Al Baqarah Ayat 106-107

 

[سُورَةُ البَقَرَةِ (2): الآيَتَانِ 106–107]

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ۝١٠٦
Ayat mana saja yang Kami nasakh (hapus hukumnya) atau Kami jadikan (kalian) melupakannya, niscaya Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah engkau mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ ۝١٠٧
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi? Dan bagi kalian tidak ada wali (pelindung) dan tidak (pula) penolong selain Allah. ---
فتح القدير للشوكاني - جـ ١ (ص: ١٤٧–١٤٩)
---
النَّسْخُ فِي كَلَامِ الْعَرَبِ عَلَىٰ وَجْهَيْنِ:
“Naskh” dalam ucapan orang Arab memiliki dua makna:
أَحَدُهُمَا: النَّقْلُ، كَنَقْلِ كِتَابٍ مِنْ آخَرَ،
Pertama: pemindahan (penyalinan), seperti menyalin sebuah tulisan dari tulisan yang lain.
وَعَلَىٰ هٰذَا يَكُونُ الْقُرْآنُ كُلُّهُ مَنْسُوخًا،
Menurut makna ini, seluruh Al-Qur’an adalah “mansūkh”,
أَعْنِي: مِنَ اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ؛
yakni: (disalin) dari Lauḥul Maḥfūẓ;
فَلَا مَدْخَلَ لِهٰذَا الْمَعْنَىٰ فِي هٰذِهِ الْآيَةِ.
maka makna ini tidak terkait dengan ayat ini.
وَمِنْهُ: ﴿إِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ﴾1
Di antaranya adalah firman-Nya: “Sesungguhnya Kami selalu menyalin apa yang kalian kerjakan.”1
أَيْ: نَأْمُرُ بِنَسْخِهِ.
Yakni: Kami memerintahkan agar amal kalian itu disalin (dicatat). ---
الْوَجْهُ الثَّانِي: الْإِبْطَالُ وَالْإِزَالَةُ، وَهُوَ الْمَقْصُودُ هُنَا.
Makna kedua: pembatalan dan penghapusan, dan inilah yang dimaksud di sini (dalam ayat).
وَهٰذَا الْوَجْهُ الثَّانِي يَنْقَسِمُ إِلَىٰ قِسْمَيْنِ عِنْدَ أَهْلِ اللُّغَةِ:
Makna kedua ini terbagi menjadi dua bagian menurut ahli bahasa:
أَحَدُهُمَا: إِبْطَالُ الشَّيْءِ وَزَوَالُهُ، وَإِقَامَةُ آخَرَ مَقَامَهُ؛
Pertama: membatalkan sesuatu, menghilangkannya, dan menegakkan sesuatu yang lain sebagai pengganti di tempatnya.
وَمِنْهُ: «نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ» إِذَا أَذْهَبَتْهُ وَحَلَّتْ مَحَلَّهُ؛
Di antaranya adalah ungkapan: “Matahari telah menasakh bayangan,” yakni: ketika matahari menghilangkannya dan menggantikan posisinya.
وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ: ﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ﴾.
Dan ini adalah makna firman-Nya: “Ayat mana saja yang Kami nasakh…”
وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ: «لَمْ تَكُنْ نُبُوَّةٌ قَطُّ إِلَّا تَنَاسَخَتْ»،
Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Tidaklah ada kenabian sama sekali melainkan terjadi ‘tanāsukhat’ (pergantian bertahap),”
أَيْ: تَحَوَّلَتْ مِنْ حَالٍ إِلَىٰ حَالٍ.
yakni: berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain.
وَالثَّانِي: إِزَالَةُ الشَّيْءِ دُونَ أَنْ يَقُومَ مَقَامَهُ آخَرُ؛
Kedua: menghilangkan sesuatu tanpa menegakkan yang lain menggantikannya,
كَقَوْلِهِمْ: «نَسَخَتِ الرِّيحُ الْأَثَرَ».
seperti ucapan mereka: “Angin telah menasakh (menghapus) jejak.”
وَمِنْ هٰذَا الْمَعْنَىٰ: ﴿فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ﴾
Dan dari makna ini adalah firman-Nya: “Maka Allah menasakh (menghapus) apa yang dilemparkan setan,”
أَيْ: يُزِيلُهُ.
yakni: menghilangkannya. ---
وَرُوِيَ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ أَنَّ هٰذَا قَدْ كَانَ يَقَعُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ؛
Dan diriwayatkan dari Abu ‘Ubaid bahwa hal ini dahulu terjadi pada masa Rasulullah ﷺ;
فَكَانَتْ تَنْزِلُ عَلَيْهِ السُّورَةُ فَتُرْفَعُ، فَلَا تُتْلَىٰ وَلَا تُكْتَبُ.
ada suatu surah turun kepada beliau, kemudian diangkat (dihapus), sehingga tidak lagi dibaca dan tidak lagi ditulis.
وَمِنْهُ مَا رُوِيَ عَنْ أُبَيٍّ وَعَائِشَةَ أَنَّ سُورَةَ الْأَحْزَابِ كَانَتْ تَعْدِلُ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فِي الطُّولِ.
Di antaranya adalah riwayat dari Ubayy dan ‘Aisyah bahwa Surah al-Aḥzāb dahulu sebanding dengan Surah al-Baqarah dalam hal panjangnya. ---
قَالَ ابْنُ فَارِسٍ:
Ibnu Fāris berkata:
النَّسْخُ نَسْخُ الْكِتَابِ، وَالنَّسْخُ أَنْ تُزِيلَ أَمْرًا كَانَ مِنْ قَبْلُ يُعْمَلُ بِهِ، ثُمَّ تَنْسَخُهُ بِحَادِثٍ غَيْرِهِ،
“Naskh (secara bahasa) adalah penyalinan tulisan, dan naskh juga adalah engkau menghilangkan suatu ketentuan yang sebelumnya diamalkan, lalu engkau menggantinya dengan ketentuan baru yang lain,
كَالْآيَةِ تَنْزِلُ بِأَمْرٍ ثُمَّ تُنْسَخُ بِأُخْرَىٰ.
seperti sebuah ayat yang turun membawa suatu perintah kemudian dinasakh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang lain.
وَكُلُّ شَيْءٍ خَلَفَ شَيْئًا فَقَدِ انْتَسَخَهُ؛
Dan setiap sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain, maka ia telah menasakhnya (menggantikan kedudukannya);
يُقَالُ: «نَسَخَتِ الشَّمْسُ الظِّلَّ، وَالشَّيْبُ الشَّبَابَ»،
dikatakan: “Matahari telah menasakh bayangan, dan uban menasakh masa muda,”
وَ«تَنَاسُخُ الْوَرَثَةِ»: أَنْ يَمُوتَ وَرَثَةٌ بَعْدَ وَرَثَةٍ، وَأَصْلُ الْمِيرَاثِ قَائِمٌ،
dan “tanāsukhu al-waratsah” adalah: wafatnya ahli waris demi ahli waris, sedangkan pokok hukum waris tetap tegak.
وَكَذَا «تَنَاسُخُ الْأَزْمِنَةِ وَالْقُرُونِ».
Demikian pula “tanāsukhu al-azminah wa al-qurūn” (pergantian masa dan generasi).” ---
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
Ibnu Jarir berkata:
﴿مَا نَنْسَخْ﴾ مَا نَنْقُلْ مِنْ حُكْمِ آيَةٍ إِلَىٰ غَيْرِهِ، فَنُبَدِّلْهُ وَنُغَيِّرْهُ؛
“‘Mā nansakh’ artinya: apa saja yang Kami pindahkan dari hukum suatu ayat ke hukum lain, lalu Kami ganti dan ubah,
وَذٰلِكَ أَنْ نُحَوِّلَ الْحَلَالَ حَرَامًا، وَالْحَرَامَ حَلَالًا، وَالْمُبَاحَ مَحْظُورًا، وَالْمَحْظُورَ مُبَاحًا؛
yaitu bahwa Kami jadikan yang semula halal menjadi haram, yang haram menjadi halal, yang mubah menjadi terlarang, dan yang terlarang menjadi mubah;
وَلَا يَكُونُ ذٰلِكَ إِلَّا فِي الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَالْحَظْرِ وَالْإِطْلَاقِ، وَالْمَنْعِ وَالْإِبَاحَةِ؛
dan hal itu tidak terjadi kecuali dalam ranah perintah dan larangan, pengharaman dan pembolehan, pencegahan dan perizinan;
فَأَمَّا الْأَخْبَارُ فَلَا يَكُونُ فِيهَا نَاسِخٌ وَلَا مَنْسُوخٌ.
adapun berita (informasi) maka tidak terjadi padanya nasikh dan mansukh.”
وَأَصْلُ النَّسْخِ مِنْ «نَسْخِ الْكِتَابِ»، وَهُوَ نَقْلُهُ مِنْ نُسْخَةٍ أُخْرَىٰ؛
“Asal kata naskh adalah dari penyalinan buku, yaitu memindahkannya dari satu naskah ke naskah lain;
فَكَذٰلِكَ مَعْنَى نَسْخِ الْحُكْمِ إِلَىٰ غَيْرِهِ، إِنَّمَا هُوَ تَحْوِيلُهُ إِلَىٰ غَيْرِهِ؛
demikian pula makna naskh hukum ke hukum lain, yaitu memindahkannya dari satu ketentuan ke ketentuan yang lain.
وَسَوَاءٌ نُسِخَ حُكْمُهَا أَوْ خَطُّهَا، إِذْ هِيَ فِي كِلْتَا حَالَتَيْهَا مَنْسُوخَةٌ».
Dan sama saja apakah yang dinasakh itu hukumnya atau tulisannya, karena dalam kedua keadaan itu ia tetap disebut mansūkh (telah dihapus).”
انْتَهَىٰ.
Selesai (ucapan beliau). ---
وَقَدْ جَعَلَ عُلَمَاءُ الْأُصُولِ مَبَاحِثَ «النَّسْخِ» مِنْ جُمْلَةِ مَقَاصِدِ ذٰلِكَ الْفَنِّ،
Para ulama ushul fiqih telah menjadikan bahasan tentang “naskh” sebagai bagian dari tujuan pokok ilmu ushul tersebut,
فَلَا نُطَوِّلُ بِذِكْرِهِ، بَلْ نُحِيلُ مَنْ أَرَادَ الِاسْتِقْصَاءَ عَلَيْهِ.
maka kami tidak akan memanjang-lebarkan penjelasannya di sini, namun kami serahkan bagi siapa yang ingin merincinya untuk merujuk kepadanya (kitab ushul).
وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ الْإِسْلَامِ عَلَىٰ ثُبُوتِهِ سَلَفًا وَخَلَفًا،
Kaum Muslimin telah sepakat, baik generasi awal maupun belakangan, tentang keberadaan naskh,
وَلَمْ يُخَالِفْ فِي ذٰلِكَ أَحَدٌ إِلَّا مَنْ لَا يُعْتَدُّ بِخِلَافِهِ، وَلَا يُؤْبَهُ لِقَوْلِهِ.
dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali orang yang tidak dianggap perbedaan pendapatnya dan tidak diperhatikan ucapannya. ---
وَقَدِ اشْتُهِرَ عَنِ الْيَهُودِ ـ أَقْمَاهُمُ اللَّهُ ـ إِنْكَارُهُ؛
Telah masyhur dari orang-orang Yahudi — semoga Allah menghinakan mereka — bahwa mereka mengingkari adanya naskh;
وَهُمْ مَحْجُوجُونَ بِمَا فِي التَّوْرَاةِ:
padahal mereka telah dipatahkan hujjahnya dengan apa yang ada dalam Taurat:
أَنَّ اللَّهَ قَالَ لِنُوحٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ عِنْدَ خُرُوجِهِ مِنَ السَّفِينَةِ:
bahwa Allah berkata kepada Nuh ‘alaihis-salām ketika ia keluar dari kapal:
«إِنِّي قَدْ جَعَلْتُ كُلَّ دَابَّةٍ مَأْكَلًا لَكَ وَلِذُرِّيَّتِكَ، وَأَطْلَقْتُ ذٰلِكَ لَكُمْ كَنَبَاتِ الْعُشْبِ، مَا خَلَا الدَّمَ فَلَا تَأْكُلُوهُ».
“Sesungguhnya Aku telah menjadikan setiap hewan sebagai makanan bagimu dan bagi keturunanmu, dan Aku halalkan itu bagi kalian seperti tumbuh-tumbuhan hijau, kecuali darah, maka janganlah kalian memakannya.”
ثُمَّ قَدْ حَرَّمَ عَلَىٰ مُوسَىٰ وَعَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَثِيرًا مِنَ الْحَيَوَانِ.
Kemudian Allah telah mengharamkan bagi Musa dan Bani Israil banyak jenis hewan.
وَثَبَتَ فِي التَّوْرَاةِ أَنَّ آدَمَ كَانَ يُزَوِّجُ الْأَخَ مِنَ الْأُخْتِ،
Dan tetap (tercatat) dalam Taurat bahwa Adam dahulu menikahkan saudara laki-laki dengan saudara perempuannya,
وَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ ذٰلِكَ عَلَىٰ مُوسَىٰ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَعَلَىٰ غَيْرِهِ.
dan Allah telah mengharamkan hal itu bagi Musa ‘alaihis-salām dan selainnya.
وَثَبَتَ فِيهَا أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أُمِرَ بِذَبْحِ ابْنِهِ، ثُمَّ قَالَ اللَّهُ لَهُ: لَا تَذْبَحْهُ؛
Dan tetap dalam Taurat bahwa Ibrahim ‘alaihis-salām diperintah untuk menyembelih putranya, kemudian Allah berkata kepadanya: “Jangan engkau menyembelihnya.”
وَبِأَنَّ مُوسَىٰ أَمَرَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَقْتُلُوا مَنْ عَبَدَ مِنْهُمُ الْعِجْلَ،
Dan (dalam Taurat tercatat) bahwa Musa memerintahkan Bani Israil agar membunuh siapa pun dari mereka yang menyembah anak sapi,
ثُمَّ أَمَرَهُمْ بِرَفْعِ السَّيْفِ عَنْهُمْ.
kemudian beliau memerintahkan mereka untuk menahan pedang dari mereka (yakni berhenti membunuh).
وَنَحْوُ هٰذَا كَثِيرٌ فِي التَّوْرَاةِ الْمَوْجُودَةِ بِأَيْدِيهِمْ.
Dan contoh-contoh seperti ini banyak terdapat dalam Taurat yang ada di tangan mereka sekarang. ---
وَقَوْلُهُ: ﴿أَوْ نُنْسِهَا﴾
Firman-Nya: “atau Kami menjadikannya (kalian) melupakannya (nunsihā)…”
قَرَأَ أَبُو عَمْرٍو وَابْنُ كَثِيرٍ بِفَتْحِ النُّونِ وَالسِّينِ وَالْهَمْزِ: «نَنْسَأْهَا»،
Abu ‘Amr dan Ibnu Katsir membacanya dengan fathah pada nun dan sīn dan menampakkan hamzah: “nansakh, aw nansa’ha”,
وَبِهِ قَرَأَ عُمَرُ، وَابْنُ عَبَّاسٍ، وَعَطَاءٌ، وَمُجَاهِدٌ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَالنَّخَعِيُّ، وَابْنُ مُحَيْصِنٍ.
dan dengan bacaan ini pula dibaca oleh ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Athā’, Mujahid, Ubayy bin Ka‘b, ‘Ubaid bin ‘Umair, an-Nakha‘ī, dan Ibnu Muḥayṣin.
وَمَعْنَىٰ هٰذِهِ الْقِرَاءَةِ: نُؤَخِّرْهَا عَنِ النَّسْخِ،
Makna bacaan ini adalah: “Kami menundanya dari (terkena) naskh,”
مِنْ قَوْلِهِمْ: «نَسَأْتُ هٰذَا الْأَمْرَ» إِذَا أَخَّرْتَهُ.
dari ungkapan mereka: “nasa’tu hādzā al-amr” apabila aku menundanya.
قَالَ ابْنُ فَارِسٍ: وَيَقُولُونَ: «نَسَأَ اللَّهُ فِي أَجَلِكَ»، وَ«أَنْسَأَ اللَّهُ أَجَلَكَ».
Ibnu Fāris berkata: “Mereka berkata: ‘Nasā Allāhu fī ajalik’ dan ‘Ansā Allāhu ajalak’ (semoga Allah memanjangkan umurmu).”
وَقَدِ انْتَسَأَ الْقَوْمُ: إِذَا تَأَخَّرُوا وَتَبَاعَدُوا، وَنَسَأْتُهُمْ: إِذَا أَخَّرْتُهُمْ.
Dan dikatakan: “intasa’a al-qawm” apabila mereka tertunda dan menjauh, dan “nasa’tuhum” apabila aku menunda mereka.
وَقِيلَ: مَعْنَاهُ نُؤَخِّرُ نَسْخَ لَفْظِهَا، أَيْ: نَتْرُكُهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ فَلَا يَكُونُ.
Ada juga yang berkata: maknanya adalah “Kami menunda penghapusan lafaznya”, yakni: Kami membiarkannya dalam Ummul-Kitāb (Lauḥul Maḥfūẓ) sehingga belum terjadi (di dunia).
وَقِيلَ: نُذْهِبْهَا عَنْكُمْ حَتَّىٰ لَا تُقْرَأَ وَلَا تُذْكَرَ.
Dan ada yang berkata: “Kami menghilangkannya dari kalian sehingga ia tidak lagi dibaca dan tidak lagi disebut.” ---
وَقَرَأَ الْبَاقُونَ: «نُنْسِهَا» بِضَمِّ النُّونِ، مِنَ النِّسْيَانِ الَّذِي بِمَعْنَى التَّرْكِ،
Sedangkan para qari’ lainnya membaca: “nunsihā” dengan ḍammah pada nun, dari kata “nisyān” (lupa) yang bermakna meninggalkan,
أَيْ: نَتْرُكْهَا فَلَا نُبَدِّلُهَا وَلَا نَنْسَخُهَا؛
yakni: “Kami tinggalkan ia (tidak diubah) sehingga tidak Kami ganti dan tidak Kami nasakh.”
وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَىٰ: ﴿نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ﴾2
Di antaranya adalah firman-Nya Ta‘ālā: “Mereka telah melupakan Allah maka Allah pun ‘melupakan’ mereka,”2
أَيْ: تَرَكُوا عِبَادَتَهُ فَتَرَكَهُمْ فِي الْعَذَابِ.
yakni: mereka meninggalkan ibadah kepada-Nya, maka Allah meninggalkan mereka dalam azab.
وَاخْتَارَ هٰذِهِ الْقِرَاءَةَ أَبُو عُبَيْدٍ وَأَبُو حَاتِمٍ.
Bacaan ini dipilih oleh Abu ‘Ubaid dan Abu Ḥātim.
وَحَكَى الْأَزْهَرِيُّ أَنَّ مَعْنَاهُ: نَأْمُرُ بِتَرْكِهَا؛
al-Azharī menukil bahwa maknanya adalah: “Kami memerintahkan agar ia ditinggalkan,”
يُقَالُ: «أَنْسَيْتُهُ الشَّيْءَ»، أَيْ: أَمَرْتُهُ بِتَرْكِهِ، وَ«نَسِيتُهُ»: تَرَكْتُهُ.
dikatakan: “ansaituhu asy-syay’a” yakni: aku memerintahkannya untuk meninggalkannya, dan “nasītuhu” artinya: aku telah meninggalkannya.
وَمِنْهُ قَوْلُ الشَّاعِرِ:
Di antaranya adalah ucapan penyair:
إِنَّ عَلَيَّ عَقَبَةً أَقْضِيهَا … لَسْتُ بِنَاسِيهَا وَلَا مُنْسِيهَا
“Sesungguhnya aku memiliki janji (tanggungan) yang akan aku tunaikan; aku tidak akan melupakannya dan tidak (pula) akan menyuruh orang lain meninggalkannya.”
أَيْ: وَلَا آمُرُ بِتَرْكِهَا.
yakni: “dan tidak akan aku perintahkan untuk ditinggalkan.”
وَقَالَ الزَّجَّاجُ: إِنَّ الْقِرَاءَةَ بِضَمِّ النُّونِ لَا يَتَوَجَّهُ فِيهَا مَعْنَى التَّرْكِ؛
Az-Zajjāj berkata: “Bacaan dengan ḍammah pada nun (nunsihā) tidak mengandung makna ‘meninggalkan’;
لَا يُقَالُ: «أَنْسَى» بِمَعْنَىٰ: «تَرَكَ».
tidak dikatakan ‘ansā’ dengan makna ‘taraka’ (meninggalkan).”
قَالَ: وَمَا رَوَى عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: ﴿أَوْ نُنْسِهَا﴾ قَالَ: «نَتْرُكْهَا لَا نُبَدِّلُهَا»، فَلَا يَصِحُّ.
Ia berkata: “Adapun riwayat ‘Ali bin Abi Ṭalḥah dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya: ‘aw nunsihā’, ia berkata: ‘Kami tinggalkan ia, tidak Kami ganti’, maka ini tidak sahih.
وَالَّذِي عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَهْلِ اللُّغَةِ وَالنَّظَرِ:
Dan pendapat yang dipegang mayoritas ahli bahasa dan ahli ilmu adalah:
أَنَّ مَعْنَىٰ «أَوْ نُنْسِهَا»: نُبِحْ لَكُمْ تَرْكَهَا، مِنْ «نَسِيَ» إِذَا تَرَكَ، ثُمَّ تَعْدِيَتُهُ.
bahwa makna ‘aw nunsihā’ adalah: “Kami halalkan bagi kalian untuk meninggalkannya”, dari kata ‘nasiy(a)’ ketika bermakna ‘meninggalkan’, kemudian dibuat muta‘addī (mengenai objek lain).” ---
وَمَعْنَىٰ: ﴿نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا﴾
Makna firman-Nya: “nati bi-khayrin minhā aw mitslihā” (Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya)
نَأْتِ بِمَا أَنْفَعُ لِلنَّاسِ مِنْهَا فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ، أَوْ فِي أَحَدِهِمَا،
adalah: “Kami datangkan apa yang lebih bermanfaat bagi manusia daripadanya, baik di dunia dan di akhirat, atau pada salah satunya,
أَوْ بِمَا هُوَ مُمَاثِلٌ لَهَا مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ».
atau sesuatu yang sepadan dengannya tanpa tambahan.”
وَمَرْجِعُ ذٰلِكَ إِلَىٰ إِعْمَالِ النَّظَرِ فِي «الْمَنْسُوخِ» وَ«النَّاسِخِ»؛
Hal ini kembali kepada meneliti (menganalisis) keadaan mansūkh dan nāsikh;
فَقَدْ يَكُونُ النَّاسِخُ أَخَفَّ، فَيَكُونُ أَنْفَعَ لَهُمْ فِي الْعَاجِلِ؛
kadang-kadang hukum yang baru (nāsikh) lebih ringan, maka ia lebih bermanfaat bagi mereka di dunia,
وَقَدْ يَكُونُ أَثْقَلَ وَثَوَابُهُ أَكْثَرُ، فَيَكُونُ أَنْفَعَ لَهُمْ فِي الْآجِلِ؛
dan kadang lebih berat tetapi pahalanya lebih besar, maka ia lebih bermanfaat bagi mereka di akhirat,
وَقَدْ يَسْتَوِيَانِ فَتَحْصُلُ الْمُمَاثَلَةُ.
dan kadang keduanya sama (ringan-beratnya) sehingga terwujud kesepadanan (mitsliyyah). ---
وَقَوْلُهُ: ﴿أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ﴾
Firman-Nya: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu…”
يُفِيدُ أَنَّ النَّسْخَ مِنْ مَقْدُورَاتِهِ،
menunjukkan bahwa naskh termasuk dalam hal-hal yang berada dalam kekuasaan-Nya,
وَأَنَّ إِنْكَارَهُ إِنْكَارٌ لِلْقُدْرَةِ الْإِلَهِيَّةِ.
dan bahwa mengingkari naskh berarti mengingkari kekuasaan ilahi.
وَهَكَذَا قَوْلُهُ: ﴿أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ﴾
Demikian pula firman-Nya: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi…”
أَيْ: لَهُ التَّصَرُّفُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بِالْإِيجَادِ وَالِاخْتِرَاعِ،
yakni: hanya Dialah yang berhak bertindak di langit dan bumi dengan menciptakan dan mengada-adakan,
وَنُفُوذِ الْأَمْرِ فِي جَمِيعِ مَخْلُوقَاتِهِ؛
dan berlakunya perintah-Nya pada seluruh makhluk-Nya.
فَهُوَ أَعْلَمُ بِمَصَالِحِ عِبَادِهِ،
Maka Dia lebih mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya,
وَمَا فِيهِ النَّفْعُ لَهُمْ مِنْ أَحْكَامِهِ الَّتِي تَعَبَّدَهُمْ بِهَا، وَشَرَعَهَا لَهُمْ.
dan apa yang bermanfaat bagi mereka dari hukum-hukum yang Dia wajibkan atas mereka dan Dia syariatkan untuk mereka.
وَقَدْ يَخْتَلِفُ ذٰلِكَ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَزْمِنَةِ وَالْأَشْخَاصِ؛
Dan hal itu bisa berbeda-beda sesuai perbedaan keadaan, waktu, dan individu,
وَهٰذَا صُنْعُ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُمْ غَيْرُهُ، وَلَا نَصِيرَ سِوَاهُ؛
dan ini adalah perbuatan Dzat yang mereka tidak memiliki wali selain Dia, dan tidak ada penolong selain-Nya;
فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَتَلَقَّوْهُ بِالْقَبُولِ وَالِامْتِثَالِ وَالتَّعْظِيمِ وَالْإِجْلَالِ.
maka wajib atas mereka untuk menyambutnya dengan penerimaan, pelaksanaan, pengagungan, dan pemuliaan. ---
وَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْحَاكِمُ فِي «الْكُنَى»، وَابْنُ عَدِيٍّ، وَابْنُ عَسَاكِرَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ:
Ibnu Abi Hatim, al-Hākim dalam kitab al-Kunā, Ibnu ‘Adiyy, dan Ibnu ‘Asākir meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:
«كَانَ مِمَّا يَنْزِلُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ الْوَحْيُ بِاللَّيْلِ، وَيَنْسَاهُ بِالنَّهَارِ؛
“Di antara yang turun kepada Nabi ﷺ adalah wahyu yang turun di malam hari, lalu beliau melupakannya di siang hari;
فَأَنْزَلَ اللَّهُ: ﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا﴾».
maka Allah menurunkan (ayat): ‘Ayat mana saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan (kalian) melupakannya, niscaya Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.’”
وَفِي إِسْنَادِهِ الْحَجَّاجُ الْجَزَرِيُّ يُنْظَرُ فِيهِ.
Pada sanad riwayat ini terdapat al-Ḥajjāj al-Jazarī, yang perlu ditinjau (kelemahannya). ---
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ:
Ath-Thabarāni meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:
«قَرَأَ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ سُورَةً أَقْرَأَهُمَاهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ،
“Ada dua orang Anshar membaca sebuah surah yang Rasulullah ﷺ telah membacakannya kepada mereka (mengajarkannya),
وَكَانَا يَقْرَآنِ ذَاتَ لَيْلَةٍ يُصَلِّيَانِ، فَلَمْ يَقْدِرَا مِنْهَا عَلَىٰ حَرْفٍ؛
dan pada suatu malam keduanya berdiri (shalat malam) membacanya, namun mereka tidak mampu membaca satu huruf pun darinya.
فَأَصْبَحَا غَادِيَيْنِ عَلَىٰ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ:
Maka keesokan paginya mereka berdua pergi pagi-pagi kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda:
«إِنَّهَا مِمَّا نُسِخَ أَوْ نُسِيَ، فَالْهَوْا عَنْهَا».
‘Sesungguhnya ia (surah itu) termasuk yang telah dinasakh atau dilupakan, maka sibukkanlah diri kalian darinya (jangan dipikirkan lagi).’”
وَفِي إِسْنَادِهِ سُلَيْمَانُ بْنُ أَرْقَمَ، وَهُوَ ضَعِيفٌ.
Pada sanad riwayat ini terdapat Sulaimān bin Arqam, dan ia dha‘if (lemah). ---
وَأَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ» عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ:
Ibnu Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqī dalam al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas tentang firman-Nya:
﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا﴾ يَقُولُ:
“Ayat mana saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan (kalian) melupakannya,” ia berkata:
«مَا نُبَدِّلْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نَتْرُكْهَا لَا نُبَدِّلْهَا؛
“yakni: ayat mana saja yang Kami ganti atau Kami tinggalkan tanpa Kami ganti,
﴿نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا﴾ يَقُولُ: خَيْرٌ لَكُمْ فِي الْمَنْفَعَةِ، وَأَرْفَقُ بِكُمْ».
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya; yakni: lebih baik bagi kalian dalam manfaatnya dan lebih lembut (mudah) bagi kalian.”
وَأَخْرَجَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: «نُنْسِهَا نُؤَخِّرْهَا».
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan darinya bahwa ia berkata: “‘Nunsihā’ artinya: Kami menundanya.”
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ»، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَالْبَيْهَقِيُّ فِي «الْأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ» عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ فِي قَوْلِهِ:
Abu Dāwud dalam kitab an-Nāsikh, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqī dalam al-Asmā’ waṣ-Ṣifāt meriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud tentang firman-Nya:
﴿مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ﴾ قَالَ: «نُثْبِتْ خَطَّهَا، وَنُبَدِّلْ حُكْمَهَا؛
“Ayat mana saja yang Kami nasakh…” ia berkata: “Kami tetapkan tulisannya, dan Kami ganti hukumnya;
﴿أَوْ نُنْسِهَا﴾ قَالَ: نُؤَخِّرْهَا».
atau Kami jadikan (kalian) melupakannya; ia berkata: “(Maksudnya) Kami menundanya.”
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَأَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ»، وَابْنُ جَرِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ:
‘Abd bin Humaid, Abu Dāwud dalam an-Nāsikh, dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qatadah tentang firman-Nya:
﴿نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا﴾ قَالَ:
“Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya,” ia berkata:
«فِيهَا تَخْفِيفٌ، فِيهَا رُخْصَةٌ، فِيهَا أَمْرٌ، فِيهَا نَهْيٌ».
“Dalam (ayat pengganti) itu ada keringanan, ada rukhsah (dispensasi), ada perintah, dan ada larangan.” ---
وَأَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ فِي «نَاسِخِهِ»، وَابْنُ الْمُنْذِرِ، وَابْنُ الْأَنْبَارِيُّ فِي «الْمَصَاحِفِ»، وَأَبُو ذَرٍّ الْهَرَوِيُّ فِي «فَضَائِلِهِ» عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ:
Abu Dāwud dalam an-Nāsikh, Ibnu al-Mundzir, Ibnu al-Anbārī dalam al-Maṣāḥif, dan Abu Żar al-Harawī dalam kitab Faḍā’il-nya meriwayatkan dari Abu Umāmah bin Sahl bin Hunayf:
أَنَّ رَجُلًا كَانَتْ مَعَهُ سُورَةٌ، فَقَامَ مِنَ اللَّيْلِ، فَقَامَ بِهَا، فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا،
bahwa ada seorang laki-laki yang memiliki hafalan sebuah surah; pada suatu malam ia bangun dan hendak shalat dengan membaca surah itu, namun ia tidak mampu membacanya (lupa).
وَقَامَ آخَرُ يَقْرَأُ بِهَا، فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا؛
Kemudian orang lain berdiri untuk membacanya, namun tidak mampu membacanya;
وَقَامَ آخَرُ، فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَيْهَا؛
orang ketiga berdiri, namun juga tidak mampu membacanya.
فَأَصْبَحُوا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَاجْتَمَعُوا عِنْدَهُ فَأَخْبَرُوهُ؛ فَقَالَ:
Maka di pagi harinya mereka mendatangi Rasulullah ﷺ, berkumpul di sisi beliau dan menceritakan hal itu; lalu beliau bersabda:
«إِنَّهَا نُسِخَتِ الْبَارِحَةَ».
“Sesungguhnya surah itu telah dinasakh (dihapus) tadi malam.”
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُهُ عَنْهُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ.
Riwayat yang semisal dengannya juga diriwayatkan dari beliau melalui jalur lain. ---
وَقَدْ ثَبَتَ فِي «الْبُخَارِيِّ» وَغَيْرِهِ عَنْ أَنَسٍ:
Telah sahih dalam Shahih al-Bukhari dan selainnya dari Anas,
أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ فِي الَّذِينَ قُتِلُوا فِي بِئْرِ مَعُونَةَ:
bahwa Allah menurunkan (ayat) tentang orang-orang yang terbunuh di sumur Ma‘ūnah:
«أَنْ بَلِّغُوا قَوْمَنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَا رَبَّنَا، فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا»، ثُمَّ نُسِخَ.
“Sampaikanlah kepada kaum kami, bahwa sungguh kami telah berjumpa dengan Rabb kami; Dia telah ridha kepada kami dan membuat kami ridha,” kemudian ayat ini dihapus (dibatalkan bacaannya).
وَهَكَذَا ثَبَتَ فِي «مُسْلِمٍ» وَغَيْرِهِ عَنْ أَبِي مُوسَى:
Demikian pula sahih dalam Shahih Muslim dan selainnya dari Abu Musa:
«كُنَّا نَقْرَأُ سُورَةً نُشَبِّهُهَا فِي الطُّولِ وَالشِّدَّةِ بِـ(بَرَاءَةَ)، فَأُنْسِيتُهَا،
“Kami dahulu membaca sebuah surah yang kami samakan dalam panjang dan beratnya dengan (Surah) Bara’ah (at-Taubah), lalu aku dilupakan darinya,
غَيْرَ أَنِّي حَفِظْتُ مِنْهَا: «لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ، لَابْتَغَىٰ وَادِيًا ثَالِثًا، وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَهُ إِلَّا التُّرَابُ».
kecuali bahwa aku masih menghafal darinya: ‘Seandainya anak Adam memiliki dua lembah penuh harta, niscaya ia akan mencari lembah ketiga; dan tidak akan memenuhi perutnya kecuali tanah (kematian).’”
وَكُنَّا نَقْرَأُ سُورَةً نُشَبِّهُهَا بِإِحْدَى الْمُسَبِّحَاتِ، أَوَّلُهَا: «سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ»، فَأُنْسِينَاهَا،
“Dan kami dahulu membaca sebuah surah yang kami samakan dengan salah satu ‘al-musabbiḥāt’, awalnya: ‘Sabbaḥa lillāhi mā fis-samāwāt(i)…’, lalu kami dilupakan darinya,
غَيْرَ أَنِّي حَفِظْتُ مِنْهَا: «يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ، فَتُكْتَبُ شَهَادَةً فِي أَعْنَاقِكُمْ، فَتُسْأَلُوا عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ».
kecuali bahwa aku masih menghafal darinya: ‘Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan; maka ia akan dicatat sebagai kesaksian pada leher-leher kalian, lalu kalian akan ditanyai tentangnya pada Hari Kiamat.’”
وَقَدْ رُوِيَ مِثْلُ هٰذَا مِنْ طَرِيقِ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ،
Hal yang semisal ini telah diriwayatkan melalui jalur sekelompok sahabat,
وَمِنْهُ «آيَةُ الرَّجْمِ»، كَمَا رَوَاهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، وَأَحْمَدُ، وَابْنُ حِبَّانَ عَنْ عُمَرَ.
dan di antaranya adalah “ayat rajam (hukuman rajam)”, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abd ar-Razzāq, Ahmad, dan Ibnu Ḥibbān dari ‘Umar. ---

1 QS. al-Jāthiyah [45]: 29 – “Sesungguhnya Kami selalu menyalin apa yang kalian kerjakan.”

2 QS. at-Tawbah [9]: 67 – “Mereka telah melupakan Allah, maka Allah pun ‘melupakan’ mereka (yakni meninggalkan mereka dalam azab).”

Postingan populer dari blog ini

Biografi Pengarang

Pendahuluan Surat al Fatihah

Al fatihah Ayat 2-7