Al Baqarah Ayat 119-121

 

[سُورَةُ الْبَقَرَةِ (2) : الْآيَاتُ 119 إِلَى 121]

[Surat Al-Baqarah (2): ayat 119 sampai 121]
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ (119)
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan engkau tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang para penghuni neraka Jahîm. (119)
وَلَنْ تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (120)
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu hingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenar-benarnya).” Dan sungguh, jika engkau mengikuti keinginan-keinginan mereka setelah ilmu (wahyu) yang datang kepadamu, maka tidak akan ada bagimu dari Allah seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. (120)
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ ۙ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (121)
Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya; mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa kafir kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (121)
قَوْلُهُ: بَشِيرًا وَنَذِيرًا يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مَنْصُوبًا عَلَى الْحَالِ، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مَفْعُولًا لَهُ،
Firman-Nya: “bashîran wa nadhîran” (sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan) mungkin berkedudukan sebagai manshûb pada posisi ḥâl (keterangan keadaan), dan mungkin juga sebagai maf‘ûl lah (keterangan tujuan).
أَيْ: أَرْسَلْنَاكَ لِأَجْلِ التَّبْشِيرِ وَالْإِنْذَارِ.
Yaitu: “Kami mengutusmu demi (untuk) memberi kabar gembira dan memberi peringatan.”
وَقَوْلُهُ: وَلَا تُسْأَلُ قَرَأَهُ الْجُمْهُورُ بِالرَّفْعِ مَبْنِيًّا لِلْمَجْهُولِ، أَيْ: حَالَ كَوْنِكَ غَيْرَ مَسْئُولٍ، وَقُرِئَ بِالرَّفْعِ مَبْنِيًّا لِلْمَعْلُومِ.
Dan firman-Nya: “wa lâ tus’alu” (dan engkau tidak akan ditanya), mayoritas qurrâ’ membacanya dalam keadaan marfû‘ dan dalam bentuk mabnî majhûl (bentuk pasif), yakni dalam keadaan engkau tidak dimintai pertanggungjawaban. Dan ada pula yang membacanya dalam keadaan marfû‘ dan dalam bentuk mabnî ma‘lûm (bentuk aktif).
قَالَ الْأَخْفَشُ: وَيَكُونُ فِي مَوْضِعِ الْحَالِ عَطْفًا عَلَى بَشِيرًا وَنَذِيرًا، أَيْ: حَالَ كَوْنِكَ غَيْرَ سَائِلٍ عَنْهُمْ، لِأَنَّ عِلْمَ اللَّهِ بِكُفْرِهِمْ بَعْدَ إِنْذَارِهِمْ يُغْنِي عَنْ سُؤَالِهِ عَنْهُمْ،
Al-Akhfasy berkata: Ia berada pada posisi ḥâl yang di-‘athaf-kan kepada “bashîran wa nadhîran”, yaitu dalam keadaan engkau tidak menanyakan (keadaan) mereka, karena ilmu Allah tentang kekafiran mereka setelah mereka diberi peringatan sudah mencukupi sehingga (tidak perlu lagi) Dia bertanya tentang mereka.
وَقَرَأَ نَافِعٌ: وَلَا تُسْأَلْ بِالْجَزْمِ، أَيْ لَا يَصْدُرُ مِنْكَ السُّؤَالُ عَنْ هَؤُلَاءِ،
Dan Nâfi‘ membaca: “wa lâ tus’al” dalam bentuk jazm (sukun pada akhirnya), yakni: tidak akan keluar dari dirimu pertanyaan tentang orang-orang ini.
أَوْ لَا يَصْدُرُ مِنْكَ السُّؤَالُ عَمَّنْ مَاتَ مِنْهُمْ عَلَى كُفْرِهِ وَمَعْصِيَتِهِ تَعْظِيمًا لِحَالِهِ وَتَغْلِيظًا لِشَأْنِهِ،
Atau: tidak akan keluar dari dirimu pertanyaan tentang siapa pun di antara mereka yang telah mati dalam keadaan kufur dan maksiatnya, sebagai bentuk pengagungan terhadap (keadaan)nya dan penegasan (kengerian) urusannya.
أَيْ: إِنَّ هَذَا أَمْرٌ فَظِيعٌ وَخَطْبٌ شَنِيعٌ، يَتَعَاظَمُ الْمُتَكَلِّمُ أَنْ يُجْرِيَهُ عَلَى لِسَانِهِ، أَوْ يَتَعَاظَمُ السَّامِعُ أَنْ يَسْمَعَهُ.
Yaitu bahwa ini adalah perkara yang sangat dahsyat dan urusan yang amat buruk, sehingga orang yang berbicara merasa berat untuk melafalkannya dengan lisannya, atau orang yang mendengar merasa berat untuk mendengarnya.
وَقَوْلُهُ: وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ الْآيَةُ، أَيْ: لَيْسَ غَرَضُهُمْ وَمَبْلَغُ الرِّضَا مِنْهُمْ مَا يَقْتَرِحُونَهُ عَلَيْكَ مِنَ الْآيَاتِ، وَيُورِدُونَهُ مِنَ التَّعَنُّتَاتِ،
Dan firman-Nya: “wa lan tardhâ ‘anka al-yahûd…” (dan orang-orang Yahudi itu tidak akan pernah rela kepadamu…), maksudnya: tujuan mereka dan puncak kerelaan mereka itu bukanlah apa yang mereka ajukan kepadamu berupa tanda-tanda (mu‘jizat) dan apa yang mereka kemukakan berupa tuntutan-tuntutan yang memaksa.
فَإِنَّكَ لَوْ جِئْتَهُمْ بِكُلِّ مَا يَقْتَرِحُونَ، وَأَجَبْتَهُمْ عَنْ كُلِّ تَعَنُّتٍ، لَمْ يَرْضَوْا عَنْكَ،
Karena jika engkau datang kepada mereka dengan segala sesuatu yang mereka minta dan menjawab mereka atas setiap sikap keras kepala, mereka tetap tidak akan rela kepadamu.
ثُمَّ أَخْبَرَهُ بِأَنَّهُمْ لَنْ يَرْضَوْا عَنْهُ حَتَّى يَدْخُلَ فِي دِينِهِمْ، وَيَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ.
Kemudian Allah memberitahukan kepadanya bahwa mereka tidak akan rela kepadanya sampai ia masuk ke dalam agama mereka dan mengikuti millah (ajaran) mereka.
وَالْمِلَّةُ: اسْمٌ لِمَا شَرَعَهُ اللَّهُ لِعِبَادِهِ فِي كُتُبِهِ عَلَى أَلْسِنَةِ أَنْبِيَائِهِ، وَهَكَذَا الشَّرِيعَةُ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِمْ.
Dan “millah” adalah nama bagi apa yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya di dalam kitab-kitab-Nya melalui lisan para nabi-Nya; demikian pula istilah “syarî‘ah”. Kemudian Dia membantah mereka.
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - جـ ١ (ص: ١٥٨)
Fathul-Qadîr karya Asy-Syaukânî – Jilid 1 (hlm. 158).
سُبْحَانَهُ، فَأَمَرَهُ بِأَنْ يَقُولَ لَهُمْ: إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى الْحَقِيقِيُّ،
Maha Suci Dia; lalu Dia memerintahkannya agar mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang hakiki.”
لَا مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ مِنَ الشَّرِيعَةِ الْمَنْسُوخَةِ، وَالْكُتُبِ الْمُحَرَّفَةِ،
Bukan apa yang kalian anut berupa syariat yang telah dihapus dan kitab-kitab yang telah diselewengkan.
ثُمَّ أَتْبَعَ ذَلِكَ بِوَعِيدٍ شَدِيدٍ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِ اتَّبَعَ أَهْوَاءَهُمْ، وَحَاوَلَ رِضَاهُمْ، وَأَتْعَبَ نَفْسَهُ فِي طَلَبِ مَا يُوَافِقُهُمْ،
Kemudian Dia susulkan hal itu dengan ancaman yang keras kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau mengikuti hawa nafsu mereka, berupaya mencari kerelaan mereka, dan menyusahkan dirinya dalam mencari apa yang sesuai dengan mereka.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ تَعْرِيضًا لِأُمَّتِهِ، وَتَحْذِيرًا لَهُمْ أَنْ يُوَاقِعُوا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، أَوْ يَدْخُلُوا فِي أَهْوِيَةِ أَهْلِ الْمِلَلِ، وَيَطْلُبُوا رِضَا أَهْلِ الْبِدَعِ.
Dan mungkin (pula) hal itu merupakan sindiran kepada umatnya dan peringatan bagi mereka agar tidak melakukan sedikit pun dari hal itu, atau terjerumus ke dalam hawa nafsu para penganut berbagai agama, serta mencari kerelaan kalangan ahli bid‘ah.
وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ مِنَ الْوَعِيدِ الشَّدِيدِ الَّذِي تَرْجُفُ لَهُ الْقُلُوبُ، وَتَتَصَدَّعُ مِنْهُ الْأَفْئِدَةُ،
Dan dalam ayat ini terdapat ancaman yang sangat keras, yang karenanya hati-hati bergetar dan sanubari terbelah karenanya.
مَا يُوجِبُ عَلَى أَهْلِ الْعِلْمِ الْحَامِلِينَ لِحُجَجِ اللَّهِ سُبْحَانَهُ، وَالْقَائِمِينَ بِبَيَانِ شَرَائِعِهِ، تَرْكَ الدِّهَانِ لِأَهْلِ الْبِدَعِ الْمُتَمَذْهِبِينَ بِمَذَاهِبِ السُّوءِ، التَّارِكِينَ لِلْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، الْمُؤْثِرِينَ لِمَحْضِ الرَّأْيِ عَلَيْهِمَا،
yang mewajibkan bagi para ahli ilmu, para pemikul hujjah-hujjah Allah Subhanahu, dan para penegak penjelasan syariat-syariat-Nya, untuk meninggalkan sikap bermuka dua terhadap ahli bid‘ah yang bermazhab dengan mazhab-mazhab yang buruk, yang meninggalkan pengamalan Kitab dan Sunnah, dan yang lebih mendahulukan pendapat murni daripada keduanya.
فَإِنَّ غَالِبَ هَؤُلَاءِ، وَإِنْ أَظْهَرَ قَبُولًا، وَأَبَانَ مِنْ أَخْلَاقِهِ لِينًا، لَا يُرْضِيهِ إِلَّا اتِّبَاعُ بِدْعَتِهِ، وَالدُّخُولُ فِي مَدَاخِلِهِ، وَالْوُقُوعُ فِي حَبَائِلِهِ،
Karena kebanyakan dari mereka ini, meskipun menampakkan sikap menerima dan memperlihatkan kelembutan dalam akhlaknya, tidak akan rela kecuali bila bid‘ahnya diikuti, lorong-lorong (pemikirannya) dimasuki, dan jerat-jeratnya dijatuhinya.
فَإِنْ فَعَلَ الْعَالِمُ ذَلِكَ، بَعْدَ أَنْ عَلَّمَهُ اللَّهُ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَسْتَفِيدُ بِهِ أَنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ مَا فِي كِتَابِهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ،
Maka jika seorang ‘âlim melakukan hal itu, setelah Allah mengajarkannya ilmu yang dengannya ia mengetahui bahwa petunjuk Allah adalah apa yang terdapat dalam Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya,
لَا مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنْ تِلْكَ الْبِدَعِ الَّتِي هِيَ ضَلَالَةٌ مَحْضَةٌ، وَجَهَالَةٌ بَيِّنَةٌ، وَرَأْيٌ مِنْهَا، وَتَقْلِيدٌ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ،
bukan apa yang mereka anut berupa bid‘ah-bid‘ah itu yang merupakan kesesatan murni, kebodohan yang nyata, pendapat belaka, dan taklid yang berada di tepi jurang yang runtuh,
فَهُوَ إِذْ ذَاكَ مَا لَهُ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ،
maka pada saat itu, tidak ada baginya dari Allah seorang wali (pelindung) pun dan tidak (pula) seorang penolong.
وَمَنْ كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ مَخْذُولٌ لَا مَحَالَةَ، وَهَالِكٌ بِلَا شَكٍّ وَلَا شُبْهَةٍ.
Dan siapa yang demikian keadaannya, maka ia pasti tercampakkan (oleh Allah) dan binasa tanpa keraguan sedikit pun.
وَقَوْلُهُ: الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ، قِيلَ: هُمُ الْمُسْلِمُونَ، وَالْكِتَابُ هُوَ الْقُرْآنُ،
Dan firman-Nya: “alladzîna âtaynâhum al-kitâb” (orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepada mereka), ada yang mengatakan: mereka adalah kaum Muslimin, dan “Kitab” itu adalah Al-Qur’an.
وَقِيلَ: مَنْ أَسْلَمَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ،
Dan ada yang mengatakan: mereka adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan Ahlul-Kitab.
وَالْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: يَتْلُونَهُ أَنَّهُمْ يَعْمَلُونَ بِمَا فِيهِ، فَيُحَلِّلُونَ حَلَالَهُ، وَيُحَرِّمُونَ حَرَامَهُ،
Dan yang dimaksud dengan firman-Nya: “yatlûnahu” (mereka membacanya) adalah bahwa mereka mengamalkan apa yang ada di dalamnya, sehingga mereka menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram.
فَيَكُونُ: مِنْ تَلَاهُ يَتْلُوهُ: إِذَا اتَّبَعَهُ،
Dengan demikian, (kata itu) termasuk dari makna “talâhu–yatlûhu” bila ia mengikutinya.
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا1، أَيْ: اتَّبَعَهَا، كَذَا قِيلَ،
Dan di antaranya adalah firman-Nya Ta‘ala: “wal-qamari idzâ talâhâ1” (demi bulan apabila ia mengiringinya), yakni: mengikutinya; demikianlah yang dikatakan.
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مِنَ التِّلَاوَةِ، أَيْ: يَقْرَءُونَهُ حَقَّ قِرَاءَتِهِ، لَا يُحَرِّفُونَهُ وَلَا يُبَدِّلُونَهُ.
Dan mungkin pula (maknanya) berasal dari “tilâwah” (bacaan), yaitu: mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya, tidak menyelewengkannya dan tidak menggantinya.
وَقَوْلُهُ: الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مُبْتَدَأٌ، وَخَبَرُهُ: يَتْلُونَهُ، أَوِ الْخَبَرُ قَوْلُهُ: فَأُولَئِكَ مَعَ مَا بَعْدَهُ.
Dan firman-Nya: “alladzîna âtaynâhum al-kitâb” adalah mubtada’, dan khabarnya adalah “yatlûnahu”; atau khabarnya adalah “fa-ulâ’ika” beserta kalimat setelahnya.
وَقَدْ أَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ، قَالَ:
Dan sungguh, Abdur Razzaq, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarîr, dan Ibnu Al-Mundzir telah meriwayatkan dari Muhammad bin Ka‘b Al-Qurazî, ia berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْتَ شِعْرِي مَا فَعَلَ أَبَوَايَ»
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya aku tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuaku.”
فَنَزَلَ: إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ بِالْحَقِّ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَا تُسْأَلُ عَنْ أَصْحَابِ الْجَحِيمِ، فَمَا ذَكَرَهُمَا حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ.
Maka turunlah (ayat): “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan engkau tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang para penghuni neraka Jahîm”; maka beliau tidak lagi menyebut keduanya hingga Allah mewafatkannya.
قَالَ السُّيُوطِيُّ: هَذَا مُرْسَلٌ ضَعِيفُ الْإِسْنَادِ.
As-Suyûthî berkata: “Ini adalah hadis mursal yang lemah sanadnya.”
ثُمَّ رَوَاهُ مِنْ طَرِيقِ ابْنِ جَرِيرٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي عَاصِمٍ، مَرْفُوعًا،
Kemudian ia meriwayatkannya melalui jalur Ibnu Jarîr dari Dâwud bin Abî ‘Âṣim secara marfû‘,
وَقَالَ: هُوَ مُعْضَلُ الْإِسْنَادِ، ضَعِيفٌ، لَا تَقُومُ بِهِ وَلَا بِالَّذِي قَبْلَهُ حُجَّةٌ.
dan ia berkata: “Sanadnya mu‘dhal dan lemah; tidak tegak hujjah dengannya dan tidak pula dengan riwayat sebelumnya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ أَبِي مَالِكٍ، قَالَ: الْجَحِيمُ: مَا عَظُمَ مِنَ النَّارِ.
Dan Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Abû Mâlik; ia berkata: “Al-Jahîm adalah bagian dari neraka yang sangat besar nyalanya.”
وَأَخْرَجَ الثَّعْلَبِيُّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّ يَهُودَ الْمَدِينَةِ وَنَصَارَى نَجْرَانَ كَانُوا يَرْجُونَ أَنْ يُصَلِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قِبْلَتِهِمْ،
Dan Ats-Tsa‘labî meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs; ia berkata: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi Madinah dan orang-orang Nasrani Najran dulu berharap agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam salat menghadap kiblat mereka.”
فَلَمَّا صَرَفَ اللَّهُ الْقِبْلَةَ إِلَى الْكَعْبَةِ شَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، وَأَيِسُوا مِنْهُ أَنْ يُوَافِقَهُمْ عَلَى دِينِهِمْ.
Maka ketika Allah memalingkan kiblat ke Ka‘bah, hal itu terasa berat bagi mereka dan mereka pun berputus asa bahwa beliau akan menyetujui mereka dalam agama mereka.
فَأَنْزَلَ اللَّهُ: وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى الآيَةَ.
Maka Allah menurunkan (ayat): “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu…” hingga akhir ayat.
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ: الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ، قَالَ: هُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
Dan Abdur Razzaq meriwayatkan dari Qatâdah mengenai firman-Nya: “alladzîna âtaynâhum al-kitâb”; ia berkata: “Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ، قَالَ: يُحِلُّونَ حَلَالَهُ، وَيُحَرِّمُونَ حَرَامَهُ، وَلَا يُحَرِّفُونَهُ عَنْ مَوَاضِعِهِ.
Dan Ibnu Jarîr, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abî Hâtim, serta Al-Hâkim – yang mensahihkannya – meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs mengenai firman-Nya: “yatlûnahu ḥaqqa tilâwatihî”; ia berkata: “Mereka menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan tidak menyelewengkannya dari tempat-tempat (makna)nya.”
وَأَخْرَجُوا عَنْهُ أَيْضًا، قَالَ: يَتَّبِعُونَهُ حَقَّ اتِّبَاعِهِ، ثُمَّ قَرَءُوا: وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا، يَقُولُ: اتَّبَعَهَا.
Dan mereka juga meriwayatkan darinya, bahwa ia berkata: “(Maksudnya) mereka mengikutinya dengan sebenar-benarnya.” Kemudian mereka membaca (ayat): “wal-qamari idzâ talâhâ”, seraya berkata: “yakni: mengikutinya.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي قَوْلِهِ: يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ: «إِذَا مَرَّ بِذِكْرِ الْجَنَّةِ سَأَلَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَإِذَا مَرَّ بِذِكْرِ النَّارِ تَعَوَّذَ بِاللَّهِ مِنَ النَّارِ».
Dan Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththâb mengenai firman-Nya: “yatlûnahu ḥaqqa tilâwatihî”, (ia berkata): “Apabila seseorang melewati (ayat) yang menyebut surga, ia memohon surga kepada Allah, dan apabila ia melewati (ayat) yang menyebut neraka, ia berlindung kepada Allah dari neraka.”
وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ فِي كِتَابِ «الرُّوَاةِ» بِسَنَدٍ فِيهِ مَجَاهِيلُ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ: «يَتَّبِعُونَهُ حَقَّ اتِّبَاعِهِ».
Dan Al-Khathîb meriwayatkan dalam kitab “Ar-Ruwât” dengan sanad yang di dalamnya terdapat para perawi majhûl, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai firman-Nya: “yatlûnahu ḥaqqa tilâwatihî”, (yakni): “mereka mengikutinya dengan sebenar-benarnya.”
وَكَذَا قَالَ الْقُرْطُبِيُّ فِي تَفْسِيرِهِ: إِنَّ فِي إِسْنَادِهِ مَجَاهِيلَ، قَالَ: لَكِنَّ مَعْنَاهُ صَحِيحٌ.
Demikian pula Al-Qurthubî berkata dalam tafsirnya bahwa dalam sanadnya terdapat perawi-perawi majhûl; ia berkata: “Akan tetapi maknanya sahih.”
فَتْحُ الْقَدِيرِ لِلشَّوْكَانِيِّ - جـ ١ (ص: ١٥٩)
Fathul-Qadîr karya Asy-Syaukânî – Jilid 1 (hlm. 159).
وَأَخْرَجَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَابْنُ جَرِيرٍ، مِنْ طُرُقٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، فِي تَفْسِيرِهِ هَذِهِ الْآيَةَ، مِثْلَ مَا سَبَقَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: «يُحِلُّونَ حَلَالَهُ ...» إِلَى آخِرِهِ.
Dan Abdur Razzaq serta Ibnu Jarîr meriwayatkan melalui beberapa jalur dari Ibnu Mas‘ûd, dalam tafsirnya terhadap ayat ini, seperti yang telah berlalu dari Ibnu ‘Abbâs pada ucapannya: “Mereka menghalalkan yang halalnya…” hingga akhir (perkataan).
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، قَالَ: «يَتَكَلَّمُونَ بِهِ كَمَا أُنْزِلَ وَلَا يَكْتُمُونَهُ».
Dan Ibnu Abî Hâtim meriwayatkan dari Zaid bin Aslam; ia berkata: “Mereka berbicara dengannya sebagaimana ia diturunkan dan tidak menyembunyikannya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنْ قَتَادَةَ فِي هَذِهِ الْآيَةِ، قَالَ: «هُمْ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ»، ثُمَّ حَكَى نَحْوَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ.
Dan ‘Abd bin Humaid serta Ibnu Jarîr meriwayatkan dari Qatâdah mengenai ayat ini, bahwa ia berkata: “Mereka adalah para sahabat Muhammad.” Kemudian ia menukil yang semisal itu dari ‘Umar bin Al-Khaththâb.
وَأَخْرَجَ وَكِيعٌ، وَابْنُ جَرِيرٍ، عَنِ الْحَسَنِ فِي قَوْلِهِ: يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ، قَالَ: «يَعْمَلُونَ بِمُحْكَمِهِ، وَيُؤْمِنُونَ بِمُتَشَابِهِهِ، وَيَكِلُونَ مَا أُشْكِلَ عَلَيْهِمْ إِلَى عَالِمِهِ».
Dan Waki‘ serta Ibnu Jarîr meriwayatkan dari Al-Hasan mengenai firman-Nya: “yatlûnahu ḥaqqa tilâwatihî”; ia berkata: “Mereka mengamalkan ayat-ayat yang muhkam, beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbih, dan menyerahkan apa yang samar bagi mereka kepada (Allah) Yang Mengetahuinya.”

1 الشَّمْسُ: ٢ (Asy-Syams: 2).

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7