syariat Allah Yang Mahasuci dalam (bagian) seruan kepada Bani Israil dalam surah ini (memiliki pola tertentu); maka rujuklah kembali pembahasannya.
ثُمَّ حَكَى الْبِقَاعِيُّ بَعْدَ كَلَامِهِ السَّابِقِ عَنِ الْحَوَالِيِّ أَنَّهُ قَالَ: كَرَّرَهُ تَعَالَى إِظْهَارًا لِمَقْصِدِ الْتِئَامِ آخِرِ الْخِطَابِ بِأَوَّلِهِ، وَلِيُتَّخَذَ هَذَا الْإِفْصَاحُ وَالتَّعْلِيمُ أَصْلًا لِمَا يُمْكِنُ أَنْ يَرِدَ مِنْ نَحْوِهِ فِي سَائِرِ الْقُرْآنِ، حَتَّى كَانَ الْخِطَابُ إِذَا انْتَهَى إِلَى غَايَةِ خَاتَمِهِ يَجِبُ أَنْ يَلْحَظَ الْقَلْبُ بِذَاتِهِ تِلْكَ الْغَايَةَ فَيَتْلُوهَا، لِيَكُونَ فِي تِلَاوَتِهِ جَامِعًا لِطَرَفَيِ الثَّنَاءِ، وَفِي تَفْهِيمِهِ جَامِعًا لِمَعَانِي طَرَفَيِ الْمَعْنَى. انْتَهَى.
Kemudian al-Biqā‘ī setelah ucapannya yang lalu menukil dari al-Hawāli bahwa ia berkata: “Allah mengulang (ayat itu) untuk menampakkan maksud menyambungkan akhir khithab dengan awalnya, dan agar penjelasan serta pengajaran ini dijadikan sebagai asas bagi apa yang mungkin datang serupa dengannya di seluruh al-Qur'an; sehingga apabila suatu khithab telah sampai kepada batas penutupannya, hati wajib memperhatikan sendiri batas itu, lalu membacanya, agar dalam bacaannya terkumpul dua sisi pujian, dan dalam pemahamannya terkumpul makna dari dua sisi (awal dan akhir) makna.” Selesai.
وَأَقُولُ: لَوْ كَانَ هَذَا هُوَ سَبَبَ التَّكْرَارِ لَكَانَ الْأَوْلَى بِهِ مَا عَرَّفْنَاكَ.
Dan aku berkata: Seandainya ini adalah sebab pengulangan, niscaya yang lebih layak (untuk diulang) adalah apa yang telah kami perkenalkan kepadamu (yaitu ayat 40 tadi).
وَأَمَّا قَوْلُهُ: وَلِيُتَّخَذَ ذَلِكَ أَصْلًا لِمَا يَرِدُ مِنَ التَّكْرَارِ فِي سَائِرِ الْقُرْآنِ، فَمَعْلُومٌ أَنَّ حُصُولَ هَذَا الْأَمْرِ فِي الْأَذْهَانِ، وَتَقَرُّرَهُ فِي الْأَفْهَامِ، لَا يَخْتَصُّ بِتَكْرِيرِ آيَةٍ مُعَيَّنَةٍ يُكُونُ افْتِتَاحُ هَذَا الْمَقْصِدِ بِهَا، فَلَمْ تَتِمَّ حِينَئِذٍ النُّكْتَةُ فِي تَكْرِيرِ هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ بِخُصُوصِهِمَا.
Adapun ucapannya: “Agar hal itu dijadikan sebagai asas bagi apa yang datang berupa pengulangan di seluruh al-Qur'an,” maka diketahui bahwa tercapainya hal ini dalam benak dan tetapnya dalam pemahaman tidaklah khusus dengan pengulangan suatu ayat tertentu yang pembukaan maksud ini dimulai dengannya.
Karena itu, tidak sempurna (tidak jelas) alasan khusus pengulangan dua ayat ini secara khusus.
وَلِلَّهِ الْحِكْمَةُ الْبَالِغَةُ الَّتِي لَا تَبْلُغُهَا الْأَفْهَامُ، وَلَا تُدْرِكُهَا الْعُقُولُ، فَلَيْسَ فِي تَكْلِيفِ هَذِهِ الْمُنَاسَبَاتِ الْمُتَعَسِّفَةِ إِلَّا مَا عَرَّفْنَاكَ بِهِ هُنَالِكَ فَتَذَكَّرْ.
Dan milik Allah hikmah yang sempurna yang tidak dapat dijangkau oleh pemahaman, dan tidak bisa diselami oleh akal.
Maka, memaksakan diri membuat-buat korelasi-korelasi yang dipaksakan seperti ini tidak membawa (faedah) kecuali sebagaimana yang telah kami jelaskan kepadamu di sana; maka ingatlah.
---
قَوْلُهُ: وَإِذِ ابْتَلَى
Firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika (Allah) menguji …”
الِابْتِلَاءُ: الِامْتِحَانُ وَالِاخْتِبَارُ، أَيْ: ابْتَلَاهُ بِمَا أَمَرَهُ بِهِ.2
Al-ibtalā’ adalah ujian dan cobaan, yaitu: Allah mengujinya dengan apa yang Dia perintahkan kepadanya.2
وَإِبْرَاهِيمَ مَعْنَاهُ فِي السُّرْيَانِيَّةِ: أَبٌ رَحِيمٌ، كَذَا قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ.
Adapun (nama) “Ibrahim”, maknanya dalam bahasa Suryani adalah “bapak yang penyayang”; demikian dikatakan oleh al-Māwardi.
قَالَ ابْنُ عَطِيَّةَ: وَمَعْنَاهُ فِي الْعَرَبِيَّةِ ذَلِكَ.
Ibnu ‘Athiyyah berkata: Dan maknanya dalam bahasa Arab juga demikian.
قَالَ السُّهَيْلِيُّ: وَكَثِيرًا مَا يَقَعُ الِاتِّفَاقُ بَيْنَ السُّرْيَانِيِّ وَالْعَرَبِيِّ.
As-Suhaili berkata: Sering kali terjadi kesesuaian antara bahasa Suryani dan bahasa Arab.
وَقَدْ أَوْرَدَ صَاحِبُ الْكَشَّافِ هُنَا سُؤَالًا فِي رُجُوعِ الضَّمِيرِ إِلَى إِبْرَاهِيمَ مَعَ كَوْنِ رُتْبَتِهِ التَّأْخِيرَ، وَأَجَابَ عَنْهُ بِأَنَّهُ قَدْ تَقَدَّمَ لَفْظًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ، وَالْأَمْرُ فِي هَذَا أَوْضَحُ مِنْ أَنْ يُشْتَغَلَ بِذِكْرِهِ، أَوْ تَرِدَ فِي مِثْلِهِ الْأَسْئِلَةُ، أَوْ يُسَوَّدَ وَجْهُ الْقِرْطَاسِ بِإِيضَاحِهِ.
Penulis al-Kasysyāf mengemukakan di sini sebuah pertanyaan tentang kembalinya dhamir (kata ganti) kepada Ibrahim, padahal posisinya datang belakangan, dan ia menjawab bahwa (nama Ibrahim) telah disebut sebelumnya secara lafaz sehingga dhamir kembali kepadanya.
Padahal persoalan ini lebih jelas daripada perlu disibukkan dengan menyebutkannya, atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, atau menghitamkan lembaran kertas untuk menjelaskannya.
وَقَوْلُهُ: بِكَلِمَاتٍ قَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي تَعْيِينِهَا، فَقِيلَ: هِيَ شَرَائِعُ الْإِسْلَامِ، وَقِيلَ: ذَبْحُ ابْنِهِ، وَقِيلَ: أَدَاءُ الرِّسَالَةِ، وَقِيلَ: هِيَ خِصَالُ الْفِطْرَةِ، وَقِيلَ: هِيَ قَوْلُهُ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا، وَقِيلَ: بِالطَّهَارَةِ، كَمَا سَيَأْتِي بَيَانُهُ.
Firman-Nya: “dengan beberapa kalimat” — para ulama berbeda pendapat tentang penentuan (apa) kalimat-kalimat itu.
Ada yang mengatakan: itu adalah syariat-syariat Islam.
Ada yang mengatakan: (perintah) menyembelih putranya.
Ada yang mengatakan: menunaikan risalah.
Ada yang mengatakan: itu adalah sifat-sifat fitrah.
Ada yang mengatakan: itu adalah firman-Nya: “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia.”
Ada yang mengatakan: (ujian) dengan thaharah (bersuci), sebagaimana akan dijelaskan.
قَالَ الزَّجَّاجُ: وَهَذِهِ الْأَقْوَالُ لَيْسَتْ بِمُتَنَاقِضَةٍ، لِأَنَّ هَذَا كُلَّهُ مِمَّا ابْتُلِيَ بِهِ إِبْرَاهِيمُ. انْتَهَى.
Az-Zajjāj berkata: Pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan, karena semua ini termasuk hal-hal yang dengannya Ibrahim diuji. Selesai.
وَظَاهِرُ النَّظْمِ الْقُرْآنِيِّ أَنَّ الْكَلِمَاتِ هِيَ قَوْلُهُ: قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ وَمَا بَعْدَهُ، وَيَكُونُ ذَلِكَ بَيَانًا لِلْكَلِمَاتِ، وَسَيَأْتِي عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ مَا يُوَافِقُ ذَلِكَ، وَعَنْ آخَرِينَ مَا يُخَالِفُهُ.
Susunan zhahir (yang tampak) dari ayat al-Qur'an menunjukkan bahwa “kalimat-kalimat” itu adalah firman-Nya: “(Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu …’” dan (ayat-ayat) setelahnya; dan itu menjadi penjelas bagi (maksud) kalimat-kalimat tersebut.
Akan datang riwayat dari sebagian salaf yang sesuai dengan ini, dan dari sebagian yang lain yang menyelisihinya.
وَعَلَى هَذَا فَيَكُونُ قَوْلُهُ: قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ مُسْتَأْنَفًا، كَأَنَّهُ: مَاذَا قَالَ لَهُ؟
Berdasarkan ini, firman-Nya: “(Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu …’” adalah kalimat baru (istinaf), seakan-akan (maknanya): “Lalu, apa yang Dia firmankan kepadanya?”
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ مَا حَاصِلُهُ: إِنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالْكَلِمَاتِ جَمِيعَ ذَلِكَ، وَجَائِزٌ أَنْ يَكُونَ بَعْضَ ذَلِكَ، وَلَا يَجُوزُ الْجَزْمُ بِشَيْءٍ مِنْهَا أَنَّهُ الْمُرَادُ عَلَى التَّعْيِينِ إِلَّا بِحَدِيثٍ أَوْ إِجْمَاعٍ، وَلَمْ يَصِحَّ فِي ذَلِكَ خَبَرٌ بِنَقْلِ الْوَاحِدِ وَلَا بِنَقْلِ الْجَمَاعَةِ الَّذِي يَجِبُ التَّسْلِيمُ لَهُ.
Ibnu Jarir berkata, pokok ucapannya: Boleh jadi yang dimaksud dengan kalimat-kalimat itu adalah semua hal tersebut, dan boleh jadi sebagian darinya.
Tidak boleh memastikan salah satunya sebagai maksud secara khusus kecuali dengan hadits atau ijma‘.
Dan tidak ada khabar (riwayat) yang sahih tentang hal itu, baik melalui periwayatan tunggal maupun periwayatan jamak yang wajib diterima.
ثُمَّ قَالَ: فَلَوْ قَالَ قَائِلٌ: إِنَّ الَّذِي قَالَهُ مُجَاهِدٌ وَأَبُو صَالِحٍ وَالرَّبِيعُ بْنُ أَنَسٍ أَوْلَى بِالصَّوَابِ، يَعْنِي: أَنَّ الْكَلِمَاتِ هِيَ قَوْلُهُ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا، وَقَوْلُهُ: وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَمَا بَعْدَهُ.
Kemudian ia berkata: Maka seandainya ada yang mengatakan bahwa pendapat yang dikatakan oleh Mujahid, Abu Shalih, dan ar-Rabi‘ bin Anas lebih dekat kepada kebenaran — yaitu bahwa kalimat-kalimat itu adalah firman-Nya: “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia,” dan firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Ibrahim …” dan (ayat-ayat) setelahnya — (maka itu memiliki dasar).
وَرَجَّحَ ابْنُ كَثِيرٍ أَنَّهَا تَشْمَلُ جَمِيعَ مَا ذُكِرَ، وَسَيَأْتِي التَّصْرِيحُ بِمَا هُوَ الْحَقُّ بَعْدَ إِيرَادِ مَا وَرَدَ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ.
Ibnu Katsir merajihkan bahwa (kalimat-kalimat itu) mencakup semua yang telah disebutkan.
Dan akan datang penegasan tentang mana yang benar setelah pemaparan apa yang diriwayatkan dari para salaf shalih.
وَقَوْلُهُ: فَأَتَمَّهُنَّ أَيْ: قَامَ بِهِنَّ أَتَمَّ قِيَامٍ، وَامْتَثَلَ أَكْمَلَ امْتِثَالٍ.
Firman-Nya: “lalu ia menunaikannya dengan sempurna” artinya: ia melaksanakan semuanya dengan sebaik-baiknya pelaksanaan dan menaati dengan sesempurna-sempurnanya ketaatan.
وَالْإِمَامُ: هُوَ مَا يُؤْتَمُّ بِهِ، وَمِنْهُ قِيلَ لِلطَّرِيقِ: إِمَامٌ، وَلِلْبِنَاءِ: إِمَامٌ، لِأَنَّهُ يُؤْتَمُّ بِذَلِكَ، أَيْ: يَهْتَدِي بِهِ السَّالِكُ.
Imam adalah sesuatu yang diikuti.
Darinya dikatakan kepada jalan: “imām” dan kepada bangunan: “imām”, karena dengannya orang mengikuti, yakni orang yang berjalan mendapatkan petunjuk dengan (penunjuk jalan) itu.
وَالْإِمَامُ لَمَّا كَانَ هُوَ الْقُدْوَةَ لِلنَّاسِ لِكَوْنِهِمْ يَأْتَمُّونَ بِهِ وَيَهْتَدُونَ بِهَدْيِهِ، أُطْلِقَ عَلَيْهِ هَذَا اللَّفْظُ.
Karena imam adalah teladan bagi manusia — sebab mereka mengikutinya dan mendapat petunjuk dengan petunjuknya — maka istilah ini digunakan untuknya.
وَقَوْلُهُ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ دُعَاءً مِنْ إِبْرَاهِيمَ، أَيْ: وَاجْعَلْ مِنْ ذُرِّيَّتِي أَئِمَّةً.
Firman-Nya: “dan (bagaimana) dengan keturunanku?” — mungkin itu merupakan doa dari Ibrahim, yakni: “Jadikanlah dari keturunanku para imam.”
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ هَذَا مِنْ إِبْرَاهِيمَ بِقَصْدِ الِاسْتِفْهَامِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بِصِيغَتِهِ، أَيْ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي مَاذَا يَكُونُ يَا رَبِّ؟
Dan mungkin juga (ucapan itu) dari Ibrahim dalam rangka meminta penjelasan, meski tidak memakai bentuk kalimat tanya, yaitu: “Dan (bagaimana dengan) keturunanku, apa (kedudukan) mereka, wahai Rabbku?”
فَأَخْبَرَهُ أَنَّ فِيهِمْ عُصَاةً وَظَلَمَةً، وَأَنَّهُمْ لَا يَصْلُحُونَ لِذَلِكَ، وَلَا يَقُومُونَ بِهِ، وَلَا يَنَالُهُمْ عَهْدُ اللَّهِ سُبْحَانَهُ.
Lalu Allah memberitahunya bahwa di antara keturunannya ada para pelaku maksiat dan orang-orang zalim, dan bahwa mereka tidak layak untuk itu, tidak sanggup menunaikannya, dan tidak akan mengenai mereka janji Allah Yang Mahasuci.
وَالذُّرِّيَّةُ: مَأْخُوذَةٌ مِنَ الذَّرِّ، لِأَنَّ اللَّهَ أَخْرَجَ الْخَلْقَ مِنْ ظَهْرِ آدَمَ حِينَ أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ كَالذَّرِّ، وَقِيلَ: مَأْخُوذَةٌ مِنْ: ذَرَأَ اللَّهُ الْخَلْقَ يَذْرَؤُهُمْ: إِذَا خَلَقَهُمْ.
Kata “dzurriyyah” diambil dari “dzarr” (butiran kecil), karena Allah mengeluarkan makhluk dari tulang sulbi Adam ketika Dia mengambil kesaksian mereka atas diri mereka, (dalam keadaan) seperti butiran (yang kecil).
Ada juga yang mengatakan, ia diambil dari (kata kerja) “dzara’a Allāhu al-khalqa yadzra’uhum” ketika Allah menciptakan mereka.
وَفِي الْكِتَابِ الْعَزِيزِ: فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ2
Dan dalam al-Kitab al-‘Aziz (al-Qur’an) disebutkan: “Maka jadilah ia hancur luluh yang dihambur-hamburkan oleh angin.”2
قَالَ فِي الصِّحَاحِ: ذَرَّتِ الرِّيحُ السَّحَابَ وَغَيْرَهُ تَذْرُوهُ وَتَذْرِيهِ ذَرْوًا وَذَرْيًا، أَيْ: نَسَفَتْهُ.
Dalam ash-Shihhah disebutkan: “Dzarratir-rīḥus-sahāba wa ghairahu, tazruuhu wa tazriihi dzarwan wa dzariyyan,” artinya: angin menerbangkan awan dan selainnya, menghamburkannya.
وَقَالَ الْخَلِيلُ: إِنَّمَا سُمُّوا ذُرِّيَّةً لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَرَأَهَا عَلَى الْأَرْضِ كَمَا ذَرَأَ الزُّرَّاعُ الْبِذْرَ.
Al-Khalil berkata: Mereka dinamakan “dzurriyyah” karena Allah Ta‘ala telah menebarkan mereka di atas bumi sebagaimana para petani menebarkan benih.
وَاخْتُلِفَ فِي الْمُرَادِ بِالْعَهْدِ، فَقِيلَ: الْإِمَامَةُ، وَقِيلَ: النُّبُوَّةُ، وَقِيلَ: عَهْدُ اللَّهِ أَمْرُهُ، وَقِيلَ: الْأَمَانُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ، وَرَجَّحَهُ الزَّجَّاجُ، وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ كَمَا يُفِيدُهُ السِّيَاقُ.
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan “janji” (عَهْدِي).
Ada yang mengatakan: (yang dimaksud) adalah imamah (kepemimpinan).
Ada yang mengatakan: kenabian.
Ada yang mengatakan: janji Allah adalah perintah-Nya.
Ada yang mengatakan: keamanan dari azab akhirat; pendapat ini dirajihkan oleh az-Zajjāj.
Pendapat pertama (yaitu imamah) lebih tampak, sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat.
وَقَدِ اسْتَدَلَّ بِهَذِهِ الْآيَةِ جَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ وَالْعَمَلِ بِالشَّرْعِ كَمَا وَرَدَ، لِأَنَّهُ إِذَا زَاغَ عَنْ ذَلِكَ كَانَ ظَالِمًا.
Sekelompok ulama berdalil dengan ayat ini bahwa seorang imam (pemimpin) haruslah dari kalangan orang yang adil dan yang mengamalkan syariat sebagaimana ditetapkan; karena bila ia menyimpang dari itu, ia menjadi orang yang zalim.
وَيُمْكِنُ أَنْ يُنْظَرَ إِلَى مَا يَصْدُقُ عَلَيْهِ اسْمُ الْعَهْدِ، وَمَا تُفِيدُهُ الْإِضَافَةُ مِنَ الْعُمُومِ، فَيَشْمَلُ جَمِيعَ ذَلِكَ اعْتِبَارًا بِعُمُومِ اللَّفْظِ مِنْ غَيْرِ نَظَرٍ إِلَى السَّبَبِ، وَلَا إِلَى السِّيَاقِ، فَيُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى اشْتِرَاطِ السَّلَامَةِ مِنْ وَصْفِ الظُّلْمِ فِي كُلِّ مَنْ تَعَلَّقَ بِالْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ.
Dan memungkinkan pula untuk melihat kepada segala sesuatu yang dapat terkena nama “janji”, dan kepada makna umum yang ditunjukkan oleh idhafah (kata “janji-Ku”), sehingga mencakup semua itu dengan mempertimbangkan keumuman lafaz, tanpa memandang sebab turunnya maupun konteksnya.
Dengan demikian, ayat ini dapat dijadikan dalil bahwa disyaratkan bersih dari sifat zalim bagi setiap orang yang memiliki hubungan dengan urusan-urusan keagamaan.
وَقَدِ اخْتَارَ ابْنُ جَرِيرٍ: أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ وَإِنْ كَانَتْ ظَاهِرَةً فِي الْخَبَرِ أَنَّهُ لَا يَنَالُ عَهْدُ اللَّهِ بِالْإِمَامَةِ ظَالِمًا، فَفِيهَا إِعْلَامٌ مِنَ اللَّهِ لِإِبْرَاهِيمَ الْخَلِيلِ أَنَّهُ سَيُوجَدُ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ مَنْ هُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ. انْتَهَى.
Ibnu Jarir memilih pendapat bahwa kendati ayat ini secara zhahir merupakan khabar bahwa janji Allah dengan (pemberian) imamah tidak akan mengenai orang zalim, di dalamnya ada pemberitahuan dari Allah kepada Ibrahim al-Khalil bahwa akan ada dari keturunannya orang yang zalim terhadap dirinya sendiri. Selesai.
وَلَا يَخْفَى عَلَيْكَ أَنَّهُ لَا جَدْوَى لِكَلَامِهِ هَذَا.
Dan tidak samar bagimu bahwa tidak ada faedah (yang berarti) dari perkataannya ini.
فَالْأَوْلَى أَنْ يُقَالَ: إِنَّ هَذَا الْخَبَرَ فِي مَعْنَى الْأَمْرِ لِعِبَادِهِ أَنْ لَا يُوَلُّوا أُمُورَ الشَّرْعِ ظَالِمًا.
Yang lebih utama adalah dikatakan: Sesungguhnya khabar ini berada dalam makna perintah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka tidak menyerahkan urusan-urusan syariat kepada orang zalim.
وَإِنَّمَا قُلْنَا: إِنَّهُ فِي مَعْنَى الْأَمْرِ، لِأَنَّ أَخْبَارَهُ تَعَالَى لَا يَجُوزُ أَنْ تَتَخَلَّفَ، وَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّهُ قَدْ نَالَ عَهْدُهُ مِنَ الْإِمَامَةِ وَغَيْرِهَا كَثِيرًا مِنَ الظَّالِمِينَ.
Kami katakan bahwa ia berada dalam makna perintah karena khabar-khabar Allah Ta‘ala tidak mungkin tidak terjadi; sementara kita tahu bahwa janji-Nya berupa imamah dan selainnya telah diperoleh oleh banyak orang yang zalim (di dunia).
قَوْلُهُ: وَإِذْ جَعَلْنَا ٱلْبَيْتَ
Firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan Bait (Ka‘bah) …”
هُوَ ٱلْكَعْبَةُ، غَلَبَ عَلَيْهِ كَمَا غَلَبَ ٱلنَّجْمُ عَلَى ٱلثُّرَيَّا،
Yang dimaksud adalah Ka‘bah.
Nama “al-bayt” (rumah) menjadi lebih terkenal untuknya, sebagaimana kata “an-najm” (bintang) lebih terkenal dipakai untuk (bintang) Tsurayya.
وَمَثَابَةً: مَصْدَرٌ مِنْ: ثَابَ، يَثُوبُ، مَثَابًا وَمَثَابَةً، أَيْ: مَرْجِعًا يَرْجِعُ ٱلْحُجَّاجُ إِلَيْهِ بَعْدَ تَفَرُّقِهِمْ عَنْهُ،
“Kata *matsābatan*” adalah mashdar dari “tsāba–yatsūbu–matsāban wa matsābatan”, artinya tempat kembali.
Yaitu tempat kembali yang para haji kembali kepadanya setelah mereka berpencar darinya.
وَمِنْهُ قَوْلُ وَرَقَةَ بْنِ نَوْفَلٍ فِي ٱلْكَعْبَةِ:
Dan di antaranya adalah ucapan Waraqah bin Nawfal tentang Ka‘bah:
مَثَابًا لِأَفْنَاءِ ٱلْقَبَائِلِ كُلِّهَا … تَخُبُّ إِلَيْهَا ٱلْيَعْمَلَاتُ ٱلذَّوَامِلُ
“Sebagai tempat kembali bagi berbagai cabang kabilah seluruhnya,
yang didatangi dengan tergesa oleh unta-unta betina yang kuat lagi pembawa beban.”
وَقَرَأَ ٱلْأَعْمَشُ: «مَثَابَاتٍ»
Al-A‘masy membaca dengan lafaz “*matsābātin*” (jamak).
وَقِيلَ: ٱلْمَثَابَةُ مِنَ ٱلثَّوَابِ، أَيْ: يُثَابُونَ هُنَالِكَ،
Ada yang mengatakan: “al-matsābah” berasal dari kata “tsawāb” (pahala),
yakni: mereka diberi pahala di sana.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: ٱلْمُرَادُ: أَنَّهُمْ لَا يَقْضُونَ مِنْهُ أَوْطَارَهُمْ،
Mujahid berkata: Yang dimaksud adalah bahwa mereka tidak pernah merasa puas darinya (tidak habis keinginan mereka terhadapnya).
قَالَ ٱلشَّاعِرُ:
Seorang penyair berkata:
جُعِلَ ٱلْبَيْتُ مَثَابًا لَهُمْ … لَيْسَ مِنْهُ ٱلدَّهْرَ يَقْضُونَ ٱلْوَطَرَ
“Telah dijadikan Bait (Ka‘bah) itu sebagai tempat kembali bagi mereka;
mereka tidak pernah, sepanjang masa, merasa cukup (memenuhi keinginan) darinya.”
قَالَ ٱلْأَخْفَشُ: وَدَخَلَتِ ٱلْهَاءُ لِكَثْرَةِ مَنْ يَثُوبُ إِلَيْهِ، فَهِيَ كَعَلَّامَةٍ وَنَسَّابَةٍ.
Al-Akhfasy berkata: Huruf “hā’” (pada *matsābah*) masuk karena banyaknya orang yang kembali kepadanya,
maka bentuknya seperti “allāmah” dan “nassābah” (bentuk mubālaghah/penguat).
وَقَالَ غَيْرُهُ: هِيَ لِلتَّأْنِيثِ وَلَيْسَتْ لِلْمُبَالَغَةِ.
Sedangkan yang lain berkata: Huruf “hā’” itu untuk menunjukkan mu’annats (bentuk feminin), bukan untuk mubālaghah (penguatan makna).
وَقَوْلُهُ: وَأَمْنًا هُوَ ٱسْمُ مَكَانٍ، أَيْ: مَوْضِعُ أَمْنٍ.
Firman-Nya: “wa amnan” adalah isim makan (kata yang menunjukkan tempat),
artinya: tempat yang menjadi sumber keamanan.
وَقَدِ اسْتَدَلَّ بِذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ ٱلْعِلْمِ عَلَىٰ أَنَّهُ لَا يُقَامُ ٱلْحَدُّ عَلَىٰ مَنْ لَجَأَ إِلَيْهِ،
Sekelompok ulama berdalil dengan (ayat) itu bahwa tidak ditegakkan hukuman had atas orang yang berlindung ke (Masjidil Haram/Ka‘bah).
وَيُؤَيِّدُ ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا
Dan hal itu dikuatkan oleh firman-Nya Ta‘ala: “Dan barangsiapa memasukinya, ia menjadi aman.”
وَقِيلَ: إِنَّ ذَلِكَ مَنْسُوخٌ.
Ada pula yang mengatakan: Ketentuan itu telah di-nasakh (dihapus hukumnya).
وَقَوْلُهُ: وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Dan firman-Nya: “Dan jadikanlah sebagian dari maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.”
قَرَأَ نَافِعٌ وَابْنُ عَامِرٍ بِفَتْحِ ٱلْخَاءِ عَلَىٰ أَنَّهُ فِعْلٌ مَاضٍ،
Nāfi‘ dan Ibnu ‘Āmir membacanya dengan membuka huruf khā’ (وَاتَّخَذُوا), sebagai fi‘il mādhī (kata kerja lampau),
أَيْ: جَعَلْنَا ٱلْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا، وَٱتَّخَذُوهُ مُصَلًّى.
yaitu (maknanya): “Kami telah menjadikan Bait (Ka‘bah) sebagai tempat kembali bagi manusia dan (sebagai) keamanan, dan mereka pun menjadikannya sebagai tempat shalat.”
وَقَرَأَ ٱلْبَاقُونَ عَلَىٰ صِيغَةِ ٱلْأَمْرِ
Sedangkan qāri’ yang lain membacanya dalam bentuk kalimat perintah (وَاتَّخِذُوا).
عَطْفًا عَلَىٰ ٱذْكُرُوا ٱلْمَذْكُورِ أَوَّلَ ٱلْآيَاتِ، أَوْ عَلَىٰ ٱذْكُرُوا ٱلْمُقَدَّرِ عَامِلًا فِي قَوْلِهِ: وَإِذْ،
Sebagai ‘athaf (sambungan) atas (fi‘il amr) “udzkurū” yang disebut di awal ayat-ayat,
atau atas (lafaz) “udzkurū” yang diperkirakan sebagai penguasa (amil) pada firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika …”
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ عَلَىٰ تَقْدِيرِ ٱلْقَوْلِ، أَيْ: وَقُلْنَا ٱتَّخِذُوا.
Dan boleh juga dipahami atas dasar adanya kata yang diperkirakan, yaitu “qolnā” (Kami berfirman),
sehingga maknanya: “Dan Kami berfirman: Jadikanlah …”
وَٱلْمَقَامُ فِي ٱللُّغَةِ: مَوْضِعُ ٱلْقِيَامِ.
“Maqām” dalam bahasa (Arab) adalah tempat berdiri.
قَالَ ٱلنَّحَّاسُ: هُوَ مِنْ: قَامَ، يَقُومُ، يَكُونُ مَصْدَرًا وَٱسْمًا لِلْمَوْضِعِ،
An-Nahhās berkata: Kata ini berasal dari “qāma–yaqūmu”, dan bisa berfungsi sebagai mashdar, dan juga sebagai nama tempat (ism makan).
وَمَقَامُ: مَنْ: أَقَامَ،
Sedangkan bentuk “*maqām*” dari “aqāma” (menetap/menegakkan).
وَلَيْسَ مِنْ هَذَا قَوْلُ ٱلشَّاعِرِ:
Bukan dari (makna) ini ucapan penyair:
وَفِيهِمْ مَقَامَاتٌ حِسَانٌ وُجُوهُهُمْ … وَأَنْدِيَةٌ يَنْتَابُهَا ٱلْقَوْلُ وَٱلْفِعْلُ
“Dan pada mereka ada kedudukan-kedudukan yang elok wajah-wajah pemiliknya,
dan majelis-majelis yang selalu didatangi oleh ucapan dan perbuatan (mulia).”
لِأَنَّ مَعْنَاهُ: أَهْلُ مَقَامَاتٍ.
Karena maknanya adalah: orang-orang yang memiliki kedudukan-kedudukan (mulia).
وَٱخْتُلِفَ فِي تَعْيِينِ ٱلْمَقَامِ عَلَىٰ أَقْوَالٍ،
Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan maksud “al-maqām” (dalam ayat) ini dalam beberapa pendapat.
أَصَحُّهَا أَنَّهُ ٱلْحَجَرُ ٱلَّذِي يَعْرِفُهُ ٱلنَّاسُ، وَيُصَلُّونَ عِنْدَهُ رَكْعَتَيِ ٱلطَّوَافِ،
Pendapat yang paling sahih: bahwa (maqam) itu adalah batu yang dikenal orang (sekarang),
dan di dekatnyalah orang-orang shalat dua rakaat setelah thawaf.
وَقِيلَ: ٱلْمَقَامُ: ٱلْحَجُّ كُلُّهُ، رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَطَاءٍ وَمُجَاهِدٍ،
Ada yang berkata: “Maqam” adalah seluruh (rangkaian) haji; ini diriwayatkan dari ‘Athā’ dan Mujahid.
وَقِيلَ: عَرَفَةُ وَٱلْمُزْدَلِفَةُ، رُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ أَيْضًا.
Ada juga yang mengatakan: (yang dimaksud adalah) ‘Arafah dan Muzdalifah; ini juga diriwayatkan dari ‘Athā’.
وَقَالَ ٱلشَّعْبِيُّ: ٱلْحَرَمُ كُلُّهُ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ. وَرُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ.
Asy-Sya‘bi berkata: Seluruh wilayah haram adalah maqam Ibrahim.
Dan (pendapat semisal) juga diriwayatkan dari Mujahid.
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ ٱلْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَٱلْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، وَٱلْبَيْهَقِيُّ فِي سُنَنِهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: وَإِذِ ٱبْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ،
Telah dikeluarkan (riwayat) oleh ‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Hakim (dan ia mensahihkannya), dan al-Baihaqi dalam *Sunan*-nya, dari Ibnu ‘Abbas, tentang firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya …”
قَالَ: ٱبْتَلَاهُ ٱللَّهُ بِٱلطَّهَارَةِ: خَمْسٌ فِي ٱلرَّأْسِ، وَخَمْسٌ فِي ٱلْجَسَدِ.
Ia (Ibnu ‘Abbas) berkata: Allah mengujinya dengan thaharah (bersuci): lima (perkara) di kepala dan lima di badan.
فِي ٱلرَّأْسِ: قَصُّ ٱلشَّارِبِ، وَٱلْمَضْمَضَةُ، وَٱلِاسْتِنْشَاقُ، وَٱلسِّوَاكُ، وَفَرْقُ ٱلشَّعْرِ،
Di kepala: memendekkan kumis, berkumur, istinsyāq (menghirup air ke hidung), bersiwak, dan membelah (merapikan belahan) rambut.
وَفِي ٱلْجَسَدِ: تَقْلِيمُ ٱلْأَظْفَارِ، وَحَلْقُ ٱلْعَانَةِ، وَٱلْخِتَانُ، وَنَتْفُ ٱلْإِبِطِ، وَغَسْلُ مَكَانِ ٱلْغَائِطِ وَٱلْبَوْلِ بِٱلْمَاءِ.
Dan di badan: memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, berkhitan, mencabut bulu ketiak, dan membasuh tempat keluarnya kotoran dan air kencing dengan air.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ ٱلْمُنْذِرِ عَنْهُ نَحْوَهُ.
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu al-Mundzir juga meriwayatkan darinya dengan makna yang serupa.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَٱلْحَاكِمُ،
Dan Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Hakim juga meriwayatkan
وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ، وَابْنُ عَسَاكِرَ عَنْهُ،
serta Ibnu Mardawaih dan Ibnu ‘Asakir dari Ibnu ‘Abbas,
قَالَ: مَا ٱبْتُلِيَ أَحَدٌ بِهَٰذَا ٱلدِّينِ فَقَامَ بِهِ كُلِّهِ إِلَّا إِبْرَاهِيمُ.
bahwa ia berkata: Tidak ada seorang pun yang diuji dengan agama ini lalu ia menunaikannya seluruhnya kecuali Ibrahim.
وَقَرَأَ هَٰذِهِ ٱلْآيَةَ، فَقِيلَ لَهُ: مَا ٱلْكَلِمَاتُ؟
Lalu ia membaca ayat ini.
Maka dikatakan kepadanya: “Apakah (yang dimaksud) kalimat-kalimat itu?”
قَالَ: سِهَامُ ٱلْإِسْلَامِ ثَلَاثُونَ سَهْمًا:
Ia menjawab: “Anak panah-anak panah Islam itu ada tiga puluh anak panah:
عَشْرَةٌ فِي بَرَاءَةٍ: ٱلتَّائِبُونَ ٱلْعَابِدُونَ1 إِلَىٰ آخِرِ ٱلْآيَةِ،
Sepuluh (sifat) di surah At-Taubah: “(Yaitu) orang-orang yang bertaubat, yang beribadah …”1 sampai akhir ayat,
وَعَشْرَةٌ فِي أَوَّلِ سُورَةِ قَدْ أَفْلَحَ2 وَسَأَلَ سَائِلٌ3 وَٱلَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ ٱلدِّينِ4 لِآيَاتٍ،
dan sepuluh (sifat) di awal surah “Qad Aflaha” (Al-Mu’minun)2, dan di (surah) “Sa’ala Sā’ilun” (Al-Ma‘ārij)3 pada ayat-ayat: “Dan orang-orang yang membenarkan Hari Pembalasan.”4
وَعَشْرَةٌ فِي ٱلْأَحْزَابِ: إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ5 إِلَىٰ آخِرِ ٱلْآيَةِ.
Dan sepuluh (sifat) di surah Al-Ahzab: “Sesungguhnya laki-laki Muslim dan perempuan Muslim …”5 sampai akhir ayat.”
فَأَتَمَّهُنَّ كُلَّهُنَّ، فَكَتَبَ لَهُ بَرَاءَةً، قَالَ تَعَالَىٰ: وَإِبْرَاهِيمَ ٱلَّذِي وَفَّىٰ6
Maka ia menunaikan semuanya secara sempurna, lalu Allah menuliskan baginya pembebasan (lepas dari tuntutan).
Allah Ta‘ala berfirman: “Dan (begitu pula) Ibrahim yang telah memenuhi (janji).”6
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ ٱلْمُنْذِرِ، وَٱلْحَاكِمُ عَنْهُ، قَالَ: مِنْهُنَّ مَنَاسِكُ ٱلْحَجِّ.
Dan ‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, dan al-Hakim meriwayatkan darinya, bahwa ia berkata: “Di antaranya adalah manasik haji.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ قَالَ: ٱلْكَلِمَاتُ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا، وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ ٱلْقَوَاعِدَ7،
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan darinya, bahwa ia berkata: “Kalimat-kalimat itu adalah firman-Nya: ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia’ dan (firman-Nya): ‘Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi-pondasi (Baitullah) …’”7
وَٱلْآيَاتُ فِي شَأْنِ ٱلْمَنَاسِكِ، وَٱلْمَقَامِ ٱلَّذِي جُعِلَ لِإِبْرَاهِيمَ، وَٱلرِّزْقِ ٱلَّذِي رُزِقَ سَاكِنُو ٱلْبَيْتِ، وَبَعْثِ مُحَمَّدٍ فِي ذُرِّيَّتِهِمَا.
“Dan (juga) ayat-ayat tentang manasik (haji), tentang maqam yang dijadikan untuk Ibrahim, tentang rezeki yang diberikan kepada para penduduk Bait (Ka‘bah), dan tentang pengutusan Muhammad dari keturunan keduanya (Ibrahim dan Ismail).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي قَوْلِهِ: وَإِذِ ٱبْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ، قَالَ: ٱبْتُلِيَ بِٱلْآيَاتِ ٱلَّتِي بَعْدَهَا.
Dan Ibnu Abi Syaibah serta Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid tentang firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat,” ia berkata: “Ia diuji dengan ayat-ayat setelahnya.”
وَأَخْرَجَا أَيْضًا عَنِ ٱلشَّعْبِيِّ مِثْلَهُ.
Keduanya juga meriwayatkan dari Asy-Sya‘bi dengan makna yang sama.
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: ٱلْكَلِمَاتُ ٱلَّتِي ٱبْتُلِيَ بِهِنَّ إِبْرَاهِيمُ فَأَتَمَّهُنَّ:
Dan Ibnu Ishaq serta Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa ia berkata: “Kalimat-kalimat yang dengannya Ibrahim diuji lalu ia menyempurnakannya adalah:
فِرَاقُ قَوْمِهِ فِي ٱللَّهِ حِينَ أُمِرَ بِمُفَارَقَتِهِمْ،
Meninggalkan kaumnya karena Allah ketika ia diperintahkan untuk berpisah dari mereka;
وَمُحَاجَّتُهُ نَمْرُودَ فِي ٱللَّهِ حِينَ وَقَفَهُ عَلَىٰ مَا وَقَفَهُ عَلَيْهِ مِنْ خَطَرِ ٱلْأَمْرِ ٱلَّذِي فِيهِ خِلَافُهُمْ،
Dan perdebatan (hujjah)nya terhadap Namrud karena (membela) Allah ketika Allah memperlihatkan kepadanya bahaya perkara yang di dalamnya ia menyelisihi mereka;
وَصَبْرُهُ عَلَىٰ قَذْفِهِمْ إِيَّاهُ فِي ٱلنَّارِ لِيُحَرِّقُوهُ فِي ٱللَّهِ،
Dan kesabarannya ketika mereka melemparkannya ke dalam api untuk membakarnya karena (ketaatan) kepada Allah;
وَٱلْهِجْرَةُ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْ وَطَنِهِ وَبِلَادِهِ حِينَ أَمَرَهُ بِٱلْخُرُوجِ عَنْهُمْ،
Dan hijrahnya setelah itu dari tanah air dan negerinya ketika Allah memerintahkannya untuk keluar dari mereka;
وَمَا أَمَرَهُ بِهِ مِنَ ٱلضِّيَافَةِ وَٱلصَّبْرِ عَلَيْهَا،
Dan apa yang Allah perintahkan kepadanya berupa (memberikan) jamuan tamu dan sabar atas keduanya (yaitu perintah jamuan dan akibatnya);
وَمَا ٱبْتُلِيَ بِهِ مِنْ ذَبْحِ وَلَدِهِ،
Serta ujian yang ditimpakan kepadanya berupa (perintah) menyembelih putranya.
فَلَمَّا مَضَىٰ عَلَىٰ ذَلِكَ كُلِّهِ، قَالَ ٱللَّهُ لَهُ رَبُّهُ: أَسْلِمْ، قَالَ: أَسْلَمْتُ لِرَبِّ ٱلْعَالَمِينَ8.
Tatkala ia telah menunaikan semua itu, Allah berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah (berserah dirilah)!”
Ia berkata: “Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.”8
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ٱلْحَسَنِ، قَالَ:
Dan ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, serta Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata:
ٱبْتَلَاهُ بِٱلْكَوْكَبِ فَرَضِيَ عَنْهُ، وَٱبْتَلَاهُ بِٱلْقَمَرِ فَرَضِيَ عَنْهُ، وَٱبْتَلَاهُ بِٱلشَّمْسِ فَرَضِيَ عَنْهُ،
“Allah mengujinya dengan bintang, lalu Allah ridha kepadanya;
menguji dengan bulan, lalu Allah ridha kepadanya;
menguji dengan matahari, lalu Allah ridha kepadanya;
وَٱبْتَلَاهُ بِٱلْهِجْرَةِ فَرَضِيَ عَنْهُ، وَٱبْتَلَاهُ بِٱلْخِتَانِ فَرَضِيَ عَنْهُ، وَٱبْتَلَاهُ بِٱبْنِهِ فَرَضِيَ عَنْهُ.
menguji dengan hijrah, lalu Allah ridha kepadanya;
menguji dengan khitan, lalu Allah ridha kepadanya;
dan mengujinya dengan (perintah menyembelih) putranya, lalu Allah ridha kepadanya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: فَأَتَمَّهُنَّ، قَالَ: فَأَدَّاهُنَّ.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “lalu ia menyempurnakannya,” ia berkata: “Yaitu ia menunaikannya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَن عَطَاءٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ ٱللَّهِ ﷺ: «مِنْ فِطْرَةِ إِبْرَاهِيمَ ٱلسِّوَاكُ».
Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ‘Athā’, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Termasuk fitrah Ibrahim adalah bersiwak.”
قُلْتُ: وَهَٰذَا عَلَىٰ تَقْدِيرِ أَنَّ إِسْنَادَهُ إِلَىٰ عَطَاءٍ صَحِيحٌ فَهُوَ مُرْسَلٌ لَا تَقُومُ بِهِ ٱلْحُجَّةُ،
Aku (asy-Syaukani) berkata: Sekalipun kita menganggap sanadnya kepada ‘Athā’ sahih, maka ia adalah hadits mursal yang tidak bisa dijadikan hujjah.
وَلَا يَحِلُّ ٱلِاعْتِمَادُ عَلَىٰ مِثْلِهِ فِي تَفْسِيرِ كَلَامِ ٱللَّهِ سُبْحَانَهُ،
Dan tidak halal bersandar kepada yang semacam ini dalam menafsirkan kalam Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
وَهَكَذَا لَا يَحِلُّ ٱلِاعْتِمَادُ عَلَىٰ مِثْلِ مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: مِنْ فِطْرَةِ إِبْرَاهِيمَ غَسْلُ ٱلذَّكَرِ وَٱلْبَرَاجِمِ.
Demikian pula, tidak boleh bersandar kepada semisal apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari Mujahid, ia berkata:
“Termasuk fitrah Ibrahim adalah mencuci kemaluan dan (membersihkan) ruas-ruas jari (lipatan-lipatan kulit).”
وَمِثْل�� مَا أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْهُ، قَالَ: سِتٌّ مِنْ فِطْرَةِ إِبْرَاهِيمَ: قَصُّ ٱلشَّارِبِ، وَٱلسِّوَاكُ، وَٱلْفَرْقُ، وَقَصُّ ٱلْأَظْفَارِ، وَٱلِاسْتِنْجَاءُ، وَحَلْقُ ٱلْعَانَةِ،
Dan semisal apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam *al-Mushannaf*-nya dari Mujahid, ia berkata:
“Enam perkara dari fitrah Ibrahim adalah: memendekkan kumis, bersiwak, membuat belahan rambut, memotong kuku, istinja’ (bersuci dari najis di qubul dan dubur), dan mencukur bulu kemaluan.”
قَالَ: ثَلَاثَةٌ فِي ٱلرَّأْسِ، وَثَلَاثَةٌ فِي ٱلْجَسَدِ.
Ia berkata: “Tiga di kepala dan tiga di badan.”
وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ فِي ٱلصَّحِيحِ وَغَيْرِهِ مِنْ طَرِيقِ جَمَاعَةٍ مِنَ ٱلصَّحَابَةِ مَشْرُوعِيَّةُ تِلْكَ ٱلْعَشْرِ لِهَٰذِهِ ٱلْأُمَّةِ،
Telah tetap (sahih) dari Rasulullah ﷺ dalam Shahih (al-Bukhari dan Muslim) dan selainnya, melalui sejumlah sahabat, disyariatkannya sepuluh perkara itu bagi umat ini.
وَلَمْ يَصِحَّ عَنِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ أَنَّهَا ٱلْكَلِمَاتُ ٱلَّتِي ٱبْتُلِيَ بِهَا إِبْرَاهِيمُ.
Namun tidak pernah sah dari Nabi ﷺ bahwa perkara-perkara itu adalah “kalimat-kalimat” yang dengannya Ibrahim diuji.
وَأَحْسَنُ مَا رُوِيَ عَنْهُ مَا أَخْرَجَهُ ٱلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ يَقُصُّ أَوْ يَأْخُذُ مِنْ شَارِبِهِ،
Riwayat terbaik yang datang tentang hal itu adalah apa yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dan ia mensahihkannya, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
“Nabi ﷺ biasa memendekkan (atau mengambil) sebagian kumisnya.”
قَالَ: وَكَانَ خَلِيلُ ٱلرَّحْمٰنِ إِبْرَاهِيمُ يَفْعَلُهُ.
Ia (Ibnu ‘Abbas) berkata: “Dan kekasih Ar-Rahman, Ibrahim, juga melakukan hal itu.”
وَلَا يَخْفَىٰ عَلَيْكَ أَنَّ فِعْلَ ٱلْخَلِيلِ لَهُ لَا يَسْتَلْزِمُ أَنَّهُ مِنَ ٱلْكَلِمَاتِ ٱلَّتِي ٱبْتُلِيَ بِهَا،
Tidak samar bagimu bahwa perbuatan al-Khalil (Ibrahim) tersebut tidak mengharuskan bahwa itu termasuk kalimat-kalimat yang dengannya ia diuji.
وَإِذَا لَمْ يَصِحَّ شَيْءٌ عَنْ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ، وَلَمْ يَجِئْنَا مِنْ طَرِيقٍ تَقُومُ بِهَا ٱلْحُجَّةُ تَعْيِينُ تِلْكَ ٱلْكَلِمَاتِ،
Dan apabila tidak ada sesuatu yang sah dari Rasulullah ﷺ, dan tidak ada yang datang kepada kita dengan sanad yang bisa dijadikan hujjah tentang penentuan kalimat-kalimat itu,
لَمْ يَبْقَ لَنَا إِلَّا أَنْ نَقُولَ: إِنَّهَا مَا ذَكَرَهُ ٱللَّهُ سُبْحَانَهُ فِي كِتَابِهِ بِقَوْلِهِ: قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ … إِلَىٰ آخِرِ ٱلْآيَاتِ،
maka tidak tersisa bagi kita kecuali mengatakan: Sesungguhnya kalimat-kalimat itu adalah apa yang Allah Subhanahu wa Ta‘ala sebutkan dalam Kitab-Nya dengan firman-Nya: “(Allah) berfirman: ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu …’” sampai akhir ayat-ayat,
وَيَكُونُ ذَلِكَ بَيَانًا لِلْكَلِمَاتِ،
dan itu menjadi penjelas (makna) kalimat-kalimat tersebut,
أَوِ ٱلسُّكُوتُ وَإِحَالَةُ ٱلْعِلْمِ فِي ذَلِكَ عَلَى ٱللَّهِ سُبْحَانَهُ.
atau kita diam dan mengembalikan pengetahuan tentang hal itu kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
وَأَمَّا مَا رُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَنَحْوِهِ مِنَ ٱلصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ فِي تَعْيِينِهَا،
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan yang semisalnya dari sahabat serta orang-orang setelah mereka dalam penentuan (kalimat-kalimat itu),
فَهُوَ أَوَّلًا أَقْوَالُ صَحَابَةٍ لَا تَقُومُ بِهَا ٱلْحُجَّةُ، فَضْلًا عَنْ أَقْوَالِ مَنْ بَعْدَهُمْ،
maka pertama-tama itu hanyalah ucapan para sahabat yang tidak tegak dengannya hujjah (dalam masalah seperti ini), apalagi ucapan orang-orang setelah mereka.
وَعَلَىٰ تَقْدِيرِ أَنَّهُ لَا مَجَالَ لِلِاجْتِهَادِ فِي ذَلِكَ وَأَنَّ لَهُ حُكْمَ ٱلرَّفْعِ،
Dan andaikan kita menganggap tidak ada ruang ijtihad dalam hal itu dan bahwa ia berstatus marfū‘ (disandarkan kepada Nabi),
فَقَدِ ٱخْتَلَفُوا فِي ٱلتَّعْيِينِ ٱخْتِلَافًا يَمْتَنِعُ مَعَهُ ٱلْعَمَلُ بِبَعْضِ مَا رُوِيَ عَنْهُمْ دُونَ ٱلْبَعْضِ ٱلْآخَرِ،
ternyata mereka telah berselisih dalam penentuan itu dengan perselisihan yang membuat tidak mungkin beramal dengan sebagian riwayat mereka dan meninggalkan sebagian yang lain.
بَلِ ٱخْتَلَفَتِ ٱلرِّوَايَاتُ عَنِ ٱلْوَاحِدِ مِنْهُمْ، كَمَا قَدَّمْنَا عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
Bahkan riwayat-riwayat itu saling berbeda dari satu orang di antara mereka, sebagaimana telah kami sampaikan dari Ibnu ‘Abbas.
فَكَيْفَ يَجُوزُ ٱلْعَمَلُ بِذَلِكَ؟
Maka bagaimana mungkin boleh beramal dengan (riwayat-riwayat yang saling berbeda) itu?
وَبِهَٰذَا تَعْرِفُ ضَعْفَ قَوْلِ مَنْ قَالَ: إِنَّهُ يُصَارُ إِلَى ٱلْعُمُومِ، وَيُقَالُ: تِلْكَ ٱلْكَلِمَاتُ هِيَ جَمِيعُ مَا ذُكِرَ هُنَا،
Dengan ini engkau mengetahui lemahnya pendapat orang yang berkata:
“Kita kembali pada makna umum, dan dikatakan bahwa kalimat-kalimat itu adalah semua yang telah disebutkan di sini,”
فَإِنَّ هَٰذَا يَسْتَلْزِمُ تَفْسِيرَ كَلَامِ ٱللَّهِ بِٱلضَّعِيفِ، وَٱلْمُتَنَاقِضِ، وَمَا لَا تَقُومُ بِهِ ٱلْحُجَّةُ.
karena ini mengharuskan menafsirkan kalam Allah dengan riwayat yang lemah, saling bertentangan, dan yang tidak tegak dengannya hujjah.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا، يُقْتَدَىٰ بِدِينِكَ، وَهَدْيِكَ، وَسُنَّتِكَ،
Dan ‘Abdu bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata (dalam tafsir firman-Nya): “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia,” yaitu:
“(Seorang) yang diikuti agama, petunjuk, dan sunnahnya.”
قَالَ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي، إِمَامًا لِغَيْرِ ذُرِّيَّتِي،
Ia (Ibrahim) berkata: “Dan (bagaimana) dengan keturunanku (ya Rabb), (jadikan pula) imam bagi selain keturunanku.”
قَالَ: لَا يَنَالُ عَهْدِي ٱلظَّالِمِينَ، أَنْ يُقْتَدَىٰ بِدِينِهِمْ، وَهَدْيِهِمْ، وَسُنَّتِهِمْ.
Allah berfirman: “Janji-Ku tidak mengenai orang-orang zalim,”
(yakni) tidaklah boleh diikuti agama, petunjuk, dan sunnah mereka.
وَأَخْرَجَ ٱلْفِرْيَابِيُّ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ ٱللَّهُ لِإِبْرَاهِيمَ: إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا،
Al-Firyabi dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbas), ia berkata: Allah berfirman kepada Ibrahim:
“Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi manusia.”
قَالَ: وَمِنْ ذُرِّيَّتِي، فَأَبَىٰ أَنْ يَفْعَلَ، ثُمَّ قَالَ: لَا يَنَالُ عَهْدِي ٱلظَّالِمِينَ.
(Ibrahim) berkata: “Dan (bagaimana) dengan keturunanku?”
Maka Allah enggan (menjadikan seluruh mereka sebagai imam) lalu berfirman:
“Janji-Ku tidak akan mengenai orang-orang zalim.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: هَٰذَا عِنْدَ ٱللَّهِ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ لَا يَنَالُ عَهْدُهُ ظَالِمًا،
Dan ‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata:
“Ini (maksudnya) di sisi Allah pada Hari Kiamat; janji-Nya tidak akan mengenai orang yang zalim.”
فَأَمَّا فِي ٱلدُّنْيَا فَقَدْ نَالُوا عَهْدَهُ، فَوَارَثُوا بِهِ ٱلْمُسْلِمِينَ، وَغَازُوهُمْ، وَنَاكَحُوهُمْ،
“Adapun di dunia, mereka telah memperoleh (sebagian) janji-Nya;
mereka mewarisi (harta) kaum Muslimin, memerangi mereka, dan menikahi mereka.”
فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ ٱلْقِيَامَةِ قَصَرَ ٱللَّهُ عَهْدَهُ وَكَرَامَتَهُ عَلَىٰ أَوْلِيَائِهِ.
“Maka ketika Hari Kiamat, Allah membatasi janji dan kemuliaan-Nya hanya kepada para wali-Nya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي تَفْسِيرِ ٱلْآيَةِ أَنَّهُ قَالَ: لَا أَجْعَلُ إِمَامًا ظَالِمًا يُقْتَدَىٰ بِهِ.
Dan ‘Abdu bin Humaid serta Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid dalam tafsir ayat ini, bahwa ia berkata:
“(Maknanya) Aku tidak akan menjadikan imam orang yang zalim yang diikuti (manusia).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ إِسْحَاقَ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي ٱلْآيَةِ،
Dan Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, serta Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang ayat ini,
قَالَ: يُخْبِرُهُ أَنَّهُ إِنْ كَانَ فِي ذُرِّيَّتِهِ ظَالِمٌ لَا يَنَالُ عَهْدَهُ، وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ.
ia berkata: “(Allah) memberitahunya bahwa jika ada di antara keturunannya orang zalim, maka ia tidak akan mendapat janji-Nya, dan tidak sepantasnya Ibrahim menjadikannya memegang urusan apa pun dari urusan Allah.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ ٱلْمُنْذِرِ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: لَيْسَ لِظَالِمٍ عَلَيْكَ عَهْدٌ فِي مَعْصِيَةِ ٱللَّهِ.
Dan ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, serta Ibnu al-Mundzir meriwayatkan darinya, bahwa ia berkata:
“Tidak ada (kewajiban) menepati janji bagi seorang zalim terhadapmu dalam (hal) maksiat kepada Allah.”
وَقَدْ أَخْرَجَ وَكِيعٌ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ عَنِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ فِي قَوْلِهِ: لَا يَنَالُ عَهْدِي ٱلظَّالِمِينَ، قَالَ: «لَا طَاعَةَ إِلَّا فِي ٱلْمَعْرُوفِ».
Dan Waki‘ serta Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadits ‘Ali, dari Nabi ﷺ tentang firman-Nya: “Janji-Ku tidak akan mengenai orang-orang zalim,” beliau bersabda:
“Tidak ada ketaatan (kepada makhluk) kecuali dalam perkara yang ma‘ruf (baik dan benar).”
وَإِسْنَادُهُ عِنْدَ ابْنِ مَرْدَوَيْهِ هَٰكَذَا:
Sanadnya menurut Ibnu Mardawaih adalah sebagai berikut:
قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ ٱلرَّحْمٰنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَامِدٍ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ ٱللَّهِ بْنِ سَعْدٍ ٱلْأَسَدِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ سَعِيدٍ ٱلدَّامِغَانِيُّ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنِ ٱلْأَعْمَشِ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ، عَنْ أَبِي عَبْدِ ٱلرَّحْمٰنِ ٱلسُّلَمِيِّ، عَنْ عَلِيٍّ، عَنِ ٱلنَّبِيِّ ﷺ، فَذَكَرَهُ.
Ia berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Hāmid,
telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah bin Sa‘d al-Asadi,
telah menceritakan kepada kami Sulaim bin Sa‘id ad-Dāmighani,
telah menceritakan kepada kami Waki‘, dari al-A‘masy, dari Sa‘d bin ‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, dari ‘Ali, dari Nabi ﷺ — lalu ia menyebutkan (hadits tersebut).
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ مِنْ حَدِيثِ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، سَمِعْتُ ٱلنَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: «لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ ٱللَّهِ».
Dan ‘Abdu bin Humaid meriwayatkan dari hadits ‘Imran bin Husain, ia berkata:
“Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam (perkara) maksiat kepada Allah.’”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ فِي تَفْسِيرِ ٱلْآيَةِ: لَيْسَ لِلظَّالِمِ عَهْدٌ، وَإِنْ عَاهَدْتَهُ فَٱنْقُضْهُ.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata dalam menafsirkan ayat ini:
“Orang zalim itu tidak punya janji (yang wajib dipenuhi); jika engkau mengikat janji dengannya maka batalkanlah.”
قَالَ ابْنُ كَثِيرٍ: وَرُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ وَعَطَاءٍ وَمُقَاتِلٍ وَابْنِ حِبَّانَ نَحْوُ ذَلِكَ.
Ibnu Katsir berkata: Riwayat yang semisal itu juga datang dari Mujahid, ‘Athā’, Muqatil, dan Ibnu Hibban.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ ٱلْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا، قَالَ: يَثُوبُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ يَرْجِعُونَ.
Dan Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, serta Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “(Kami jadikan Baitullah) sebagai tempat kembali bagi manusia dan (tempat) aman,” ia berkata:
“Mereka kembali kepadanya, lalu pulang (ke negeri mereka).”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْضُونَ مِنْهُ وَطَرًا، يَأْتُونَهُ ثُمَّ يَرْجِعُونَ إِلَىٰ أَهْلِيهِمْ، ثُمَّ يَعُودُونَ إِلَيْهِ.
Dan Ibnu Jarir meriwayatkan darinya bahwa ia berkata:
“Mereka tidak pernah merasa cukup darinya; mereka mendatanginya, lalu kembali kepada keluarga mereka, kemudian kembali lagi kepadanya (Ka‘bah).”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَٱلْبَيْهَقِيُّ عَنْ مُجَاهِدٍ نَحْوَهُ.
Dan ‘Abdurrazzaq, ‘Abdu bin Humaid, Ibnu Jarir, serta al-Baihaqi meriwayatkan dari Mujahid dengan makna yang sama.
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: وَأَمْنًا، قَالَ: أَمْنًا لِلنَّاسِ.
Dan Ibnu Jarir serta Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: “Dan (sebagai) keamanan,” ia berkata:
“(Yakni) keamanan bagi manusia.”
وَأَخْرَجَ ٱلْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ٱلْخَطَّابِ، قَالَ:
Dan al-Bukhari dan selainnya meriwayatkan dari hadits Anas, dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia berkata:
وَافَقْتُ رَبِّي فِي ثَلَاثٍ، أَوْ وَافَقَنِي رَبِّي فِي ثَلَاثٍ،
“Aku telah sejalan dengan (ketetapan) Rabbku dalam tiga hal, atau: Rabbku menyetujui pendapatku dalam tiga hal.”
قُلْتُ: يَا رَسُولَ ٱللَّهِ! لَوِ ٱتَّخَذْتَ مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى،
“Aku berkata: Wahai Rasulullah, seandainya engkau jadikan maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.”
فَنَزَلَتْ: وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى1
“Maka turunlah (ayat): ‘Dan jadikanlah sebagian dari maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.’”1
وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ ٱللَّهِ! إِنَّ نِسَاءَكَ يَدْخُلُ عَلَيْهِنَّ ٱلْبَرُّ وَٱلْفَاجِرُ، فَلَوْ أَمَرْتَهُنَّ أَنْ يَحْتَجِبْنَ،
“Aku berkata: Wahai Rasulullah, istri-istrimu dimasuki oleh orang yang baik maupun fajir (jahat); seandainya engkau perintahkan mereka untuk berhijab.”
فَنَزَلَتْ آيَةُ ٱلْحِجَابِ.
“Maka turunlah ayat hijab.”
وَٱجْتَمَعَ عَلَىٰ رَسُولِ ٱللَّهِ ﷺ نِسَاؤُهُ فِي ٱلْغَيْرَةِ، فَقُلْتُ لَهُنَّ: عَسَىٰ رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ2،
“Dan istri-istri Rasulullah ﷺ berkumpul (menyatu) dalam (menampakkan) kecemburuan terhadap beliau,
maka aku berkata kepada mereka: ‘Mudah-mudahan Rabbnya, jika ia menceraikan kalian, akan menggantinya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian.’”2
فَنَزَلَتْ كَذَٰلِكَ.
“Maka turunlah (ayat) sebagaimana itu.”
وَأَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ مُخْتَصَرًا مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ عَنْهُ.
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Muslim dan lainnya dalam bentuk ringkas dari hadits Ibnu ‘Umar dari (Umar).
وَأَخْرَجَ مُسْلِمٌ وَغَيْرُهُ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ: أَنَّ ٱلنَّبِيَّ ﷺ رَمَلَ ثَلَاثَةَ أَشْوَاطٍ،
Dan Muslim dan selainnya meriwayatkan dari hadits Jābir bahwa Nabi ﷺ berlari-lari kecil pada tiga putaran (thawaf),
وَمَشَىٰ أَرْبَعًا، حَتَّىٰ إِذَا فَرَغَ عَمَدَ إِلَىٰ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ فَصَلَّىٰ خَلْفَهُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قَرَأَ: وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى.
dan berjalan biasa pada empat (putaran berikutnya).
Ketika beliau selesai (thawaf), beliau menuju maqam Ibrahim lalu shalat di belakangnya dua rakaat,
kemudian membaca: “Dan jadikanlah sebagian dari maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.”
وَفِي مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ ٱلسَّلَامُ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ مُسْتَوْفَاةٌ فِي ٱلْأُمَّهَاتِ وَغَيْرِهَا،
Tentang maqam Ibrahim ‘alaihis-salām terdapat banyak hadits yang terperinci dalam kitab-kitab induk (hadits) dan selainnya.
وَٱلْأَحَادِيثُ ٱلصَّحِيحَةُ تَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ مَقَامَ إِبْرَاهِيمَ هُوَ ٱلْحَجَرُ ٱلَّذِي كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَقُومُ عَلَيْهِ لِبِنَاءِ ٱلْكَعْبَةِ، لَمَّا ٱرْتَفَعَ ٱلْجِدَارُ، أَتَاهُ إِسْمَاعِيلُ بِهِ لِيَقُومَ فَوْقَهُ،
Hadits-hadits sahih menunjukkan bahwa maqam Ibrahim adalah batu yang dahulu Ibrahim berdiri di atasnya untuk membangun Ka‘bah.
Ketika dinding (Ka‘bah) menjadi tinggi, Ismail membawakan batu itu kepadanya agar ia berdiri di atasnya.
كَكَذَا فِي ٱلْبُخَارِيِّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Ibnu ‘Abbas,
وَهُوَ ٱلَّذِي كَانَ مُلْصَقًا بِجِدَارِ ٱلْكَعْبَةِ.
dan batu itulah yang dahulu menempel pada dinding Ka‘bah.
وَأَوَّلُ مَنْ نَقَلَهُ عُمَرُ بْنُ ٱلْخَطَّابِ،
Orang pertama yang memindahkannya (dari sisi Ka‘bah) adalah ‘Umar bin al-Khaththab,
كَمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ ٱلرَّزَّاقِ، وَٱلْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَابْنُ مَرْدَوَيْهِ، مِنْ طُرُقٍ مُخْتَلِفَةٍ.
sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dan al-Baihaqi dengan sanad sahih, serta oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Mardawaih, melalui berbagai jalur.
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ فِي وَصْفِ حَجِّ ٱلنَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: «لَمَّا طَافَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ، قَالَ لَهُ عُمَرُ: هَٰذَا مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ؟ قَالَ: نَعَمْ».
Dan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari hadits Jābir dalam kisah sifat haji Nabi ﷺ, ia berkata:
“Ketika Nabi ﷺ selesai thawaf, ‘Umar berkata kepadanya: ‘Apakah ini maqam Ibrahim?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’”
وَأَخْرَجَ نَحْوَهُ ابْنُ مَرْدَوَيْهِ.
Dan Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan yang semisal itu.
---
1 QS. al-Baqarah (2): 40.
2 QS. al-Kahfi (18): 45.
3 QS. at-Taubah (9): 112.
4 QS. al-Mu’minūn (23): 1.
5 QS. al-Ma‘ārij (70): 1.
6 QS. al-Ma‘ārij (70): 26.
7 QS. al-Ahzāb (33): 35.
8 QS. an-Najm (53): 37. [.....]
9 QS. al-Baqarah (2): 127.
10 QS. al-Baqarah (2): 131.
11 QS. al-Baqarah (2): 125.
12 QS. at-Tahrīm (66): 5.